• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurusan : Al Ahwal Asy Syakhsiyyah Fakultas : Syariah

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Jurusan : Al Ahwal Asy Syakhsiyyah Fakultas : Syariah "

Copied!
83
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Metode linguistik (lughawiyyah) didasarkan pada pandangan bahwa sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Hadits. Oleh karena itu, untuk memahami makna al-Qur'an dan hadits secara tepat, digunakan metode linguistik. Pentingnya mengkaji metode istinbath ulama madzhab untuk mengetahui akar perbedaan ulama mazhab dalam suatu persoalan hukum.

Dalam masalah batal wuduk akibat bersentuhan kulit antara lelaki dan perempuan, dalil-dalil yang digunakan oleh imam-imam mazhab yang sama iaitu Al-Quran Surah al-Maidah ayat 6, hanya ada perbezaan dalam memahami maksud ayat tersebut. adalah berkaitan dengan aspek linguistik.

Pertanyaan Penelitian

Begitu pula di lingkungan yang lebih luas, seperti kampus, di mana dalam praktiknya sering terjadi interaksi antara laki-laki dan perempuan, baik melalui jabat tangan maupun sentuhan biasa. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pentingnya mengkaji batalnya wudhu akibat kontak kulit antara laki-laki dan perempuan menurut Imam Syafi`i menekankan pada metode istinbath yang digunakan untuk menentukan hukumnya.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian Relevan

Penelitian yang berjudul “Hukum Silaturahmi Laki-Laki Dengan Wanita Yang Bukan Muhrim Menurut Imam Abu Hanifah Dan Imam Syafi`i, Oleh Muhiddin Mahasiswa Jurusan Syariat STAI Ma`arif NU Metro Lampung. hukum raba antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi' menggunakan pendekatan perbandingan antara pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. wudhu karena menyentuh kulit laki-laki dan bedanya penelitian ini fokus pada pendapat Imam Syafi dengan menggunakan analisis surat Al-Madiah Ayat 6.

7 Muhiddin, "Hukum perhubungan lelaki dan perempuan bukan muhrim menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi`i", Tinjauan di IAIM Ma`arif Nu Metro, bertarikh 14 Mei 2018.

Metode Penelitian

  • Jenis dan Sifat Penelitian
  • Sumber Data
  • Teknik Pengumpulan Data
  • Teknik Analisis Data

Imam Syafi`i

  • Biografi Imam Syafi`i
  • Karakteristik Pemikiran Imam Syafi`i di Bidang Hukum Islam‎ ‎ 18

Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Rusyd yang termasuk mazhab Maliki ketika mengomentari pendapat Imam Syafi`i tentang batalnya wudhu karena laki-laki dan perempuan menyentuh kulit. Berdasarkan sifat penelitian di atas, maka peneliti dalam penelitian ini memaparkan pendapat Imam Syafi`i tentang batalnya wudhu akibat sentuhan antara laki-laki dan perempuan untuk memperkuat atau menguji pendapat yang dikemukakan. 18Ahmad Nahrowi Abdus Salam, Ensiklopedi Imam Syafi`i (al-Imam al-Syafi`i Mazdhabihi al-Qadim wa al-Jadid,) terjemahan Usman Sya`roni, (Jakarta: Mizan Rompia, 2008), h.

Jika kita memahami petikan di atas, kita boleh mengatakan bahawa Imam Syafi'i telah menghafal al-Quran semasa beliau masih kanak-kanak. Ijma dan qiyas menurut Imam Syafi'i merupakan sumber hukum tambahan menurut al-Quran dan hadis. Para fuqaha (mazhab) lain bersepakat tentang empat sumber hukum Islam yang menjadi asas kepada ijtihad Imam Syafii.

Hal-hal yang Membatalkan Wudhu

  • Pengertian Hal-hal yang Membatalkan Wudhu
  • Bentuk-bentuk yang Membatalkan Wudhu
  • Ibnu Katsir
  • M. Quraish Shihab
  • Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy

Tafsir Ulama Lafadz Laamastum an-Nisaa Menurut Ulama Tafsir Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat 6 merupakan salah satu dalil mengenai batalnya wudhu karena menyentuh kulit laki-laki dan perempuan, yang dalam penafsirannya terdapat perbedaan antara agama dan agama. sarjana . Pernyataan ini mengartikan lafadz lamastum dalam pengertian dhahir sebagai menyentuh kulit laki-laki dan perempuan. Menurut ulama Hanafi, yang membatalkan wudhu adalah menyentuh kemaluan laki-laki dengan perempuan.

