D-46
Kaitan Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Berbasis Citra Satelit Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tuna
di Perairan Sumatera Barat
Aida Heriati1, Eva Mustikari1, Dini Purbani1, Dian N Handiani2, dan M. Al-Azhar3
1Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan
2Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Itenas-Bandung
3Center for Prototype Climate Modeling, New York University Abu Dhabi, UAE Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Ikan tuna merupakan jenis ikan dengan nilai jual tinggi, selain dikonsumsi oleh bangsa sendiri juga menjadi komoditi ekspor ke negara Jepang dan Amerika. Perkembangan teknologi terkini memungkinkan pendugaan keberadaan ikan Tuna berdasarkan parameter lingkungan tempat ikan dapat hidup. Analisis data citra satelit AQUA MODIS di perairan Sumatera Barat menunjukkan sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a Bulan Februari-Mei 2013. Sebaran tersebut dikaitkan dengan hasil tangkapan ikan dari logbook kapal yang tercatat di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus. Sebaran SPL di Bulan Maret-April lebih hangat dibandingkan Bulan Februari dan Mei (rata-rata 25o C – 31o C), dan sebaran klorofil-a tertinggi di Bulan Februari (rata-rata 0,025 – 0,25 mg/m3). Data logbook kapal menunjukkan tangkapan tertinggi Ikan Tuna Mata Besar pada Bulan Maret berjumlah 101 dan berat 5.535 kg dan hasil tangkapan Ikan Madidihang pada Bulan April sebanyak 19 dengan berat total 541 kg. Tingginya klorofil-a di Bulan Februari, serta tingginya tangkapan Ikan Tuna di Bulan Maret dan April berada di area yang sama. Time-lag antara parameter lingkungan dan data penangkapan Ikan Tuna dapat dijelaskan melalui proses rantai makanan. Proses rantai makanan memerlukan waktu, dimana produsen (klorofil-a) dalam fitoplankton dikonsumsi oleh zooplankton dan ikan kecil, sampai menjadi makanan Ikan Tuna yang lebih besar.
Kata Kunci : Tuna, AQUA MODIS, Sumatera Barat, SPL, Klorofil-a
1.Pendahuluan
Teknologi pengindraan jauh melalui analisis citra satelit sudah banyak dimanfaatkan untuk pengelolaan sumber daya perikanan oleh berbagai Negara maju, seperti Jepang, Australia, dan negara- negara Eropa lainnya (Arief, 2004). Berbagai data satelit beresolusi rendah dapat dimanfaatkan secara gratis, seperti satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), SeaWifs, dan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) Aqua. Penentuan lokasi zona potensi penangkapan ikan dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi pertemuan massa air dengan suhu berbeda (thermal front) dan upwelling yang membawa suhu air lebih dingin, salinitas dan zat-zat hara tinggi dari bawah laut ke permukaan (Nontji, 1993). Kondisi karakteristik perairan dengan suhu, salinitas, dan zat-zat hara yang khas menjadikan daerah tersebut disukai oleh ikan untuk hidup dan tinggal. Lingkungan perairan khas yang disukai ikan ini dapat dijadikan sebagai daerah potensi penangkapan ikan (Nath, 1993). Lokasi lingkungan tersebut bervariasi bergantung pada kondisi oseanografinya, yaitu suhu permukaan laut (SPL), salinitas, klorofil-a, arus dan parameter lainnya (Zainuddin dkk., 2006). Masing-masing jenis ikan memiliki tipe lingkungan tertentu untuk hidup dan tinggal. Ikan Tuna jenis Mata Besar (bigeye tuna) dan Tuna jenis Madidihang (yellowfin tuna) juga memiliki kondisi lingkungan perairan yang khas untuk bisa hidup.
Produksi Ikan Tuna di sebelah barat perairan Sumatera meningkat secara signifikan sejak tahun 2008 sampai dengan 2010. Tahun 2008 memproduksi sebanyak 300 ton, di 2009 meningkat menjadi 735 ton, dan akhir tahun 2010 mencapai lebih dari 600 ton (http://statistik.kkp.go.id). Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus adalah salah satu sentra perikanan laut di perairan Sumatera Barat. PPS
D-47
Bungus mempermudah kapal-kapal penangkap ikan berlabuh, membongkar, dan memasarkan hasil tangkapan ikannya. Sehingga data hasil tangkapan PPS Bungus dapat menujukkan sebaran lokasi dan jumlah tangkapan ikan di perairan Sumatera bagian Barat. Penelitian ini bertujuan mengaitkan variasi sebaran SPL dan klorofil-a di perairan Sumatera bagian Barat terhadap sebaran lokasi dan jumlah penangkapan Ikan Tuna jenis Mata Besar dan Madidihang di wilayah PPS Bungus. Adapun manfaat hasil penelitian adalah sebagai langkah awal penentuan lokasi potensial penangkapan ikan untuk membantu para nelayan, sehingga hasil tangkapan ikan lebih optimal dan berkelanjutan.
