• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Edukasi Saintifik

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Jurnal Edukasi Saintifik"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 2 Nomor 2, 2022, Hal. 125-141

Pengaruh Konseling Assertive Training terhadap Kebiasaan Membolos Siswa UPTD SMP Negeri 17 Barru

The Effect of Assertive Training Counseling on Student's Habits of Titting UPTD SMP Negeri 17 Barru

M. Fachrul Reza Yusran, Harfinah Faramitha STKIP Muhammadiyah Barru

Abstrak

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh Konseling Assertive Training terhadap Kebiasaan Membolos Siswa UPTD SMP Negeri 17 Barru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh Konseling Asertive Training Terhadap Kebiasaan Membolos Siswa UPTD SMP Negeri 17 Barru. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa UPTD SMP Negeri 17 Barru yang berjumlah 137 orang siswa. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 15 orang siswa. Sedangkan Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, angket dan dokumentasi. Hasil penelitian mengenai pengaruh konseling kelompok pendekatan assertive training untuk mengurangi kecenderungan kebiasaan bolos siswa di UPTD SMPN 17 Barru, disimpulkan bahwa gambaran penerapan konseling kelompok pendekatan assertive training dilaksanakan di dalam ruangan kelas selama delapan kali pertemuan dua pertemuan yaitu ada perbedaan yang signifikan antara penerapan konseling kelompok pendekatan assertive training dengan siswa yang diberikan layanan BK oleh konselor sekolah lainnya untuk mencegah kebiasaan membolos pada siswa UPTD SMPN 17 Barru, artinya semakin diberi konseling kelompok pendekatan assertive training, maka akan diikuti dengan berkurangnya kecenderungan membolos siswa.

Kata Kunci: asertive training, kebiasaan membolos, konseling kelompok

Abstract

The problem discussed in this study is how the influence of Assertive Training Counseling on the Habit of Ditching Students of UPTD SMP Negeri 17 Barru. This study aims to determine how the influence of Asertive Training Counseling on the Habit of Ditching Students of UPTD SMP Negeri 17 Barru. The population in this study were all students of UPTD SMP Negeri 17 Barru totaling 137 students. The sampling technique was carried out by purposive sampling. The sample in this study amounted to 15 students. While the data collection techniques used are observation, questionnaires and documentation. The results of the study on the effect of group counseling on the assertive training approach to reduce the tendency of students to skip class at UPTD SMPN 17 Barru, it was concluded that the description of the application of group counseling with the assertive training approach was carried out in the classroom for eight meetings and two meetings, namely there was a significant difference between the application of group counseling assertive training approach with students who are given counseling services by other school counselors to prevent the habit of truancy in UPTD SMPN 17 Barru students, meaning that the more group counseling is given to the assertive training approach, it will be followed by a reduced tendency to truant students Keywords: asertive training, habits of titting, group counseling

(2)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 126 Pendahuluan

Kata “bolos” sangat popular di kalangan pelajar atau siswa, baik di sekolah dasar atau di tingkat menengah. Dari beberapa survei, jumlah siswa yang membolos pada jam efektif sekolahhanya sedikit dibandingkan dari jumlah siswa yang tidak membolos, terlepas sekecil apapun dari jumlah tersebut harus menjadi perhatian bagi institusi yang bernama sekolah, karena apabila tidak disikapi, maka tidak tertutup kemungkinan yang kecil akan menjadi besar dan menjelma menjadi bola salju liar yang akan terus menggelinding hingga jumlah siswa yang membolos sekolah akan terus meningkat.

Banyak siswa yang pada akhirnya membolos sekolah. Dalam sebuah artikel pendidikan data hasil survei yang dilakukan pada bulan Juni 2002 di Surabaya menunjukkan bahwa 59,6% siswa pernah membolos, sisanya 40,6% menyatakan tidak pernah membolos.

Pernyataan parasiswa juga memperteguh temuan tersebut dengan prosentase data yang sedikit berbeda, yakni siswa yang membolos sekolah sebesar 53,6% dan sisanya 46,4% menyatakan tidak pernah membolos. Alasan-alasan di balik perilaku membolos ini cukup beragam seperti karena malas, ada keperluan, gurunya tidak enak mengajar, jam pelajaran kosong, mencari perhatian dan lain-lain. Ketika membolos para siswa biasanya keluyuran di tempat-tempat hiburan dan pusat pembelanjaan.

Membolos merupakan salah satu perilaku siswa di sekolah yang dapat menimbulkan masalah. Dari kebiasaan membolos seorang siswa dapat memperoleh pengaruh yang kurang baik misalnya menjadi pemabuk, pencuri, penipu atau juga penjudi. Hal ini dapat terjadi karena remaja yang membolos dari sekolah memmpunyai kemungkinan lebih besar untukmendapat pengaruh buruk dari lingkungannya dibanding siswa yang tekun belajar di sekolah. Setiap orang tua ingin agar anaknya berhasil baik dalam belajar di sekolah. Hasil yang baik tidak hanya dilihat dari nilai rapor atau nilai ujian akhir akan tetapi juga dilihat dari perilaku tidak membolos baik terhadap guru, teman sebaya maupun terhadap kegiatan sekolah secara keseluruhan. Itu berarti pula bahwasiswa yang bersangkutan harus setia mengikuti pelajaran setiap hari di sekolah mulai dari jam pelajaran pertama sampai jam pelajaran terakhir. Membolos dapat dibedakan dari fobia sekolah karena pada kasus yang belakangan orang tua tahu dimana anak berada, tetapi dalam hal bolos baik orang tua maupun guru tidak tahu di mana anak berada (Peacock, 2001).

Membolos adalah pergi meninggalkan sekolah tanpa pengetahuan pihak sekolah.

Membolos sering terjadi tidak hanya saat tingin berangkat sekolah, namun saat jam pelajaran ketika dimulai pun terkadang ada siswa yang memanfaatkan waktu untuk membolos (Gunarsa, 1996). Di mana dalam kehidupan ini bagi anak mengenal membolos, sebagai salah satu jenis kenakalan, yaitu adanya ketidak mampuan seseorang atau individu untuk menghadapi realita atau kenyataan di sekolah, kemudian siswa lari dari situasi tersebut. Siswa yang membolos dari sekolah biasanya mempunyai tujuan tertentu yang berkaitan dengan proses belajar mengajar yang ada di sekolah yaitu menghindari tugas-tugas yang diberikan guru yang dirasa tidak menyenangkan; dari pada mendapat hukuman lebih baik menghindar dengan cara membolos. Selain itu ada juga yang membolos karena terpengaruh dari teman yang memang senang membolos. Siswa membolos dengan memberikan alasan-alasan yang tidak dapat diterima oleh Guru atau staf Bimbingan dan Konseling (BK). Apapun alasannya, sebetulnya membolos akan merugikan diri siswa yang bersangkutan terutama dalam

(3)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 127 kaitannya dengan belajar dan prestasi belajar siswa dan hal ini juga merupakan pelanggaran tata tertib.