Menurut Imam Malik, kontak antara pria dan wanita, jika tidak ada keinginan, tidak membatalkan wudhu. Berdasarkan kutipan di atas, menurut Imam Malik dan para pengikutnya, kontak antara laki-laki dan perempuan jika tidak disertai syahwat tidak membatalkan wudhu. Dengan pemahaman ini, wudhu menjadi batal karena menyentuh kulit pria dan wanita yang bukan mahran, meskipun tidak disertai dengan syahwat.

Berdasarkan petikan di atas, pendapat ulama Hanabilah mengenai batal wuduk akibat sentuhan kulit antara lelaki dan perempuan adalah sama. Pandangan Imam Syafi`i tentang batal wuduk kerana bersentuhan antara lelaki dan perempuan Pelajarilah Surah al-Maidah Ayat 6‎ Lelaki dan Perempuan Pelajarilah Surah al-Maidah Ayat 6‎. Buang air besar adalah sama dengan apa yang diperlukan wuduk, serta sentuhan kulit ke kulit untuk lelaki dan wanita.

Memahami petikan di atas, menurut Imam Syafi`i sentuhan kulit (mulamasah) antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim membatalkan wuduk. Untuk memahami pendapat Imam Syafi'i di atas, sentuhan kulit antara lelaki dan perempuan membatalkan wuduk, sama ada yang menyentuh lelaki atau perempuan, dengan nafsu atau tidak. Adapun yang dimaksudkan dengan sentuhan yang disebutkan itu ialah menyentuh kulit lelaki dan perempuan bukan mahram tanpa sebarang halangan.

Berdasarkan pemahaman tersebut, menurut Imam Syafi`i, kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya membatalkan wudhu, meskipun tidak disertai syahwat. Masalah batalnya wudhu karena kontak kulit antara pria dan wanita adalah masalah furu` yang produk hukumnya diperoleh dari hasil ijtihad para ulama. Dalam hal batalnya wudhu karena bersentuhannya kulit laki-laki dan perempuan, ikhtilaf sebenarnya diawali dengan cara membaca (qira'at) lamastum (pendek) atau laamastum (panjang).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pandangan Ulama Mazhab tentang Batalnya Wudhu akibat

Pandangan Imam Syafi`i tentang Batalnya Wudhu akibat

Ulama mazhah Syafi'i berpendapat bahawa sentuhan kulit antara lelaki dewasa dan dewasa (termasuk isteri) membatalkan wuduk, walaupun tidak disertai rangsangan seksual. Mereka memahami perkataan bersentuhan secara literal, maka mereka menganggap wuduk seseorang itu tidak sah setelah bersentuhan antara kulit lelaki dan perempuan. Imam Syafi`i berkata: Allah SWT menyebut tentang wuduk bagi orang yang mengerjakan solat dan seumpama orang yang mengerjakan solat ialah orang yang bangun dari tidur, Allah SWT juga menyebut tentang penyucian manusia dengan hadis yang besar (junub ).

Imam Syafi`i mengartikan mulamas sebagai kontak kulit, seperti dengan berpelukan atau berciuman, bukan dalam pengertian jima` (hubungan suami istri). Dalam hal ini, Imam Syafi`i memahami rangkaian penyebutan mulasamah yang dihubungkan dengan penyebutan tahi (ghoith) dalam surat An-Nisa` 43,. Argumen yang dikemukakan oleh Imam Syafi`i dan para pengikutnya adalah bahwa kata al-lams pada dasarnya berarti menyentuh dengan tangan, tetapi dalam majaz bisa berarti persetubuhan (jimak).

Imam Syafi`i berkata: Saya datang kepada saya dari sebuah hadits yang dekat artinya dengan kata-kata Ibnu Umar, yaitu, jika seorang pria menyentuh seorang wanita dengan tangannya, atau bagian tubuh pria itu menyentuh bagian tubuh wanita tanpa ada pembatas antara keduanya, baik ringan maupun tidak, laki-laki dan perempuan wajib berwudhu. Demikian juga, jika seorang wanita menyentuh seorang pria, wudhu wajib baginya dan pria yang disentuhnya. Arti literal domba adalah menyentuh dengan tangan atau kulit ke kulit. dengan laa panjang) tertulis dalam ayat Alquran tanpa alif dan oleh karena itu dapat dibaca sebagai lamastum (dengan la pendek) dan artinya menyentuh, tanpa jimat.

Imam Syafi'i berkata: "Kami menemukan riwayat dari Ibnu Mas'ud yang isinya mirip dengan perkataan Ibnu Umar, yaitu: 'Jika seorang laki-laki menyentuh istrinya dengan tangannya atau dengan menyentuh bagian tubuhnya, di mana tidak ada penghalang di antara keduanya, baik dengan syahwat atau tidak, maka ia wajib berwudhu, begitu juga dengan istrinya.Berdasarkan uraian di atas, menurut Imam Syafi`i, kata laamastum dalam Surat Al-Maidah Ayat 6 mengartikan penggunaan makna zhahirnya yaitu menyentuh kulit, bukan dalam makna majaznya sebagai kinayah hubungan laki-laki dan perempuan.