2.Metodologi
2.1. Data dan Lokasi Penelitian
Data citra yang digunakan berasal dari satelit MODIS Aqua yang dikelola online sistem Giovanni (Acker dan Leptoukh, 2007). Data tersebut adalah suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a rata-rata di Bulan Februari, Maret, April, dan Mei tahun 2013 dan beresolusi data 4 km. Data diunduh dari sistem online Giovanni dan dianalisis secara spasial sesuai lokasi penelitian. Lokasi penelitian berada di perairan Sumatera bagian Barat, antara 88o BT– 105o BT dan 8o LS – 5o LU. Sedangkan, data hasil dan lokasi tangkapan ikan berasal dari logbook kapal yang berada di bawah pengelolaan PPS Bungus dan Pelabuhan Muaro. Data logbook kapal difokuskan pada tangkapan Ikan Tuna Mata Besar dan Madidihang di Bulan Februari-Mei tahun 2013 (Gambar 1).
Gambar 1. Peta Lokasi Tangkapan Ikan Pelabuhan Muaro dan PPS Bungus
2.2. Tahapan-Tahapan Penelitian
Informasi logbook dari PPS Bungus dan data tangkapan ikan dari TPI Muaro Kota Padang ditabulasikan dan dipetakan sebarannya secara spasial. Sebaran hasil tangkapan Ikan Tuna tersebut ditunjukkan di Gambar 1 (titik-titik merah dan hijau). Titik sebaran Ikan Tuna yang berasal dari PPS Bungus tersebar hingga sampai Zona ZEE (titik hijau), sedangkan titik sebaran Ikan Tuna dari TPI Muaro (titik merah) berada di sekitar Kepulauan Mentawai. Kondisi ini berkesesuaian dengan tipe kapal yang digunakan oleh nelayan pada masing-masing lokasi. Nelayan di PPS Bungus menggunakan kapal tangkap ikan dengan ukuran kapal 28 GT, sehingga mampu berlayar hingga Zona ZEE dan lama waktu berlayar mencapai 1 (satu) bulan. Adapun kapal tangkapan ikan yang berangkat dari TPI Muaro memiliki ukuran di bawah 10 GT, sehingga waktu layar hanya mencapai satu (1)
D-48
minggu dengan ruaya di sekitar Kepulauan Mentawai. Pengamatan fisik perairan Barat Sumatera berasal dari citra satelit AQUA MODIS yang diunduh dari http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/giovanni (Acker dan Leptoukh, 2007) dan berada di WPP 572. Citra AQUA MODIS memiliki resolusi 4 km, luas cakupan 1870 x 1430 km2 dan data rata-rata bulanan dari Bulan Februari – Mei 2013. Data citra yang digunakan tersebut, meliputi suhu permukaan laut (sea surface temperature, SPL) dan klorofil-a.
Data sebaran spasial Ikan Tuna dioverlay dengan data citra SPL serta klorofil-a untuk setiap bulannya.
Hasil overlay berbentuk peta spasial antara biota Ikan Tuna dengan parameter lingkungannya. Selain itu, data tangkapan Ikan Tuna dibuat grafik histogramnya berdasarkan jenis dan jumlah ikan. Grafik tersebut menunjukkan perbandingan perolehan ikan setiap bulannya. Hasil-hasil tersebut digunakan dalam menganalisis keterkaitan parameter lingkungan laut (SPL dan klorofil-a) dengan hasil tangkapan Ikan Tuna di perairan Sumatera Barat.
3. Hasil dan Pembahasan
Data satelit dibagi menjadi dua musim berbeda dan disesuaikan dengan hasil data tangkapan ikan yang diperoleh dari PPS Bungus. Dua musim tersebut adalah musim barat yang diwakili oleh Bulan Februari dan musim peralihan yang diwakili oleh Bulan Maret, April dan Mei 2013.Data satelit SPL ditunjukkan di gambar 2a-d dan klorofil-a di gambar 3a-d, sedangkan grafik histogram tangkapan ikan mewakili musim di gambar 4a-d.