Betapa seriusnya perilaku membolos ini perlu mendapat perhatian penuh dari berbagai pihak. Terutama dalam lingkup pendidikan (sekolah) yang merupakan media/tempat pendidikan formal bagi anak.Perilaku membolos sangat merugikan dan bahkan bisa saja menjadi sumber masalah baru. Apabila hal ini terus menerus dibiarkan berlalu, maka yang bertanggung jawab atas semua ini bukan saja dari siswa itu sendiri melainkan dari pihak sekolah ataupun guru yang menjadi orang tua di sekolah juga akan ikut menangungnya.

Olehnya konselor sebagai pihak yang salah satu tugas yang menjadi tanggung jawab layanan bimbingan konseling adalah memajukan, merangsang, dan membimbing proses peru bahan tingkah laku siswa di sekolah. Upaya yang diberikan oleh konselor di sekolah adalah dengan menggunakan Teknik konseling kelompok realitas. Berdasarkan latar pemikiran terdahulu, maka masalah yang ingin diangkat sebagai titik kajian dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaruh konseling assertive training terhadap kebiasaan membolos siswa UPTD SMPN 17 Barru?.

Tinjauan Pustaka Pengertian Konseling

Konseling merupakan salah satu bidang layanan yang diterapkan dalam proses konseling di sekolah. Konseling dapat menjadi sarana membantu seseorang keluar dari masalah yang dihadapinya melalui proses dan dinamika kelompok. Proses interaksi yang terjadi dalam kelompok merupakan suatu dinamika yang dapat mengantar pada pencapaian tujuan dan kepentingan yang sama. Ada kebiasaan orang berkumpul dalam suatu kelompok karena mempunyai tujuan dan kepentingan yang sama (Al-Obaydi, Doncheva, & Nashruddin, 2021; Nashruddin, Alam, & Harun, 2020).

Sebagai upaya untuk lebih memahami lebih mendalam mengenai konsep Konseling, perlu dikemukakan beberapa pandangan ahli mengenai Konseling. Latipun (2005: 149) mengartikan konseling sebagai kelompok terapeutik yang dilaksanakan untuk membantu klien mengatasi masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pengertian ini menekankan makna konseling pada upaya mengatasi permasalahan melalui interaksi kelompok.

Nurihsan (2006) mengartikan konseling sebagai suatu bantuan kepada individu dalam situasi kelompok yang bersifat mencegah dan penyembuhan, serta diarahkan pada pemberian kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Konsep pencegahan dalam batasan ini dimaknai bahwa seseorang yang dibantu melalui proses konseling tetap memiliki kemampuan yang normal atau berfungsi secara wajar dalam masyarakat, tetapi memiliki kelemahan sehingga mengganggu proses kehidupan. Sedang makna penyembuhan dalam batasan ini adalah membantu individu untuk dapat keluar dari permasalahan yang dihadapinya dengan cara memberikan dorongan serta mengarahkan ke perubahan sikap yang sesuai dengan lingkungannya.

Konseling merupakan suatu proses interpersonal yang dinamis yang memusatkan pada usaha dalam berfikir dan tingkah tingkah laku, serta melibatkan pada fungsi-fungsi terapi yang dimungkinkan, serta berorientasi pada kenyataan-kenyataan, membersihkan jiwa, saling percaya mempercayai, pemeliharaan, pengertian, penerimaan dan bantuan (Abimanyu, 1983;

(4)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 128 Alberti & Emmons, 2002; Andriezens, 2008). Fungsi-fungsi dari terapi itu diciptakan dan dipelihara dalam wadah kelompok kecil melalui sumbanagn perorangan dalam anggota kelompok sebaya dan konselor. Konseli-konseli dalam anggota kelompok-kelompok adalah individu normal yang mempunyai berbagai masalah yang tidak memerlukan penanganan perubahan kepribadian lebih lanjut. Konseling menggunakan interaksi kelompok untuk meningkatkan pengertian dan penerimaan terhadap nilainilai dan tujuan-tujuan tertentu dan untuk mempelajari atau menghilangkan sikap-sikap serta perilaku tertentu.

Konseling lebih pada pertemuan konseli dengan konselor yang terdiri dari 4 – 8 orang klien dengan 1 – 2 orang konselor (Corey, 2007; Dariyo, 2007). Bertitik tolak dari beberapa batasan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa layanan Konseling pada hakekatnya adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan perilaku yang disadari, dibina dalam suatu kelompok kecil mengungkapkan diri kepada sesama anggota dan konselor, di mana komunikasi antar pribadi tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk belajar perilaku tertentu ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.

Konseling bersifat memberikan kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam arti bahwa konseling memberikan dorongan dan motivasi kepada individu untuk membuat perubahan-perubahan dengan memanfaatkan potensi secara maksimal sehingga dapat mewujudkan diri. Masing-masing konseli semakin menyadari bahwa hal-hal yang mempriatinkan bagi dirinya kerap juga mnimbulkan rasa prihatin dalam hati orang lain.

Dengan demikian, dia tidak akan merasa terisolir lagi, seolah-olah hanya dialah yang mengalami ini dan itu (Azhari, 1996).

Sementara itu Sukardi (2005) mengatakan bahwa tujuan dalam konseling terdiri atas dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

a. Tujuan Umum

Secara umum konseling bertujuan untuk membantu murid-murid yang mengalami masalah melalui prosedur kelompok. Suasana yang berkembang dalam bimbingan kelompok itu dapat merupakan wahana di mana masing-masing murid dapat memanfaatkan informasi, tanggapan dan berbagai reaksi teman-temannya untuk kepentingan pemecahan masalah- masalah yang dihadapinya.

