Rania Redhamutia1, Nur Aini Puspitasari2
1,2Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Abstrak
Pemahaman mengenai kearifan lokal menjadi hal yang penting untuk mengatur tatanan kehidupan. Film merupakan salah satu media untuk menyampaikan sebuah kearifan lokal kepada masyarakat luas melalui tanda yang terdapat dalam alur cerita. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui kearifan lokal suku Baduy di dalam film Ambu karya Farid Dermawan dengan pendekatan semiotika. Hasil penelitian bahwa film Ambu mengandung enam dimensi kearifan lokal suku baduy yakni (1) pengetahuan lokal terdiri atas tokoh Ambu Misnah pembuatan pengobatan herbal dan masyarakat memiliki leuit untuk ketahanan pangan; (2) nilai lokal terdiri atas ketaatan masyarakat terdap pikukuh, penggambaran rumah adat, dan pakaian adat yang dikenakan sehari-hari oleh masyarakat suku Baduy; (3) Keterampilan lokal terdiri atas permainan alat musik tradisional, pembuatan kain tenun, dan penjualan berbagai kerajinan tangan khas suku Baduy; (4) Sumber daya lokal terdiri atas lahan pertanian, perladangan, dan sungai sebagai sumber pokok untuk memenuhi kebutan masyarakat suku Baduy; (5) Manajemen pengambilan keputusan lokal terdisi atas musyawarah yang dilakukan oleh Ambu Misnah dan Fatma bersama Jaro serta pemberian hukuman yang terdapat pada pikukuh karuhun; (6) Solidaritas kelompok lokal terdiri atas gotong royong untuk membangun rumah yang dilakukan oleh laki-laki suku Baduy dan rasa peduli yang tinggi terhadap tetangga. Kearifan lokal tersebut didapatkan melalui pendekatan semiotik berdasarkan tanda yang terdapat pada gambar dan dialog tokoh di film Ambu karya Farid Dermawan.
Kata Kunci: kearifan lokal, suku Baduy, film Ambu, semiotik
Abstract
Understanding local wisdom is important to organize the order of life. Film is one of the media to convey a local to the wider community through signs contained in the storyline. This research was conducted with descriptive qualitative method that aims to find out the local wisdom of Baduy tribe in Ambu movie by Farid Dermawan with semiotic approach.
The result of the research shows that Ambu movie contains six dimensions of local wisdom of Baduy tribe, namely (1) local knowledge consists of Ambu Misnah's character making herbal medicine and the community having leuit for food security; (2) local value consists of the community's obedience to pikukuh, the depiction of traditional houses, and traditional clothes worn daily by the Baduy tribe; (3) local skills consist of playing traditional musical instruments, making woven fabrics, and selling various handicrafts typical of the Baduy tribe; (4) Local resources consist of agricultural land, cultivation, and river as the main source to fulfill the needs of the Baduy community; (5) Local decision- making management consists of deliberations conducted by Ambu Misnah and Fatma together with Jaro and the punishment contained in pikukuh karuhun; (6) Local group solidarity consists of mutual cooperation to build houses carried out by Baduy men and a high sense of care for neighbors. The local wisdom is obtained through a semiotic approach based on the signs contained in the images and dialogues of the characters in Farid Dermawan's Ambu Keywords: Local Wisdom, Baduy Tribe, Ambu film, semiotic
A. PENDAHULUAN
Kearifan lokal bersumber dari kultur dan budaya lisan yang diwariskan secara terus-menerus agar kehidupan sosial suatu daerah dapat tertata. Pemahaman mengenai kearifan lokal merupakan hal yang penting untuk mengatur tatanan kehidupan sehingga masyarakat dapat memanfaatkan kearifan lokal untuk meningkatkan kesejahteraan agar tercipta suatu kedamaian (Sibarani, 2021). Jika masyarakat sudah bersikap arif, maka lingkungan di sekitarnya dapat terjalin dengan harmonis (Brata, 2016).
Saat ini terdapat permasalahan di masyarakat yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi dan perkembangan zaman. Di masa dunia yang modern aspek kehidupan diukur berdasar logika untung dan rugi, hal ini semakin membuat kearifan lokal sulit dipertahankan keberadaannya yang mengakibatkan merosotnya nilai kearifan, moral, humanisme, dan semakin terdegradasi suatu persatuan (Umaternate, dkk., 2022).
Beberapa permasalahan kearifan lokal pada penelitian yang telah dilakukan diantaranya mengenai kelestarian bahasa daerah, banyak anak muda yang enggan memakai bahasa daerahnya sebab tidak mau dianggap kuno. Selanjutnya, ada satu kesenian yang jarang ditampilkan, sehingga suku Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Jakarta mengkategorikan salah satu kesenian tersebut rentan atau terancam musnah. Selain itu, pada tarian salah satu daerah juga terancam punah karena jarang
dilakukan oleh masyarakat setempat dan hanya menyisakan satu orang maestro (Saputra, 2018; Kiftiawati &
Mursalim, 2020; Setiawan, 2020).
