Kawin Cerai di Era Post Modernisme; Studi Kasus Klien Ambu Consulting and Healing Center
Divorced Marriage in Post Modernism Era; Ambu Consulting and Healing Center Client Case Studies
Eva Nur Hopipah
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia E-mail: [email protected]
Aden Rosadi
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The phenomenon of divorce at an early age of marriage continues to increase from year to year, so that it has become commonplace in this post-modern era. The phenomenon of high divorce is also faced by clients of Ambu Consulting and Healing Center. There are many factors behind the divorce phenomenon. This study aims to describe the level of cases of divorce in the post-modern era with the Ambu Consulting and Healing Center research locus, the factors that influence the client's decision to marry and divorce at the Ambu Consulting and Healing Center. This study uses a qualitative approach, collecting data through observation, interviews and documentation. Case study research was conducted on Ambu Consulting and Healing Center clients who were facing divorce problems. The results showed that the phenomenon of the client's divorce marriage at the Ambu Consulting and Healing Center showed that the human characteristics of the post-modern era were not able to take advantage of the positive side of the post-modern era. The factors that cause divorce are related to the lifestyle of the post-modern era.
Keywords: Divorce, Postmodernism, Ambu Consulting and Healing Center
ABSTRAK
Fenomena kawin cerai dengan usia pernikahan yang masih dini terus-menerus melonjak dari tahun ke tahun, sehingga sudah menjadi hal biasa di era post modernisme ini.
Fenomena tingginya perceraian juga dihadapi oleh klien Ambu Consulting and Healing Center.
Banyak faktor yang melatarbelakangi fenomena perceraian tersebut. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tingkat kasus kawin cerai di era post modernisme dengan lokus penelitian Ambu Consulting and Healing Center, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusannya untuk kawin cerai klien di Ambu Consulting and Heling Center. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Studi kasus penelitian dilakukan terhadap klien Ambu Consulting and Healing Center yang menghadapi permasalahan perceraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena kawin cerai klien di Ambu Consulting and Healing Center menunjukkan karakteristik manusia era post modernisme tidak mampu memanfaatkan sisi positif dari era post modernisme. Faktor-faktor yang menjadi penyebab kawin cerai saling berhubungan dengan gaya hidup era post modernisme.
Kata Kunci: Perceraian, Postmodernisme, Ambu Consulting and Healing Center
PENDAHULUAN
Kasus perceraian di Indonesia relatif sangat tinggi. Berdasarkan data laporan Statistik Indonesia mencapai 447.743 kasus pada tahun 2021, meningkat 53,50%
dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 291.677 kasus. Laporan ini menunjukkan kalangan istri lebih banyak menggugat cerai ketimbang suami. Sebanyak 337.343 kasus atau 75,34% perceraian terjadi karena cerai gugat. Sementara 110.440 kasus atau 24,66% perceraian terjadi karena cerai talak. Berdasarkan wilayah, kasus perceraian tertinggi pada 2021 berada di Jawa Barat, yakni sebanyak 98.088 kasus.
Diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah, masing-masing sebanyak 88.235 kasus dan 75.509 kasus. Secara tren, kasus perceraian di tanah air selama lima tahun terakhir cenderung fluktuatif. Kasus perceraian tertinggi terjadi pada 2021, sedangkan terendah pada 2020. Padahal, kasus perceraian tercatat melonjak sepanjang 2017- 2019 (https://databoks.katadata.co.id/). Kasus meningkatnya perceraian juga dihadapi oleh klien Ambu Consulting and Healing Center. Berdasarkan fenomena tingginya kasus perceraian yang terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut, masyarakat membutuhkan edukasi ataupun
treatment
sebagai langkah preventif (pencegahan) ataupun kuratif (penyembuhan).Perceraian adalah hal yang biasa terjadi dalam keluarga. Perceraian diperbolehkan dalam Islam dengan sebab dan alasan yang dapat dibenarkan.
Perceraian bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti suami yang meninggal dunia, atau pasangan yang tidak akur dan pertengkaran selalu terjadi. Terkadang orang bercerai karena satu orang tidak lagi dapat memiliki anak. Orang-orang di dunia memiliki warna kulit yang berbeda-beda. Beberapa orang memiliki kulit yang lebih gelap daripada yang lain. (Abdullah dan Saebani, 2013)
Perceraian merupakan sesuatu yang tidak ideal, namun perceraian diperbolehkan dalam kasus di mana salah satu pasangan telah dianiaya. Perceraian tidak baik bagi siapapun. Oleh karenanya, Undang-undang Perkawinan no 16 tahun 2019 perubahan atas UUP No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga mengatur tentang perceraian. Ini memiliki ketentuan yang berbeda untuk kasus yang berbeda.
Salah satu syarat untuk bercerai adalah harus ada alasan yang baik mengapa pasangan tidak dapat hidup bersama dengan damai (Burlian, 2019).
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang memiliki sumbangsih terhadap penelitian yang dilakukan.