Di samping untuk kepentingan pemecahan masalah, konseling juga bertujuan untuk mengembangkan pribadi masing-masing anggota kelompok. Pengembangan pribadi itu akan diperoleh anggota kelompok melalui berbagai suasana yang muncul dalam kegiatan itu, baik suasana yang menyenangkan ataupun suasana yang tidak menyenangkan (Garke & Lyyn, 1985; Nurihsan, 2006; Osipow, 1984).

b. Tujuan Khusus

Secara khusus konseling bertujuan:

1) Melatih murid-murid untuk berani mengemukakan pendapat dihadapan teman-temannya, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk ruang lingkup yang lebih besar seperti berbicara di hadapan orang banyak, di forum-forum resmi dan sebagainya.

2) Melatih murid-murid untuk dapat bersikap terbuka di dalam kelompok.

3) Melatih murid-murid untuk dapat mengendalikan diri dalam kegiatan kelompok.

4) Melatih murid-murid untuk dapat bertenggang rasa dengan orang lain.

(5)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 129 5) Melatih murid-murid untuk memperoleh keterampilan sosial.

6) Membantu murid-murid mengenali dan memahami dirinya dalam berhubungan dengan orang lain.

Dengan memperhatikan tujuan khusus di atas, dapat dikemukakan bahwa setelah murid- murid selesai mengikuti kegitan kelompok, diharapkan pada murid-murid akan berkembang sikap dan keterampilan seperti berikut:

a. Sikap adalah tidak mau menang sendiri, tidak bermaksud menyenangkan orang lain, tidak gegabah dalam berbicara, ingin membantu orang lain, lebih melihat aspek positif dalam menanggapi pendapat teman-temannya, sopan, bertenggang rasa, menahan dan mengendalikan diri, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan pendapat sendiri, dan mendengar pendapat orang lain walaupun dalam jangka waktu sama.

b. Keterampilan adalah mengemukakan pendapat kepada orang lain, menerima pendapat orang lain, dan memberikan tanggapan terhadap pendapat orang lain secara tepat dan positif

Dinamika Kelompok

Konseling merupakan salah satu layanan dalam bimbingan dan konseling di sekolah.

Layanan konseling merupakan upaya bantuan untuk dapat memecahkan masalah siswa dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Dinamika kelompok adalah suasana yang kelompok yang hidup, yang ditandai oleh semangat bekerjasama antar anggota kelompok untuk mencapai tujuan kelompok. Dalam suasana seperti ini seluruh anggota kelompok menampilkan dan membuka diri serta memberikan sumbangan bagi suksesnya kegiatan kelompok.

Prayitno (2005) mengemukakan secara khusus, dinamika kelompok dapat dimanfaatkan untuk pemecahan masalah pribadi para anggota kelompok, yaitu apabila interaksi dalam kelompok itu difokuskan pada pemecahan masalah pribadi yang dimaksudkan. Dalam suasana seperti ini melalui dinamika kelompok yang berkembang masing-masing anggota kelompok akan menyumbang baik langsung maupun tidak langsung dalam pemecahan masalah pribadi tersebut.

Kehidupan kelompok yang dijiwai oleh dinamika kelompok akan menentukan arah dan gerak pencapaian tujuan kelompok. Konseling memanfaatkan dinamika kelompok sebagai media untuk membimbing anggota kelompok dalam mencapai tujuan. Media dinamika kelompok ini adalah unik dan hanya dapat ditemukan dalam suatu kelompok yang benar- benar hidup. Kelompok yang hidup adalah kelompok yang dinamis, bergerak dan aktif berfungsi untuk memenuhi suatu kebutuhan dan mencapai suatu tujuan.

Dalam konseling, dengan memanfaatkan dinamika kelompok para anggota kelompok dapat mengembangkan diri dan memperoleh keuntungan-keuntungan lainnya. Arah pengembangan diri yang dimaksud terutama adalah dikembangkannya kemampuan- kemampuan sosial secara umum yang selayaknya dikuasai oleh individu-individu yang berkepribadian mantap. Keterampilan berkomunikasi secara efektif, sikap tenggang rasa, memberi dan menerima, toleran, mementingkan musyawarah untuk mencapai mufakat seiring dengan sikap demokratis, memiliki rasa tanggung jawab sosial seiring dengan kemandirian yang kuat merupakan arah pengembang pribadi yang dapat dijangkau melalui diaktifkannya dinamika kelompok itu (Fensterheim & Baer, 1980; Nashruddin, 2019).

(6)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 130 Dinamika kelompok akan terwujud dengan baik apabila kelompok tersebut benar-benar hidup, mengarah pada tujuan yang ingin dicapai dan membuahkan manfaat bagi masing- masing anggota kelompok serta sangat ditentukan oleh peranan anggota kelompok. Menurut Prayitno (2005) peranan anggota kelompok yang hendaknya dimainkan oleh anggota kelompok agar dinamika kelompok benar-benar dapat diwujudkan seperti yang diharapkan, adalah sebagai berikut:

a. Membantu terbinanya suasana keakraban dalam hubungan antar anggota kelompok.

b. Mencurahkan segenap perasaan dalam melibatkan diri dalam kegiatan kelompok.

c. Berusaha agar yang dilakukannya itu membantu tercapainya tujuan bersama.

d. Membantu tersusunnya aturan kelompok dan berusaha mematuhinga dengan baik.

e. Benar-benar berusaha untuk secara efektif ikut serta dalam seluruh kegiatan kelompok.

f. Mampu mengkomunikasikan secara terbuka.

g. Berusaha membantu anggota lain.

h. Memberikan kesempatan kepada anggota lain untuk juga menjalani perannya.

i. Menyadari pentingnya kegiatan kelompok tersebut.

Konseling memberikan kesempatan kepada anggota kelompok berinteraksi antar pribadi yang khas, yang tidak mungkin terjadi pada layanan konseling individual. Interaksi sosial yang intensif dan dinamis selama pelaksanaan layanan, diharapkan tujuantujuan layanan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan individu anggota kelompok dapat tercapai secara mantap.

Pada kegiatan konseling setiap individu mendapatkan kesempatan untuk menggali tiap masalah yang dialami anggota. Kelompok dapat juga dipakai untuk belajar mengekspresikan perasaan, menunjukan perhatian terhadap orang lain, dan berbagi pengalaman (Horton, 1987).

Pendekatan interaksional merupakan pendekatan yang digunakan dalam layanan konseling.

Pendekatan ini menitikberatkan pada interaksi antar anggota, anggota dengan pemimipin kelompok dan sebaliknya. Interaksi ini selain berusaha bersama untuk dapat memecahkan masalah juga anggota kelompok dapat belajar untuk mendengarkan secara aktif, melakukan konfrontasi dengan tepat, memperlihatkan perhatian dengan sungguh-sungguh terhadap anggota lain.

