• Tidak ada hasil yang ditemukan

JELS Vol 2 No 1 2012.pdf - Pascasarjana Universitas Brawijaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "JELS Vol 2 No 1 2012.pdf - Pascasarjana Universitas Brawijaya"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

Kajian penggunaan ciprofloxacin terhadap histologi insang dan hati ikan Botia (Botia macracanthus, Bleeker) yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Penelitian in vivo ikan Botia (Botia macracanthus, Bleeker) digunakan sebagai inang uji karena ikan ini merupakan ikan hias yang sangat melimpah [11,12] yang diperdagangkan melalui wilayah kerja Stasiun Karantina Ikan Jambi. Organ insang ikan botia yang terinfeksi A. hydrophila mengalami atrofi, kongesti, fusi lamelar, infiltrasi limfosit dan nekrosis sehingga menimbulkan vakuola pada lamela primer akibat infeksi bakteri A.

Hasil pengamatan histopatologi hati ikan Botia sehat (Gambar 2a-d) menunjukkan bahwa hepatosit (sel parenkim hati) terletak di antara sinusoid berisi darah dan saluran empedu. Hati ikan botia yang diberi perlakuan juga menunjukkan perbaikan dengan tidak adanya vakuola pada sel hati dan tidak ditemukan nekrosis. Histopatologi hati ikan botia yang diberi perlakuan menunjukkan masih terdapat sejumlah eritrosit yang mengisi vena sentral (Gambar 2k).

Gambar 1.   Diameter  daerah  hambat  ekstrak  Teripang  terhadap Vibrio harvey
Gambar 1. Diameter daerah hambat ekstrak Teripang terhadap Vibrio harvey

Isolasi dan Karakterisasi Protein 100kDa dari Membran Kepala Spermatozoa Kambing

Parameter yang diamati untuk karakterisasi protein 100 kDa dari membran sperma kambing ejakulasi meliputi berat molekul, penentuan titik isoelektrik, dan kandungan protein. Untuk mengetahui karakter biokimia protein 100 kDa dari membran utama spermatozoa kambing ejakulasi, dilakukan elektroforesis SDS PAGE untuk mengetahui berat molekulnya. Hasil Elektroforesis Gel IEF Protein 100 kDa dari membran spermatozoa kambing ejakulasi mempunyai tiga titik isoelektrik yaitu dan 5,64.

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemampuan protein membran 100 kDa dari semen kambing ejakulasi dalam menginduksi respon imun humoral.

Tabel 1.  Nilai Protein Standar Produksi Biorad
Tabel 1. Nilai Protein Standar Produksi Biorad

Diatomae Chaetoceros ceratosporum dalam Formula Pakan Meningkatkan Respon Imun Seluler Udang Windu

Pada udang windu (Penaeus monodon Fab.), penerapan imunostimulan vibrio bacterin dan glukan dari ragi dapat meningkatkan aktivitas sistem pro-fenoloksidase (pro-PO) pada udang [5]. Formulasi pakan udang windu (Penaeus monodon Fab.) menggunakan Chaetoceros Seratosporum yang diketahui komposisi kimianya dalam berbagai dosis. Total Hemosit (Total Hemosit Count/THC) Berdasarkan hasil pengamatan Total Hemosit udang windu (Penaeus monodon Fab.) setelah dipelihara selama 30 hari pada pakan percobaan sebelum dan sesudah diinfeksi V.

Jumlah hemosit udang windu (Penaeus monodon Fab.) setelah diberi pakan percobaan sebelum dan sesudah diinfeksi V. Berdasarkan hasil pengamatan Hemosit Diferensial Total (sel hialin, semigranular dan granular) pada udang windu (Penaeus monodon) Fab.) setelah pemeliharaan selama 30 hari pada pakan percobaan sebelum dan sesudah infeksi V. Total Hyalin ( H), Semi Sel granular (SG) dan granular (G) udang windu (Penaeus monodon Fab.) setelah diberi pakan percobaan sebelum dan sesudah infeksi V.

