BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pidana secara arti bahasa atau makna adalah nestapa. Artinya, orang yang dikenakan pidana adalah orang yang nestapa, sedih dan terbelengu baik jiwa ataupun raganya. Tetapi kenestapaan tersebut bukanlah diakibatkan oleh perbuatan orang lain, melainkan atas perbuatan yang dilakukannya sendiri.
Tindakan pidana adalah diakibatkan oleh perbuatan atau tindakan atau sikap yang merugikan orang lain. Tetapi apakah perbuatan tersebut betul-betul dapat merugikan orang lain atau tidak? Dan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan perbuatan yang dipidana atau tidak? itulah yang dipelajari oleh hukum pidana. Sehingga secara sederhana pengertian hukum pidana adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan.1
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik, tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektivias dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang. Berbagai kepentingan
1 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Penerbit Kencana, Jakarta, 2015, hal. 8.
bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ketentraman, ketenangan, dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.2 Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defense yaitu untuk perlindungan masyarakat. 3
Namun demikian, dalam prespektif barat yang kehidupan bersamanya lebih didasarkan pada paham-paham seperti individuaisme dan liberalisme, konsep tentang tujuan hukum pidana cenderung diorientasikan untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai macam kepentingan warga negara secara individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Konsep sebagaimana telah disebutkan antara lain dapat ditelusuri melalui pemikiran yang terkait dengan gagasan tentang asas legalitas. Sementara itu, ada pula pemikiran yang menggabungkan sekaligus dua tujuan diadakannya hukum pidana yang telah disebutkan. Sehingga, hukum pidana bukan saja berujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, tetapi juga bertujuan untuk melindungi kepentngan-kepentingan yang bersifat perseorangan. 4
Penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinnya norma-norma secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berhubungan dengan hukum.
2 M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002, hal 15.
3 Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 52.
4 Ibid, hal 5.
Penegakan hukum merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ayat (2) yang berbunyi:
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Selain itu, Kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian. Pasal 5 Kode Etik Kepolisian berbunyi :
Anggota Kepolisan Negara Republik Indonesia dalam memberikan pelayanan pada masyarakat senantiasa :
(1) memberiakan pelayanan terbaik,
(2) menelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama, (3) mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit,
(4) bersikap hormat kepada siapapun dan tidak menunjukan sikap congkak/arogan karena kekuasaan,
(5) tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang,
(6) tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam atau tidak mengenal hari libur,
(7) tidak membebani biaya, kecuali diatur dalam peraturan perundang- undangan.
Di dalam pergaulan masyarakat, setiap hari terjadi hubungan antara anggota-anggota masyarakat yang satu dengan lainnya. pergaulan tersebut menimbulkan berbagai peristiwa atau kejadian yang dapat menggerakan peristiwa hukum. Salah satu problema sosial yang tidak henti-hentinya harus diperhatikan adalah munculnya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh
sebagian anggota masyarakat, yang dikenal dengan kejahatan. Kejahatan ini sebagai salah satu bentuk perilaku menyimpang, selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat dan tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan.5 Durkheim mengungkapkan bahwa kejahatan merupakan fenomena sosial yang normal,6 artinya bahwa kejahatan akan selalu ada disetiap masyarakat dan usia kejahatan seusia dengan masyarakat itu sendiri.
Betapapun kita mengetahui banyak pendapat tentang faktor penyebab kejahatan dalam masyarakat, namun satu hal pasti adalah kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku manusia mengalami perkembangan yang sejajar dengan perkembangan itu sendiri.
Seorang filsuf bernama Cicero mengatakan “Ubi Sucietas, Ibi Ius”
(dimana ada masyarakat, disitu ada hukum).7 Serupa dengan pendapat dari Romli Atsmasasmita yang mengungkapkan bahwa masalah kejahatan merupakan masalah pribadi dalam kehidupan umat manusia, karena ia berkembang sejalan dengan tingkat peradaban umat manusia. Sejarah perkembangan masyarakat sebelum, selama dan sesudah abad pertengahan telah berbagai usaha manusia untuk mempertahankan kehidupannya, dan hamper sebagian besar memiliki unsur kekerasan sebagai fenomena dunia
5 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Bandung, 2001, hal. 13.
6 Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Impikasinya, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003, hal. 153.
7 Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, PT. Almuni, Bandung, 2007, hal 94.
realita.8 Hal ini juga yang kemudian mempengaruhi semakin beragamnya motif kejahatan dan tindak pidana yang terjadi saat ini.