Kesempatan memberi dan menerima dalam kelompok akan menimbulkan rasa saling menolong, menerima, dan berempathi dengan tulus. Keadaan ini membutuhkan suasana yang positif antar anggota, sehingga mereka akan merasa diterima, dimengerti, dan menambah rasa positif dalam diri mereka.

Assertive Training

Kata assertive atau asertivitas berasal dari bahasa inggris to assert”. Sedangkan menurut kamus Webster Third International (Fensterheim & Baer, 1980) to assert berarti menyatakan atau bersikap positif yakni berterus terang atau tegas. Asertif adalah suatu tingkah laku individu yang penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dari setiap usaha untuk membela hak-haknya serta adanya keadaan efektif yang mendukung, yang meliputi: (1) mengetahui hak-hak pribadi, (2) berbuat sesuatu untuk mendapatkan hak tersebut, dan melakukan hal tersebut sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi (Alberti

& Emmons, 2002). Seseorang yang asertif, mereka mampu mengenal dirinya sendiri dengan

(7)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 131 baik, sehingga ia mampu menentukan pilihan, keinginan dan tujuan hidupnya tanpa harus dipengaruhi oleh orang lain (Aryani, 2004; Bloom, 1976).

Asertif merupakan suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan difikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Dalam bersikap asertif, seseorang dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan pendapat dan kebutuhan secara proporsional ataupun merugikan pihak lainnya.

Menurut Poerwadarminta (2000) siswa adalah mahluk individu dan makhluk psiko- sosial yang dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan sekaligus mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam proses berinteraksi dengan lingkungan sosial sekitarnya dalam usaha untuk mengembangkan penyesuaian sosial tersebut, siswa perlu menguasai keterampilan hidup (life skills) tertentu.

Salah satu diantaranya adalah keterampilan dalam berkomunikasi misalnya dalam komunikasi antar personal yaitu komunikasi yang berlangsung antara satu orang dengan orang lain, baik dalam bentuk komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal.

Sering sekali terjadi dalam hubungan interpersonal, tak banyak berjalan secara efektif karena kurang mampunya mengekspresikan pikiran, perasaan dan keinginan serta berkata jujur, apa adanya, dan berkata ”tidak” tentang sesuatu hal yang bertentangan atau kurang sependapat dengan hal tersebut. Oleh karena itu, wajarlah ketika hubungan yang berkembang sering diwarnai dengan konflik dan ketegangan, maka dalam konteks ini, menjadi pribadi asertif merupakan hal terpenting untuk mengadakan hubungan yang efektif (Corey, 2007).

Menurut Poerwadarminta (2000), ketegasan pada hakikatnya berasal dari kata ”tegas”

yang berarti ”nyata”, jelas dan terang benar, dan ketegasan mengandung kejelasan, kepastian, keterangan yang jelas (pasti), sedangkan latihan mengandung arti ”pelajaran untuk membiasakan atau memperoleh suatu kecakapan”. Menurut Willis (2012), assertive training merupakan teknik dalam konseling behavioral yang menitikberatkan pada kasus yang mengalami kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya. Weaver (Aryani, 2004) mengartikan keterampilan asertif sebagai kemampuan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan dengan yakin dan mampu.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa assertive training adalah latihan ketegasan yang merupakan kegiatan yang dilakukan guna membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya adalah mempraktekkan melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul, yang baru diperoleh sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketidakmampuannya dan belajar bagaimana mengungkapkan perasaan - perasaan dan pikiran-pikiran yang lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.

Landasan Psikologis Assertive Training

Berbicara tentang landasan berarti kita mengurai dari mana dan untuk apa kita melakukan sesuatu. Assertive training adalah prosedur latihan yang diberikan kepada klien untuk melatih perilaku sosial melalui ekspresi diri, perasaan, sikap, harapan, pendapat dan haknya (Alberti & Emmons, 2002; Gunarsa, 1996). Selanjutnya Osipow (1984), mengemukakan bahwa assertive training adalah suatu teknik yang memungkinkan seseorang

(8)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 132 belajar untuk menyatakan tingkah laku yang efektif dan pantas yang sebelumnya malu-malu, karena kegelisahan atau kesalahan dalam mempelajari sesuatu.

Selain itu, Wolpe (Aryani, 2004) menyatakan bahwa pernyataan dari jawaban tegas yang masuk akal bisa menghalangi atau mengurangi rasa kegelisahan karena jawaban yang tegas biasanya bertentangan dengan jawaban kegelisahan prinsip dari menahan diri dari yang bertentangan. Hal senada juga diungkap oleh Burley (1983), bahwa assertive training biasa juga disebut dengan keterampilan sosial yang dimaksud untuk membantu individu bertindak tegas.

Dari beberapa pendapat di atas, maka assertive training merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian sosial atau terhadap orang lain agar dapat bertindak tegas. Bertindak tegas yang dimaksud adalah diantaranya dapat berperilaku jujur, sopan dan dapat mengatakan tidak jika hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya, tidak mudah menerima dan menolak pendapat dari orang lain.

Ciri-ciri perilaku Assertive

Setelah menguraikan pengertian serta landasan dari assertive training, maka berikut ini akan di paparkan mengenai ciri-ciri dari perilaku assertive itu sendiri. Adapun yang menjadi ciri perilaku assertive menurut para ahli yaitu:

Menurut Burley (1983), orang assertive adalah seseorang yang:

a. harga diri dan kepercayaan dirinya positif, b. dapat mengekspresikan emosi dan perasaan, c. tahu bagaimana mendengarkan,

d. berani mengambil resiko, e. tahu bagaimana berkata”tidak”,

f. tahu bagaimana memberi umpan balik yang membangun, g. mampu menangani kritik,

h. dapat mengungkapkan dan menerima umpan balik positif, dan i. tahu apa yang diinginkan.

Sedangkan menurut Christoff & Kelly (Gunarsa, 1996), orang yang memiliki keterampilan asertif memiliki ciri-ciri yaitu:

a. dapat melakukan penolakan b. dapat melakukan pujian c. dapat melakukan permintaan.

Dalam berperilaku asertif, seseorang dituntut untuk jujur pula dalam mengekspresikan perasaan, pendapat, dan kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan, atau merugikan orang lain (Alberti & Emmons, 2002).

Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri perilaku asertif adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain tanpa ada rasa malu dan ragu-ragu, namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak dan perasaan orang lain yang ditunjukkan dalam kemampuannya menyesuaikan diri dalam lingkungannya, mampu memposisikan diri pada situasi kapanpun dan di manapun.

(9)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 133 Orang yang memiliki keterampilan asertif akan lebih mudah dalam bergaul dibandingkan dengan orang yang pasif karena perilakunya ditandai dengan perilaku yang menyatakan hak-hak dirinnya tanpa mengorbankan hak-hak orang lain, respek atau menghargai dirinya sendiri dan orang lain, tidak mengalami hambatan atau mengekspresikan dirnya serta menciptakan iklim/suasana komunikasi dengan penuh kejujuran dan keterbukaan serta orang yang memiliki keterampilan asertif adalah orang yang penuh pesan dalam komunikasi interpersonal, merasa percaya diri dan mampu tanpa rasa permusuhan, spontan dalam mengungkapkn perasaannya dan pada umumnya dipuji oleh orang lain dengan hangat.

Kebiasaan Membolos Sekolah

Kebiasaan adalah hal yang biasa dikerjakan atau pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu yang dilakukannya secara berulang untuk hal yang sama (Poerwadarminta, 1984). Membolos sekolah adalah pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Hal senada dikemukakan oleh Gunarsa (1996) bahwa perilaku membolos adalah pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, kebiasaan membolos adalah keadaan dimana siswamelakukan suatu perbuatan dalam bentuk meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Kebiasaan tersebut dipengaruhi pada faktor internal dan eksternal siswa sehingga tidak datang ke sekolah untuk mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya pada jam yang telah ditetapkan dan tanpa izin, atau dapat diartikan sebagai perbuatan mangkir atau melarikan diri dari aktivitas sekolah secara berulang-ulang.

Menurut Prayitno (2005) ada beberapa gejala siswa membolos antara lain yaitu:

a. Berhari-hari tidak masuk sekolah b. Tidak masuk sekolah tanpa izin

c. Sering keluar pada jam pelajaran tertentu d. Tidak masuk kembali setelah minta izin e. Masuk sekolah berganti hari

f. Mengajak teman-teman untuk keluar pada mata pelajaran yang tidak disenangi g. Minta izin keluar dengan berpura-pura sakit atau alasan lainnya

h. Mengirimkan surat izin tidak masuk dengan alsan yang dibuat-buat i. Tidak masuk kelas lagi setelah jam istirahat

Berbagai gejala tersebut merupakan gejala yang secara umum ditunjukkan oleh sebagian besar siswa yang memilki kebiasaan membolos sekolah. Akan tetapi dalam hal ini antara siswa yang satu dengan yang lain menunjukkan gejala yang berbeda atau tidak sama dalam perilaku membolosnya.

Faktor Penyebab Bolos Sekolah

Meninggalkan sekolah atau tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar tanpa sepengetahuan pihak sekolah, merupakan suatu gejala perilaku yang dinampakkan oleh siswa sebagai bentuk pelanggaran tata aturan. Gejala ini disebabkan oleh berbagai faktor. Prayitno (2005) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan siswa membolos diantaranya adalah:

(10)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 134 a. Tidak senang dengan sikap dan perilaku guru

b. Merasa kurang mendapatkan perhatian dari guru c. Merasa dibeda-bedakan oleh guru

d. Merasa dipojokkan oleh guru

e. Proses belajar mengajar membosankan f. Merasa gagal dalam belajar

g. Kurang berminat terhadap pelajaran

h. Terpengaruh oleh teman yang suka membolos i. Takut masuk karena tidak membuat tugas

j. Tidak membayar kewajiban (SPP) tepat pada waktunya

Tidak senang dengan sikap dan perilaku guru. Guru adalah kunci utama dari proses pembelajaran di kelas. Sikap dan perilaku guru berpengaruh besar terhadap perilaku siswa.

Slameto (2000) mengemukakan bahwa salah satu faktor penyebab yang mempengaruhi belajar adalah sekolah. Di antara faktor sekolah yang berpengaruh adalah metode mengajar, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah

Slameto (2013) mengemukakan bahwa proses belajar mengajar terjadi antara guru dengan siswa. Proses tersebut juga dipengaruhi oleh relasi yang ada dalam proses itu sendiri.

Jadi cara belajar siswa dipengaruhi oleh relasinya dengan guru. Di dalam relasi guru dan siswa yang baik, siswa menyukai gurunya, juga akan menyukai pelajaran yang diberikannya, sehingga siswa berusaha mempelajarinya, sebaliknya hal itu juga terjadi, jika siswa membenci gurunya, ia segan mempelajari mata pelajarannya.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di UPTD SMP Negeri 17 Barru. Sekolah ini terletak di Desa Harapan Kecamatan Tanete Riaja Kabupaten Barru. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif disebut juga metode positivisme karena menggunakan data penelitian berupa angka-angka dan analisis secara statistik (Sugiyono, 2007).

Jenis penelitian ini adalah quasi experiment atau eksperimen semu. Quasi experiment mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Dalam penelitian di sekolah, sering tidak memungkinkan untuk menentukan kelompok kontrol sesuai dengan kaidah dalam penelitian eksperimen. Hal ini dikarenakan siswa telah dikelompokkan kedalam kelas-kelas. Oleh karena itu, quasi experiment digunakan apabila sulit mendapatkan kelompok kontrol.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretest-posttest control group design. Pada desain penelitian ini terdapat dua kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang dipilih secara random, kemudian kedua kelompok ini diberi pretest untuk mengetahui kemampuan awal, setelah itu diberikan perlakuan/treatment dan dilanjutkan dengan posttest untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Desain penelitian pretest-posttest control group design diilustrasikan sebagai berikut.

