• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM KÂFFAH : TINJAUAN TAFSIR Q.S. AL-BAQARAH - Neliti

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "ISLAM KÂFFAH : TINJAUAN TAFSIR Q.S. AL-BAQARAH - Neliti"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Fakultas Syari’ah dan Hukum UNSIQ Email: ahmadiy01@gmail.com

Abstract

Mukti Ali emphasizes the importance of seeing Islam kâffah. In this relationship Mukti Ali says, if we see Islam just of one facet, we will only see one dimension and phenomenons that is multi facet, even if we see it is correct. The Islam terminologicals has comprehended kâffah, which is Islam grasp that done by komprehensif's. Nasruddin Razak also opines that understanding Islam kâffah are important, so that could become qualified followers of the religion and for growing regarding attitude for other religion followers. That trick also been sailed through in the effort avoid misunderstanding that can evoke attitude and life pattern gets incorrect religion.

Keyword: Islam, Religion, Kâffah.

A. Pendahuluan

Suatu hal yang sering kita ungkapkan bahwa Islam adalah agama bagi seluruh umat manusia, karena Rasulullah sebagai pembawanya diutus bagi seluruh manusia (Abu Zahrah, 1994: 21). Islam diciptakan sebagai agama oleh Allah yang dibebabankan kepada manusia yang berakal, dan tidak dibebani agama Islam bagi mereka yang tidak mempunyai akal sehat (Moh. Rifa’i, 1994: 11).

Agama, religi, dîn, selalu diartikan sebagai suatu sistem keimanan dan peribadatan terhadap Zat yang maha mutlak, serta aturan-aturan dan kaidah yang mengatur hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan alam.

Sebagai agama wahyu, ajaran agama Islam bersumber dari pengetahuan dan pemberitahuan Ilahiyah yang terkandung

dalam kitab suci Al-Qur`an dan as-Sunnah (Mahmud Aziz Siregar, 1999: 127).

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad meliputi ajaran-ajaran tentang keimanan, ibadah, muamalah, akhlak karimah, perintah dan larangan yang telah jelas nashnya, dan para ulama telah bersepakat terhadap kebenarannya.

Misalnya beriman bahwa Allah adalah Tuhan yang maha Esa, Nabi Muhammad merupakan utusan Allah untuk seluruh umat manusia, shalat lima waktu dan puasa Ramadhan farḍu ain, khamar dan judi haram, serta ketentuan-ketentuan agama Islam lainnya yang termaktub dalam aturan-aturan formal agama Islam itu sendiri. Tulisan ini mengangkat tema Islam Kâffah dari sudut pandang tafsir terhadap Q.S. Al-Baqarah 208.

(2)

B. Hasil Temuan dan Pembahasan 1. Islam Kâffah

Kâffah adalah menyeru umat Islam agar dalam gerak hidup dan kehidupan ditujukan untuk sepenuhnya berbakti kepada Allah dengan segala keikhlasan (Wali al-Fattah, 1995: xiii). Kata as-Silm dalam surat al-Baqarah: 208 adalah Islam. Maksud ayat ini adalah,

“Masuklah kalian kedalam semua ajaran Islam”. Maka dari itu, dakwahkanlah Islam dan amalkanlah secara total. Tidak dibenarkan mengambil satu bagian dan meninggalkan sebagian yang lain.







Kata as-Silm yang diterjemahkan dengan kedamaian atau Islam, makna dasarnya adalah damai atau tidak mengganggu. Kedamaian oleh ayat ini diibaratkan berada suatu wadah yang dipahami dari kata fi, yakni dalam; orang yang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya kedalam wadah itu secara menyeluruh, sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah atau koridor kedamaian. Ia damai dengan dirinya, keluarganya, dengan seluruh manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta alam raya, wal hasil Kâffah, yakni secara menyeluruh tanpa kecuali.