Pertama
adalah penelitan terkait Fenomena Kawin – Cerai Dalam Teori Interaksionisme Simbolik yang diteliti oleh Isman, Yamani, dan Marzuki (2022). Hasil penelitian menyatakan bahwa hal yang menyebabkan pernikahan tidak bertahan lama, disebabkan oleh perjodohan, umur yang masih kurang, kurang siap menjalani rumah tangga, psikologis, tekanan masalah, dan adanya orang ketiga.Adapun pengendalian kawin-cerai kurang dilakukan, yang bisa digaris bawahi khususnya lingkungan, keluarga, yang pertama adalah faktor lingkungan yang kurang mempengaruhi hal-hal yang seperti itu (kawin-cerai) yang sebenarnya adalah hal yang sangat dibenci oleh agama.
Kedua
, sebuah penelitian yang mendeskripsikan interaksionisme simbolik dari fenomena “mabennya’ akabhin, nambhei pajhu
” yang artinya semakin sering menikah semakin laris.Society
(kebiasaan kawin-cerai) diolahmind-self
(akan meniru, menolak, atau mengikuti kebiasaan kawin-cerai. Tetapi kebiasaan kawin-cerai tidak sesuai dengan norma hukum dan norma agama). (Nuriyah dan Listyani).Penelitian ketiga
dengan topik Kawin – Cerai Perwujudan Citra Popularitas. Kehadiran suami di saat popularitas istri menyertainya seakan-akan terdapat banyak mata yang mengawasinya dan hal itu membuat risih perempuan. Tak heran laki-laki sebagai seorang suamipun merasakan cemburu melihat perempuan yang menjadi pasangannya populer dan selalu berhadapan dengan publik. Ketika kecemburuan datang pada sosok suami itulah bibit perjalanannya mulai tumbuh kembali yang berlanjut pada perceraian, menapaki masa menjanda, dan pada gilirannya melakukan pencarian pasangan baru. (Wastap, Jaeni, 2011).Penelitian keempat,
Nurrahman (2022) menyatakan bahwa, “Dialektika perjalanan pemikiran dalam Islam dari masa ke masa ada beberapa era, diantaranya adalahrevivalist pre modernist, classic modernists: 19 and 20 century, neo revivalist or revivalist post modernis, neo modernis
t.” Dan karena dewasa ini adalah era post modernisme dengan berbagai karakteristiknya yang tentu berbeda dengan era sebelumnya, maka muncul sebuah pertanyaan apakah ada korelasinya antara melonjaknya volume kawin cerai (cerai gugat, cerai talak) dengan karakteristik perubahan fisik, psikologis dan pemikiran manusia di era post modern?Setiap fenomena yang terjadi tentu ada etiologi atau penyebab yang
pemicu perceraian dalam perkawinan. Faktor-faktor yang melatarbelakangi perceraian akan di kupas secara mendalam pada bagian berikutnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai dasar pertimbangan, pendukung, dan sumbangan pemikiran kepada pengambil keputusan dalam hal kawin cerai, entah itu cerai gugat atau cerai talak yang sangat
urgent
dewasa ini.Setiap zaman memiliki kondisi serta permasalahan sendiri. Sejak tahun 80-an hingga sekarang, terutama di negara-negara maju seperti-Eropa dan Amerika marak diperbincangkan sebuah kondisi yang dinamakan “postmodern”. Kondisi ini juga diperbincangkan di berbagai belahan dunia di luar Eropa dan Amerika. Pemikiran ini bukan hanya menyentuh persoalan-persoalan filsafat kemanusiaan melainkan juga persoalan keagamaan (Ismail, 2019). Oleh karena persoalan-persoalan praktis manusia terus ada dan berubah dari zaman ke zaman, termasuk dalam ranah perkawinan, dan perkawinan pun sangat lekat dengan keagamaan, maka dapat ditarik benang merah antara kasus perceraian yang melonjak dengan karakteristik manusia di era post modern dengan berbagai permasalahannya.
Terdapat hal penting yang belum disentuh oleh peneliti sebelumnya terkait fenomena kawin cerai yang terus melonjak ini. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tingkat kasus kawin cerai di era post modern dengan lokus penelitian Ambu Consulting and Healing Center, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusannya untuk kawin cerai klien di Ambu Consulting and Heling Center. Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi menambah khazanah keilmuan di bidang hukum keluarga ataupun psikologi keluarga bagi masyarakat Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang mendeskripsikan tingkat kasus kawin cerai di era post modern serta faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk kawin cerai di Ambu Consulting and Heling Center. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis datanya ada tiga tahap, yaitu analisis data sebelum di lapangan, analisis data selama di lapangan, dan analisis data setelah selesai di lapangan. Populasi penelitian ini diambil dari keseluruhan klien Ambu Consulting and Healing Center yang menghadapi permasalahan perceraian. Jumlah populasi sebanyak 30 klien dengan
berbagai rentang usia dan permasalahan perceraian
.