(11)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 135 Tabel 1. Desain Penelitian pretest-posttest control group design

Group Pretest Treatment Posttest

E O1 XM O2

K O3 XK O4

Keterangan:

E = kelas eksperimen K = kelas kontrol

O1 = pretest kelas eksperimen O3 = pretest kelas kontrol

XM = konseling kelompok teknik Asertive Training XK = konseling kelompok

O2 = posttest kelas eksperimen O4 = posttest kelas kontrol

Riduwan (2010) mengemukakan bahwa “Populasi merupakan objek atau yang berada dalam satu wilayah dan memenuhi sysrat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian”

Menurut Sugiyono (2007), bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/sabjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan “ Dari kedua pengertian populasi yang telah dikemukakan diatas dapatlah disimpulkan bahwa populasi merupakan keseluruhan yang menjadi objek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII, VIII,dan IX UPTD SMP Negeri 17 Barru sebanyak 137 orang

Menurut Riduwan (2010) bahwa sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki ciri-ciri atau keadaan yang akan diteliti. Menurut Margono (2005) sampel adalah sebagian dari Populasi. Sebagai salah satu contoh yang diambil dengan menggunakan cara-cara tertentu. Karena sampel dalam penelitian ini adalah siswa dari keluarga broken home, maka teknik yang dipilih adalah teknik purposive sampling. Sampel purposive menurut Sugiyono (2007) adalah teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu karena penelitian ini tidak melakukan generalisasi. Adapun anak teridentifikasi siswa dari sering membolos menurut keterangan guru bimbingan konseling UPTD SMP Negeri 17 BARRU berjumlah 30 orang siswa.

Teknik pengumpulan Data Observasi

Observasi digunakan untuk melakukan pengamatan terhadap tingkah laku siswa dalam situasi wajar yang dilaksanakan dengan berencana, kontinyu,sistematis, serta diikuti dengan pencatatan secara lengkap. dalam hal ini yang di observasi adalah siswa yang berasal dar i keluarga broken home di UPTD SMP Negeri 17 Barru.

Angket

Angket adalah suatu daftar pernyataan yang di bagikan kepada seluruh responden yang menjadi sampel penelitian. angket adalah satu teknik memperoleh data dengan cara menggunakan sejumlah pernyataan tertulis yang disampaikan kepada responden.

(12)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 136 Pengumpulan data dengan teknik dokumentasi adalah untuk memperoleh data atau informasi melalui pengamatan atau pencatatan dari dokumen-dokumen. dapat berupa foto, dan lembaran-lembaran menuskrip yang memiliki keterkaitan terhadap penelitian ini. Analisis data penelitian dimaksudkan untuk menganalisis data hasil angket penelitian berkaitan dengan kebiasaan membolos. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriftif, dan analisis t-tes.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Gambaran kebiasaan bolos sebelum dan sesudah diberikan konseling kelompok pendekatan assertive training Pada Siswa UPTD SMPN 17 Barru

Gambaran kecenderungan kebiasaan bolos pada siswa sebelum dan sesudah diberikan konseling kelompok pendekatan assertive training berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh dari data hasil pengisian angket kebiasaan bolos pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Berdasarkan data empirik hasil analisis deskriptif diperoleh data hasil analisis seperti yang diuraikan sebagai berikut:

Tingkat kebiasaan bolos pada siswa kelompok eksperimen

Tingkat kebiasaan bolos pada siswa kelompok eksperimen diperoleh berdasarkan hasil pretest dan posttest terhadap 15 siswa di UPTD SMPN 17 Barru yang diperoleh melalui skala kebiasaan bolos yang telah divalidasi sebelumnya.

Berikut ini disajikan data tingkat kebiasaan bolos pada siswa di UPTD SMPN 17 Barru, kelompok eksperimen sebelum dan sesudah pelaksanaan assertive training yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase dengan berdasarkan data penilitian terlampir.

Tabel 2. Distribusi Tingkat kebiasaan bolos siswa UPTD SMPN 17 BARRU pada kelompok eksperimen berdasarkan hasil pretest dan posttest.

Interval

Tingkat kecenderungan kebiasaan bolos

Kelompok Eksperimen

Pretest Postest

Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

109 – 136 82 – 108 55 – 81 28 – 54 0 – 27

Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah

Sangat Rendah

0 9 6 0 0

0 57 43 0 0

0 0 0 11

4

0 0 0 71 29

Jumlah 15 100 15 100

Sumber: Hasil angket kelompok eksperimen

Tingkat kecenderungan kebiasaan bolos pada siswa UPTD SMPN 17 BARRU untuk kelompok eksperimen saat pretest sebanyak 9 responden atau 57 persen berada pada kategori tinggi dan 6 responden atau 43 persen berada pada kategori sedang. Setelah diberikan perlakuan Latihan Asertif sebanyak 6 tahap, maka tingkat kecenderungankebiasaan bolospada siswa UPTD SMPN 17 Barru mengalami penurunan, dimana sebanyak 11 responden atau 71 persen berada pada kategori rendah dengan rincian 8 responden yang pada saat pretest berada

(13)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 137 pada kategori tinggi dan 2 responden lainnya berada pada kategori sedang, dan 4 responden atau 29 persen berada pada kategori sangat rendah yang berarti dominan responden berada pada kategori rendah.

b. Tingkat kebiasaan bolos pada siswa pada kelompok kontrol.

Tingkat kecenderungan kebiasaan bolos pada siswa pada kelompok kontrol yang dilakukan secara bersamaan terhadap kelompok eksperimen yang diperoleh berdasarkan hasil pretest dan posttest terhadap 15 siswa di UPTD SMPN 17 Barru tidak mengalami perubahan yang signifikan di mana dari data yang ada kelompok kontrol cenderung berada pad a kategori tinggi.

Berikut ini disajikan data Tingkat kebiasaan bolos pada siswa di UPTD SMPN 17 Barru pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah pelaksanaan konseling kelompok pendekatan Assertive Training yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase dengan berdasarkan data penelitian terlampir.

Tabel 3. Distribusi Tingkat kebiasaan bolos pada siswa UPTD SMPN 17 Barru pada kelompok kontrol berdasarkan hasil pretest dan posttest.

Interval

Tingkat kecenderungan kebiasaan bolos

Kelompok Kontrol

Pretest Postest

Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase 109 – 136

82 – 108 55 – 81 28 – 54 0 – 27

Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah

Sangat Rendah

0 11

4 0 0

0 71 29 0 0

0 9 6 0 0

0 57 43 0 0

Jumlah 15 100 15 100

Sumber : Hasil angket kelompok kontrol

Tingkat kecenderungan kebiasaan bolos pada siswa UPTD SMPN 17 Barru pada kelompok kontrol saat pretest secara umum berada pada kategori tinggi yakni sebanyak 10 responden atau 71 persen dan 4 responden atau 29 persen berada pada kategori sedang.