Ayat ini menuntut setiap yang beriman agar melaksanakan seluruh ajaran Islam, jangan hanya percaya dan

mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian yang lain. Ia dapat juga bermakna masuklah kamu semua Kâffah tanpa kecuali, jangan seorang pun diantara kamu yang tidak masuk kedalam kedamaian (Islam) (Quraish Shihab, 2006: 448).







Ada yang membaca “salmi” dan ada pula “silmi” kâffah (secara keseluruhan)

“hal” dari Islam artinya kedalam seluruh syariatnya tanpa kecuali (al-Mahally, 1990: 112).

Diketengahkan oleh Ibn Jarir dari Ikrimah, katanya: “Berkata Abdullah bin Salam, Tsa’labah, Ibn Yamin, serta Asad dan Useid bin Ka’ab, Said bin Amar dan Qeis bin Zaid, mereka semua dari golongan Yahudi: “Wahai Rasulullah, hari sabtu adalah hari besar kami, maka biarkanlah kami merayakannya, dan bahwa taurat itu adalah kitabullah, maka biarkanlah kami membacanya diwaktu malam” maka turunlah surat al-Baqarah:

208 (al-Mahally, 1990: 203).

Menurut suatu riwayat, sekelompok kaum Yahudi menghadap Rasulullah hendak beriman, namun meminta agar dibiarkan merayakan hari Sabtu dan mengamalkan kitab Taurat pada malam hari. Mereka menganggap bahwa hari Sabtu merupakan hari yang harus

(3)

dimuliakan, dan kitab Taurat adalah kitab yang diturunkan oleh Allah juga. Maka turunlah surat al-Baqarah ayat 208, agar tidak mencampur baurkan agama (Shaleh, dkk. 2002: 68).

Istilah Kâffah disebutkan dalam al- Baqarah: 208. Menurut bahasa, artinya utuh, integral. Adapun yang dimaksud adalah memahami dan mengikuti Islam secara utuh dan menyeluruh, tidak sepotong atau secara parsial (Ahsin Wijaya, 2006: 143). Fissilmi Kâffah (kedalam Islam secara menyeluruh) kedalam Islam dan syariat-syariatnya secara utuh Hasanain Muhammad Makluf, 1996: 20).







Kaaffatan, artinya menuruti hukum- hukum Allah secara keseluruhan, dilandasi dengan berserah diri, tunduk dan ikhlas kepada Allah. Di antara pokok- pokok berserah diri kepada Allah ialah cinta damai dan meninggalkan pertempuran diantara orang-orang yang sehidayah. Perintah yang terdapat pada ayat ini, menunjukkan arti tetap dan abadi. Tetaplah kalian berserah diri kepada Allah sepenuhnya. Hal ini senada dengan firman Allah:

“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah……..” (al-Ahzab: 1)

Makna ayat; wahai orang-orang yang beriman dengan sepenuh hati dan tingkah

laku, tetaplah kalian menjalankan ajaran- ajaran Islam sejak hari ini dan seterusnya, jangan sekali-kali kalian melepaskan salah satu dari syariat-syariatnya. Bahkan ambillah Islam secara keseluruhan dan pahamilah maksud Islam yang sebenarnya. Dalam setiap tingkah laku dan menghadapi setiap masalah, pakailah nash-nash Al-Qur`an dan sunnah-sunnah Rasulullah, lalu amalkanlah setiap anjurannya. Jangan mengambil satu dalil nash atau dalil sunnah saja tanpa memperdulikan dalil-dalail nash atau sunnah lainnya, sebab mungkin berselisih faham dengan hujjah yang dipakainya.

Dan hal ini bisa menimbulkan perpecahan dan percekcokan yang semakin seru diantara kalian dan akhirnya kehancuranlah bagi kalian semua. Sudah seharusnyalah bagi kita kaum muslimin, berpegangan pada tali persatuan Islam (al-Maraghi, 1984: 212).