Salah satu kejahatan yang terjadi dan ditangani oleh Kepolisian Sektor Nusaniwe adalah kejahatan yang termasuk dalam Tindak Pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum. Kejahatan terhadap ketertiban umum diatur di dalam Bab V Buku II KUHP. Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan kata-kata yang dipakai oleh pembentuk Undang-Undang sebagai nama kumpulan bagi kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Bab V tersebut.
Salah satunya adalah kejahatan yang diatur di dalam Pasal 170 KUHP yang berbunyi :
(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
1e. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
2e. dengan pidana penjara paling lambat Sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat ;
3e. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
(3) Pasal 89 tidak diterapkan. 9
Polsek Nusaniwe dalam menangani suatu tindak pidana, memiliki kewenangan sesuai pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, yang berbunyi:
8 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT.Refika Aditama, Bandung, 2010, hal 63.
9 Tim Yustisia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta, 2014, hal 82.
Penyidik (dalam hal ini kepolisian) karena kewajibannya memiliki wewenang melakukan penahanan.
Penahanan menurut pasal 1 angka 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Selanjutnya, Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, pada pasal 33 berbunyi:
(1) penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf b, dilakukannya oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup,
(2) penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang ditanda tangani oleh atasan penyidik atasan penyidik selaku penyidik,
(3) surat perintah penangkapan yang ditanda-tangani oeh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat 2, tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga tersangka dan atau penasihat hukum setelah tersangaka di tangkap,
(4) prosedur dan teknik penangkapan dilaksnakan dengan ketentuan perundang-undangan.
Selanjutnya Pasal 34.
(1) dalam hal tertangkap tangan, tindakan penangkapan dapat dilakukan oleh petugas dengan tanpa di lengkapi surat penangkapan atau surat perintah tugas,
(2) petugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 setelah melakukan penangkapan segera menyerahkan tersangkah dan barang bukti kepada,
(3) penyidik/penyidik pembantu kepolisian terdekat penyidik/penyidik pembantu bagaimana di maksud pada ayat (2) setelah menerima penyerahan dan berita acara penangkapan,
(4) dalam hal tertangkap tangan oleh penyidik/penyidik pembantu, penyidik/penyidik pembantu segera membuat berita acara penangkapan.
Tetapi malah sebaliknya penyidik tidak bekerja sesuai dengan prosedur hukum dalam menangani kasus tindak pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum. Hal ini terlihat ketika Polsek Nusaniwe menangani kasus kekerasan bersama terhadap orang yang dilakukan oleh para pelajar SMA Negeri 10 Ambon kepada 3 orang siswa SMA Negeri 6 Ambon yang hendak mengambil Ijazah. Ketiga korban dicegat, dimintai uang dengan kata- kata ancaman. Ketika ketiganya tidak merespon, ketiganya langsung dipukuli dan ditendang dari belakang hingga baju seragamnya robek. Ketiga korban kemudian melaporkan ke Polsek Nusaniwe. Tanpa surat penahanan, pelaku kemudian ditangkap dan dibawa ke Polsek.
Kasus lainnya adalah ketika Polsek Nusaniwe menangani kasus kekerasan bersama akibat dari pesta dan pengaruh minuman keras. Pesta yang diselenggarakan oleh salah satu warga, berakhir dengan perkelahian yang dipicu adu mulut disertai caci maki antara tamu undangan dibawah pengaruh minuman keras dengan tuan rumah. Adu mulut tersebut kemudian berlanjut ke aksi saling pukul yang pada akhirnya melibatkan warga sekitar. Berdasarkan uraian latar belakang inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisisnya lebih jauh dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul : Praktik Penanganan Perkara Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Ketertiban Umum Di Polsek Nusaniwe.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penanganan perkara tindak pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum Di Polsek Nusaniwe.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis dan menjelaskan penanganan perkara tindak pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum Di Polsek Nusaniwe.
2. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui penanganan perkara tindak pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum Di Polsek Nusaniwe.
2. Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait terlebih khusus Polsek Nusaniwe dalam menagani tindak pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum.
E. Kerangka Teori
Di Indonesia pembentuk Undang-Undang menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak menguraikan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut. Strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana.
Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.10 Simons Dalam rumusan straafbaarfeit yaitu tindakan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannnya oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 11
Lawrence Friedman mengungkapkan bahwa semua produk hukum baik dalam bentuk undang undang maupun peraturan perundang undangan pasti akan memberikan dampak terhadap kinerja aparat penegak. Hal ini bisa
10 Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bagian 1, Grafindo,Jakarta, 2002, hal. 69,
11 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Edisi Ke Dua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 hal. 5.
di pahami bahwa setiap penegakan hukum harus bersandar pada aturan hukum tertulis sebagai wujud penerapan asas legalitas. 12
Kejahatan kekerasan sebagai suatu fenomena yang ada dalam masyarakat merupakan kejahatan tradisional, yang telah ada sejak dahulu.