Adapun karakteristik dari sampel yang akan digunakan adalah klien yang memiliki kasus kawin cerai berkali-kali dengan usia pernikahan di bawah lima tahun. Klien yang memenuhi karakteristik untuk dijadikan sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 10 orang. Studi kasus dilakukan selama satu bulan, terhitung dari tanggal 15 oktober hingga 18 oktober 2022.KARAKTERISTIK, KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POST MODERNISME YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN KAWIN CERAI
Karakteristik postmodernisme lainnya menurut Jean Baudrillard dalam buku Postmodernisme karya Akhyar Yusuf Lubis (2016) menyatakan bahwa karakteristik post modern diantaranya adalah budaya konsumsi, budaya hedoni, masyarakat informasi dan masyarakat imajinasi. Indikator di atas sangatlah
relate
dengan karakteristik klien/subjek dalam penelitian ini. Sesuai pula dengan variabel yang digunakan dalam penelitian ini dimana karakteristik manusia di era post modernisme menentukan bagaimana subjek bersikap dan mengambil keputusan untuk bertahan atau bercerai. Bahkan kebiasaan kawin cerai di usia pernikahan yang masih dini pun adalah merupakan karakteristik manusia di era ini yang begitu mementingkan budaya konsumtif, hedonis, negative informatif, dan imajiner.Masyarakat sekarang semakin tertipu dalam “dunia citraan” dan “wacana” yang secara cepat menggantikan pengalaman manusia atas realitas. Situasi seperti ini dilatarbelakangi oleh perkembangan teknologi, ilmu pengtahuan dan informasi yang dapat membentuk atau menyalin realitas ke dalam model atau bentuk citraan (imajinasi, tipuan) yang kualitas keserupaannya hampir sama, bahkan jauh lebih sempurna daripada bentuk aslinya. Dalam konteks masyarakat imajinasi masa kini, segala sesuatu yang telah hilang pada masa lalu, dapat dihadirkan saat ini dalam replika, salinan, imitasi dan tiruannya. Itu berarti manusia telah kehilangan kontaknya dengan realitas atau mengambil jarak terhadap realitas.
Salah satu kelebihan postmodernisme adalah perspektif postmodern menjadi peka terhadap kemungkinan wacana positif berskala besar, etika positif, dapat dipelintir dan digunakan untuk menindas orang. Martabat manusia harus dijaga karena kebebasan dihargai, namun ada kalanya kita ingin menghapuskan yang namanya
kebebasan bagi sekelompok orang. Postmodernisme membantu meningkatkan kesadaran bahwa semua kisah hebat harus dianggap. Kita perlu berhati-hati agar tidak menjadi rezim totaliter yang hanya mendengarkan suaranya sendiri dan membutuhkan suara lain dari luar (Zaprulkhan, 2006: 323-324).
Menurut Franz Dahler, post modernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi (Jalaluddin, 2013: 67). Zaprulkhan menemukan bahwa postmodernisme setidaknya memiliki kelemahan yang penulis rangkum dalam tiga poin utama. Jadi, pertama, postmodernisme yang dengan penuh semangat mempromosikan cerita-cerita kecil, ternyata buta terhadap fakta bahwa banyak cerita kecil mengandung banyak korupsi.
Komunis yang mempertahankan tradisi komunal berpendapat bahwa banyak tradisi komunal tidak hanya bertentangan dengan gagasan abstrak tentang martabat manusia yang ditolak oleh postmodernisme, tetapi juga bertentangan dengan institusi moral manusia yang dalam. Kedua, postmodernisme tidak membedakan antara ideologi di satu sisi dan prinsip universal etika terbuka di sisi lain. Dengan kata-kata yang ambigu seperti hiperbola, mereka mengaburkan perbedaan mendasar mereka. Pendekatan ideologislah yang memfasilitasinya, bukan nilai dan prinsip inti dari moralitas terbuka.
Dalam pengertian ideologi tertutup, ideologi selalu menuntut ketaatan mutlak, sehingga bertindak secara bertanggungjawab dan melanggar harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berperilaku. Dan ketiga, postmodernisme menuntut agar narasi besar dihapuskan demi narasi kecil dan lokal. Menyatakan kepada umat manusia bahwa Kisah Agung harus ditolak sama saja dengan menyatakan bahwa deklarasi itu sendiri tidak perlu diabaikan. (Zaprulkhan, 2006: 322-323 dalam Setiawan
& Sudrajat, 2018).
KASUS KAWIN CERAI DI AMBU CONSULTING AND HEALING CENTER
Berdasarkan sampel dari populasi yang ada di sebuah layanan kesehatan mental keluarga yang bernama
Ambu Consulting and Healing Center
. Klien dengan karakteristik yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, semisal klien yang usia pernikahannya di bawah lima tahun alias seumur jagung, atau klien yang usia pernikahannya dekat dan sudah menikah berkali-kali. Pengambilan data dilakukansecara kualitatif dengan melakukan
interview
pada sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian. Sesuai hasil analisis deskriptif menyatakan bahwa klien sering kali terbawa oleh arus perubahan zaman di era post modernisme yang akhirnya memutuskan untuk melakukan gugat cerai atau talak cerai pada pasangan. Berikut data kasus kawin cerai (gugat cerai dan talak cerai) di Ambu Consulting and Healing Center:Tabel 1.0
Kasus Kawin Cerai (Cerai Gugat dan Cerai Talak) di Ambu Consulting and Healing Center
No Inisial Responden
Penelitian Kasus Kawin Cerai (Cerai Gugat/Cerai Talak)
Frekuensi Menikah
1 LMS Cerai Talak, Cerai Gugat 3 kali
2 DAA Cerai Gugat 1 kali
3 TAK Cerai Gugat 2 kali
4 NH Cerai Gugat 1 kali
5 YL Cerai Gugat 2 kali
6 UKW Cerai Talak, Cerai Gugat 3 kali
7 SF Cerai Gugat 2 kali
8 FDH Cerai Talak 2 kali
9 TR Cerai Gugat 3 kali
10 AS Cerai Gugat 3 kali
Berdasarkan data penelitian di atas, terlihat bahwa kasus kawin cerai di tempat penelitian cukup tinggi. Kawin cerai ialah ketika frekuensi menikahnya berkali-kali.