Menurut penafsiran Imam as- Syaukani, pada lubuk hati sekalian golongan, baik disebut kafir atau musyrik ataupun dia ahlul kitab, ataupun bahkan orang munafik, namun dilubuk hati mereka tetap ada iman pada Allah. Orang musyrik dalam hati mereka masih tetap mengakui percaya pada Allah. Ahlul kitab, baik Yahudi atau Nasrani telah diajar oleh agama mereka percaya pada Allah, Cuma pusaka tua menyembah berhala berat sekali melepaskan. Orang

(4)

munafik, lidah mereka mengakui beriman, namun hati mereka tidak mau percaya. Tetapi kalau dikaji lebih mendalam, merekapun merasakan salah mereka menjadi munafik. Maka menurut ayat ini, tuhan menyeru kepada seluruhnya, lebih baik masuk sajalah kedalam Islam, jangan lagi berpecah- pecah juga dibawa hawanafsu dan kehendak masing-masing.

As-Silmi, menurut penafsiran al- Kisa’i, pada asal lughat-nya boleh dibaca dengan huruf sin yang difathahkan (as- Salmi). Dan boleh dibaca as-Silmi. Arti kedua bacaan ini ialah satu saja yaitu Islam yang berarti menyerah diri dengan tulus ikhlas. Dan berarti juga al- Musalamah yang berarti suasana perdamaian diantara dua pihak yang selama ini belum damai. Maka jika dituruti tafsiran as-Saukani, berarti orang yang beriman atau ahlul kitab atau munafik, yang selama ini seakan-akan menentang tuhan dan tuhanpun murka kepada mereka, agar mereka rujuk kembali kepada Allah, berdamai terhadap tuhan, supaya tuhanpun memberi ampun mereka.

Lalu datang kalimat kaafatan yang berarti semuanya atau seluruhnya. Yang dimaksud dengan keseluruhan ialah seluruh kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang telah masuk Islam lebih dahulu, supaya mylai saat ini lebih

baik mereka seluruhnya bersatu didalam Islam. Tetapi kalau kaafatan kita jadikan hal dari as-Silmi atau Islam itu sendiri, berarti sebagai sebagai seruan kepada sekalian orang yang telah mengaku beriman kepada Allah supaya kalau mereka Islam janganlah masuk separoh- separoh, sebahagian-sebahagian, bahkan masukilah keseluruhannya.

Kaaffatan menjadi hal dari as-Silmi itu sendiri. Jika kita ingat ayat yang sebelumnya, yang menerangkan bahwa ada manusia yang telah menjual diri kepada Allah, karena mengharapkan ridha Allah. Menjual diri kepada Allah niscaya tidak boleh tanggung-tanggung melainkan keseluruhannya. Kita kalau telah mengakui beriman dan telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh isi Al-Qur`an dan tuntunan Nabi diakui dan diikuti. Semua diakui kbenarannya, dengan mutlak.

Meskipun belum dikerjakan semuanya.

Sekali-kali janganlah diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam. Dalam pada itu hendaklah melatih diri, agar sampaipun kita menutup mata yang terakhir, meninggal dunia, hendaknya telah menjadi orang Islam yang Kâffah (HAMKA, 1996: 160-161).

Ayat tersebut menekankan supaya orang-orang mukmin, baik yang baru saja masuk Islam seperti halnya seorang

(5)

Yahudi yang bernama Abdullah bin Salam, maupun ia seorang munafik yang masih melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam supaya mereka taat melaksanakan ajaran Islam sepenuhnya, jangan setengah-setengah, jangan seperti mengerjakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan tetapi shalat lima waktu ditinggalkan, dan jangan bersifat sebagaimana yang digambarkan Allah di dalam Al-Qur`an tentang sifat-sifat orang Yahudi:

Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? (al- Baqarah: 85). (Bustami Abdul Ghani, 1975: 347).