Hanya saja sekarang telah mengalami perkembangan, baik dari dalam hal motif, sifat, bentuk intensitas, maupun modus operandi.13 Kekerasan mempunyai ciri khas pemaksaan, sedangkan pemaksaan dapat mengambil wujud pemaksaan persuasif dan pemaksaan fisik, atau gabungan keduanya.
Kemudian pemaksaan berarti bahwa terjadi pelecehan kehendak pihak lain, yang mengalami pelecehan hak-haknya secara total, eksistensinya sebagai manusia dengan akal, rasa, kehendak, dan integritas tubuhnya tidak dipedulikan lagi.
Pengertian kekerasan atau la violencia di Columbia, the vendetta barbarincina di Sardinia, Italia, atau la vida vale nada di El Salvador yang ditempatkan dibelakang kata kejahatan sering menyesatkan khalayak. Oleh karena sering ditafsirkan seolah-olah sesuatu yang dilakukan dengan kekerasan, dengan sendirinya merupakan kejahatan.14
Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan perbuatan yang meresahkan masyarakat, merugikan korban baik psikis, biologis, dan materi,
12 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum ; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ; A Social Science Perspective), Nusa Media, Bandung, 2009, hal. 33.
13 Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 108
14 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 55
sehingga sudah selayaknya tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum diatur dalam produk perundang-undangan, dimana penerapannya harus benar- benar dilaksanakan sesuai dengan hukum materiil atau upaya penal dalam menanggulangi tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum serta penegakannya harus tegas, sehingga pada akhirnya tercapai tujuan dasar hukum yaitu memberikan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dan membantu meningkatkan perekonomian pembangunan Negara.15 Oleh karena itu dalam bab ini diuraikan pengaturan hukum tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum di dalam KUHP.
Pengaturan tentang tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dapat dilihat dalam Bab V KUHP. Adapun beberapa ketentuan tindak pidana dalam KUHP yang termasuk dalam kejahatan terhadap ketertiban umum diantaranya salah satunya Ketentuan Tindak Pidana Mengganggu Ketentraman. Tindak Pindana mengganggu ketentraman salah satunya diatur dalam Pasal 170 KUHP. Pasal 170 KUHP menyebutkan :
(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
2. dengan pidana penjara paling lambat Sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat ;
15 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Jakarta, 2000, hlm 3.
3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
(3) Pasal 89 tidak diterapkan. 16
Bagian inti delik (delicts bestanddelen) dari pasal ini adalah:17 1. Melakukan Kekerasan ;
2. Di muka umum atau terang-terangan (openlijk) ; 3. Bersama-sama ;
4. Ditujukan kepada orang atau barang.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris18. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang fokusnya pada penerapan atau implementasi ketentuan hukum normatif pada peristiwa hukum tertentu dan hasilnya.
2. Tipe Penelitian
Tipe Penelitian ini adalah deskriptif analitis19, atau dengan cara menguraikan secara rinci dan sistematis. Metode deskriptif analitis merupakan metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberi
16 Tim Yustisia, Ibid.
17 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Pustaka Tinta Mas, Jakarta, 1982, hal 72.
18 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal 136.
19 Ibid, hal. 201.
gambaran terhadap suatu obyek penelitian yang diteliti melalui sampel atau data yang telah terkumpul dan membuat kesimpulan berlaku umum.
3. Sumber Data a. Data Primer
Data primer adalah data yang bersumber dari observasi pada Kantor Kepolisoan Sektor (POLSEK) Nusaniwe.
b. Data Sekunder
Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer yang bersumber dari perundang-undangan meliputi Bab V Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian, Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dokumen hukum, bahan hukum sekunder dari buku-buku ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum lainnya yang relevan dengan masalah penelitian.
4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan observasi serta pengumpulan bahan dan data yang ada di Polsek Nusaniwe. Data yang telah dikumpulkan dari studi kepustakaan dan
observasi, kemudian dianalisis secara kualitatif guna mendapatkan keterkaitan antara norma hukum yang berlaku dengan kenyataan sesuai data riil di lapangan tentang praktik penangan tindak pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika yang digunakan dalam penulisan ini teridiri dari empat bab. Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, kerangka teori, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II adalah bab tentan tinjauan pustaka yang membahas tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penangan Perkara oleh Kepolisian, tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum.
Selanjutnya adalah Bab III tentang hasil dan pembahasan yang menguraikan tentang penanganan perkara oleh Polsek Nusaniwe dan kendala yang dihadapi oleh polsek nusaniwe dalam menangani perkara tindak pidana yang berkaitan dengan ketertiban umum. Bab IV merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.