Dari persamaan tersebut diketahui bahwa jumlah C.ceratosporum pada formula pakan yang menghasilkan jumlah sel granular tertinggi sebesar 62,58% pada udang windu adalah sebesar 5,55%. Berdasarkan hasil uji aktivitas vibriosidal pada Plasma Supernatant (PS) dan Haemosit Lysate Supernatant (HLS) udang windu (Penaeus monodon Fab.) setelah dipelihara selama 30 hari dengan pakan percobaan dapat dilihat pada Tabel 5. Dari persamaan tersebut diketahui jumlah C.ceratosporum pada formula pakan yang menghasilkan aktivitas vibriosidal tertinggi sebesar 96,60% pada HLS udang windu adalah 6,51.

Konsisten dengan tingginya jumlah total hemosit pada udang windu, hal ini diikuti oleh tingginya aktivitas vibriosidal pada PS dan HLS udang windu (Tabel 5). Peningkatan jumlah hemosit pada udang windu (Penaeus monodon Fabricus) setelah direndam dalam ekstrak ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) pada konsentrasi berbeda.

Tabel 1.  Komposisi bahan pakan percobaan
Tabel 1. Komposisi bahan pakan percobaan

Regenerasi Kalus Berfilamen Rumput Laut Kappaphycus alvarezii

Pada berbagai Perbandingan Zat Pengatur Tumbuh Auksin (Indole Acetic Acid) dan Sitokinin (Kinetin, Zeatin)

Kultur jaringan rumput laut dengan teknik induksi kalus banyak digunakan untuk perbanyakan klonal dan peningkatan kualitas genetik untuk mendukung ketersediaan benih berkualitas secara berkesinambungan (2). Pemeliharaan dilakukan dalam lemari kultur pada suhu 20ᵒC dengan pencahayaan neon 1500 lux dengan fotoperiode L : D = 12 : 12 selama 60 hari atau hingga terbentuk filamen kalus. Filamen berkembang pada sel meduler rumput laut, pada bagian tengah sel meduler terjadi pigmentasi yang merupakan bagian dari filamen kalus (Gambar 1).

9] pada Turbinaria conoides filamen kalus ditemukan dalam dua bentuk: (a) filamen kalus berserat yang terbentuk di tengah potongan eksplan, (b) filamen kalus yang berbentuk seperti lepuh. Filamen kalus embriogenik berwarna coklat tua akibat pigmentasi, sedangkan filamen kalus non embriogenik berwarna pucat dan berakhir dengan kematian (Gambar 3). Hasil pengamatan pertambahan bobot kalus rumput laut selama 30 hari budidaya bervariasi dan meningkat seiring bertambahnya waktu pemeliharaan pada semua perlakuan.

Uji keanekaragaman (ANOVA) menunjukkan penambahan zat pengatur tumbuh tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup (P>0,05) filamen kalus. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin dapat merangsang proses regenerasi filamen kalus rumput laut K.alvarezii. Seluruh formula zat pengatur tumbuh dalam penelitian ini kombinasi auksin dan sitokinin memberikan efek regeneratif dan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut.

Kombinasi auksin dan sitokinin dapat merangsang regenerasi filamen rumput laut menjadi tunas pada media cair dan berperan dalam regulasi pertumbuhan dan morfogenesis [4, 5, 15]. Perbandingan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin yang tepat dapat meningkatkan morfogenesis filamen kalus rumput laut K-.

Gambar 1. Perkembangan kalus selama 60 hari  pemeliharaan
Gambar 1. Perkembangan kalus selama 60 hari pemeliharaan

Histologi Organ Hepatopankreas Kepiting Bakau (Scylla serata) pada Konsentrasi Sublethal Fenol sebagai Peringatan Dini (Early warning)

Toksisitas Fenol di Estuaria

Histologi organ hepatopankreas kepiting bakau (Scylla serrata) pada konsentrasi fenol subletal sebagai peringatan dini. Aklimatisasi Sebelum dilakukan uji toksisitas, kepiting (S. serrata) terlebih dahulu diaklimatisasi pada kondisi laboratorium selama 6-8 hari. Setelah aklimatisasi dengan kondisi laboratorium, dilakukan uji toksisitas untuk mengetahui median konsentrasi (LC50) fenol pada kepiting laut (S. serrata).