Berdasarkan pada data penelitian tersebut terlihat bahwa beberapa daerah terpengaruh oleh perkembangan zaman sehingga kearifan lokal yang terdapat di daerahnya terancam punah. Tidak dapat dipungkiri hal tersebut sangat memungkinkan terjadi apabila masyarakat ataupun generasi muda tidak mempertahankan kearifan lokal di daerahnya, karena suatu kebudayaan atau kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak bersifat statis, melainkan dinamis mengikuti perkembangan yang tercipta.
Pada perkembangan zaman semakin modern dan teknologi semakin canggih, salah satu wilayah yang tedapat di Banten yang berusaha mempertahankan kearifan lokal dengan baik yakni Baduy. Suku Baduy adalah penduduk yang berasal dari etnis Sunda. Mereka tinggal bersama di kawasan pedalaman pegunungan Kendeng, desa Kenakes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku Baduy merupakan masyarakat yang homogen karena berasal dari satu keturunan dan memiliki keyakinan yang sama yakni berasal dari leluhurnya. Menurut warga suku Baduy, mereka telah mewarisi alam dengan segala isinya untuk dijaga dengan sebaik-baiknya (Binarwan, 2019).
Perwujudan keharmonisan dalam membangun sikap arif dapat dilihat dari masyarakat Baduy. Kearifan
lokal terletak pada pandangan hidup mereka pada alam, keseimbangan, serta keharmonisan dengan lingkungan sekitar. Masyarakat di sana secara turun-temurun masih memegang teguh kepercayaan dan adat istiadat yang berasal dari leluhur. Salah satu ajaran ketentuan adat pokok (pikukuh). Dengan demikian, ajaran tersebut membuat masyarakat suku Baduy berpikir, berkata, dan berbuat sesuatu harus sesuai dengan ketentuan agar selalu dalam kemaslahatan (Permana, 2010).
Masyarakat suku Baduy hidup dengan pola yang sederhana. Mereka menganggap bahwa tanah yang mereka tempati hanya titipan dari karuhun sehingga mereka tidak merasa memiliki hak atas tanah tersebut. Sampai saat ini masyarakat di suku Baduy tetap berpegang teguh pada aturan adat dan pola kebiasaan mencintai alam. Aturan-aturan yang bersifat larangan tersebut masih memiliki peran dan fungsi yang nyata dalam menciptakan keselarasan dan keseimbangan hidup bersama dengan alam.
Masyarakat Suku Baduy melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kearifan lokal, tetapi tetap mengalami kedinamisan.
Perkembangan kehidupan masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor sepeti perkembangan zaman dan persinggungan dengan masyarakat lain. Seiring berjalannya waktu masyakarat suku Baduy mengalami penyesuaian-penyesuaian pada tataran praktis, tetapi inti dari kepercayaan, adat, dan aturan- aturan yang telah ada relatif tidak
berubah. Contohnya seperti tataran adat, keagamaan, maupun praktis pada masyarakat suku Baduy Penamping cenderung lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat suku Baduy Tangtu yang masih bertahan sesuai dengan pikukuh.
Pelestarian khasanah nilai-nilai luhur budaya dan kearifan lokal suatu daerah penting untuk dilakukan, karena suatu bangsa memerlukan identitas sebagai jati diri agar dapat menjadi acuan berprilaku dalam bermasyarakat.
Cara untuk mencegah kepunahan kearifan lokal dapat dilakukan dengan mengetahui dan menjaga kelestariannya oleh masyarakat setempat, setelah itu mereka dapat memperkenalkan kearifan lokal di daerahnya kepada masyarakat luas.
Untuk itu, agar dapat
memperkenalkan dan
mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki Indonesia kepada masyarakat, diperlukan media.
Salah satu media untuk menyebarkan pesan dan memperlihatkan kearifan lokal suatu daerah kepada masyarakat luas adalah film. Fungsi film pada dasarnya yakni media informatif yang efektif, secara tidak langsung film menjadi alat rekreasi, instruktif dan persuasif. Film juga dapat dikatakan sebagai sebuah seni yang merepresentasikan sebuah realitas, karena film dapat menata berbagai peristiwa ke dalam alur ceritanya sehingga film disebut sebagai narasi kehidupan (Munanjar, 2016). Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa film memiliki persamaan dengan karya sastra, yakni karya
sastra juga diciptakan tidak terlepas dari masyarakat dan budayanya.
Industri perfilman di Indonesia mulai mengedepankan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya menjadi bagian dari elemen produksi film.
Gagasan cerita yang mengandung nilai-nilai budaya sejalan dengan kondisi Indonesia yang memiliki beragam kearifan lokal yang tersebar di nusantara. Film yang mengandung nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sebagai sarana promosi kearifan lokal budaya Indonesia. Oleh karena itu, film dapat membantu memperkenalkan budaya yang belum banyak dikenal.