Apalagi ditambah usia responden yang terbilang muda. Jika melihat prosentase cerai gugat atau cerai talaknya, ada klien yang cerai gugat saja, cerai talak saja, atau diantara berapa kali perikahannya, ada yang cerai gugat dan cerai talak. Prosentase cerai gugat sebanyak 90 % (tinggi) dan cerai talak 30 % (lebih rendah). Kasus perceraian di tempat penelitian sangatlah banyak, namun yang dijadikan responden adalah yang menikahnya berkali-kali, atau meski tak berkali-kalipun usia pernikahannya yang masih sangat dini tapi sudah bercerai. Jika di analisis secara general, kasus kawin cerai yang terjadi di tempat penelitian sangatlah tinggi, oleh karenanya perlu pengambilan data mendalam terkait apakah karakteristik manusia di era post modern (hedonis, konsumtif, informatif, imaginatif) bisa mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku (kawin cerai).
KARAKTERISTIK POST MODERN YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN KAWIN CERAI DI AMBU CONSULTING AND HEALING CENTER
Hal pertama sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh dari karakteristik manusia di era post modern yang mempengaruhi keputusannya untuk kawin cerai berkali-kali. Indikator dari karakteristik manusia di era post modern ini ada empat, yaitu hedonis, konsumtif, informatif, dan yang terakhir adalah imajinatif. Setelah melakukan pengambilan data selama kurang lebih sebulan, berikut akan dijabarkan hasil penelitian di Ambu Consulting and Healing Center. Hasil penelitin untuk kasus ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2.0 Kasus Kawin Cerai Ambu Consulting and Healing Center di Era Post Modern
Kasus Perceraian
Keseluruhan Kasus Kawin Cerai yang Dijadikan Sampel
Indikator Karakteristik Manusia di Era
Post Modern
Prosentase
± 30 kasus diantara ± 50 kasus
keseluruhan
10 klien sesuai
kriteria Hedonis 60 %
Konsumtif 80 %
Informatif 90 %
Imaginatif 80 %
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat di lihat bawah kasus perceraian di tempat penelitian adalah ± 30 kasus dari total ± kasus yang ada. Klien yang dijadikan sampel sesuai kriteria adalah 10 klien. Kemudian setelah dilakukan pengumpulan data didapatkan hasil seperti tabel di atas, sehingga dapat penulis analisa bahwa karakteristik manusia di era post modern dapat mempengaruhi keputusannya melakukan kawin cerai hingga berkali-kali di usia pernikahan yang dini bahkan usianya masih terbilang muda. Dan jika dilihat dari prosentasenya, karakteristik manusia yang informatif untuk hal-hal yang negatif, semisal meniru gaya hidup public figure yang juga melakukan kawin cerai, ternyata memiliki prososentase hingga 90 % dibandingkan karakteristik lainnya.
Kemudian, ranking selanjutnya adalah karakter imaginatif yaitu 80 %, karakter yang seringkali berandai-andai ingin memiliki pasangan seperti pasangan orang lain yang pada akhirnya kurang bersyukur pada pasangannya sekarang. Karakteristik yang
sering kali membanding-bandingkan, yang pada akhirnya memicu pertengkaran terus- menerus dan efek lainnya. Intinya, jika terus-menerus berimanjinasi maka tidak akan pernah puas dengan pasangan sekarang, sehingga kawin cerai pun menjadi sebuah kebiasaan.
Karakteristik ranking ketiga adalah budaya konsumtif sebesar 70 %. Ketika pasutri memiliki gaya konsumtif. Ia membeli sesuatu hal yang tidak penting namun sebetulnya tidak mampu untuk itu. Pasutri pun sering kali fokus pada kebutuhan perutnya saja tanpa mementingkan kebutuhan lain yang bisa jadi lebih urgent. Hal ini pun sering kali memicu percekcokan antara pasutri, bahkan memicu hadirnya orang ketiga yang dianggap mampu memuaskan keinginan konsumtifnya itu.