3.1 Kajian Sebaran Temperatur Permukaan Laut
Kisaran suhu air laut dimana ditemukan Ikan Tuna Mata Besar berkisar 13oC – 29oC, sedangkan suhu optimum hidupnya adalah 17oC – 22oC (Collette dan Naven, 1983). Karakteristik ikan Tuna Albakora (Thunnus Alalunga), yaitu tidak tampak di lapisan permukaan dan banyak ditemukan di perairan bersuhu antara 15,4oC – 19,4oC, akan tetapi Tuna Albakora dewasa ditemukan antara 13,5oC – 25,2oC.
Karakteristik Ikan Cakalang/Skipjack (Katsuwonus Pelamis) memiliki toleransi suhu yang lebih besar antara 14,7oC – 30oC. Ikan Cakalang sering ditemukan pada pertemuan arus atau massa air (convergent) di sekitar kepulauan, berada pada kedalaman 260 m di siang hari, dan pada permukaan di malam hari. Allain dkk. (2005) menjelaskan faktor lingkungan perairan (diantaranya SPL, kedalaman, kadar oksigen dan klorofil-a) turut mempengaruhi penyebaran tuna secara horisontal dan vertikal.
Gambar 2. Sebaran suhu permukaan laut (SPL) rata-rata di Bulan (a) Februari,
(a) (b)
(c) (d)
D-49
(b) Maret, (c) April, dan (d) Mei tahun 2013
Di perairan Barat Sumatera, musim barat di Bulan Februari memiliki kisaran SPL 25oC – 30oC, dengan suhu tertinggi di sekitar pantai Pulau Sumatera. Di musim ini Ikan Tuna Mata Besar ditemukan pada posisi koordinat 2o LU – 2o LS dan 90o BT – 94o BT (Gambar 2a). Musim peralihan di Bulan Maret nilai SPL terendah sekitar 28oC dan tertinggi 30oC, dan kondisi tersebut berada di perairan Barat Laut Sumatera. Di bulan yang sama, jenis Ikan Madidihang dan Mata Besar ditemukan di koordinat 2o LU – 4o LS dan 92o BT – 94o BT (Gambar 2b). Bulan April memiliki nilai SPL terendah (minimum 25oC) dan terdapat di beberapa lokasi perairan Barat Sumatera, sedangkan SPL maksimum di bulan yang sama sebesar 30o C berada Barat Laut Sumatera dengan posisi 0o LS – 5o LS dan 92o BT – 94o BT. Adapun jenis Ikan Tuna yang tertangkap di Bulan April, yaitu jenis Madidihang, Albacore dan Mata Besar (Gambar 2c). Kisaran SPL di Bulan Mei sekitar 26 oC – 31oC dan sebaran suhu hangatnya berada di perairan Barat Daya Sumatera. Jenis Ikan Tuna Tongkol, Madidihang dan Ikan MataBesar ditangkap Bulan Mei sekitar koordinat 1o LS – 2o LS dan 94o BT–
98o BT, sedangkan posisi klorofil-a tertinggi di bulan yang sama berada di 8o LS – 6o LS dan 88o BT – 90o BT (Gambar 2d). Secara umum berdasarkan hasil gambar 2a-d menunjukkan tangkapan ikan terbesar ada di SPL hangat sekitar 29oC – 30oC, antara Bulan Maret-April. Meskipun SPL tersebut bukan suhu optimum, akan tetapi masih berada di kisaran suhu bagi Ikan Tuna untuk dapat hidup.
3.2 Kajian Sebaran Klorofil-a
Parameter klorofil-a dapat digunakan sebagai parameter penentu keberadaan Ikan Tuna di suatu perairan dengan mengasumsikan bahwa klorofil-a terkandung pada fitoplankton sebagai sumber makanan ikan-ikan kecil, selanjutnya ikan kecil dimakan Ikan Tuna (rantai makanan ekosistem laut).
