• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Kebijakan Perlindungan Sosial di Indonesia: Analisis Perbandingan Perlindungan Sosial di Masa Pandemi Covid-19 dan Universal Basic Income (UBI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Kebijakan Perlindungan Sosial di Indonesia: Analisis Perbandingan Perlindungan Sosial di Masa Pandemi Covid-19 dan Universal Basic Income (UBI)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

PERSPEKTIF

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif

Kebijakan Perlindungan Sosial di Indonesia: Analisis Perbandingan Perlindungan Sosial di Masa Pandemi Covid-

19 dan Universal Basic Income (UBI)

Social Protection Policy in Indonesia: Comparative Analysis of Social Protection During the Covid-19 Pandemic and

Universal Basic Income (UBI)

Nanda Rizka Syafriani Nasution, Heri Kusmanto* &Tony P. Situmorang Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara, Indonesia

Diterima: 14 Januari 2023; Direview: 07 Maret 2023; Disetujui: 02 April 2023 Abstrak

Penelitian ini bertujuan membandingkan kebijakan perlindungan sosial di Indonesia era pandemi Covid-19 dengan Universal Basic Income (UBI) sebagai paradigma baru kebijakan perlindungan sosial di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode studi kepustakaan atau literatur review. Pada hakikatnya, tinjauan pustaka adalah tinjauan menyeluruh dari penelitian sebelumnya mengenai topik tertentu. Studi literatur bisa didapat dari berbagai sumber baik jurnal, buku, dokumentasi, internet dan pustaka. Metode studi literatur mengumpulkan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelola bahan penulisan. Jenis penulisan yang digunakan adalah studi literatur yang berfokus pada hasil penulisan yang berkaitan dengan topik atau variabel penulisan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam konteks Indonesia, meskipun UBI dapat meminimalisir tingkat kesalahan penargetan baik itu inclusion error (memasukkan rumah tangga yang tidak miskin dalam penargetan) dan mengecualikan rumah tangga miskin dalam penargetan, namun manfaat yang diterima kelompok kurang beruntung bisa lebih tinggi dibandingkan program bantuan dengan penargetan tertentu. Selain itu, perlu dicatat, penerapan UBI di masa krisis dan pemulihan ekonomi tetap harus dilengkapi dengan program bantuan sosial dengan penargetan tertentu.

Kata Kunci: Kebijakan Perlindungan Sosial; Masa Pandemi Covid-19; Universal Basic Income.

Abstract

This study aims to compare social protection policies in Indonesia during the Covid-19 pandemic with Universal Basic Income (UBI) as a new paradigm of social protection policies in Indonesia. This research is a research using literature study method or literature review. In essence, a literature review is a thorough review of previous research on a particular topic. Literature studies can be obtained from various sources, including journals, books, documentation, the internet and libraries. The literature study method collects library data, reads and takes notes, and manages writing materials. The type of writing used is a literature study that focuses on writing results related to writing topics or variables. The results of the study show that in the Indonesian context, although UBI can minimize the level of targeting errors, both inclusion error (including households that are not poor in targeting) and excluding poor households in targeting, the benefits received by disadvantaged groups can be higher than assistance programs. with specific targets.

In addition, it should be noted, the application of UBI in times of crisis and economic recovery must still be complemented by social assistance programs with specific targets.

Keywords: Social Protection Policy; During the Covid-19 Pandemic; Universal Basic Income

How to Cite: Nasution, N.R.S., Kusmanto, H., & Situmorang, T.P., (2023). Kebijakan Perlindungan Sosial di Indonesia: Analisis Perbandingan Perlindungan Sosial di Masa Pandemi Covid-19 dan Universal Basic Income (UBI), PERSPEKTIF, 12(2): 611-627

*Corresponding author:

E-mail:herikusmanto@usu.ac.id ISSN 2085-0328 (Print)

ISSN 2684-9305(Online)

(2)

612 PENDAHULUAN

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam penanggulangan pandemi Covid- 19 menyatakan pemerintah pusat telah mengerahkan berbagai bentuk dan jenis kebijakan bantuan sosial dalam upaya menyelamatkan ketahanan ekonomi masyarakat dalam menghadapi kondisi pandemi saat ini, meliputi: Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial Tunai, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT Dana Desa), Bantuan Sosial Sembako (BSS) untuk Wilayah Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), Kartu prakerja, Kartu sembako, dan Subsidi listrik. Semuanya memiliki tujuan untuk mengatasi kemiskinan dan kerentanan sosial, meningkatkan dan memperbaiki kapasitas penduduk dalam melindungi dirinya dari bencana dan kehilangan pendapatan (Fadhli, Himmah, & Taqiyuddin, 2021; Latif &

Pangestu, 2022).

Dalam program Kartu Sembako, tambahan alokasi uang diberikan untuk membantu 20 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) selama 12 bulan (Rahmansyah, Qadri, Sakti, & Ikhsan, 2020). Program Kartu Prakerja juga diperkuat agar tenaga kerja lebih kompeten, produktif dan kompetitif. Selain itu, berbagai bantuan diberikan untuk membantu masyarakat menjaga uangnya, seperti potongan tarif listrik, BLT Dana Desa, Bansos Tunai Non-Jabodetabek, dan Bansos Sembako Jabodetabek (Iping, 2020; Juliani, 2020).

Pada tahun 2021 jumlah tersebut ditingkatkan menjadi sebesar 744,7 triliun rupiah. Realisasi Program PEN tahun 2021 sampai dengan 22 Oktober telah mencapai 433,91 triliun rupiah atau 58,3% dari pagu 744,77 triliun rupiah (Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional, 2020).

Realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 pada akhir tahun mencapai Rp 658,6 triliun atau 88,4 persen dari pagu Rp744,77 triliun. Sementara realisasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga 28 Oktober 2022 mencapai Rp 256,28

triliun. Secara keseluruhan, realisasi PEN adalah 56,2 persen dari total yang dianggarkan Rp 455,62 triliun. Jumlah ini naik dari laporan terakhir Kementerian Keuangan per 14 Oktober 2022. Saat itu, realisasi PEN tercatat Rp 240,8 triliun atau 52,9 persen (Fadilah, 2022).

Namun, penyaluran bantuan sosial dalam penanganan dampak Covid-19, tak kunjung lepas dari masalah. Baru-baru ini, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 31 ribu Aparatur Sipil Negara (ASN), baik aktif maupun telah pensiun, yang terdata menerima bansos. Data yang diungkap Menteri Sosial tersebut semakin menegaskan bahwa data penerima bansos masih tidak valid dan proses pendataannya bermasalah (Chaterine, 2021).

Ketidakvalidan data penerima bansos pada dasarnya telah banyak terungkap bahkan sejak awal bansos Covid-19 disalurkan. Pada saat itu, warga menemukan penerima bansos yang sudah lama meninggal, pindah domisili kependudukan, hingga sudah menjadi ASN masih tercatat menerima bansos (Anas, 2021).

Sebaliknya, banyak warga dengan tingkat kesejahteraan lebih membutuhkan bantuan justru luput dari penyaluran bansos (exclusion error). Kementerian Sosial (Kemensos) pada saat itu menyebut bahwa kesemrawutan data penerima bansos dikarenakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi acuan penyaluran bansos belum dimutakhirkan sejak 2017. Problem lain, pemerintah kabupaten/kota juga tak disiplin dalam melakukan verifikasi dan validasi secara regular (Widyaningsih, Hastuti, & Ruhmaniyati, 2021).

Melihat persoalan ini, penyederhanaan program perlindungan sosial diperlukan untuk tujuan dan sasaran yang identik agar tidak terjadi saling tumpang tindih (Mufida, 2020;

Sari & Sanjani, 2023). Pemenuhan kebutuhan masyarakat atas jaminan sosial harus diupayakan dalam porsi yang pas, sehingga seluruh masyarakat dapat diberikan kebutuhan kesehatan mendasar, namun manfaatnya tidak berlebihan dan dengan jumlah besaran iuran yang pas sehingga tidak membebani masyarakat (Faiz, 2009; Muhyiddin & Hadi, 2020).

Diperlukan inovasi dan transformasi perlindungan sosial agar fenomena negatif yang terjadi dapat ditanggulangi. Universal Basic Income (UBI) merupakan satu alternatif

(3)

yang memberikan perubahan di banyak lini, diantaranya potensi cakupan, keadilan dalam kontrak sosial, hubungan kekuasaan di pasar kerja, dan kesetaraan gender, dan lainnya (Banerjee, Faye, Krueger, Niehaus, & Suri, 2020;

Ortiz, Behrendt, Acuña-Ulate, Andrés, &

Nguyen, 2018).

Gagasan Universal Basic Income (UBI) atau jaminan penghasilan dasar universal adalah konsep yang memberikan jaminan pendapatan dasar tanpa syarat ke seluruh warga negara. Basic Income ialah satu program jaminan sosial berfokus pada pemberian jaminan pendapatan bagi seluruh masyarakat yang ada dalam suatu negara tanpa terkecuali.

Jaminan yang dikeluarkan diberikan dalam bentuk fresh money dengan jumlah yang telah disepakati dan diperhitungkan (Bidadanure, 2019).

Banyak negara telah menerapkan program bantuan yang menargetkan para penerima manfaat. Hal yang biasa dilakukan untuk memberikan jaminan sosial adalah mengidentifikasi warga negara yang tidak mampu dan kemudian membatasi bantuan kepada individu-individu tersebut. Di negara maju, karena kemampuan menghasilkan pendapatan yang sebenarnya jarang diamati, penargetan biasanya didasarkan pada pendapatan (Banerjee, Niehaus, & Suri, 2019).

Tetapi di negara-negara berkembang, pemerintah tidak mengamati pendapatan sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor informal, yang biasanya mencakup sebagian besar penduduk kurang mampu.

Penargetan yang tidak sesempurna itu menyebabkan kesalahan yaitu dengan memberikan bantuan kepada mereka yang mampu dan adanya celah serta kesalahan dalam mengirimkan bantuan kepada individu yang tidak mampu (Hanna & Olken, 2018).

Mengingat tantangan-tantangan ini, beberapa negara mulai mengadvokasi program

“pendapatan dasar universal”, yang menghilangkan upaya untuk mengidentifikasi orang yang tidak mampu dan sebaliknya memberikan pendanaan kepada semua orang.

Program pendapatan dasar universal relatif mudah diterapkan. Setiap individu menerima bantuan tetap, terlepas dari pendapatannya.

Tantangan utamanya adalah memastikan bahwa setiap orang menerima bantuan yang diberikan hanya sekali dalam setiap periode (Fadmi, Sanatang, & Gerung, 2022).

Meskipun program pendapatan dasar universal ini mendistribusikan nilai yang sama kepada semua orang, termasuk yang sangat kaya, jika dibiayai melalui perpajakan

proporsional atau progresif, program tersebut masih dapat menghasilkan retribusi yang substansial kepada masyarakat yang kurang mampu (Noerkaisar, 2021; Prasetyo, 2020).

Krisis oleh pandemi Covid-19 memantik banyak pembicaraan tentang UBI hingga pada tahap implementasi. Berbagai negara di dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, Hong Kong, Brasil, India, Finlandia dan Jerman dan beberapa negara lainnya telah melakukan uji coba UBI (Uchoa, 2021). Argumen untuk UBI lebih seperti argumen publik daripada argumen keadilan sosial individu yang sederhana. Perubahan dalam hubungan kekuasaan mempengaruhi dinamika dan kondisi keseluruhan yang dialami setiap orang dalam suatu masyarakat (Prasetyo, 2020).

Menurut Reed dan Lansley, UBI dianggap satu alat yang ampuh untuk memastikan bantuan didistribusikan secara adil dan tidak dijajah oleh modal, sambil memberikan kontribusi penting untuk mewujudkan potensi baru untuk pilihan yang ditawarkan oleh teknologi baru, sambil memastikan bahwa setiap kerugian diminimalkan (Reed & Lansley, 2016). Memang, risiko ini sangat memperkuat kasus dalam UBI.

Sejalan dengan agenda peningkatan kesejahteraan, dorongan untuk menerapkan Universal Basic Income semakin masif dalam konteks Indonesia. Dorongan ini berangkat dari kondisi pembangunan ekonomi terkini seperti pandemi Covid-19 yang ditengarai dapat mengirim 19,7 juta populasi ke dalam “jurang”

kemiskinan (Suryahadi, Al Izzati, &

Suryadarma, 2020). Tepat pada konteks tersebut, UBI sendiri dianggap sebagai instrumen yang mampu memberikan pendapatan minimum yang mencegah setiap populasi berada di bawah standard hidup layak. Selain kondisi eksisting, penerapan UBI secara permanen pasca pandemi Covid-19 juga diharapkan dapat mencegah 23 juta populasi di Indonesia terpapar risiko kehilangan pekerjaan dikarenakan otomatisasi dan robotisasi pada tahun 2030 (Nugroho & Ruhama, 2021;

Sihaloho, Silalahi, & Sujendra, 2020).

Namun, dapat dikatakan bahwa memperkenalkan UBI, yang dilihat pada sebagian bukti, pada akhirnya merupakan pilihan kebijakan ideologis atau pragmatis yang berdasarkan keyakinan tentang kewajiban mengenai timbal balik sosial dalam masyarakat (De Wispelaere & Morales, 2021). Hal ini serupa dengan bagaimana pilihan untuk memperkenalkan asuransi sosial dan kompensasi pekerja dibuat atas satu abad yang lalu. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan

(4)

gagasan UBI mengakar dalam imajinasi beberapa pembuat kebijakan, meskipun efek dari UBI permanen masih harus dipahami, terutama dalam kaitannya dengan menerjemahkannya ke dalam praktik untuk distabilitas kerja secara komprehensif (De Wispelaere, 2016).

Konsep UBI di Indonesia masih sangat baru. Menurut Sri Mulyani, butuh pengujian komprehensif agar konsep tersebut bisa berlaku di mayoritas negara di dunia dan ampuh untuk jangka menengah panjang.

Pergeseran-pergeseran kebijakan itu dapat disusuri ke belakang, Pada tahun 2017 ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pidato di forum pertemuan tahunan WB-IMF di AS menyatakan bahwa Indonesia sedang mempertimbangkan UBI untuk mengimbangi laju dan dampak penerapan teknologi yang cenderung mengurangi jumlah lapangan kerja, karena jenis-jenis pekerjaan-pekerjaan tertentu dapat digantikan oleh teknologi digital, kecerdasan buatan, robot dan otomasasi lainnya (Yulivan, 2021).

Kebijakan perlindungan sosial yang ada saat ini dinilai tidak cukup untuk menanggulangi bencana seperti pandemi Covid-19 (Tuwu, 2020). Juga upaya negara dalam redistribusi keuntungan yang dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi. Kementerian Sosial saat ini dinilai belum maksimal melakukan evaluasi, pengkajian, penelitian terkait regulasi dan pilihan kebijakan untuk memastikan regulasi yang tepat, fleksibel, namun akuntabel. Juga masih ada beberapa regulasi yang belum disusun seperti terkait perlindungan sosial yang komprehensif dan adaptif. Kementerian Sosial perlu melaksanakan kebijakan simplifikasi dan/atau omnibus law melalui penyederhanaan atau pencabutan, perevisian atau penggabungan beberapa regulasi yang substansinya hampir sama satu dengan lainnya, masih tumpang tindih, atau bertentangan (Setiadi, 2020).

Anggaran perlindungan sosial berperan penting dalam menopang keluarga miskin yang terdampak keras oleh pandemi. Pembukaan hampir seluruh aktivitas sosial ekonomi, termasuk sekolah dan ajang olahraga, diharapkan akan kembali mendorong konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Namun arah pemulihan ke depan, selain diliputi ketidakpastian tinggi, juga diyakini berpotensi tidak inklusif (Nawawi, 2021).

Dalam program UBI orang masih bisa menghambur-hamburkan pendapatan dasarnya, tapi hanya bisa dilakukan sebulan sekali. Jika menghindari paternalisme adalah

prioritas tinggi dalam konsep kesetaraan peluang, dan jika kesetaraan untuk mendapatkan peluang adalah pembenaran utama untuk redistribusi, maka hibah pemangku kepentingan mungkin lebih disukai daripada UBI.

Diharapkan melalui berbagai strategi tersebut dapat digunakan sebagai alternatif solusi dan menjadi langkah inovatif dalam mengatasi permasalahan dan mengoptimalkan implementasi program perlindungan sosial di masa yang akan datang. Berdasarkan strategi yang tepat, kita semua harus optimis bahwa melalui skema perlindungan sosial yang tepat, akan mendukung pemulihan ekonomi Indonesia untuk bangkit kembali, lebih mandiri, serta siap dalam menghadapi potensi ancaman krisis di masa yang akan datang, sehingga target jangka panjang Indonesia untuk menjadi negara maju tahun 2045 akan tetap dapat tercapai.

Penelitian ini bertujuan membandingkan kebijakan perlindungan sosial di Indonesia era pandemi Covid-19 dengan Universal Basic Income (UBI) sebagai paradigma baru kebijakan perlindungan sosial di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode studi kepustakaan atau literatur review (Zed, 2014).

Pada hakikatnya, tinjauan pustaka adalah tinjauan menyeluruh dari penelitian sebelumnya mengenai topik tertentu. Ikhtisar keduanya menunjukkan kepada pembaca apa yang diketahui tentang suatu topik, dan apa yang belum diketahui, sehingga menetapkan alasan atau kebutuhan untuk penyelidikan baru, yang merupakan studi aktual yang ingin dilakukan oleh tinjauan pustaka (Denney &

Tewksbury, 2013).

Studi literatur bisa didapat dari berbagai sumber baik jurnal, buku, dokumentasi, internet dan pustaka. Metode studi literatur mengumpulkan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelola bahan penulisan.

Jenis penulisan yang digunakan adalah studi literatur yang berfokus pada hasil penulisan yang berkaitan dengan topik atau variabel penulisan.