Namun saat postest kondisi tersebut tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, dimana 8 responden atau 57 persen pada kategori tinggi dan 6 responden atau 43 persen pada kategori sedang berarti kecenderungankebiasaan bolos pada siswa UPTD SMPN 17 Barru kelompok kontrol tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Pengaruh Konseling kelompok pendekatan Assertive Training Untuk Mengurangi kebiasaan bolos Pada Siswa UPTD SMPN 17 Barru

Untuk mengetahui pengaruh konseling kelompok pendekatan Assertive Training untuk mengurangi kebiasaan bolos siswa UPTD SMPN 17 Barru dilakukan analisis statistik inferensial untuk menguji kebenaran hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dengan menggunakan uji statistik nonparametrik dengan Uji Mann-Whitney. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan uji persyaratan analisis, yaitu uji normalitas dan homogenitas data.

(14)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 138 a. Uji normalitas data

Pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji One Sample Kalmogorovsmirnov dengan taraf signifikansi 0,05. Kriteria pengujian adalah:

Terima Ho (berdistribusi normal) jika ai maksimum ≤ Dtabel Tolak Ho (tidak berdistribusi normal) jika ai maksimum > Dtabel

Berdasarkan hasil perhitungan uji normalitas data (terlampir) diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 2,646> 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang di uji berdistribusi normal. Oleh karena itu persyaratan uji hipotesis salah satu telah dipenuhi.

b. Uji homogenitas Data

Berdasarkan hasil analisis uji homogenitas diketahui bahwa nilai signifikansi ke dua varibel = 0,008 < 0,05, artinya data varibel data kelompok ekperimen dan data kelompok kontrol mempuyai varian yang tidak sama atau tidak homogen sehingga uji hipotesis yang digunakan adalah uji hipotesis non parametrik atau uji Mann-Whitney.

c. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini untuk mengungkap perbedaan yang signifikan antara siswa yang diberikan konseling kelompok pendekatan Assertive Training dengan siswa yang diberikan layanan BK oleh konselor sekolah yang lain untuk mengurangi kebiasaan bolos siswa UPTD SMPN 17 Barru, sebelum mengetahui perbedaan tersebut maka harus di ubah hipotesisnya menjadi hipotesis kerja yaitu: “Tidak ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang diberikan konseling kelompok pendekatan Assertive Training dan siswa yang diberikan layanan BK oleh konselor sekolah yang lain untuk mengurangi kebiasaan bolospada siswa UPTD SMPN 17 Barru.

Adapun kriteria pengujiannya adalah Tolak Ho jika p-value< 0,05. Berdasarkan data empirik hasil analisis statistik menunjukkan perolehan nilai adalah 0.000 (0.000 < 0.05) (terlampir). Berdasarkan uji hipotesis ternyata hipotesis nihil (Ho) dinyatakan ditolak dan konsekuensinya hipotesis kerja (Ha) diterima, maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang diberikan penerapan konseling kelompok pendekatan Assertive Training dan siswa yang diberikan layanan BK oleh konselor sekolah yang lain. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang diberikan penerapan konseling kelompok pendekatan Assertive Training dan siswa yang diberikan layanan BK oleh konselor sekolah yang lain untuk mengurangi kebiasaan bolos siswa UPTD SMPN 17 Barru, artinya semakin diberi konseling kelompok pendekatan Assertive Training, maka akan diikuti dengan berkurangnya kebiasaan bolos siswa UPTD SMPN 17 Barru.

Asertif merupakan suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan difikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Asertif adalah suatu tingkah laku individu yang penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dari setiap usaha untuk membela hak- haknya serta adanya keadaan efektif yang mendukung, yang meliputi: (1) mengetahui hak-hak pribadi, (2) berbuat sesuatu untuk mendapatkan hak tersebut, dan melakukan hal tersebut sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi (Alberti & Emmons, 2002).

Menurut Willis (2012) assertive training merupakan teknik dalam konseling behavioral yang menitikberatkan pada kasus yang mengalami kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya. Sedangkan Weaver (Aryani, 2004) mengartikan keterampilan asertif

(15)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 139 sebagai kemampuan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan dengan yakin dan mampu. Assertive training merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian sosial atau terhadap orang lain agar dapat bertindak tegas. Bertindak tegas yang dimaksud adalah diantaranya dapat berperilaku jujur, sopan, dan dapat mengatakan tidak jika hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya, tidak mudah menerima dan menolak pendapat dari orang lain.

Penerapan teknik assertive training pada 15 siswa di UPTD SMPN 17 Barru dilaksanakan sebanyak 6 kali latihan di mana dalam latihan ini berisi tentang asertif, kesadaran, dan tanggapan asertif. Dalam setiap pertemuan yang meliputi latihan pertama yaitu peserta diajar untuk mampu membedakan antara komunikasi asertif, non asertif, dan agresif.

Dalam latihan ke dua di rancang untuk membuat peserta memikirkan kapankah mereka menjadi asertif melalui profil keasertifan saya. Latihan ketiga mereka di minta menentukan dalam hubungan mana mereka bisa lebih asertif. Kemudian latihan ke empat mereka di minta membuat catatan harian untuk mambantu mereka mengetahui bagaimana mereka berkomunikasi. Latihan ke lima membantu peserta mengkaji hak-hak asertif asasi dan berlatih berkata “tidak”. Latihan keenam dan merupakan latihan terakhir peserta melakukan simulasi keterampilan asertif yang telah dipelajari melalui permainan peran dan hal ini memungkinkan fasilitator dapat mengevaluasi apakah peserta sudah menguasai keterampilan atau belum.

Hasil penelitian untuk kelompok eksperimen yang telah diberi perlakuan berupa latihan asertif sebanyak 6 tahap, ternyata menunjukkan penurunan kecenderungan kebiasaan bolos.

Hal ini disebabkan karena tingkat kecenderungan kebiasaan bolos pada siswa mengalami penurunan dari kategori tinggi menjadi rendah.

Lain halnya dengan kelompok kontrol yang sama sekali tidak diberikan perlakuan berupa latihan asertif namun mendapatkan perlakuan layanan BK dari konselor sekolah yang lainnya ternyata tidak menunjukkan perubahan atau penurunan yang berarti atau tetap berada pada kategori tinggi, walaupun terdapat sebagian kecil responden yang telah mengalami perubahan kecenderungan kebiasaan bolos dalam kategori sedang berdasarkan hasil angket.

Perubahan tersebut terjadi karena kelompok kontrol mendapatkan layanan bimbingan konseling dari konselor sekolah yang lainnya.

Di kelompok eksperimen, siswa-siswa yang diberi latihan asertif diberikan latihan- latihan membedakan perilaku asertif non asertif dan agresif, membuat profil asertif diri, latihan kapan seharusnya menjadi asertif, latihan catatan harian, hak-hak asertif dan bahkan melakukan simulasi latihan asertif untuk meningkatkan asertifitas diri siswa sehingga kecenderungankebiasaan bolospada siswa dapat berkurang.

Berdasarkan analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini, dikemukakan bahwa pada hakikatnya terdapat penurunan tingkat kecenderungan kebiasaan bolos bagi kelompok eksperimen yang telah diberikan latihan asertif. Sedangkan kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan asertif namun mendapatkan layanan BK dari Konselor sekolah yang lainnya, tidak menunjukkan penurunan yang berarti, dimana hal tersebut diperkuat dengan hasil pengujian hipotesis yang menunjukkan bahwa latihan asertif berpengaruh positif untuk mengurangi kecenderungan kebiasaan bolos pada siswa di UPTD SMPN 17 Barru.

(16)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 140 Simpulan

Hasil penelitian mengenai pengaruh konseling kelompok pendekatan assertive training untuk mengurangi kecenderungan kebiasaan bolos siswa di UPTD SMPN 17 Barru, disimpulkan sebagai berikut:

1. Gambaran penerapan konseling kelompok pendekatan assertive training dilaksanakan di dalam ruangan kelas selama delapan kali pertemuan dua pertemuan diantaranya yaitu pelaksanaan pre test dan post test sedangkan assertive training dilaksanakan selama enam kali pertemuan dan hasilnya siswa faham bagaimana berperilaku assertif dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana mereka mampu mengungkapkan perasaan dan ide-ide mereka baik terhadap sesuatu yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan bagi mereka tanpa membuat orang lain tersinggung dan keputusan yang mereka buat bisa membuat perasaan mereka senang dan tidak merasa terbebani.

2. Gambaran kebiasaan membolos siswa sebelum diberikan konseling kelompok pendekatan assertive training berdasarkan hasil pretest baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol pada umumnya berada pada kategori tinggi. Setelah diberikan latihan konseling kelompok pendekatan assertive training berdasarkan hasil posttest kelompok eksperimen berada pada kategori rendah sedangkan kelompok kontrol yang tidak diberi latihan konseling kelompok pendekatan assertive training namun mendapatkan perlakuan berupa layanan BK dari konselor sekolah yang lainnya pada umumnya masih berada pada kategori tinggi.

3. Ada perbedaan yang signifikan antara penerapan konseling kelompok pendekatan assertive training dengan siswa yang diberikan layanan BK oleh konselor sekolah lainnya untuk mencegah kebiasaan membolos pada siswa UPTD SMPN 17 Barru, artinya semakin diberi konseling kelompok pendekatan assertive training, maka akan diikuti dengan berkurangnya kecenderungan membolos siswa.

Daftar Pustaka

Abimanyu, S. (1983). Teknik Pemahaman Individu (Teknik Non Tes). Makassar: FIP UNM.

Al-Obaydi, L. H., Doncheva, J., & Nashruddin, N. (2021). EFL COLLEGE STUDENTS’SELF-ESTEEM AND ITS CORRELATION TO THEIR ATTITUDES TOWARDS INCLUSIVE EDUCATION. Воспитание/Vospitanie-Journal of Educational Sciences, Theory and Practice, 16(1), 27-34. doi:

10.46763/JESPT211610027ao

Alberti, R., & Emmons, M. (2002). Your Perfect Right (Alih Bahasa : Buditjahya,. U. G).

Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Andriezens. (2008). Upaya penanggulangan seks bebas di kalangan remaja. from http://mahkotaweblog.wordpress.com

Aryani, F. (2004). Pengembangan Paket Pelatihan Ketearmpilan Asertif Untuk Siswa SLTP.

(Master Thesis), Universitas Negeri Malang, Malang.

Azhari, A. (1996). Psikologi Pendidikan. Semarang: Dina Utama.

Bloom, B. (1976). Human Characteristics and School Learning. New York: McGraw-Hill.

(17)

Jurnal Edukasi Saintifik, Vol. 2 No. 2 | 141 Burley, A. M. (1983). Managing Assertively: How To Improve Your People Skills. New York:

John Wiley & Sons, Inc.

Corey, G. (2007). Teori dan Praktek Konseling. Bandung: PT Refika Aditama.

Dariyo, A. (2007). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Refika Aditama.

Fensterheim, H., & Baer, J. (1980). Jangan Bilang Ya Bisa Bila Anda Akan Mengakatakan Tidak. Jakarta: Penerbit Gunung Jati.

Garke, & Lyyn. (1985). Contemporary Psychoterapies. Models and Methods. Toroto:

Charlese Merrill Publishing Company.

Gunarsa, D. S. (1996). Konseling Dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.

Horton, P. B. (1987). Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Margono. (2005). Metodologi Peneliti Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nashruddin, N. (2019). Teknik Belajar untuk Meningkatkan Kemampuan Berkomunikasi dalam Bahasa Inggris bagi Mahasiswa Non-Jurusan Bahasa Inggris. Scolae: Journal of Pedagogy, 2(1), 184-190.

Nashruddin, N., Alam, F. A., & Harun, A. (2020). Moral values found in linguistic politeness patterns of Bugis society. Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 4(1), 132-141.

Nurihsan, A. J. (2006). Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan.

Bandung: Refika Aditama. Bandung.

Osipow, S. H. (1984). A Survey of Counseling Method. Homewood: The Dorsey Press.

Peacock, M. (2001). Match or mismatch? Learning styles and teaching styles in EFL.

Retrieved December 12th, 2016, from

https://www.shengchifoundation.org/ld/learning?gclid=CIT4i9bd9tACFZMEaAodfsQO qA

Poerwadarminta. (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Prayitno. (2005). Layanan Konseling Individu. Padang: FIP Universitas Negeri Padang.

Riduwan. (2010). Belajar Mudah Penelitian. Bandung: Al Fabeta.

Slameto. (2000). Perspektif Bimbingan Konseling dan Penerapannya diberbagai Institusi.

Jakarta: Rineka Cipta.

Slameto. (2013). Belajar dan Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bina Aksara.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Al Fabeta.

Sukardi, D. (2005). Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Bumi Aksara.

Willis, S. S. (2012). Psikologi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk pada uraian hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa layanan bimbingan kelompok melalui teknik self control dapat mengurangi kecenderungan

Benitez1 Department of Mathematics, College of Science and Mathematics, MSU-Iligan Institute of Technology, 9200 Iligan City [email protected] Abstract: In this paper,