Perhitungan menggunakan analisis probit menunjukkan nilai LC50 (96 jam) fenol untuk kepiting bakau (S. serrata) adalah 26 mg.L-1. Data perhitungan penentuan konsentrasi LC50 (96 jam) fenol pada kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan analisis probit disajikan pada Tabel 1. Nilai LC50 (96 jam) diperoleh dengan menggunakan nilai probit 5.00 (%50 ). % mortalitas) sebagai variabel Y pada persamaan regresi, sehingga diperoleh median konsentrasi letal 50% (LC50) selama 96 jam fenol terhadap kepiting bakau (S. serrata) sebesar 26 mg.L-1.

Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop cahaya, struktur umum kepiting bakau (S. terkena konsentrasi fenol subletal yang berbeda selama tujuh hari dibandingkan kontrol (tanpa perlakuan). Perubahan histologis yang diamati pada organ hepatopankreas kepiting bakau (S. serrata ) adalah membran hepatopankreas tampak berkerut dan lebih banyak vakuola yang terbentuk.

Dalam penelitian ini, efek paparan berbagai perlakuan dengan konsentrasi fenol sublethal diamati melalui teknik histologis untuk mengetahui perubahan jaringan hepatopankreatik kepiting bakau (S. serrata). Perubahan histopatologi memberikan evaluasi tingkat stres, sensitivitas dan kemampuan beradaptasi organisme terhadap stres, seperti yang terjadi pada organ hepatopankreas kepiting bakau (S. serrata).

Tabel 1.  Perhitungan  penentuan  konsentrasi  LC 50   (96  jam)  fenol  terhadap  kepiting  bakau  (S
Tabel 1. Perhitungan penentuan konsentrasi LC 50 (96 jam) fenol terhadap kepiting bakau (S

Penampilan Kandungan Protein Dan Kadar Lemak Susu Pada Sapi Perah Mastitis Friesian Holstein

Faktor penghambat produksi susu pada peternakan sapi perah adalah terjadinya kasus penyakit pada hewan ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja kandungan protein dan lemak susu pada sapi perah yang terinfeksi mastitis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan khususnya sebagai informasi bagi para peternak sapi perah mengenai kinerja kandungan protein dan kandungan lemak susu pada sapi perah yang terinfeksi mastitis.

Penelitian lapangan dilakukan di Proyek Peternakan Sapi Perah FH GKSI Jawa Timur, Desa Sawiran, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Sampel susu yang diambil dari masing-masing sapi perah dimasukkan ke dalam botol sampel kemudian dibawa ke laboratorium untuk diuji kualitas susunya, salah satunya adalah menguji kandungan protein dan kandungan lemak pada susu tersebut. Hasil uji mastitis dengan metode CMT pada susu sapi perah menunjukkan bahwa terdapat 25 ekor sapi perah yang terkena mastitis, lihat tabel 2.

Rata-rata kandungan protein susu dari sapi perah yang diambil sampelnya pada nilai rata-rata mastitis yang berbeda didasarkan pada. Susu yang diperoleh dari sapi perah yang terkena mastitis akan mengalami penurunan kadar protein susu. Nilai R² = 53% artinya penurunan kadar protein susu pada sapi perah di peternakan dipengaruhi oleh terjadinya mastitis sebesar 53.

Rata-rata kandungan lemak susu pada sapi perah pada berbagai tingkat mastitis. TIDAK. Rata-rata. Nilai R² = 33% artinya penurunan kadar lemak susu sapi perah pada peternakan di wilayah kerja Proyek Sapi Perah GKSI Jawa Timur dipengaruhi oleh kejadian mastitis sebesar 33.

