• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian ini mencakup telaah makna dan nilai tuturan ritual ndengi pande

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Kajian ini mencakup telaah makna dan nilai tuturan ritual ndengi pande"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Bianglala Linguistika | 7

JBL– www.bianglalalinguistika.com Amakamuri

JBL/Vol. 9, No. 1/P. 7 - 13 ISSN (P) 2339-0484

ISSN (O) 2775-250X

MAKNA DAN NILAI TUTURAN RITUAL NDENGI PANDE “MOHON PANDAI”

DALAM BUDAYA MASYARAKAT TANA RIGHU DI SUMBA BARAT

Oeh:

Paulus Ama Kamuri

FKIP, Universitas Nusa Cendana Kupang - Indonesia [email protected]

Abstrak

Kajian ini difokuskan pada aspek bahasa yang digunakan dalam tuturan ritual ndengi pande ”mohon pandai” dan kaitannya dengan tradisi atau budaya yang melatari-nya. Ritual ndengi pande adalah suatu ritual yang dilakukan oleh masyarakat Tana Righu untuk memohon kepintaran kepada arwah atau roh leluhur. Masyarakat Tana Righu percaya bahwa roh leluhur mereka yang sudah mati dapat menolong mereka. Mereka percaya bahwa setiap permohonan yang disampaikan oleh anak-cucu mereka akan didengar dan dijawab oleh leluhur mereka yang sudah meninggal. Biasanya upacara ritual ini, dilakukan saat anak-anak mereka mau masuk sekolah atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka meyakini bahwa anak-anak mereka akan menjadi orang yang cerdas, berhasil dalam mendidihkan dan berguna bagi masyarakat. Kajian ini mencakup telaah makna dan nilai tuturan ritual ndengi pande. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan makna dan Nilai yang terdapat dalam tuturan ritual ndengi pande berkaitan dengan budaya yang dianutnya. Tujuannya penelitian ini adalah agar masyarakat memahami makna dan nilai ritual ini. Teori yang digunakan adalah teori linguistik kebudayaan yang ditunjang dengan konsep bahasa, budaya, tuturan ndengi pande. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa makna yang terdapat dalam tuturan ritual Ndengi Pande adalah makna budaya, makna permohonan, makna religius dan makna perlindungan. Sedangkan nilai yang terdapat dalam tuturan ritual penghormatan terhadap orang tua, leluhur yang sudah meninggal, pendidikan, dan religi.

Kata kunci: bahasa, budaya, tuturan ndengi pande, makna dan nilai.

I. PENDAHULUAN

Secara harfiah kata „Ndengi Pande‟ terdiri dari dua kata yakni Ndengi dan Pande. ndengi artinya minta dan pande yang artinya pintar. Dengan demikian tuturan ritual Ndengi Pande merupakan suatu upacara permohonan kepada roh leluhur agar diberikan kepintaran khususnya bagi anak-anak yang menempuh pendidikan baik dari tingkat dasar maupun tingkat menengah sampai pada perguruan tinggi. Tuturan ritual ini digunakan sebagai sarana komunikasi manusia dengan arwah leluhur untuk menyampaikan pesan kepada Sang Pencipta atau yang disebut Mori maholomarawi padadige tana monolangita “Tuhan yang menciptakan langit dan bumi”.

Masyarakat Sumba memiliki sistem kepercayaan yang disebut dengan Marupu.

Marapu merupakan suatu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Kepercayaan ini tercermin dalam aneka ragam bentuk manifestasi atau perwujudan berbagai ritual atau upacara yang dilakukan, salah satu bentuknya adalah kepercayaan kepada roh-roh leluhur. Mereka percaya bahwa roh nenek moyang mereka yang

sudah meninggal memiliki kekuatan yang dahsyat.

Mereka percaya bahwa mereka yang sudah meninggal memiliki kekuatan untuk menolong mereka yang masih hidup. Setiap melakukan ritual adat, yang diutamakan adalah kesucian diri, perdamaian dan keselamatan.

Masyarakat Tana Righu meyakini, bahwa orang yang meninggal masih berada di sekitar merekah. Berdasarkan keyakinan itu, maka mereka percaya bahwa roh leluhur mereka, diyakini mampu memberikan keselamatan dan ketenangan dari pelbagai persoalan yang menghampiri manusia dan kepercayaan ini merupakan warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tuturan ritual Ndengi Pande memilki bentuk bahasa yang khas. Kekhasan itu tercermin pada bahasa yang digunakan dalam sehari-hari berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam ritual Ndengi Pande.

Bahasa ritual Ndengi Pande diucapkan oleh para tokoh adat Rato „imam‟ karena bahasa ritual dipandang sebagai bahasa yang magis. Mengingat bahasa itu bersifat magis, maka tidak sebarang orang yang boleh mengucapkannya. Jika bahasa

(2)

Jurnal Bianglala Linguistika | 8

JBL– www.bianglalalinguistika.com Amakamuri

JBL/Vol. 9, No. 1/P. 7 - 13 ISSN (P) 2339-0484

ISSN (O) 2775-250X

ritual ini diucapkan secara tidak benar, maka dapat mendatangkan malah petaka bagi orang yang mengucapkannya, baik sakit maupun hewan pemeliharaan mereka akan mati

Tuturan ritual Ndengi Pande merupakan suatu kepercayaan masyarakat Tana Righu atau komunitas-komunitas adat yang diyakini memiliki makna dan nilai bagi kehidupan mereka. Jika dapat menghayati dan menaati dengan benar sesuai dengan tatacara yang diwariskan, maka akan terwujud dari apa yang mereka pinta. Sehubungan dengan pendapat Kippers dalam Sabon Ola ( 2009:

302), berdasarkan data ritual Wewewa di Pulau Sumba menyatakan bahwa bahasa ritual merupakan register yang bernilai khusus dan merupakan bahasa penghormatan. Senada dengan pendapat Hadi dalam Ni Wayan Sumitri (2015), Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan adanya sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat dengan yang luhur karena dalam ritual manusia diajak dan diarahkan masuk ke dalam suatu situasi pengalaman yang suci. Dengan demikian bahasa ritual merupakan tempat yang baik untuk mencari idiologi karena merupakan fokus dari sejumlah keyakinan yang tersirat dalam diri setiap individu yang percaya akan adanya kekuatan di luar kehendak mereka dan tidak terlepas dari unsur kebudayaan dan bahasa yang memiliki keterkaitan atau hubungan.

Menurut Bustan (2005: 2-3), Realitas pemakaian bahasa sebagai cerminan kebudayaan satu masyarakat dapat dilihat, antara lain, dalam ekspresi verbal yang dipakai dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat bersangkutan. Ekspresi verbal tersebut merupakan ungkapan tradisional warisan leluhur yang esensi dan orientasi isi pesannya menggambarkan konseptualisasi masyarakat bersangkutan tentang dunia, baik dunia yang secara faktual terjadi maupun dunia simbolik yang keberadaan objek yang menjadi rujukan nya hanya berada dalam tataran ideasional atau bersifat imajinatif. Sesuai esensi dan orientasi isi pesan yang terkandung di dalamnya, ekspresi verbal berfungsi sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi warga masyarakat bersangkutan dalam menata pola perilaku hidup mereka sehari-hari dalam kerangka pemertahanan keselarasan hubungan dengan lingkungan, baik lingkungan alam fisik maupun lingkungan sosial-budaya tempat mereka hidup. mengingat bahasa berakar

dalam konseptual sasi budaya suatu masyarakat pada setiap tataran, maka penelitian linguistik kebudayaan dapat menggunakan pendekatan ethnography yang dalam proses penerapan pendekatan tersebut mesti mempertimbangkan kebudayaan sebagai salah satu konsep dasarnya, selain bahasa dan konseptualsasi.

Masyarakat Sumba merupakan masyarakat majemuk karena memiliki keanekaragaman budaya agama, bahasa, adat istiadat, suku, ras dan golongan. Keanekaragaman ini, terdapat pula dalam budaya masyarakat Tanarighu di Sumba Sumba Barat. Selain itu, masyarakat Tana Righu sebagai suatu sistem sosial yang memiliki sub sistem misalnya politik, sosial, ekonomi dan budaya. Setiap subsistem itu memiliki fungsi dan makna tertentu. Fungsi adat adalah untuk mempererat hubungan keharmonisan antara anggota masyarakat dan mereka yakini bahwa dalam tuturan upacara ritual Ndengi Pande memiliki makna yang tersirat di dalamnya.

Dari dasar pemikiran di atas maka, penulis tertarik untuk melakukan pengkajian dengan judul

“Makna dan Nilai Tuturan Ritual Ndengi Pande dalam budaya masyarakat Tana Righu di Sumba Barat”

II. KAJIAN PUSTAKA

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Djawa (2019). Penelitian yang berjudul “Menelaah karakteristik bentuk dan makna ungkapan verbal tentang eksistensi Dewa dan Dewi sebagai kekuatan adimanusiawi dalam Bahasa Sabu”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Sabu Raijua adalah masyarakat yang politeisme.

Mereka percaya banyak Dewa, Dewi dan Deo dalam hidup mereka. Mereka percaya pada Deo „ Allah dan Dewi‟ memiliki peranan yang berbeda.

Setiap Dewa dan Dewi memiliki karakter, bentuk, dan arti yang terkandung dalam setiap nama.

Secara umum para Dewa dan Dewi sesuai dengan peranan mereka memiliki karakter yang baik, kesabaran, kesetiaan, pembantu, pelindung, wali, dan pengelola.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Solihin (2013), agama marapu merupakan akar dari sistem sosial, politik, dan budaya orang Sumba. Di bidang sosial, ia mendasari terbentuknya pelapisan sosial dari kaum bangsawan, orang bebas, dan budak. Di bidang politik, golongan bangsawan mendapat legitimasi sebagai penguasa lokal (raja). Sementara di bidang budaya, agama ini melahirkan ritual yang

(3)

Jurnal Bianglala Linguistika | 9

JBL– www.bianglalalinguistika.com Amakamuri

JBL/Vol. 9, No. 1/P. 7 - 13 ISSN (P) 2339-0484

ISSN (O) 2775-250X

diyakini berasal dari zaman megalitik, yaitu upacara kubur batu. Upacara ini diselenggarakan secara kolosal dengan melibatkan jaringan kerabat yang luas, pemotongan hewan dalam jumlah besar, penggunaan kain tradisional yang sarat makna, serta berbagai tahapan ritual yang dimaksudkan untuk mengantar arwah jenazah menuju alam leluhur (parai Marapu). Artikel ini mendeskripsikan konsep-konsep dalam agama Marapu dan manifestasinya dalam upacara kubur batu. Konsep-konsep dalam agama Marapu, meminjam analisis Clifford Geertz, telah menjadi model of reality dan model for reality bagi masyarakat Sumba dalam memahami kehidupan dan kematian. Sebagai model of reality, agama Marapu mengandaikan konsepsi ideal tentang kehidupan pasca-kematian, yaitu parai Marapu.

Sementara sebagai model for reality konsepsi mengenai parai Marapu menjadi panduan (peta kognitif) untuk memuliakan orang yang meninggal melalui penyelenggaraan upacara kematian, pemberian bekal kubur, dan persembahan hewan kurban. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana proses pengumpulan data dikerjakan dengan cara melakukan observasi, wawancara mendalam, serta kajian pustaka.

Informan dalam penelitian ini adalah kerabat atau anggota keluarga yang hadir dalam penyelenggaraan upacara kubur batu

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Ambrosius Randa (2014), Kepercayaan Marapu mengkultuskan arwah nenek moyang (leluhur) sebagai perantara untuk memuja yang Maha Pencipta atau Ilahi Tertinggi. Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur arwah–arwah lainnya, Masyarakat Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan di tempat – tempat pemujaan, serta menyiapkan segala alat dan bahan yang di gunakan dalam ritual. Berbagai ritus pengurbanan dan upacara kematian bertujuan untuk menghormati para leluhur. Bagi Masyarakat Sumba, upacara penguburan merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan arwah leluhur, sehingga terjadi keseimbangan antara dunia manusia dengan Prai Marapu.

Budaya Sumba asli dalam segala bentuknya merupakan manifestasi dari kepercayaan tradisional orang Sumba yaitu Marapu, yang merupakan warisan nenek moyang yang secara holistik telah mendasari seluruh tatanan Masyarakat Sumba. Hal ini yang kemudian menjadi peta koknitif Masyarakat Sumba dalam

menjalani berbagai aspek kehidupan sosial kebudayaannya.

Keempat, Penelitian yang dilakukan oleh Arindah Pekuwali (2020), “Satuan Lingual Tuturan Ritual Adat Pahili Mbuala di Kecamatan Rindi Kabupaten Sumba Timur: Kajian Etnolinguistik”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk satuan lingual tuturan ritual adat pahili mbuala, makna kultural, dan fungsi satuan lingual. Bentuk satuan lingual tuturan ritual adat pahili mbuala meliputi; (1) kata, (2) frasa, (3) kalimat, dan (4) wacana yang masing-masing satuan lingual tersebut mengandung makna kultural. Fungsi satuan lingual yang terkandung dalam tuturan ritual adat pahili mbuala meliputi; (1) fungsi representasi/pemerian, (2) fungsi informasional, (3) fungsi direktif, (4) fungsi memanjatkan doa, dan (5) fungsi ekspresif. Hasil temuan penelitian ini mengandung makna kultural dan fungsi yang memiliki keterkaitan dan saling berhubungan erat dengan kehidupan serta lingkungan masyarakat etnik Sumba di Desa Rindi Kecamatan Rindi Kabupaten Sumba Timur. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa dalam suatu ritual adat dapat mencerminkan perilaku dan pengetahuan terhadap kebudayaan masyarakat pemakainya. Penggunaan bahasa tersebut dapat diketahui melalui bentuk satuan lingual tuturan ritual adat pahili mbuala, makna kultural, dan fungsi satuan lingual tuturan ritual adat pahili mbuala. Pelestarian terhadap warisan budaya yang telah diturunkan sejak turun temurun ini sangat penting dilakukan agar tidak terkikis oleh arus modernisasi yang begitu pesat, sehingga tidak mudah punah. Pelestarian warisan budaya tersebut dapat dilakukan dengan mendokumentasikan teks dan foto-foto yang berkaitan dengan tuturan ritual adat pahili mbuala yang dapat menjadi referensi yang layak disimpan dan digunakan.

Berdasarkan kajian di atas, meskipun sejumlah pustaka telah mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan tuturan ritual Ndengi Pande namun terdapat gagasan yang penting sebagai rujukan peneliti dalam menganalisis, makna, dan nilai tuturan Ritual Ndengi Pande dalam budaya masyarakat Tana Righu di Sumba Barat. Selain dari pada itu, belum adanya kajian atau bahasan khusus mengenai pandangan hidup masyarakat Tana Righu yang mengkaji dari perspektif linguistik kebudayaan.

(4)

Jurnal Bianglala Linguistika | 10

JBL– www.bianglalalinguistika.com Amakamuri

JBL/Vol. 9, No. 1/P. 7 - 13 ISSN (P) 2339-0484

ISSN (O) 2775-250X

III. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang mengambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian yang berarti data yang terurai dalam kata- kata atau gambar- gambar, rekaman, dokumen, dan catatan yang resmi.

Menurut Bodgan dan Taylor dalam Moleong (2003:3), pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis lisan dari orang –orang dan perilaku yang dapat diamati.

Berdasarkan metode maka teknik yang digunakan oleh peneliti dalam menganalisis data yaitu mereduksi atau menyeleksi data-data yang sudah dikumpulkan untuk memperoleh data yang relevan dengan masalah yang telah diteliti kemudian dianalisis dengan cara membuat transcript, yakni menyalin kembali data lisan dari rekaman kedalam bentuk tulisan, menerjemahkan secara harafiah data yang sudah ditranscripsikan dan analisis data berdasarkan makna dan nilai tuturan ritual Ndengi Pande. Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa data lisan dan tulisan yang berkaitan dengan tuturan ritual Ndengi Pande.

Data lisan diperoleh dengan empat metode antara lain: metode wawancara, observasi, dan studi dokumen sedangkan data tulis diperoleh dengan menggunakan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

Tuturan ritual Ndengi Pande merupakan suatu upacara permohonan atau permintaan kepada roh leluhur agar senantiasa memberikan kepintaran khususnya bagi anak-anak yang menempuh pendidikan baik dari tingkat dasar maupun sampai pada perguruan tinggi. Tuturan ritual ini, digunakan sebagai sarana komunikasi manusia dengan arwah leluhur untuk menyampaikan pesan kepada Sang Pencipta atau yang disebut Mori Maholomarawi Padadige Tana Monolangita yang memiliki makna Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Untuk itu, dalam menganalisis tuturan ritual Rangga Ngindi Dewa bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang makna, dan nilai ditelaah dari perspektif linguistik kebudayaan sebagai teori pokok yang ditunjang dengan teori terkait, seperti pada tuturan di bawah ini:

Pato‟o li‟i hemmi Ina weda ama weda degar suara mereka ibu tua bapak tua

„Degarkan suara ini oma dan opa‟

Maihumi kimamana pamama datang makan sirih pinag kapur

„Datanglah makan sirih dan pinang‟

Nebalina pekadagumi li‟i paneghe sekarang sampaikan suara berbicara

„Sekarang saya berbicara untuk menyampaikan pesan‟

Bhodagumi li‟i kadauka beritahu suara bertutur

„Memberitahukan informasi‟

Nati ana umbu waikami ini anak cucu cece

„Ini anak,cucu dan cece‟

Nebalinawe Ndengi guwe pande sekarang minta saya pintar

„Sekarang saya meminta kepintaran‟

Patoma dukinawe samapiakan kepada

„Sampaikan kepada‟

Nai rawina dadi ata dia bikin lahir orang

„dia yang menciptakan manusia‟

Holuna pakode

menjadikan kambing/ jantan

„Menjadikan laki-laki yang kuat‟

Rawina mahailo bikin ayam jantan

„Menciptakan laki-laki‟

Niaka haige mangane ate dana

hingga ada pintar hati dalam

„Sehingga pintar ada di dalam hati‟

Niaka haige maneilo wiwi deta.

hingga ada pintar bibir di

„Sehingga bibir pintar berbicara‟

Li‟i patahu li‟i panungamudi suara pesan suara pesan

„Karena ini adalah amanat yang kamu sampaikan‟

Hou ina 2JM ibu

„Kamu ibu‟

Hou ama

(5)

Jurnal Bianglala Linguistika | 11

JBL– www.bianglalalinguistika.com Amakamuri

JBL/Vol. 9, No. 1/P. 7 - 13 ISSN (P) 2339-0484

ISSN (O) 2775-250X

2TG bapak

„Kamu bapak‟

Gaii koro gollu supaya kamar kandang

„Menjaga dan melindungi‟

Nati ana umbu waikami ini anak cucu cece

„Ini anak, cucu dan cece‟

Kiyanawe maneilo wiwi deta memberikan pintar bibir di

„Memberikan bibir yang pintar berbicara‟

Gai appakua pahewana sehingga apa cari

„Sehingga apa yang dia cari‟

Gai kaenganiage banakolege sehinga tetap dapat

„Sehingga dapat memperolehnya‟

Niakidiwe papekadagumi lii paneghe hanya sampaikan suara berbicara

„Hanya ini yang dapat saya sampaikan‟

Pato‟o li‟i hemi ina weda ama weda degar suara mereka ibu tua bapak tua

„Degarkan permohonan ini oma dan opa‟.

4.2 Pembahasan

Dengan merujuk pada potret data di atas, maka dalam bagian ini dapat dipaparkan dan dijelaskan makna dan nilai tuturan ritual Ndengi Pande dalam budaya masyarakat Tana Righu di Sumba Barat

Makna Tuturan Ritual Ndengi Pande

1. Makna Budaya

Makna budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Karena budaya terbentuk dari banyak unsur, termasuk sistem agama, politik dan adat istiada. Salah satu budaya yang dijunjung tinggi saat ini adalah tuturan ritual Ndengi Pande yang menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Budaya makan sirih dan pinang, hal ini dapat dilihata pada baris kedua maihumi kimaman pamama

datanglah makan sirih dan pinang‟. Masyarakat sumba percaya, bahwa mengunyah sirih dan pinang merupakan unsur budaya yang sudah ada sejak zaman dahulu dan sirih pinang juga berfungsi sebagai lambang komunikasi dengan arwah leluhur

yang sudah meninggal dan sering digunakan dalam beberapa acara penting antara lain acara tuturan ritual Ndengi Pande, acara kematian, acara perkawinan dan lainnya. Tidak heran ketika kita melihat orang sumba selalu meletakkan sirih dan pinang di atas batu kubur sebagai tanda sapaan dan komunikasi kepada arwah leluhur. Selain itu sirih dan pinang juga berfungsi sebagai alat pergaulan dalam menjalankan relasi dengan anggota masyarakat lainnya.

2. Makna Permohonan

Keberhasilan dalam kehidupan merupakan harapan manusia pada umumnya atas dasar itu, masyarakat sumba selalu menempatkan roh leluhur sebagai utama dan pertama dalam menyampaikan pesan atau permohonan seperti pada baris (17-18) nati ana umbu waikami “ini anak, cucu dan cece‟.

(18) Kiyanawe maneilo wiwi deta „„ agar memberikan bibir yang pintar berbicara‟ ini menandakan bahwa dalam tuturan Ndengi Pande Tokoh adat yang memimpin jalannya proses adat istiadat ini selalu memohon dan meminta kepada arwah leluhur agar senantiasa memberikan anak- anak akal budi yang cerdas dan berkualitas lewat bibir yang pintar berbicara dan otak yang terus berpikir. Masyarakat Wano Patura roh leluhur dijadikan sebagai perantara untuk menyampaikan pesan kepada (Mori) yang berarti Tuhan. Kata (Mori) disini memiliki makna yang sangat magis artinya tidak menyebutkan namanya secara sembarangan dengan istilah nai dappa kalitekki ngarana yang berarti dia yang tidak disebut namanya. Maksud dari kutipan ini merujuk pada Tuhan Yang Maha Kuasa

3. Makna Religius

Makna religius adalah sikap atau perilaku yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan dalam suatu masyarakat. Hal ini berkaitan dengan penyembahan, pemujaan serta rasa syukur kepada roh leluhur adapun kutipan yang mendukung seperti yang terdapat baris (01) dan (08) Pato‟o li‟i hemmi Ina weda ama weda „dengarkan suara ini oma dan opa‟ baris (08) Nai rawina dadi ata yang memilki makna Dia yang menciptakan manusia. Selaras dengan kutipan ini Masyarakat Sumba Khususnya Masyarakat Tana Righu percaya dengan kekuatan (marapu). Marapu yang dimaksud disini adalah keyakinan atas kemampuan arwah leluhur penghubung manusia dengan sang pencipta dengan menjalani serangkaian ritual

(6)

Jurnal Bianglala Linguistika | 12

JBL– www.bianglalalinguistika.com Amakamuri

JBL/Vol. 9, No. 1/P. 7 - 13 ISSN (P) 2339-0484

ISSN (O) 2775-250X

dalam hal ini tuturan ritual Ndengi Pande dengan penuh kesungguhan berdasarkan pada kepercayaan agar benar-benar nyata dalam kehidupan mereka.

Selain itu juga roh leluhur dipercaya dapat sebagai arwah yang mampu dan layak menyampaikan permohonan dan harapan kepada Sang Pencipta yang menciptakan manusia.

4. Makna Perlindungan

Keinginan akan rasa aman dan ketentraman merupakan dambaan atau harapan bagi semua orang agar terhindar dari mara bahaya hal ini tercermin pada baris (16) Gai koro gollu

„Menjaga dan melindungi‟ yang selalu mengharapkan perlindungan dan keselamatan dari berbagai cobaan yang datang. Tentunya permohonan akan adanya perlindungan ditujukan kepada roh leluhur karena diyakini bahwa arwah orang meninggal memiliki kekuatan dan dapat memberikan keselamatan bagi orang sumba yang percaya akan adanya (Marapu)

Nilai Tuturan Ritual Ndengi Pande 1. Nilai Moral

Nilai moral merupakan suatu pesan moral atau nasihat yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung senada dengan baris (13) –(15) Li‟i patahu li‟i panungamudi hou ama hou ina „Karena pesan dan kehendak yang kamu sampaikan bapak dan mama. Merujuk dengan kutipan ini maka pesan yang terdapat dalam tuturan ritual Ndengi Pande pada masyarakat Tana Righu merupakan suatu pesan yang mau tidak mau yang harus dilakukan karena sudah ada sejak zaman dahulu dan terus diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Atas kepercayaan itu sehingga dituangkan dalam tuturan ritual Ndengi Pande dan tidak bisa diingkari atau dihilangkan. Jika amanat ini dapat diingkari maka akan mendapatkan mala petaka atau tertimpa bencana. Seperti halnya pesan orang tua yang berbunyi „rengnge lii panunga Ama munnu renge lii pateki Ina ga‟ikana dua moripapu iza‟ koka‟ yang bermakna dengarkanlah nasihat bapak dan ibu sehingga hidup akan baik suatu saat nanti.

2. Nilai Estetika

Nilai seni atau nilai estetika terkait dengan pemilihan bentuk dan ragam bahasa, serta cara pengungkapan yang berciri puitis dan mangandung seni atau keindahan serta mengundang kenikamtan

indrawi ketika dituturkan fenomena kebahasaan ini dapat dilihat pada baris (11) dan (12). Data (11) niaka haige mangane ate dana „Sehingga pintar ada di dalam hati‟. Data (12) Niaka haige maneilo wiwi deta „Sehingga bibir pintar berbicara‟.

Sehubungan dengan pendapat Bruce Allsopp (1977) estetika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang proses dan aturan dalam menciptakan suatu karya seni, yang diharapkan bisa menimbulkan perasaan positif bagi orang yang melihat dan merasakan. Seperti kata „niaka haige mangane ate dana, Niaka haige maneilo wiwi deta‟ yang memiliki makna keindahan ketika didengar dan diucapkan. Nilai estetika tercermin pula dalam penggunaan fenomena kebahasaan berciri puisitas menimbulkan kenikmatan indrawi ketika dituturkan yang mengacu pada penyimpangan unsur-unsur linguistik.

3. Nilai Pendidikan

Nilai pendidikan adalah suatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk berbuat positif di dalam kehidupan bermasyarakat sehingga nilai pendidikan dalam tuturan ritual Ndengi Pande bertujuan mendidik seseorang agar menjadi manusia seutuhnya adapun data yang mendukung dapat lihat pada baris (06) nebalinawe ndengi guwe pande “„Sekarang saya meminta kepintaran‟. Mengingat akan pentingnya pendidikan bagi anak sehingga masyarakat Tana Righu mengadakan upacara tuturan ritual ndengi pande dengan maksud agar senantiasa memberikan akal budi sehingga menjadi orang yang bijak dan cerdas. Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam tuturan tersebut harus ditanamkan kepada anak sejak dini agar anak –anak tetap mengetahui nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, misalkan nilai pendidikan keimanan yang menyangkut kepercayaan.

4. Nilai Religius

Sejalan dengan makna religius di atas, nilai religius dalam tuturan Ndengi Pande berkaitan dengan iman dan keyakinan kepada Tuhan sebagai penyebab awal dan akhir dari seluruh kehidupan ini. Nilai religius merupakan wujud hubungan antara manusia dan roh leluhur seperti pada kutipan pada baris (22) pato‟o li‟i hemi ina weda ama weda „Degarkan permohonan ini oma dan opa‟. Masyarakat Tana Righu selalu menempatkan roh nenek moyang di sekeliling mereka yang tidak terlihat secara kasat mata tetapi bisa mereka

(7)

Jurnal Bianglala Linguistika | 13

JBL– www.bianglalalinguistika.com Amakamuri

JBL/Vol. 9, No. 1/P. 7 - 13 ISSN (P) 2339-0484

ISSN (O) 2775-250X

rasakan kehadiran maupun menerima atau tidak permintaan mereka. Salah satu cara yang digunakan untuk membuktikan terima atau tidak permintaan dibuktikan dengan melihat usus ayam yang telah dipotong. Namun tanda-tanda yang ada pada usus ayam tersebut yang mengetahui maknanya adalah para tokoh adat yang disebut dengan Rato „imam‟

V. PENUTUP Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa makna dan nilai yang terkandung dalam tuturan ritual Ndengi Pande dalam budaya masyarakat Tana Righu di Sumba Barat yakni: Makna Budaya, Makna Permohonan, Makna Religius dan Makna Perlindungan . Sedangkan Nilai yang terdapat dalam tuturan

tersebut yakni: Nilai moral, Nilai Estetika, Pendidikan dan Religius.

Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis dapat menyarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Hasil budaya yang telah lahir dalam kehidupan masyarakat Tana Righu di Kabupaten Sumba Barat agar tetap dikembangkan secara terus meneru, agar budaya tersebut tidak punah atau hilang.

2. Bagi tokoh-tokoh adat masyarakat Tana Righu, agar tetap mempertahankan dan melestarikan budaya dalam hal ini tuturan ritual Ndengi Pande sehingga bisa diteruskan oleh generasi muda ke generasi berikutnya.

3. Diharapkan Penelitian Lanjutan bagi generasi muda yang ingin mengkaji nilai-nilai budaya yang ada.

VI. REFERENSI

Bustan, F. 2005. “Wacana budaya tudak dalam ritual penti pada kelompok etnik Manggarai di Flores Barat: sebuah kajian linguistik budaya.”

Disertasi. Denpasar: Program Doktor (S3) Linguistik Universitas Udayana.

Kaelan. 2012. Metode Penelitian Kualitatif

Interdisipliner (bidang sosial, budaya, agama, dan humaniora). Yogyakarta: Paradigma.

Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan.

Bandung: Nusa Media PO Box 137 Ujung Berung.

Moleong, lexi.1990. Metode Penelitian Kualitatif.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Palmer, G. B. 1996. Toward a theory of cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press.

Sabon, Ola. 2009. “ Makna Tuturan Ritual Lewak Tapo Pada Kelompok Etnik Lama Holot di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur”.

Sumitri, Ni Wayan. 2015. “Wacana Tradisi Vera Etnik Rongga di Manggarai Timur” Disertasi.

Denpasar: Program Doktor (S3)

Referensi

Dokumen terkait