Kisaran parameter klorofil-a pada perairan Barat Sumatera sebesar 0,02 mg/m3 sampai dengan 0,25 mg/m3 yang didapat dari data Satelit AQUA MODIS Bulan Februari
–
Mei 2013 (Gambar 3a-d).Gambar 3. Sebaran klorofil-a rata-rata di Bulan (a) Februari, (b) Maret, (c) April, dan (d) Mei tahun 2013
Bulan Februari kisaran klorofil-a antara 0,05 – 0,25 mg/m3 dan sebaran tertinggi berada di sekitar pantai Barat Sumatera sampai kepulauan Mentawai dan Selat Malaka, sedangkan tangkapan Ikan Tuna berada pada koordinat 2o LS – 2o LU dan 90o BT – 94o BT (Gambar 3a). Selanjutnya pada Bulan Maret kisaran parameter klorofil-a sebesar 0,025 – 0,25 mg/m3, nilai sebaran terendah terdapat di laut lepas yang mengarah ke Samudera Hindia, sedangkan tangkapan Ikan Tuna berada pada koordinat 4o
(a) (b)
(c) (d)
D-50
LS – 2o LU dan 92o BT – 95o BT (Gambar 3b). Di Bulan April sebaran klorofil tertinggi terlihat sedikit berkurang dibandingkan bulan sebelumnya, meskipun kisaran nilanya sama dengan bulan sebelumnya. Sebaran klorofil-a tertinggi berada di Barat Sumatara dan Ikan Tuna ditemukan pada koordinat 0o – 5o LS dan 92o BT – 98o BT (Gambar 3c). Konsentrasi klorofil-a kisaran 0,02 – 0,25 mg/m3 ditunjukkan pada Bulan Mei dan konsentrasi tertinggi berada di sekitar pantai Barat Sumatera, Selat Malaka serta di sebelah timur daerah kajian, yaitu di koordinat 0o – 2o LS dan 94o BT – 98o BT (Gambar 3d).
Terlihat sebaran klorofil-a memiliki konsentrasi tinggi di sekitar area pesisir Pulau Sumatera, pada Bulan Februari sebaran klorofil terlihat menyebar sampai ke tengah di luar pulau-pulau kecil. Hasil tangkapan Ikan Tuna Mata Besar dan Madidihang di Bulan Februari cukup banyak, akan tetapi tangkapan maksimum berada di bulan berikutnya, yaitu Bulan Maret. Fitoplankton yang mengandung klorofil-a merupakan makanan dari ikan-ikan kecil dan ikan-ikan tersebut menjadi makanan bagi ikan lebih besar termasuk Ikan Tuna (konsep rantai makanan di ekosistem laut).
3.3 Kajian Hasil Tangkapan Ikan Tuna Mata Besar dan Madidihang
Analisis grafik histogram tangkapan Ikan Tuna difokuskan pada jenis Mata Besar dan Madidihang yang berasal dari data tangkapan PPS Bungus setiap bulan dari Bulan Februari-Mei 2013 dan disesuaikan dengan ketersediaan data (Gambar 4a-d).
Gambar 4. Jumlah dan berat total tangkapan Ikan Tuna (a)-(b) jenis Mata Besar, serta (c)-(d) jenis Madidihang
Hasil tangkapan Ikan Tuna jenis Mata Besar tertinggi ada di Bulan Maret, jumlah dan berat totalnya adalah 101 dan 5.335 kg. Hasil tangkapan tertinggi kedua ada di Bulan April dengan jumlah 41 dan berat 1.885 kg. Hasil tangkapan Bulan Februari sebesar 34 (jumlah) dan 1.844kg (berat). Sedangkan, hasil tangkapan terendah di Bulan Mei dengan jumlah ikan 10 dan berat 891 kg (Gambar 4a-b). Data tangkapan Ikan Tuna Madidihang mencakup Bulan Maret-Mei 2013 (Gambar 4c-d). Hasil tangkapan terbesar diperoleh pada Bulan Mei, jumlah ikan 19 ekor dan berat total 541kg. Tangkapan kedua terbesar di Bulan Maret sejumlah 9 ekor dan berat total sebesar 206 kg, sedangkan tangkapan terendah di Bulan Mei sebanyak 3 ekor dan berat 130 kg.
Tangkapan Ikan Tuna Mata Besar memiliki hasil tangkapan tertinggi di Bulan Maret (jumlah 101 dan berat 5.535 kg) dan Ikan Madidihang di Bulan April (jumlah 19 dengan berat total 541 kg). Sebaran SPL dari data satelit pada bulan Maret-April memiliki nilai kisaran lebih tinggi dibandingkan Bulan Februari dan Mei. Sedangkan, kondisi klorofil-a tinggi pada Bulan Maret dan April berada di sekitar pesisir Pulau Sumatera, berbeda dengan bulan sebelumnya di Bulan Februari sebaran klorofil-a tinggi di sebelah timur pulau-pulau kecil yang menuju ke laut lepas. Lokasi tersebut adalah lokasi dimana
(a) (b)
(c) (d)
D-51
Ikan Tuna tersebut ditangkap sesuai data logbook di Bulan Maret dan April. Hal ini menunjukkan adanya time-lag, dimana klorofil-a tinggi tidak secara langsung menunjukkan kelimpahan ikan di lokasi tersebut. Berdasarkan urutan rantai makanan klorofil-a di dalam fitoplankton dianalogikan sebagai produsen, menjadi makanan bagi zooplankton dan ikan kecil lainnya, seterusnya ikan kecil dikonsumsi oleh ikan yang lebih besar (Ikan Tuna Mata Besar dan Madidihang). Rantai makanan tersebut membutuhkan waktu untuk beralih dari satu tahap ke tahap lainnya. Sehingga ketika klorofil- a tinggi di Bulan Februari pada sebelah timur pulau-pulau kecil, maka tangkapan Ikan Tuna akan tinggi di bulan berikutnya (Maret dan April) untuk lokasi yang sama. Selain itu SPL berada di kisaran Ikan Tuna dapat hidup. Kondisi ini menunjukkan SPL dan kondisi klorofil-a berkaitan dengan potensi wilayah tangkapan ikan.