Tabel 1. Interpretasi berdasarkan CMT
Tabel 1. Interpretasi berdasarkan CMT

Analisis Titer Antibodi Bovine Zona Pellusida 3 (Anti-bZP3) Hasil Induksi Bovine Zona Pellusida 3 (bZP3) pada Kera (Macaca fascicularis)

Anti bZP3 yang dihasilkan dikarakterisasi berdasarkan nilai titer antibodi menggunakan teknik ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbant Assay) dengan metode ELISA tidak langsung. Imunisasi Bovine Zona Pellicida 3 pada Monyet Anti-bZP3 diperoleh dengan imunisasi bZP3 pada kelompok kera. Warna ungu pada hasil pengujian menunjukkan antigen bZP3 dapat dikenali oleh anti-bZP3.

Kontrol tidak menghasilkan warna ungu karena serum hewan kontrol tidak mengandung anti bZP3. Intensitas warna ungu hasil western blotting pada Gambar 3 menunjukkan hasil pewarnaan anti bZP3 pada minggu ketiga sampai kelima setelah imunisasi pertama, terjadi peningkatan intensitas warna ungu namun melemah pada minggu keenam. minggu setelahnya. imunisasi pertama. Uji keberadaan dan spesifisitas bZP3 terhadap anti-bZP3 dari serum monyet menggunakan metode western blotting setelah imunisasi pertama.

Hasil pengukuran titer anti-bZP3 yang dipanen pada minggu-minggu setelah booster kedua menunjukkan titer yang lebih tinggi. Hasil pengukuran absorbansi ELISA dengan pengenceran anti-bZP dan 1/400 menunjukkan bahwa pola profil titer anti-bZP3 dari serum monyet sebanding dengan jumlah pengenceran. Berbagai pengenceran yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat sensitivitas saat mengukur titer anti-bZP3 menggunakan metode ELISA.

Penentuan absorbansi anti bZP3 dari serum monyet menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan λ 260 nm dan 270 nm. Rerata titer pada minggu ke 5 sebesar 0,15 dan pada minggu ke 9 reratanya sebesar 0,17 dengan menggunakan metode ELISA pada retail anti bZP3 1/100.

Gambar 1.  Elektroforegram  dari  serum  kera  pasca  imunisasi 1. Keterangan:  : anti-bZP3
Gambar 1. Elektroforegram dari serum kera pasca imunisasi 1. Keterangan:  : anti-bZP3

Title Typed in Bold, Capitalize each First Letter of Each Word, Except Conjunctive, Scientific name should not be Abbreviated

Calibri 14 Bold Center, should not exceed 12 words, except conjuctive)

Title Typed in bold, Capitalize every first letter of every word, except Conjunctive, Scientific name must not be abbreviated. Combination Halftone, combines figure and text (image containing text) and colored graphics or in grayscale format. Black and white figures should be in grayscale mode, while colored figures should be in RGB mode.

If the figures come from the third party, they must take over the copyrights of the sources. References typed into numbering list (format number 1,2,3,…), arranged sequentially as they appear in the text (Vancouver system or author number style). In the manuscript, only the reference number is typed (not the author and year), for example: Obesity is an accumulation of fat in large amounts that would cause excessive body weight (overweight) [1].

The conclusions of the study's findings are written in a short, concise and solid manner, without additional new interpretations. This section can also be written about the novelty of the research, advantages and disadvantages of the research, and recommendations for future research. (Calibri 10 Justify). This section describes the acknowledgment to those who have helped in kind as well as financially.

Importance of CD80/CD86-CD28 interaction in the recognition of target cells by CD8+CD122+ regulatory T cells.

Table  should  be  submitted  within  the  manuscript  and  in  separated  file  of  Microsoft  Excel (xls.)
Table should be submitted within the manuscript and in separated file of Microsoft Excel (xls.)

Referensi

Dokumen terkait