Kearifan lokal dalam film digambarkan melalui berbagai simbol dan tanda yang berupa suara ataupun gambar sebagai pesan yang ingin disampaikan oleh sutradaranya. Oleh karena itu, untuk menentukan makna yang sebenarnya maka dapat dilakukan analisis menggunakan pendekatan semiotika. Menurut Roland Barthes, semiotika terdapat dua tingkatan, yaitu makna denotasi pada tingkatan pertama dan makna konotasi (Akhir, 2021). Roland Barthes meyakini dalam teorinya, di masyarakat terdapat aspek lain. Setelah suatu tanda telah memiliki makna denotasi dan kontasi, kemudian makna tersebut berkembang menjadi mitos (Nujhan, 2019).
Dari permasalahan yang telah dijabarkan, maka perlu dilakukan penelitian. Telah ada penelitian yang dilakukan dengan fokus pada nilai kearifan lokal, seperti penelitian pada film pendek “Tilik” mengkaji kearifan lokal tentang Budaya Jawa.
Selain itu, terdapat penelitian yang
mengkaji kearifan lokal di pulau Natuna pada film Jelita Sejuba.
Penelitian lainnya yakni Peran Perempuan dan Kearifan Lokal Indonesia dalam Media Film.
Penelitian tersebut menunjukan kearifan lokal budaya Minang (Tamsil, 2021; Hidayat, dkk., 2019;
Kartikawati, 2020).
Salah satu film yang memiliki peran dalam memperkenalkan budaya di Indonesia adalah film Ambu. Film Ambu karya Farid Dermawan memiliki keunikan karena film tersebut merupakan film komersil pertama yang mengangkat keindahan serta kearifan lokal suku Baduy sebagai latar belakangnya.
Berdasarkan pada penelitian terdahulu dan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk mengkaji tentang Film Ambu mengenai kearifan lokal suku Baduy. Pembeda penelitian ini terletak pada subjek dan objek penelitian. Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk menemukan kearifan lokal suku Baduy dengan subkategori dimensi pengetahuan lokal, nilai lokal, keterampilan lokal, sumber daya lokal, mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan solidaritas kelompok lokal yang terdapat dalam film Ambu dengan mengaitkan pada teori semiotika Roland Barthes.
sehingga penelitian ini mengangkat judul “Kearifan Lokal Suku Baduy dalam Film Ambu Karya Farid
Dermawan (Pendekatan
Semiotika)”.
B. METODE PENELITIAN
Metode pada penelitian ini yakni deskriptif kulitatif. Penelitian
kualitatif dilakukan pada situasi alamiah. Menurut Chairi dalam Rofiah (2022) penelitian kualitatif dilakukan dalam keadaan tertentu yang terjadi dalam kehidupan nyata yang bertujuan untuk mengetahui lebih dalam dan memahami mengenai apa, mengapa, dan bagaimana suatu hal terjadi.
Penelitian deskriptif kualitatif menyajikan data dalam bentuk uraian. Data dari penelitian kualitatif terdiri atas dialog tokoh dan gambar di film.
Teknik pengumpulan data diawali dengan menyaksikan film dengan cermat, membuat transkrip data, mengidentidikasi bagia cerita yang sesuai dengan tujuan penelitian, mengelompokan data sesuai dengan rumusan masalah, lalu memasukan data yang berupa dialog tokoh dan gambar pada film Ambu yang berkaitan dengan kearifan lokal suku Baduy ke dalam tabel instrumen penelitian.
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis degan pendekatan semiotika Roland Barthes yang meiliki tiga aspek makna, yakni denotasi, konotasi dan mitos. Teknik pengolahan data pada penelitian ini terdiri dari reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan (Alwi, 2021).
Oleh karena itu, prosedur penelitian ini diawali dengan mengidentifikasi suatu masalah, mengumpulkan data penelitian, mengidentifikasi data yang ditemukan, menganalisis data temuan, menyimpulkan data hasil penelitian, dan memeriksa keabsahan data dari penelitian
kearifan lokal yang terdapat dalam film Ambu.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hakikat Kearifan Lokal
Kearifan Lokal menurut Njaritjani (2018), merupakan kearifan budaya tradisional suku bangsa. Kearifan mempunyai makna yang luas yang di dalamnya mencakup norma, nilai budaya, gagasan yang berimplikasi pada kesehatan, teknologi dan keindahan.
Dengan demikian, kearifan lokal menjadi pedoman dan solusi dalam menjwab permasalahan dalam memenuhi kebutuhan di daerah masyarakatnya.
Sibarani (2021) dalam bukunya membagi kearifan lokal menjadi kedamaian dan kesejahteraan. Lalu, Kearifan lokal yang digagas oleh Keraf (2002) yakni segala wujud pengetahuan, kepercayaan, pengetahuan, keyakinan, wawasan adat istiadat atau etika yang menjadi pedoman prilaku manusia di dalam komunitas ekologis. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pandangan dari Jim Ife yang menggolongkan kearifan lokal menjadi enam dimensi, yakni pengetahuan lokal, nilai lokal, keterampilan lokal, sumber daya lokal, manajemen pengambilan keputusan lokal dan solidaritas kelompok lokal (Budiaman, dkk., 2020).
2. Hakikat Semiotika
Hakikat semiotika ialah suatu ilmu yang mempelajari menganai tanda (Tanti & Khaerunnisa, 2022).
Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce merupakan seorang
pakar yang pertama kali mengkaji tentang ilmu tanda. Tanda diletakan pada konteks komunikasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Lalu, Roland Barthes mengembangkan teori tanda menjadi dua tahap signifikasi seperti yang terdapat pada bagan berikut (Bartes, 2007).
Signifier (Penanda)
Signified (Petanda) Denotative Sign (Tanda Denotatif)
CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)
CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) CONNOTATIVE SIGN
(TANDA KONOTATIF)
Dari bagan tersebut, terlihat bahwa signifikasi tingkat pertama adalah denotasi dan signifikasi tingkat kedua adalah konotasi.
Selanjutnya, aspek mitos disertakan oleh Roland Barthes sebab konotasi menjadi suatu pemikiran yang tersebar di masyarakat.
3. Kearifan Lokal Suku Baduy dalam Film Ambu
Suku Baduy berada di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Letak geografis Suku Baduy yaitu 6o27’27”-6 o30’0”LS dan 108o3’9”- 106o4’55”BT.
Masyarakat suku Baduy sangat melestarikan kearifan lokal di lingkungan sekitarnya. Cara masyarakat melestarikannya dengan menjaga keasrian hutan, sumber air, dan menjaga kebersihan lingkungn
dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat di sana masih bergantung pada alam sehingga mereka selalu menjaga keseimbangan alam. Hal tersebut terlihat pada kegiatan masyarakat yang mengikuti komunitas pramuwisata, mereka tetap berupaya agar kearifan lokal suku Baduy tetap bertahan (Islami et al., 2018). Selanjutnya dalam hal pikukuh (aturan adat), suku Baduy memegang aturan tersebut sebagai pedoman menjalani kehidupan.
Kearifan Lokal suku Baduy terdapat dalam Film Ambu. Film pada dasarnya merupakan media audio visual yang dapat diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup (Alfathoni, 2020). Film adalah hasil dari realitas yang tumbuh di masyarakat. Di dalam film mengandung berbagai pesan yang dapat mempengaruhi masyarakat melalui cerita yang dikemas dengan baik. (Sobur, 2006). Begitu pula dengan Film Ambu karya Farid Dermawan, tujuan dari film ini sebagai satu upaya melestarikan keberdaan suku Baduy.
Film Ambu menjadi film komersil pertama di Indonesia yang mengangkat cerita keluarga dan kasih sayang ibu kepada anaknya dengan keindahan serta kearifan lokal Suku Baduy sebagai latar belakangnya. Awal film Ambu rilis di bioskop pada bulan Mei 2019.
Film Ambu mendapat Penghargaan Khusus Film yang Bermuatan Kearifan Lokal pada Festival Film Bandung (FFB) tahun 2019. Di ajang yang sama Endhita yang berperan sebagai Hapsa dalam film Ambu mendapat Penghargaan
Pemeran Pembantu Wanita Terpuji Film Bioskop. Di tahun 2020 film Ambu mendapat penghargaan pada ajang Festival Film Asia Pasifik (APFF) dengan kategori Artis Pemeran Pembantu Terbaik. Saat ini film Ambu dapat disaksikan di platform Catchplay Plus (Catchplay+). Film Ambu diproduseri oleh Iti Jayabaya selaku Bupati Lebak, Banten dengan tujuan sebagai satu upaya melestarikan keberdaan suku Baduy.
Berikut merupakan hasil dan pembahasan hasil temuan mengenai enam dimensi kearifan lokal suku Baduy yang terdapat dalam Film Ambu karya Farid Dermawan:
3.1 Pengetahuan Lokal Membuat Pengobatan Herbal Gambar 1
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi dari Gambar 1 bahwa Ambu Misnah dan Hapsa sedang di dapur. Ambu Misnah memasukan beberapa daun ke dalam air yang mendidih. Setalah air rebusan daun matang, Hapsa memberikannya kepada Fatma yang sedang sakit.
Makna konotasi terlihat dari scene sebelumnya saat Ambu Misnah melihat Fatma kesakitan di dalam kamar. Ambu Misnah segera pergi menuju dapur, karena di dapur ia bisa berusa membuat ramuan untuk mengurangi sakit yang dirasakan Fatma. Setelah itu Ambu Misnah memasukan beberapa daun ke
dalam air lalu dimasak hingga matang agar khasiat yang ada pada daun dapat mudah dikonsumsi. Air rebusan tersebut diantar oleh Hapsa untuk diberikan kepada Fatma agar dapat meredakan rasa sakit akibat penyakit yang sedang dideritanya.
Mitos yang terdapat di suku Baduy yang berkaitan dengan dimensi pengetahuan lokal bahwa masyarakat suku Baduy menggunakan tanaman herbal untuk pengobatan tradisional. Masyarakat baduy memanfaatkan kearifan lokal dari tanaman yang ada di sekitarnya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kameswari (2023), terdapat 60 jenis tanaman herbal yang ada di suku Baduy dan dapat ditemukan di perkarangan rumah hingga di hutan.
Memiliki Leuit untuk Ketahanan Pangan
Gambar 2
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi dari Gambar 2 terlihat Hapsa sedang berjalan melewati sebuah gubuk, rumah panggung yang tinggi, dan ikatan- ikatan padi yang sedang digantung.
Makna konotasi dari gambar tersebut bahwa Fatma melewati leuit atau lumbung untuk menyimpan padi. Masyarakat di suku Baduy memiliki tempat khusus untuk menyimpan padi dalam kurun waktu yang lama. Leuit berbentuk seperti rumah panggung dengan
tinggi satu sampai dua meter yang ditopang oleh empat kaki penyangga.
Mitos dari leuit merupakan simbol dari ketahanan pangan suku Baduy, hal ini dinyatakan oleh berita yang terdapat di laman Badan Penghubung Daerah Provinsi Banten. Leuit dimiliki oleh seluruh masyarakat suku Baduy untuk mempersiapkan agar terhindar dari kelaparan saat sawah kering akibat dari musim kemarau. Bentuk bangunan leuit yang tinggi dipercaya oleh masyarakat agar padi yang disimpan dapat bertahan lama dan bebas dari tikus.
3.2 Nilai Lokal Pikukuh
Gambar 3
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Dialog
Nona: “Listrik, sabun, shampo, apalagi? Hp, kenapa sih semuanya dilarang?”
Hapsa: “Ih Non, urang Baduy mah pan kudu taat kana aturan. Ngabara tapakeun ngabara tarikeun, ngamumule alam. Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak”.
Makna denotasi dari Gambar 3 dan dialog tersebut bahwa Hapsa menjawab pertanyaan dari Nona penyebab banyak larangan di suku Baduy yakni orang Baduy harus taat terhadap aturan mengenakan bahasa Sunda.
Makna konotasi nilai lokal dari bagan tersebut bahwa di Baduy terdapat sebuah pedoman hidup yang diwariskan kepada tiap generasi untuk menjaga alam, dengan cara panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, gunung tidak boleh dihancukan, lembah tidak boleh dirusak, sehingga banyak aturan- aturan yang tetap dijalankan.
Mitos nilai lokal pada dialog yang diucapkan Hapsa merupakan bagian dari pikukuh dan Pitutur yang diwariskan oleh karuhun. Hal tersebut menjadi tata aturan dan hukum adat yang bersumber dari keyakinan sunda Wiwitan yang dianut oleh masyarakat suku Baduy (Nadroh, 2018).
Rumah Adat Gambar 4
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi dari Gambar 4 di atas yakni Fatma sedang berjalan melewati rumah-rumah yang berada di perkampungan suku Baduy.
Rumah di sana saling berhadapan dan serasi antara satu dengan yang lainnya.
Makna konotasi dari gambar tersebut bahwa rumah untuk membangun rumah di Baduy ada aturan terkait pemilihan bahan, sebab setiap bangunan rumah terlihat memiliki bentuk dan menggunakan bahan-bahan yang sama yakni kayu dan bambu.
Mitos mengenai nilai lokal terkait rumah adat di suku Baduy disebut Sulah Nyanda. Terdapat beberapa aturan saat membangun rumah, diantaranya rumah hanya boleh menghadap ke utara dan selatan karena berpengaruh pada penyinaran sinar matahari.
Selanjutnya, tidak diperkenankan merusak bumi maka dibuatlah rumah paggung dengan bahan- bahan alami, seperti menggunakan kayu sebagai tiang penyangga, bambu untuk dinding dan atap, dinding dari anyaman bambu, serta penutup atap yang terbuat dari daun kelapa kering. Dengan demikian tidak ada pula rumah yang menggunakan paku dari besi untuk memperkokoh bangunan.
Pakaian Adat Gambar 5
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi dari nilai lokal yang terdapat pada Gambar 5 saat Jaya menuju toko miliknya, ia berjalan di belakang laki-laki yang mengenakan pakaian yang sama dengannya yaitu berwana hitam dan ikat kepala batik berwarna biru kehitaman, sedangkan di sebelah kanannya terdapat dua perempuan yang memakai pakaian atasan berwarna hitam dan bawahan kain batik berwarna biru kehitaman.
Makna denotasi kearifan lokal dimensi nilai lokal tersebut berarti bahwa pakaian yang dikenakan oleh
laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam Gambar 5 adalah pakaian adat yang dikenakan oleh warga suku Baduy.
Mitos di suku Baduy yang berkaitan dengan pakaian, dapat diketahui bahwa dalam Film Ambu berlokasi di Baduy Luar. Terdapat perbedaan warna pakaian antara Baduy Dalam dan Baduy Luar. Di Baduy Luar, pakaian yang dikenakan berwarna hitam kebiruan karena diyakini bahwa Baduy Luar sudah dipengaruhi oleh budaya luar, sedangkan Baduy Dalam memakai pakaian putih yang berarti bahwa kehidupan Baduy Dalam masih suci tidak terpengaruh oleh budaya lain.
3.3 Keterampilan Lokal
Memainkan Alat Musik Tradisional
Gambar 6 & 7
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi dari Gambar 6 dan Gambar 7 memperlihatkan mereka sedang bermain alat musik yang terbuat dari bambu, namun berbeda cara memainkannya.
Gambar 6 memperlihatkan lelaki tua
memainkan alat musik yang ditiup,
sedangkan Gambar 7
memperlihatkan permainan alat musik dengan cara dipukul dan ditiup.
Makna konotasi bahwa suku Baduy memiliki beragam alat musik tradisional. Alat musik yang berada di Gambar 6 adalah suling.
Selanjutnya di Gambar 7 terdapat alat musik Pantun Bambu dan Karinding yang dimainkan oleh dua orang lelaki suku Baduy. Ketiga alat musik tersebut terbuat dari bambu.
Mitos pada kearifan lokal dimensi keterampilan lokal masyarakat suku Baduy memiliki hubungan yang erat dengan alat musik. Terkadang alat musik juga terlibat dalam kegiatan yang diadakan di suku Baduy.
Keterampilan memainkan alat musik telah dikenalkan kepada anak-anak sejak dini. Selain itu, Pembuatan alat musik tradisional suku Baduy berbahan dasar bambu menjadi sebuah keterampilan lokal masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki.
Membuat Kain Tenun Gambar 8
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi dari Gambar 8 yakni Ambu Misnah, Hapsa, dan beberapa warga perempuan suku Baduy sedang duduk bersama di depan rumah Ambu Misnah sambil
menenun dan melipat kain tenun yang sudah jadi.
Makna konotasi dari gambar tersebut yang berkaitan dengan keterampilan lokal yakni kegiatansehari-hari yang dilakukan oleh perempuan di suku Baduy adalah menenun.
Mitos kegiatan menenun di suku Baduy merupakan sebuah adat istiadat yang harus dilestarikan.
Sedari kecil anak perempuan mulai diajarkan untuk menenun, karena bagi masyarakat di sana perempuan memiliki kewajiban untuk menenun Menjual berbagai Kerajinan Tangan Khas Baduy
Gambar 9
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi pada Gambar 9 Jaya sedang melayani pembeli di toko miliknya. Terlihat di tokonya ia menjual macam-macam barang seperti kain tenun, madu, tas koja, serta berbagai hasil kerajinan tangan dan aksesoris khas suku Baduy.
Makna konotasi pada Gambar 9 yang berhubungan dengan kearifan lokal pada dimensi keterampilan lokal suku Baduy adalah masyarakat berjualan untuk mendapat penghasilan tambahan agar kebutuhan keluarga tercukupi.
Mitos berjualan sebagai keterampilan lokal suku Baduy adalah masyarakat di sana berupaya untuk membuat berbagai produk kerajian tangan dan mengolah
berbagai sumber daya alam sehingga dapat dijual kepada wisatawan yang berkunjung ke suku Baduy (Mirajiani
& Siti 2022). Dengan demikian berjualan dapat meningkatkan pariwisata dan perekonomian lokal suku Baduy.
3. 4 Sumber Daya Lokal Pertanian dan Perladangan Gambar 10
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Gambar 11
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Gambar 12
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi dari Gambar 10, 11, dan 12 terlihat laki-laki di suku Baduy sedang berjalan sambil memikul ikatan padi, durian, dan pisang.
Makna konotasi yang berkaitan pada ketiga gambar tersebut mengenai sumber daya lokal suku Baduy dapat diketahui bahwa di
daerah Baduy memiliki pertanian dan perkebunan yang dikelola dengan baik sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakatnya.
Mitos terkait sumber daya lokal di suku Baduy yakni pertanian ladang (huma). Hasil pertanian menjadi sumber pangan utama, maka dari itu pekerjaan utama laki- laki suku Baduy menjadi petani.
Selain padi, masyarakat suku Baduy juga menanam umbi-umbian, sayur- sayuran, dan buah-buahan yang hasilya dapat dikonsumsi oleh keluarga dan dijual kepada masyarakat luar.
Sungai Gambar 13
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi dari Gambar 13 ialah ada beberapa perempuan suku Baduy sedang mencuci baju di sungai Makna konotasi dari gambar tersebut yang berkaitan dengan kearifan lokal terdapat sungai sebagai sumber daya lokal yang digunakan oleh masyarakat suku Baduy untuk keperluan sehari-hari.
Mitos di masyarakat suku Baduy mengenai sungai tersebut dijadikan sumber air yang dapat digunakan untuk keperluan MCK, dan mengairi sawah, terkadang air sungai juga digunakan masyarakat suku Baduy untuk dikonsumsi, sehingga tidak diperkenankan menggunakan detergen atau sabun saat mencuci dan mandi. Hal tersebut bertujuan
agar air di sungai tetap terjaga kebersihannya tanpa tercemar dengan bahan kimia yang dapat merusak lingkungan.
3. 5 Manajemen Pengambilan Keputusan Lokal
Musyawarah bersama Jaro Gambar 14
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Dialog
Jaro: Ayeuna ku kami kembalikeun ke Ambu Misnah. Arek kumaha? Iyeu urusan kaluarga. Sanajan jek aturan, Fatma ges lain urang dieu deui.
Anggap ae Fatma sema nu hayang iyeu cicing dieu Ambu Misnah.
Makna denotasi pada Gambar 14 dan dialog yang diucapkan Jaro bahwa Ambu Misnah menemui Jaro untuk memberi tahu kedatangan Fatma, lalu ia menanyakan solusi terkait permasalahan Fatma yang berencana akan kembali tinggal di suku Baduy. Lalu, Jaro memberikan masukan kepada Ambu Misnah untuk menganggap Fatma datang sebagai tamu yang akan menginap di rumah Ambu Misnah.
Makna konotasi dari gambar dan dialog tersebut yang berkaitan dengan dimensi pengambilan keputusan lokal bahwa apabila ada yang ingin tinggal di Baduy harus memberi tahu Jaro, namun tidak semua permasalahan diputuskan sepihak oleh Jaro melainkan ia memberikan saran kepada warga suku Baduy yang memiliki masalah.
Setelah itu, pihak terkait yang mengambil keputusan.
Mitos yang terdapat di suku Baduy yang berkaitan dengan kearifan lokal dimensi manajeman pengambilan keputusan lokal yaitu Musyarawah bersama Jaro. Hal tersebut disebabkan karena Jaro (ketua adat) memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan pemerintahan sehari-hari atas persetujuan Pu’un (seseorang yang memiliki jabatan tertinggi pada sistem pemerintahan di suku Baduy).
Memberikan Hukuman berdasar pada Pikukuh Karuhun
Dialog
Jaro: “Sarajan lamun Fatma hayang jadi urang dieu deui kudu dihukum heula salila opat puluh poe, terus kudu diselametan”.
Makna demotasi dari dialog yang diucapkan Jaro bahwa jika fatma ingin menjadi orang suku Baduy kembali, maka harus dihukum selama empat puluh hari, lalu melakukan selametan (ritual adat suku Baduy)
Makna konotasi bahwa untuk pengambilan keputusan lokal suku Baduy memiliki aturan yang tetap dan harus dipatuhi. Seperti pada permasalahan tersebut, jika seseorang yang telah dikeluarkan oleh suku Baduy lalu ingin masuk kembali maka ada aturan yang harus dijalankannya.
Mitos di suku Bady yang berkaitan dengan kearifan lokal dimensi pengambilan keputusan lokal suku Baduy terdapat pada Pikukuh Karuhun yaitu sebuah peraturan adat yang diwarisi secara
turun temurun dari leluhur sehingga menjadi pedoman suku Baduy.
3. 6 Solidaritas Kelompok Lokal Gotong Royong Membangun Rumah
Gambar 15
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi dari Gambar 15 terlihat bawa beberapa lelaki di Baduy sedang memasang atap rumah bersama-sama.
Makna konotasi dari gambar tersebut yang berkaitan dengan solidaritas kelompok lokal terlihat bahwa masyarakat suku Baduy bergotong royong untuk membangun sebuah rumah.
Mitos mengenai kearifan lokal dimensi solidaritas kelompok lokal salah satunya kegiatan yang dilakukan oleh kelompok laki- lakidewasa. Mereka wajib melakukan liliiuran atau bergotong royong untuk membantu membangun atau memperbaiki sebuah rumah.
Peduli terhadap Tetangga Gambar 16
Sumber:
https://www.catchplay.com/
Makna denotasi dari Gambar 16 yaitu beberapa lelaki Baduy menarik Nico (mantan suami Fatma) menjauh dari rumah Ambu Misnah.
Makna Konotasi dari gambar tersebut merupakan bentuk rasa peduli tetangga Ambu Misnah karena melihat Nico sedang membuat keributan dan memaksa ingin membawa Fatma dan Nona ke Jakarta.
Mitos yang terdapat di suku Baduy yang berkaitan dengan kearifan lokal dimensi solidaritas kelompok lokal yakni dalam kehidupan sehari-hari warga suku Baduy memiliki rasa kasih dan saling tolong menelong.
D. SIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada film Ambu karya Farid Dermawan memiliki latar di suku Baduy dan alur cerita disisipkan beberapa tanda mengenai kearifan lokal yang ada di suku Baduy.
Berdasarkan hasil temuan yang ditemukan oleh peneliti, terdapat enam dimensi kearifan lokal suku Baduy, lalu dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal dimensi nilai lokal lebih banyak ditemukan dalam film Ambu.