Indikator yang terakhir adalah gaya hidup hedonis. Gaya hidup yang dilakukan pasutri hanya untuk kesenangan saja tanpa memikirkan efek lainnya. Tanpa ingat adanya tanggung jawab dan komitmen dalam sebuah rumah tangga, maka hal ini pun bisa menghancurkan kehidupan suami istri. Bahkan jika gaya hedonis dilakukan, ia tidak akan cukup dengan satu pasangan saja, tentu hal inilah yang mempengaruhi pula seseorang untuk melakukan kawin cerai berkali-kali.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KAWIN CERAI DI AMBU CONSULTING AND HEALING CENTER
Ketika seseorang memutuskan untuk bercerai dengan pasangannya tentu banyak faktor yang mempengaruhi, tidak hanya satu faktor saja. Dalam buku
“
Trending Topics of Marriage Life
” (Khofifah, 2022) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian adalah faktor ekonomi yang tidak cukup bahkan kurang, kebutuhan seksual pasutri yang kurang terpenuhi, pertengkaran terus- menerus yang menguras emosi, tenaga dan pikiran, adanya pihak ketiga, komunikasi yang tidak sefrekuensi, tidak jelas pembagian peran pasangan di ranah domestik, masalah klasik tentang poligami, toxic relationship yang dipelihara, pasangan kurang memahami satu sama lain, adanya KDRT, tidak sepaham dalam pola pengasuhan anak, dan ikut campur orangtua atau mertua secara berlebihan dalam rumah tangga menjadi faktor terakhir yang dijelaskan dalam buku tesebut. Selanjunya, penulis akan kupas tuntas faktor-faktor penyebab perceraian sesuai dengan hasil di lapangan, diantaranya adalah:Tabel 3.0 Ranking Faktor-Faktor Penyebab Kawin Cerai di Ambu Consulting and Healing Center
No. Faktor Penyebab Prosentase Ranking
1 Faktor Ekonomi 50 % 5
2 Pernikahan Dini 20 % 7
3 Kebutuhan Seksual Pasangan Suami Istri yang Tidak Terpenuhi
90 %
1
4 Pertengkaran Terus-menerus 70 % 3
5 Adanya Pihak Ketiga 90 % 1
6 Komunikasi yang Buruk 80 % 2
7
Tidak Jelas Pembagian PeranPasangan di Ranah Domestik 60 % 4
8
Toxic Relationship
yangDipelihara 50 % 5
9 Adanya KDRT (Kekerasan dalam
Rumah Tangga) 50 % 5
10 Adanya Intervensi Orangtua atau Mertua Secara Berlebihan dalam Rumah Tangga
40 % 6
11 Belum Dikaruniai Keturunan 20 % 8
Berdasarkan hasil penelitian di atas, selanjutkan akan dijabarkan satu persatu deskkripsi sesuai hasil penelitian di atas:
1. Faktor Ekonomi
Sebanyak 45% jurnal menunjukkan bahwa faktor finansial menjadi salah satu penyebab perceraian. Faktor ekonomi ini muncul dari berbagai jenis masalah, seperti:
Ketidakpastian pendapatan rumah tangga akibat suami yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga karena tidak memiliki pekerjaan yang tetap atau suami yang malas sehingga berdampak pada berkurangnya kebutuhan pemenuhan kebutuhan keluarga. (Syafriani Manna et al., 2021). Data yang diambil dari Ambu Consulting and Healing Center pun menunjukan hal demikian. Faktor ekonomi yang berdampak memutukan kawin cerai pada klien adalah 50 % dari total sampel, dan faktor ekonomi menempati ranking kelima. Masalah finansial yang menjadi pemicu gugat cerai atau talak cerai yang akhirnya kawin cerai menjadi sebuah kebiasaan karena finansial dianggap tidak cukup bahkan kurang, yang akhirnya berpengaruh terhadap hal lainnya.
2. Pernikahan Dini
Klien yang menjadi subjek penelitian diantaranya adalah yang melakukan pernikahan dini, bahkan beberapa diantaranya di bawah tangan. Ketika menikah pada usia dini dan belum siap dengan segala konsekuensi pernikahan, maka tak sedikit orang yang dengan mudahnya memutuskan bercerai kemudian menikah kembali dalam jangka waktu yang dekat. Hingga berulang-ulang demikian padahal usianya masih sangatlah muda (20-25 tahun) namun sudah menikah hingga tiga kali. Di tempat penelitian, klien yang melakukan pernikahan dini hanya 20 % saja dan menempati ranking ke tujuh.
3. Kebutuhan Seksual Pasangan Suami Istri yang Tidak Terpenuhi
Jika masalah finansial yang memicu perceraian, orang masih ramai membicarakannya. Namun jika masalah seksual yang menjadi alasannya, orang seakan tidak mendengar apapun, hal seperti ini masih saja terasa tabu, bahkan di kalangan keluarga. Padahal sekarang sudah zaman darurat moral, banyak remaja yang hamil duluan yang tentu ada laki-laki tak bertanggung jawab yang berani mencederainya.
Namun tetap saja, masalah seksual menjadi hal yang harus dibungkam dalam-dalam, padahal Rasulullah pun sering kali membahasnya, artinya tidak mengapa, bukan?
Padahal jika kita berbicara data kuantitatif, masalah seksual alias urusan kasur ini tak kalah penting dari urusan dapur, ketidakharmonisan dalam masalah seksual menjadi nomor dua penyebab perceraian. (Khofifah, 2022)
Di klinik keluarga ini, masalah seksual menempati ranking pertama bersama dengan pengaruh pihak ketiga. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa ketika ia masuk ke sidang terakhir, karena di desak oleh Majelis Hakim, barulah ia bisa menyatakan bahwa masalah seksual lah yang menjadi pemicu tidak harmonisnya rumah tangga sehingga memutuskan untuk berpisah, bahkan mengulangi hal yang sama ketika berganti pasangan.
4. Pertengkaran Terus-menerus yang Menguras Emosi, Tenaga, dan Pikiran Dr. Thariq Kamal An-Nu’aimi (2000) seorang ahli di bidang Psikologi Keluarga menyatakan bahwa, “Pernikahan dalam pengertian ilmu sosial adalah ikatan antara laki-laki dan perempuan dengan perjanjian yang bersifat syar’i yang membolehkan keduanya hidup di bawah satu atap. Berarti pernikahan adalah menggabungkan dua
minum bersama, berpikir, berencana dan mengambil keputusan penting secara bersama-sama, yang juga berkaitan langsung dengan perjalanan hidup mereka untuk masa depannya.”