Analisis

Berdasarkan pemahaman tersebut, menurut Imam Syafi'i dan para pengikutnya, wudhu menjadi batal jika terjadi kontak kulit antara pria dan wanita, meskipun kontak tersebut tidak disertai dengan syahwat. Argumen yang dikemukakan oleh Imam Syafi`i dan para pengikutnya adalah bahwa kata al-lams pada hakekatnya berarti menyentuh dengan tangan, tetapi dalam majaz bisa berarti persetubuhan. Berbeda dengan Imam Syafi`i, menurut ulama Hanafi, yang dimaksud dengan "au lamastumun nisa-a" dalam surat Al-Maidah ayat 6 adalah alegori jima' (senggama).

Kedua kata ini memiliki arti yang sama dengan kata al-lams Berdasarkan pengertian tersebut, Malikiyyah berpendapat bahwa menyentuh kulit laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu hanya jika disertai dengan rangsangan seksual, atau dimaksudkan untuk menimbulkan rangsangan. . Oleh karena itu, syahwat karena menyentuh kulit laki-laki dan perempuan merupakan faktor yang tidak baik bagi seseorang yang berwudhu, karena tujuan utama wudhu adalah sahnya shalat. Jika suatu kata berada di antara makna saripati dan ragi, maka kata itu harus didekatkan dengan makna saripatinya, sampai ada dalil tentang raginya.

Menurut Imam Syafi`i, yang dimaksudkan dengan wanita yang membatalkan wuduk ialah wanita yang bukan mahram iaitu wanita yang boleh dinikahi. Imam Syafi`i juga berpendapat tidak batal wuduk apabila menyentuh anak perempuan yang masih kecil dan tidak berhajat apabila menyentuhnya. Pendapat Imam Syafi`i tentang batal wuduk wajar dijadikan sebagai usaha menyelesaikan permasalahan hukum Islam dalam masyarakat, tanpa mengabaikan pendapat imam mazhab lain, yang relevan untuk diterapkan dalam situasi dan keadaan yang berbeza.

Abul Fida` Ismail Ibnu Katsir ad-Dimisyqi, Tafsir Al-Quran Al-Adzim Tafsir Ibnu Katsir, Juz 5, oversat Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010. Ahmad As-Syurbasi, Imamernes historie og biografi Fire skoler, oversættelse af Sabil Huda og Ahmadi, Jakarta: Amzah, 2004. Muhammad Al-Aqil, Manhaj al-Imam al-Syafi`i fi Istsbati al-Aqidah, oversættelse af Nabhani Idris og Saefuddin Zuhri, Jakarta: Nuansa Jaya, 2006 .

Muhiddin, "Hukum perhubungan antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi`i", Pemerhatian di IAIM Ma`arif.

Kesimpulan

Saran

Kajian yang lebih mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui penerapan metode istinbath mujtahid dalam permasalahan hukum yang relevan, guna membantu penyelesaian permasalahan hukum kontemporer khususnya. 53. menggunakan pendekatan tafsir tematik yang dapat menjelaskan keterkaitan antara produk hukum dengan dalil-dalil teks al-Qur’an. Abu Yasfd, dan M. Munif Shaleh, Epistemologi Unsur Fiqh, Substansi, Metodologi dan Penerapan Ajaran Agama, Situbondo: Ibrahimy Press, 2010 Afifuddin Muhajir, Metodologi Pendekatan Kajian Fiqh Bermadzhdb Qauli dan.

Alauddin Za'tari, Fiqh Ibadah Mazhab Syafi`i, Abdul Rosyad Shiddiq Penerjemah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2019. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Menuju Versi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nichisul Muqtatashid, Diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: The Message, Effects and Compatibility of the Qur'an, Jakarta: Lantern of the Heart, 2002. Malik bin Anas, al-Mudawwanah bind 1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994 Mohammad Daud Ali, Islamisk Lov, Pengenalan kepada Lov og Jura. Muhammad bin Idris ash-Syafi`i, al-Umm, bind 1, Beirut: Dar al-Ma`rifat, 1990 Muhammad bin Isa at-Turmidzi, Sunan Tirmidzi bind 1,.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir AI-Qur'anul Majid An-Nuur, Juz 6, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000. Rithon‎ Igisani,‎ "Kajian Tafsir Mufassir di Indonesia",‎ Journal of Islamic Research and Misli, Volume 22, Nomor 1, Januari-Juni 2018.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut teori ini perbedaan perempuan dan laki- laki adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis