• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAHSHIYYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAHSHIYYAH "

Copied!
52
0
0

Teks penuh

Menyimpang dari latar belakang diatas maka penulis ingin mengkaji lebih jauh permasalahan tersebut, yang akan penulis tuliskan dalam skripsi yang berjudul “ANALISIS HUKUM ISLAM PERKAWINAN WANITA HAMIL DENGAN LAKI-LAKI YANG TIDAK HAMIL (STUDI KASUS DI DESA MENANG KECAMATAN JAMBON, KABUPATEN PONOROGO)". Bagaimana kasus perkawinan wanita hamil dengan laki-laki tidak hamil di Desa Menang, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap perkawinan ibu hamil dengan laki-laki yang tidak dihamili di desa Menang, kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo.

Untuk mengetahui bagaimana kasus perkawinan ibu hamil dengan laki-laki yang tidak mengandung di Desa Menang Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo. Untuk mengetahui bagaimana analisa hukum Islam terhadap perkawinan ibu hamil dengan laki-laki bukan pembuahan di Desa Menang Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo. Riyadus Sholihin yang berjudul “Hukum Islam Tentang Perkawinan Wanita Hamil Di Luar Nikah dan Status Anak yang Dilahirkan”.

27 Riyadus Sholihin, “Hukum Islam tentang perkawinan wanita hamil di luar nikah dan status anak yang dilahirkan” (skripsi: STAIN Ponorogo, 2004). 28 Ulyana A'yunin Nafisah, “Menikahi Wanita Hamil Di Luar Nikah Menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Zahiri” (Skripsi: STAIN Ponorogo, 2008). Sebab, fokus penelitian penulis adalah tinjauan hukum Islam terhadap perkawinan ibu hamil dengan laki-laki yang tidak menghamilinya.

Sumber penelitian ditentukan dengan melihat kondisi sosial dan struktur masyarakat di Desa Menang Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo dan juga dari sudut pandang mereka dalam mengetahui permasalahan perkawinan antara ibu hamil dan laki-laki tidak hamil.

ل ق د عسم نب ه دبع نع

س هنإف ،ج زتي ف ةء بلا كنم ع طتسا نم بشلا رشعم ي

Undang-undang mewajibkan menikah dengan orang yang cukup cakap lahir dan batin untuk menikah, terlebih lagi dorongan biologis sangat mendesak untuk disalurkan secara proporsional kepada lawan jenis. Hukumnya disunnahkan bagi pria dan wanita dewasa yang sudah mampu menikah namun masih bisa berpantang atau berpuasa agar terhindar dari zina. Pernikahan yang diharamkan (haram) adalah bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan batin istrinya serta tidak mendesak syahwatnya.

Jika seseorang itu dilihat dari sudut pertumbuhan fizikalnya adalah wajar untuk berkahwin, walaupun tidak mendesak. Bagi orang yang berpeluang melakukannya, tetapi jika tidak, mereka tidak bimbang untuk berzina dan jika berzina, mereka tidak akan meninggalkan isteri. Rukun dan syarat perkahwinan yang tersebut di atas hendaklah dipenuhi, jika tidak dipenuhi maka perkahwinan itu tidak sah.

Sebelum melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat persetujuan kedua orang tuanya. Dalam hal salah satu orang tua meninggal dunia atau tidak dapat menyatakan wasiatnya, cukuplah persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 Pasal ini diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang dapat menyatakan wasiatnya. Dalam hal kedua orang tuanya meninggal dunia atau tidak dapat menyatakan wasiatnya, maka persetujuan itu diperoleh dari wali, pengasuh atau sanak saudara yang mempunyai hak kekerabatan, sepanjang mereka masih hidup dan dalam keadaan yang memungkinkan untuk dinyatakan kekerabatannya. kemauan mereka.

Apabila terdapat perbedaan pendapat antara orang-orang yang dimaksud dalam alinea kedua, ketiga, dan keempat pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapat, maka pengadilan mempunyai yurisdiksi. orang yang hendak melangsungkan perkawinan, atas permintaannya, dapat memberikan izin setelah mendengarkan orang-orang yang dimaksud dalam alinea kedua, ketiga, dan keempat pasal ini. Ketentuan ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sampai hukum agama dan kepercayaan tertentu yang bersangkutan menentukan lain. Sebagaimana laki-laki akan mencari perempuan yang pada dasarnya sama, demikian pula perempuan akan mencari sosok laki-laki yang cocok untuknya.

Daripada melakukan onani/onani atau menyalurkan naluri seksual di luar nikah yang mengganggu sekaligus membahayakan munculnya penyakit-penyakit berbahaya seperti HIV AIDS, Sifilis atau Kemandulan, hal ini tidak akan terjadi jika tidak ada perbuatan-perbuatan keji dan tercela yang tidak dilakukan. melanggar aturan.agama.

ا زتد د لا

Berkenaan masalah ini, Rasulullah menyeru umatnya untuk segera menikah dan memperbanyakkan zuriat, kerana dengan bertambahnya zuriat, umat Islam akan menjadi lebih kuat dan ini akan menjadi kebanggaan di masa hadapan.

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dari padanya Allah menciptakan wanita, dan dari pada keduanya Allah memperbanyakkan keturunan, baik laki-laki maupun perempuan.” 66 b. Semua manusia, lelaki dan perempuan, mempunyai naluri seksual, cuma kelajuan dan intensitinya sahaja yang berbeza. Perkahwinan membolehkan seorang lelaki menyalurkan keinginan seksualnya secara sah kepada seorang wanita dan begitu juga sebaliknya.

Pernikahan syighar tercatat makna pastinya dalam sebuah hadis Nabi dari Nafi’ bin Ibnu Umar Muttafaq Alaih yang dikutip As-Shan’aniy dalam kitabnya Subul As-Salam. putrinya untuknya dan keduanya tidak ada mahar.” 71. Durasinya tergantung kesepakatan antara laki-laki dan perempuan, yang akan dilaksanakan, bisa seminggu, sebulan, dan seterusnya. Perkawinan gestasional adalah perkawinan seseorang yang hamil di luar nikah, baik ia menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maupun tidak dengan laki-laki yang menghamilinya.

Dalam kompilasi hukum Islam, nikah hamil adalah perkawinan seseorang yang hamil di luar nikah dengan laki-laki yang menghamilinya.80 2. Hukum nikah hamil karena perzinahan dijelaskan dalam Al-Qur'an surat An-Nur ayat 3 yang berbunyi. Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak boleh menikah, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan musyrik; dan wanita yang berzina tidak boleh dikawini kecuali dengan laki-laki yang berzina atau dengan laki-laki musyrik, dan itu adalah sesuatu yang diharamkan bagi orang beriman.

Ayat tersebut diturunkan kerana seorang lelaki meminta izin kepada Rasulullah untuk mengahwini seorang wanita yang biasa dipanggil Ummu Mahzul. Dia adalah bekas pelacur. Berkenalan dengan lelaki musyrik menunjukkan haramnya wanita hamil, ia adalah tanda larangan bagi lelaki yang baik untuk mengahwini mereka (al-Baqarah: 221). Manakala menurut Sofyan ath-Thauri, ayat di atas tidak menunjukkan maksud perkahwinan, tetapi hanya menunjukkan makna al-Jima’ dalam erti kata wanita yang berzina hanya berzina dengan lelaki zina atau lelaki musyrik.

Hukum nikah hamil dijelaskan dalam hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Said bin Al-Musaiyab seorang laki-laki ansor, kata salah seorang sahabat Nabi.

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Derda bahawa dia datang kepada seorang wanita tua hamil di pintu Fusthathi.

Para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali) berpendapat bahwa perkawinan itu sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan jika laki-laki itu hamil lalu mengawinkannya. . Ibnu Hazm (Zahiri) juga berpendapat bahwa mereka boleh menikah (secara sah) dan boleh juga kawin campur, dengan ketentuan jika mereka bertaubat dan menanggung hukuman cambuk (cambuk) karena sama-sama melakukan perzinahan. Pendapatnya berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nur ayat 3. b) Menurut Imam Hambali, jika seorang wanita melakukan zina, maka tidak boleh (haram) bagi laki-laki yang mengetahui kehamilannya untuk menikahi wanita tersebut.

Kecuali dua syarat pertama, maka berakhirlah masa Iddah wanita tersebut, dan jika wanita tersebut hamil karena zina, maka berakhirlah masa Iddah wanita tersebut dengan melahirkan. Maka tidak halalnya menikah sebelum wanita tersebut melahirkan.91 Hal ini berdasarkan sabda nabi sebagai berikut.

Artinya: “Tidak boleh menyetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan, dan (tidak menyetubuhi) wanita tidak hamil hingga ia istirahat satu masa haid.”93 (HR Abu Daud ). Said bin Musaab juga meriwayatkan sebuah hadits bahwa ada seorang laki-laki yang menikah dengan seorang wanita. Ketika laki-laki itu mendekatinya, dia mengetahui bahwa wanita tersebut sedang hamil. Dari beberapa penjelasan di atas, wajib bagi wanita yang hamil karena zina memiliki masa iddah dan haramnya menikah pada masa iddahnya.

Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak boleh menikah, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan musyrik;

Seperti yang dijelaskan oleh Imam Syafii dalam kitab al-Um, yang menukilkan pendapat Sa'id bin al-Musayyab, salah seorang ahli tafsir dari Tabi'in, yang disokong oleh Al-Kitab dan As-Sunnah. Kerana penzina itu termasuk dalam golongan "al-Aya>mi" (belum berkahwin) di kalangan kamu orang Islam.97 Oleh itu, ayat di atas tidak boleh dijadikan hujah untuk menetapkan sesuatu hukum. Untuk keperluan beristibra (menunggu pengosongan rahim) dengan haid jika wanita tidak hamil.

Sebagaimana hadis Nabi yang melarang persetubuhan dengan budak (hasil pembagian) tawanan perang yang sedang hamil hingga melahirkan. Menurut Imam Syafi'i, hadis ini membahas tentang permasalahan tawanan perang wanita hamil yang menjadi budak karena menjadi rampasan perang. Buktinya pada akhir hadis ini dijelaskan bahwa wanita yang tidak hamil cukup menunggu dalam jangka waktu tertentu secara pasti. 97 Imam Syafi'i, al-U>m, Maktabah Syamilah, Juz. V, 148. . rahim kosong seorang budak perempuan) dengan hanya satu periode.

Sedangkan istibra' yang hanya satu kali haid hanya berlaku bagi budak, tidak berlaku bagi wanita merdeka. Wanita tawanan ini tidak bisa disamakan dengan kasus wanita yang hamil karena zina. Kehamilan seorang tawanan perang perempuan dikenakan istibra', karena kehamilan perempuan itu karena suaminya, oleh karena itu ia harus menunggu sampai ia melahirkan.

Maka mengahwini wanita hamil kerana zina adalah boleh menurut mazhab Syafi'i, tetapi makruh bersetubuh dengannya, kerana di luar khilaf yang mengharamkannya.

حتسم ف خلا نم ج رخلا

Dalam KHI, perkawinan pada mulanya dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah (tenang, tenteram, bahagia) yang dibina dengan cinta kasih (mawaddah-warahmah) oleh suami istri dari keluarga yang bersangkutan,99 sehingga merupakan perkawinan hamil. akibat perzinahan akan berubah menjadi aib dalam keluarga. Terkait dengan perkara perkawinan hamil yang terdapat dalam KHI, maka perkawinan perempuan hamil diatur dalam Pasal 53 yang berbunyi. Dasar pertimbangan Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan dengan ibu hamil adalah QS: an-Nur ayat 3 yang berbunyi.

Referensi

Dokumen terkait

Marlojong dilakukan dengan laki-laki melalui tiga cara, pertama, laki-laki secara langsung menjemput perempuan itu di rumahnya dengan ditemani oleh salah seorang kerabat yang