Sekitar 70 % mengalami permasalahan ini yang akhirnya membuat dirinya lelah berumah tangga. Beberapa di antara klien menyatakan hal yang kurang lebih sama, bahwa, “jika ada masalah dalam rumah tangga itu adalah kewajaran, namun jika terus-
menerus terlibat peertengakaran, maka saya lebih baik berpisah dan mencari pasangan yang lebih baik
.” Meskipun dalam realitanya, ketika ia bertemu pasangan baru, masalah ini pun sering kali muncul kembali.5. Adanya Pihak Ketiga
35% jurnal menunjukkan bahwa perselingkuhan adalah salah satu alasan perceraian. Insiden yang terjadi pun beragam mulai dari pesan teks
online
sederhana hingga perzinahan, atau persetubuhan. Salah satu kasus yang terjadi di lokasi penelitian dimana pihak lawan kali ini adalah suaminya sering selingkuh dan berganti istri. Karakter ini tidak disukai oleh istrinya hingga akhirnya dia menggugat cerai suaminya. Alasan mengapa pasangan memiliki istri dan suami ideal yang berbeda adalah situasi ekonomi yang memburuk dan kurangnya pemahaman tentang hak dan kewajiban suami dan istri (Syafriani Manna et al., 2021). Namun subjek dalam penelitian ini menujukan angka yang lebih besar lagi. Bahkan masalah perselingkuhan ini ada di ranking 1 bersama dengan kebutuhan seksual yang tidak terpenuhi. Hal ini sangat terlihat sekali dengan korelasi manusia di era post modern yang di deskripsikan sebelumnya.6. Komunikasi yang Buruk
Hasil penelitian relatif tinggi mengatakan bahwa komunikasi yang buruk adalah penyebab perceraian. Benar bahwa komunikasi yang buruk menyebabkan masalah yang lebih luas seperti: Pasangan tidak merasa dihargai, tidak dapat mengajak pasangan untuk berbagi, atau tidak ada saat dibutuhkan. Kurangnya komunikasi juga disebabkan oleh fakta bahwa pasangan hidup berjauhan. Pada dasarnya, memburuknya hubungan pasangan bukanlah faktor utama dalam memutuskan putusnya keluarga. Komunikasi yang buruk antar pasangan dimulai dengan ketidakmampuan untuk memberi tahu pasangan Anda apa yang Anda rasakan. Ini menciptakan konflik yang lebih rumit. Komunikasi interpersonal yang buruk antara
pasangan disebabkan oleh hilangnya kepercayaan pada pasangan (Syafriani Manna et al., 2021). Komunikasi yang buruk pasutri menempati posisi kedua, sekitar 80 % dari sampel memiliki komunikasi yang buruk.
Core
dari berbagai permasalahan yang ada terletak pada komunikasi yang buruk. Beberapa klien menyatakan hal yang kurang lebih sama, “sebesar apapun masalah rumah tangga, jika komunikasi kami baik maka insya Allah selesai, namun yang terjadi adalah komunikasi kami buruk, sehingga masalah kecil pun bisa menjadi besar
.”7. Tidak Jelas Pembagian Peran Pasangan di Ranah Domestik
Suami istri adalah partner yang keduanya saling melengkapi, sekalipun suami adalah pemimpin, tetap saja ada keadaan yang mewajibkan suami menggunakan otoritas kepemimpinannya, dan ada pula yang menuntut suami untuk lebih lunak dan bijaksana terhadap istrinya. Karena memang begitulah sosok pemimpin yang ideal, ia mampu menempatkan diri kapan harus tegas, lembut ataupun bijaksana pada makmum nya. Seperti dalam hadis disebutkan, “
Dari ‘Aisyah, ia pernah ditanya apa yang dilakukan Rasulullah di rumah. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab, ‘Beliau menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sendalnya, dan mengerjakan segala apa yang (layaknya) para suami lakukan di dalam rumah
,’” (HR. Ahmad)Dalam hal ini, semua klien yang menjadi subjek penelitian menyatakan kelelahan karena tidak jelas pembagian peran dalam rumah tangga. Masalh ini menempasti posisi keempat, sekitar 60 % klien menjelaskan bahwa hal ini sering kali menjadi pemicu masalah yang tiada hentinya. Sang istri sibuk di ranah domestik sekaligus mengasuh anak, bahkan ada yang bekerja. Sang suami sibuk mencari nafkah. Keduanya saling mengandalkan dan saling berkata “lelah”.
8.
Toxic Relationship
yang Dipelihara
Toxic
atau racun tidak hanya ditemui di dunia medis yang berhubungan dengan masalah fisik saja. Namun di dunia psikologis, dewasa ini sangatlahtrend
sekali. Tak sedikit yang melakukan konsultasi pernikahan kepada penulis yang masalahnya karena kasus perselingkuhan dan KDRT pasangan. Namun klien bingung haruskah bertahan sekalipun tentu rumah tangganya akan menjaditoxic
untuk dirinya, ataukah berpisah yang tentu harus siap menerima segala konsekuensinya. Penulis tentu memberikantreatment
yang beragam, bergantung dari keringanan kasus nya. Bergantung pulakembali pada kematangan klien, mau bertahan ataukah berpisah. Hasil penelitian untuk masalah yang terlihat sepele ini adalah bahwa ternyata
toxic relationship
menempati posisi kelima bersamaan dengan masalah ekonomi dan adanya KDRT.9. Adanya KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga)
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai: Tindakan-tindakan tersebut membawa kerugian dan penderitaan bagi kehidupan perempuan secara fisik, psikis dan seksual. Ini termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam kehidupan individu, keluarga, komunitas dan bangsa. Sedangkan menurut Undang- Undang No 23 Tahun 2014 Pasal 1 tentang penghapusan dalam rumah tangga adalah:
“KDRT adalah setiap orang yang menyebabkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman perilaku, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga, terutama terhadap perempuan. (Wahyudi Ilham, 2019). 50 % subjek mengalami KDRT. Diantaranya ada yang masih bertahan dan menggugat cerai pasangannya karena menganggap KDRT adalah hal yang tidak bisa ditolelir.
10. Adanya Intervensi Orangtua atau Mertua Secara Berlebihan dalam Rumah Tangga
Sudah alamiah terjadi, ketika memutuskan untuk menikah dengan pasangan, maka itu sudah sepaket dengan keluarganya, kita harus mampu berhubungan baik dengan keluarga pasangan, termasuk orangtuanya yang telah mendidik dan mengasuhnya sedari kecil. Tapi dalam realitasnya, perihal hubungan dengan mertua, Rasulullah pun sudah mewanti-wanti bahwa tidak aneh jika ada gesekan-gesekan di dalamnya, dan pasutri harus pandai menyikapinya, agar kita tetap waras dan sehat mentalnya, jika tidak maka intervensi berlebihan dari orangtua atau mertua dapat menjadi bumerang dalam keutuhan rumah tangga. (Khofifah, 2022). 40 % klien menyatakan awalnya hubungan rumah tangganya baik-baik saja, namun ketika terlalu banyak intervensi dari orangtua ataupun mertua, maka hal demikian seringkali menjadi pemicu pertengkaran yang terus-menerus, bahkan memicu perceraian.
11. Belum Dikaruniai Keturunan
Belum memiliki keturunan pun adalah sebuah ujian dalam rumah tangga, bahkan tak sedikit pasangan yang berselingkuh atau memilih poligami. Karena memiliki
keturunan adalah hal yang diidamkan oleh kebanyakan pasangan. Jadi ketika sekian tahun pasangan belum dikaruniai keturunan, tentu adalah ujian berat dalam rumah tangga. Ketika belum memiliki keturunan maka seakan tidak ada penguat dari buah hati ketika ada masalah rumah tangga, dan tidak semua pasangan siap untuk itu, banyak diantaranya yang memilih berpisah karena hal ini. Meski klien di Ambu Consulting and Healing Center yang bercerai karena belum dikaruniai keturunan hanya 20 %, dan kebanyakan bertahan, namun hal ini tentu menjadi permasalah krusial pula.
Bahkan, pasangan memutuskan untuk selingkuh dan menggugat cerai pun pemicunya adalah permasalahan ini.
KESIMPULAN
Setelah dijelaskan lebih dalam bagaimana fenomena kawin cerai (cerai gugat atau cerai talak) di era post modernisme ini, maka dapat disimpulkan bahwa fenomena kawin cerai untuk usia pernikahan yang masih dini dan menikah berkali-kali di usia muda sudah bukan hal yang tabu di era post modernisme ini, termasuk di Ambu Consulting and Healing Center hasil penelitiannya menunjukkan bahwa karakteristik manusia di era post modernisme (konsumtif 70 %, hedonis 60 %, informatif 90 %, dan imajinatif 80 %) yang tidak mampu memanfaatkan sisi positif dari era post modernisme inilah menjadi pemicu seseorang mengambil keputusan kawin cerai berkali-kali dalam jangka waktu yang dekat.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab klien melakukan kawin cerai pun tentu saling berhubungan dengan gaya hidup era post modernisme di atas. Faktor tertinggi yang mempengaruhi klien memutuskan kawin cerai adalah kebutuhan seksual yang tidak terpenuhi dengan baik, dan adanya pihak ketiga. Faktor terendah dalam penelitian ini adalah belum dikarunia anak, sekitar 20 % klien memutuskan untuk berganti-ganti pasangan karena hal ini. Faktor lainnya pun sangatlah berpengaruh terhadap keputusan kawin cerai, diantaranya adalah masalah ekonomi 50 %, pernikahan dini 20 %, pertengkaran terus-menerus 70 %, komunikasi yang buruk 80
%, tidak jelas pembagian peran di ranah domestik 60 %, toxic relationship 50 %, KDRT 50 %, dan intervensi berlebih orangtua atau mertua 40 %.
Sesuai dengan tujuan penelitiannya, diharapkan karena fenomena di atas, perlu
(rehabilitasi) untuk meminimalisir kawin cerai yang terus melonjak. Selain dari sisi keilmuan psikologi keluarga, hukum keluarga yang jelas pun menjadi penentu agar fernomena yang terjadi mengalami perbaikan, bukan sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H.B.A. dan Saebani, B.A. (2013).
Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim
. Bandung: Pustaka Setia.Abdul, W.K. (2013).
Ilmu Ushul Fikih
. Jakarta: Pustaka Amani.Al-Tayyi, K,S. (1982).
Al-Ijtihad fima la Nassa fihi, Jilid II, Cet. I
. Bayrut: Maktabah al- Haramayn.Arifin Laila Setyawati. (2020).
Transformasi Sosial dan Perceraian (Studi Kasus Relasi Keluarga Muslim di Kota Bogor)
.Azizah Linda. (2012). Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam.
Al-’Adalah
,Vol. X, No. 4
(Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam), 1–8.Burlian, F. (2019). Licensi Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International 77 Eksistensi Perkawinan Dan Perceraian Menurut Hukum Islam Dan Pasca Berlakunya UU NO. 1 Tahun 1974 Existence Marriage and Legal Separation of Islam and Pasca Go Into Effect UU No. 1 Year 1974.
Jurnal Ilmu Hukum
,8
(2).Creswell, J.W. (2010).
Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed
. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Dahwadin, dkk. (2020). Hakikat Perceraian Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam di Indonesia.
Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam
,Volume 11, Nomor 1
(Hakikat Perceraian Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam di Indonesia), 1–18.Ismail, Y. (2019). Postmodernisme dan Perkembangan Pemikiran Islam Kontemporer.
Jurnal Online Studi Al-Qur An
,15
(2), 235–248.https://doi.org/10.21009/jsq.015.2.06
Isman, dkk. (2022). Fenomena Kawin – Cerai Dalam Teori Interaksionisme Simbolik.
Prosiding Kajian Islam dan Integrasi Ilmu di Era Society 5.0 (KIIIES 5.0) Pascasarjana Universitas Islam Negeri Datokarama Palu 2022, Volume 1
, 1-5.Khofifah, E.N. (2022).
Trending Topics of Marriage Life
. Jakarta: Elexmedia Komputindo.Kusmardani, A., Syafe’i, A., Saifulah, U., & Syarif, N. (2022). Faktor-faktor Penyebab Perceraian Dalam Perspektif Hukum Keluarga Antar Madzhab Islam Dan
Realita Sosial.
Jurnal Syntax Imperatif : Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan
,3
(3), 176. https://doi.org/10.36418/syntax-imperatif.v3i3.168Lubis, A.Y. (2016).
Postmodernisme: Teori dan Praktik
. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Nuriyah dan Listyani. Makna kawin-cerai “mabennya’ akabhin, nambhei pajhu”. UNESA, Universitas Negeri Surabaya, 1-39.
Nurrohman. (2022).
Pemikiran dalam Islam: Bahan Academic Governance 2022-2023
. [Power Point Slide 7-37].Nu’aimi. T. K. (2000).
Psikologi Suami Istri
. Yogyakarta: Mitra Pustaka.O’Donnel, K. (2009).
Postmodernisme
. Yogyakarta: PT Kanisius.Rosadi, A. (2021).
Hukum dan Administrasi Perkawinan
. Bandung: Remaja Rosdakarya.Ro’uf, A. M. (2019). Posmodernisme: Dampak dan Penerapannya pada Studi Islam.
Analisis: Jurnal Studi Keislaman
,19
(1), 155–176.https://doi.org/10.24042/ajsk.v19i1.4161
Setiawan, J., & Sudrajat, A. (2018). Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan.
Jurnal Filsafat
,28
(1), 25.https://doi.org/10.22146/jf.33296
Sugiharto, I.B. (1996).
Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat
. Yogyakarta: Kanisius.Sugiyono. (2017).
Metode Penelitian Kombinasi: (Mixed Methods).
Bandung: Alfabeta.Supriyadi, D. (2022).
Sejarah Hukum Islam: Dari Kawasan Jazirah Arab hingga Indonesia
. Bandung: Pustaka Setia.Syafi’i, I. A. (2014).
Al-Umm: Thalak, Khulu dan Nusyuz, Iddah dan Illa
’. Jakarta:Pustaka Azzam.
Syafriani Manna, N., Doriza, S., & Oktaviani, M. (2021).
Cerai Gugat: Telaah Penyebab Perceraian Pada Keluarga di Indonesia
.6
(1).https://doi.org/10.36722/sh.v%vi%i.443
Tali, P., Choirunnisa, P., Novitasari, N., Latifiani, D., & Arifin, R. (2019).
Analisis Hukum
Islam terhadap Faktor
(Vol. 3, Issue 2).http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah
Wahyudi Ilham. (2019).
Faktor-faktor Dominan Penyebab Terjadinya Perceraian di
Lingkungan Yurisdiksi Peradilan Agama dalam Perspektif Gender
.Wastap, Jaeni. (2011). Kawin – Cerai Perwujudan Citra Popularitas (Studi Dramaturgis Perempuan Dalam Seni Pertunjukan Rakyat.
RETORIKA, Communication Journal, Univ. Pasundan Bandung,
1-14.Wijayanti, U. T. (2021). Analisis Faktor Penyebab Perceraian pada Masa Pandemi Covid-19 di Kabupaten Banyumas.
Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen
,14
(1), 14–26.https://doi.org/10.24156/jikk.2021.14.1.14 https://databoks.katadata.co.id/