Ketika Allah menyeru orang-orang mukmin untuk masuk dalam Islam secara Kâffah, lalu Allah menyuruh hati-hati (waspada) kepada mereka agar tidak mengikuti langkah-langkah setan. Dalam ayat ini (al-Baqarah: 208) hanya ada dua arah. Masuk Islam secara Kâffah atau mengikuti langkah-langkah setan, petunjuk atau kesesatan, Islam atau jahiliyah, jalan Allah atau jalan setan, petunjuk Allah atau kesesatan setan.

Dengan contoh ini seorang muslim harus menemukan sikap jati dirinya, untuk tidak boleh ragu dan bingung antara beberapa jalan yang berbeda-beda dan beberapa arah yang berebeda-beda (Sayyid Qutub, Tt: 142).

2. Islam Masa Depan

Islam menawarkan ketenangan dalam menghadapi setiap guncangan perubahan (al-Baqarah: 61), dan agama ini mengandaikan kebahagiaan didunia dan akhirat bagi pemeluknya (al-Baqarah:

201). Agama ini mengedepankan konsep kebaikan untuk semua (Ali Imran: 110), dan mengembangkan toleransi positif dalam kehidupan yang pluralistic (al- Kafirun: 1-6).

Pada sisi lain agama ini menekankan adanya etos kerja bagi setiap orang agar hidupnya bisa berkembang (al-Ashr: 1- 3); al-Najm: 36-42, dan al-Jumu’at: 10).

Sementara dalam etos ilmiah dapat dilihat bagaiamana kitab suci ini menginformasikan bahwa tuhan menyuruh para Rasulnya agar senantiasa berdoa demi peningkatan ilmu pengetahuan mereka. Demikian juga berbagai sabda Rasulullah mengenai urgensi ilmu pengetahuan dalam mengembangkan etos ekonomi (Syahrin Harahap, 1997: 9).

Jika berbicara mengenai agama yang akan berperan besar dimasa depan, mata dunia tampaknya menoleh pada Islam. Ini kenyataan, dan tentu kurang fair jika diklaim hanya sebagai sikap apologetis pendukung agama. Memang kata kunci yang perlu diperhatikan adalah kesanggupan dan kearifan. Kesanggupan artinya, sangat tergantung pada

(6)

kesanggupan umatnya untuk mendaratkan kesempurnaan ajaran agama ini pada dataran kehidupan, bukan hanya dalam konsep dan ucapan.

Sedangkan kearifan maksudnya, sejauh mana kearifan mereka untuk membumikan aspek paling dinamis, humanis, dan kosmopolit (memiliki wawasan atau pengetahuan luas) dari ajaran agamanya, demi kebaikan untuk semua (Syahrin Harahap, 1997: 10).

3. Metode Memahami Islam Kâffah Ali Syariati, Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini ia mengatakan jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan (Abuddin Nata, 2000: 104).

Ali Syari’ati lebih lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara ialah dengan mengenal Allah dan membandingkannya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya ialah dengan mempelajari kitab Al-Qur`an dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan samawi) lainnya. Tetapi ada lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari

kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaruan yang pernah hidup dalam sejarah. Akhirnya ada satu cara lagi, ialah dengan mempelajari tokoh- tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain. Seluruh cara yang ditawarkan Ali Syari’ati pada intinya adalah metode perbandingan (komparasi). Melaui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekurangan yang terdapat diantara berbagai yang dibandingkan.

Ali Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat, dan sebagai intelektual kita memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dengan kata lain Ali Syari’ati mengajak kepada seluruh intelektual muslim dengan disiplin ilmu yang dimilikinya masing-masing agar digunakan untuk memahami ajaran Islam dengan berpedoman pada Al-Qur`an.

Para sosiolog, sebagaimana Syari’ati sendiri, sejarawan, budayawan, sastrawan dan sebagainya dapat menggunakan

(7)

keahliannya untuk memahami ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur`an dan Sunnah (Abuddin Nata, 2000: 104).