Pengetahuan mengenai kearifan lokal suatu daerah di Indonesia sering ditemui di film-film lokal, oleh sebab itu pengakajian mengenai kearifan lokal di dalam film penting dilakukan agar masyarakat luas mengetahui dan sadar untuk menjaga kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alfathoni, M. A. M. (2020). Pengantar Teori Film. Yogyakarta:
Deepublish.
Alwi, Z. R. (2021). Representasi Perempuan Dalam Film “Berbagi Suami” (Analisis Semiotika Roland Barthes). Jurnal Visi Komunikasi, 19(02), 134–151.
Akhir, M. (2021). Kasih Sayang dalam Serial Web Drama My Lecturer My Husband (Tinjauan Semiotik Roland Barthes).
Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 5(2), 650–659.
Barthes, Roland. (2007).
Petualangan Semiologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Binarwan, R. (2019). Daya Tarik Kampung Baduy sebagai Destinasi Wisata Budaya.
Yogyakarta: Deepublish.
Brata, I. B. (2016). Kearifan Budaya Lokal Perekat Identits Bangsa.
Jurnal Bakti Saraswati, 5(1), 9–
16.
Budiaman., dkk. (2020). Dilema Transformasi Kearifan Lokal Masyarakat Adat Baduy. Depok:
Rajawali Pres
Hidayat, D., Rosidah, Z., Retnasary, M., & Suhadi, M. (2019). Nilai- nilai kearifan lokal pada unsur naratif dan sinematik film Jelita Sejuba. ProTVF, 3(2), 113–125.
Islami, R. A. Z. El, Nulhakim, L., Berlian, L., Rakhmawan, A., Saefullah, A., & Rohimah, R. B.
(2018). Sebuah Kajian Literasi Sains Masyarakat Suku Baduy.
Serang: Untirta Press dan IDB.
Kameswari, Dita. (2023).
Pemanfaatan Tanaman Herbal dalam Praktik Pengobatan Tradisional Suku Baduy, Kabupaten Lebak, Banten.
BRILIANT: Jurnal Riset dan Konseptual, 8(1), 160-169.
Kartikawati, D. (2020). Peran Perempuan dan Kearifan Lokal Indonesia dalam Media Film.
Communicare : Journal of Communication Studies, 7(1), 33–52.
Keraf, Sonny. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Kiftiawati, & Mursalim. (2020).
Strategi Budaya Topeng Betawi:
Studi Kasus Nyi Meh, Maestro Topeng Betawi. LOA: Jurnal Ketatabahasaan Dan Kesusastraan, 15(1), 42–56.
Mirajani & Siti Widiati. (2022).
PENGETAHUAN Lokal
Masyarakat Adat Baduy dalam Pranata Sosial untuk Menunjang Ketahanan Pangan. Jurnal Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat( JPPM), 1(1), 1-8.
Munanjar, A. (2016). Analisis Wacana Van Dijk Tentang Realitas Beda Agama Pada Film Cin(T)a. Jurnal Komunikasi, VII(1), 1–6.
Nadroh, Siti. 2018. Pikukuh Karuhun Baduy Dinamika Kearifan Lokal di Tengah Modernitas Zaman.
Jurnal Pasupati, 5(2), 196-216 Njatrijani, R. (2018). Kearifan Lokal
Dalam Perspektif Budaya Kota Semarang. Gema Keadilan, 5(1), 16–31.
Nujhan, M. R. (2019). Makna Simbol Panca Jiwa (Analisis Semiotika Roland Barthes). Mediakita, 3(1), 99–106.
Permana, R. C. E. (2010). Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana. Jakarta:
Penerbit Wadetama.
Rofiah, C. (2022). Metode Penelitian Kualitatif Lengkap dengan Rencana Pembelajaran Semester dan Contoh Pedoman Penulisan Skripsi Kualitatif. Malang:
Literasi Nusantara.
Saputra, H. D. (2018). Upaya Pemertahanan Bahasa Daerah Besemah Sebagai Bagian Pelestarian Kearifan Lokal.
MEDAN MAKNA: Jurnal Ilmu Kebahasaan Dan Kesastraan, 16(1), 88–99.
Setiawan, I. (2020). Tari Dibingi:
Sebuah Upaya Penggalian Data Awal Tarian Tradisional yang Terancam Punah di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Jurnal Academia Praja, 3(2), 219–234.
Sibarani, R. (2021). Kearifan Lokal Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Sobur, A. (2006). Semiotika Komunikasi. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Tamsil, I. S. (2021). Kearifan Lokal Budaya Jawa Dalam Film “Tilik.”
JURNAL SIMBOLIKA: Research and Learning in Communication Study, 7(2), 152–165.
Tanti, S., & Khaerunnisa. (2022).
Jurnal Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pengajarannya. 15(1), 19–
25.
Umaternate, A. R., Fathimah, S., Hasrin, A., & Sidik, S. (2022).
Memahami Kearifan Lokal Masyarakat Minahasa , sebagai Upaya Membangun Harmonisasi Kehidupan Sosial Masyarakat.
JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan), 6(1), 3502–3507.