4.Kesimpulan
Analisis citra satelit AQUA MODIS di Bulan Februari – Mei 2013 menunjukkan sebaran klorofil-a berkisar 0,025 – 0,25 mg/m3 dan sebaran SPL rata-rata antara 25 oC – 31oC. Data logbook kapal menunjukkan tangkapan Ikan Tuna Mata Besar tertinggi di Bulan Maret dengan jumlah 101 dan berat 5.535 kg, sedangkan Ikan Madidihang tertinggi di bulan April dengan jumlah 19 dengan berat total 541 kg. Di Bulan Maret-April menunjukkan SPL lebih hangat dibandingkan Bulan Februari dan Mei, dan klorofil-a tertinggi di Bulan Februari berlokasi di area penangkapan ikan di Bulan Maret dan April. Kaitan kondisi parameter lingkungan dengan tangkapan ikan dapat dijelaskan dengan time-lag dalam proses rantai makanan di ekosistem laut. Proses rantai makanan memerlukan waktu, dimana produsen (klorofil-a) dalam fitoplankton dikonsumsi oleh zooplankton, dan ikan kecil sampai menjadi makanan Ikan Tuna yang lebih besar.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini didanai DIPA tahun 2013 untuk kegiatan Pusat Pengembangan dan Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir (P3SDLP), Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pengelola PPS Bungus, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat dan para tokoh nelayan. Data Citra Satelit yang digunakan bersumber dari sistem online Giovanni, dikembangkan dan dikelola oleh NASA GES DISC.
Daftar Pustaka
[1]Acker, J.G. dan Leptoukh, G. (2007). Online Analysis Enhances Use of NASA Earth Science Data, Eos, Trans. AGU, Vol. 88, No. 2 (9 January 2007), pages 14 and 17.
[2]Allain, G., P. Lehodey, D. S. Kirby & B. Leroy. (2005). The Influence of the environment on Horizontal and Vertical Bigeye Tuna Movements Investigated by Analysis of Archival tag Records and Ecosystem Model Outputs. WCPFC-SC1, 3:13p.
[3]Arief, M. (2004). Aplikasi Data Satelit Resolusi Rendah dan SIG Untuk Analisa Distribusi Spatial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) di Selat Makassar Periode: Juli-Agustus 2004. Lapan.
Jakarta
[4]Collete, B.B and Naven, C.E. (1983). FAO Species Catalogue. Vol.2, Scombrids of the World. An Annotated and Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerels, Bonitos, and Related Species Known to Date. FAO Fish.Synop ; (125) Vol.2 : 137 p.
[5]Data Produksi Perikanan Tangkap sektor Kelautan dan Perikanan yang dipublikasikan oleh Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (PUSDATIN-KKP), data diperoleh melalui situs internet: http://sidatik.kkp.go.id. Diunduh pada tanggal 5 Mei 2018.
[6]Data-data parameter kebumian yang dikelola dan dipublikasikan oleh the Goddard Earth Sciences Data and Information Services Center (GES DISC), data diperoleh melalui situs internet:
http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/giovanni. Diunduh pada tanggal 5 Mei 2018.
[7]Nath, A. (1993). Retrieval of Sea Surface Temperature using NOAA-AVHRR Data for Identification of Potential Fishing Zones-Dissemination and Validation. Lecture Note, Workshop on Application of Sattelite Remote Sensing for Identifying and Forecasting Potential Fishing Zones in Development Countries. National Remote Sensing Agency, Hyderabad, 7-11 Dec. 1993.
India.
D-52
[8]Nontji, A. (1993). Laut Nusantara. Cetakan Kedua. Djambatan. Jakarta.
[9]Zainuddin, M., Kiyofuji, H., Saitoh, K., and Saitoh, S. (2006). Usingmulti-sensor satellite remote sensing to detect ocean hotspots for albacore tuna (Thunnusalalunga) in the north western North Pacific. Journal of Deep-Sea Research II 53 419-431.