Nasruddin Razak juga menawarkan metode pemahaman Islam secara Kâffah.

Menurutnya memahami Islam secara Kâffah adalah penting, agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lain. Cara tersebut juga ditempuh dalam upaya menghindari kesalahpahaman yang dapat menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah. Nasruddin Razak mengajukan empat cara:

Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur`an dan sunnah Rasul. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Al- Qur`an dan sunnah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari Islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme, yakni tercampur dengan hal-hal yang tidak Islami, jauh dari ajaran Islam yang murni.

Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya dipelajari secara Kâffah sebagai satu

kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja. Memahami Islam secara parsial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.

Ketiga, Islam dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh pra ulama besar, kaum zhu’ama dan sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya mereka meiliki pemahaman Islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang terdapat dalam Al- Qur`an dan Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah dari praktek ibadah yang dilakukan setiap hari.

Keempat, Islam dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Al-Qur`an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara Islam yang berada pada dataran normatif teologis yang ada dalam Al-Qur`an dengan Islam yang ada pada dataran histories, sosiologis, dan empiris. Kesalahan sementara orang mempelajari Islam, menurut Nasruddin Razak, ialah dengan jalan mempelajari kenyataan ummat Islam, bukan agama Islam yang dipelajarinya. Sikap konservatif sebagian golongan Islam, keterbelakangan di bidang pendidikan, keawaman, disintegrasi, dan kemiskinan masyarakat Islam itulah yang dinilai

(8)

sebagai Islamnya sendiri. Mengambil kesimpulan tentang citra Islam berdasarkan sampel yang tidak valid dan tidak representatif dapat menyebabkan wajah Islam tampil kurang pas atau bahkan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Untuk mencitrakan Islam misalnya mengapa tidak menyertakan sampel dari kalangan Islam yang maju, berpendidikan tinggi, penuh kedamaian, mimiliki kekayaan dan sebagainya.

Bagimanapun juga kajian yang bersifat empiris, historis, dan sosiologis tentang Islam tetap diperlukan, karena tanpa kajian semacam ini kita tidak akan pernah tahu secara pasti, apakah ajaran Islam yang diperintahkan untuk diamalkan oleh Allah dan Rasul-Nya sudah benar-benar diamalkan atau belum (Nasrudin Razak, 1973: 62).

Mukti Ali mengatakan bahwa selama ini pendekatan terhadap agama Islam masih sangat pincang. Ahli-ahli ilmu pengetahuan, termasuk dalam hal ini para oreintalis, mendekati Islam dengan metode ilmiah saja. Penelitiannya menarik tetapi sebenarnya mereka tidak mengerti secara Kâffah. Yang mereka ketahui hanya eksternalitas (segi-segi luar) dari Islam. Sebaliknya para ulama sudah terbiasa memahami Islam dengan cara doktriner dan dogmatis, yang sama sekali tidak dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang hidup didalam

masyarakat. Inilah sebabnya orang lalu mempunyai kesan bahwa Islam sudah ketinggalan zaman dan tidak sejalan dengan pembangunan. Pembangunan seharusnya membawa kita kepada kemajuan dan agama mengantarkan kita kepada kebahagiaan. Agama tanpa pembangunan tidak akan maju, dan pembangunan tanpa agama akan salah arah (Syahrin Harahap, 1997: 6).

Mukti Ali mengatakan bahwa pendekatan ilmiah-cum doktriner harus kita pergunakan, pendekatan scientific- cum suigeneris harus kita terapkan. Inilah yang Mukti Ali maksud dengan metode sintesis (perpaduan, penggabungan).

Mukti Ali melihat bahwa Islam sebagai sebuah agama dapat digunakan metode doktriner dan untuk melihat Islam sebagai sebuah disiplin ilmu, dapat digunakan metode ilmiah, dan itulah yang selanjutnay disebut dengan pendekatan sintetis.

Mukti Ali menekankan pentingnya melihat Islam secara kâffah. Dalam hubungan ini Mukti Ali mengatakan, apabila kita melihat Islam hanya dari satu segi saja, maka kita hanya akan melihat satu dimensi dan fenomena-fenomena yang multi faset, sekalipun kita melihatnya itu betul. Islam menurutnya harus dipahmai secara Kâffah, yaitu pemahaman Islam yang dilakukan secara komprehensif (Abuddin Nata, 2000: 110).

(9)

C. Simpulan

Umat Islam wajib berikhtiar agar Islam dalam keseluruhannya berlaku pada masing-masing pribadi, lalu kepada masyarakat, lalu kepada Negara, agar kemudian Islam dalam keseluruhannya dapat berdiri dalam kehidupan. Kondisi- kondisi tertentu yang dialami oleh umat Islam berupa kurangnya pendidikan, kemiskinan, keterbelakangan, disintegrasi, sikap konservatif dan keawaman sebagian umat Islam semua berupa warisan peninggalan kaum penjajah. Dengan rahmat kemerdekaan ini umat Islam telah bangkit bekerja keras memodernisasi diri sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan as-Sunnah.

Apabila Islam dilihat hanya dari satu segi saja, maka kita hanya akan melihat satu dimensi dan fenomena- fenomena yang multi faset, sekalipun kita melihatnya itu betul. Islam harus dipahmi secara kâffah, yaitu pemahaman Islam yang dilakukan secara komprehensif.

Memahami Islam secara Kâffah adalah penting, agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lain. Cara tersebut juga ditempuh dalam upaya menghindari kesalahpahaman yang dapat menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah.

***

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah. 1994. Dakwah Islamiah.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Amin, Masyhur. dkk. 1994. Aqidah Akhlak, Yogyakarta: Kota Kembang.

Amrullah, Haji Abdulmalik Abdulkarim (HAMKA). 1966. Tafsir al-Azhar.

Jakarta: Yayasan Nurul Islam.

al-Fattaah, Wali. 1995. Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah (Jalan Keluar Penyatuan Kaum Muslimin). Bogor:

al-Amanah.

Gani, Bustami A. dkk. 1975. Al-Qur`an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf UII.

Al-Islam, 23 April 2010, Edisi 503/XV

Harahap, Syahrin. 1997. Islam Dinamis (Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al- Qur`an Dalam Kehidupan Modern di Indonesia). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Makhluf, Hasanain Muhammad. 1996.

Kamus Al-Qur`an. Bandung: Gema Risalah Press.

al-Mahalliy, Jalaluddin. dkk. 1990.

Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Ayat. Bandung: Sinar Baru.

al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1984.

Terjemah Tafsir al-Maraghi, Jilid 2.

Semarang: Toha Putra.

Nata, Abuddin. 2000/ Metodologi Studi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

(10)

Qutub, Sayyid. Tt. Fi Zhilalil Qur`an, Juz 1, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al- Arabiyah.

Razak, Nasruddin. 1973. Dienul Islam.

Bandung: Alma’arif.

Rifai, Moh. dkk. 1994. Aqidah Akhlak. Semarang: CV Wicaksana.

Siregar, Mahmud Aziz. 1994. Islam untuk Berbagai Aspek Kehidupan.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Shaleh, K.H.Q. dkk. 2002. Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis

Turunnya Ayat-ayat Al-Qur`an).

Bandung: Diponegoro.

Shihab, Quraish. 2006. Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur`an), Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati.

Sitompul, Agussalim. 2008. Usaha- usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia. Jakarata: Misaka Galiza.

Wijaya, Ahsin. 2006. Kamus Ilmu Al- Qur`an. Jakarta: Amzah.

Referensi

Dokumen terkait

asing diserap langsung ke dalam bahasa Arab hanya dengan penyeseuaian beberapa huruf saja, seperti co diganti dengan وــك karena memang tidak ada huruf Arab yang sepadan dengan