Menurut Chilisa dan Kawulich (2005), menentukan metode penelitian yang digunakan akan tergantung pada paradigma yang digunakan, metodologi yang dianut, sampai akhirnya bisa menentukan metode penelitian yang pas untuk diterapkan (Chilisia

& Kawulich, 2005). Metode penelitian merupakan alat atau cara untuk menjawab

(5)

pertanyaan penelitian. Dengan demikian metode penelitian merupakan cara atau alat yang digunakan oleh peneliti untuk menjawab serangkaian pertanyaan yang dirumuskan dalam rumusan masalah (Nazir, 2009).

Metode Penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berupaya menganalisis kehidupan sosial dengan menggambarkan dunia sosial dari sudut pandang atau interpretasi individu dalam latar alamiah (Sugiyono, 2013)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode deskriptif serta mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan kebijakan perlindungan sosial era pandemi Covid-19 dan Universal Basic Income.

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif, karena pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif. Peneliti akan mengumpulkan data sebanyak- banyaknya mengenai faktor-faktor yang merupakan pendukung terhadap penelitian.

Peneliti melakukan eksplorasi, menggambarkan, dengan tujuan untuk dapat menerangkan suatu gejala yang berlaku atas dasar data yang diperoleh (Mukhtar, 2013).

Sugiyono (2013) menjelaskan, metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Objek alamiah adalah objek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi pada saat peneliti memasuki obyek, setelah berada di objek dan setelah keluar dari obyek relatif tidak berubah (Sugiyono, 2013). Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau human instrument. Untuk dapat menjadi instrumen, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas sehingga mampu bertanya, menganalisis, memotret, dan mengontraksi situasi sosial yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna.

Jenis data dalam penelitian ini adalah berupa tekstual atau konsep-konsep. Karena dalam penelitian ini, telah disebutkan di atas termasuk ke dalam jenis studi literatur. Dengan demikian aspek-aspek yang peneliti analisis melingkupi definisi, konsep, pandangan, pemikiran dan argumentasi yang terdapat dalam literatur yang relevan dengan pembahasan.

Sumber lain, seperti buku dan artikel surat kabar/majalah juga bisa ditemukan melalui database online. Basis data ini biasanya akan mengungkapkan apakah atau tidak institusi memiliki apa yang dibutuhkan, dan di banyak perpustakaan juga akan menyediakan link ke Pinjaman Antar Perpustakaan untuk meminta item yang tepat. Database alternatif harus digunakan dengan hati-hati; Namun, mereka masih bisa membantu. Database seperti karena Google Cendekia telah menjadi sumber daya yang sangat berguna yang memungkinkan akses ke jurnal yang tidak mungkin dilakukan melalui perpustakaan institusi.

Sumber data primer. Dalam proses penelitian, peneliti menggunakan sumber primer. Sugiyono (2013) menjelaskan sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.

Sumber data primer pada penelitian ini merupakan data yang memuat tentang Universal Basic Income dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Sumber data sekunder.

Selanjutnya peneliti juga menggunakan beberapa sumber sekunder. Dalam penelitian ini sumber sekunder merupakan buku-buku penunjang yang berhubungan dengan persoalan yang dibahas. Data sekunder ini berfungsi sebagai pelengkap data primer yang digunakan dalam penelitian ini (Sugiyono, 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Perbedaan Perlindungan Sosial di Indonesia masa Pandemi Covid 19 dan Universal Basic Income

No Perlinsos Indonesia Masa Pandemi Skema dan Sistem

Berkala Tunai Perorangan Universal Tanpa Syarat

1 Program Keluarga Harapan √ √ - - -

2 Bantuan Sosial Tunai √ √ - - -

3 Bantuan Langsung Tunai Dana Desa

(BLT Dana Desa) √ √ - - -

4 Bantuan Sosial Sembako untuk Wilayah

Jabodetabek √ - - - -

5 Kartu Prakerja √ √ √ - -

6 Kartu Sembako √ - - - -

(6)

616

7 Subsidi Listrik √ - - - -

8 Program Bantuan Modal Usaha Mikro,

Kecil dan Menengah √ √ - - -

9 Subsidi Gaji √ - √ - -

10 Subsidi Kuota Belajar √ - - - -

UNIVERSAL BASIC INCOME √ √ √ √ √

Sumber: Data diolah oleh peneliti UBI merupakan perkembangan yang

signifikan dari model universal jaminan sosial.

UBI menciptakan jaring pengaman yang jauh lebih kuat, dan mengurangi ketergantungan pada syarat-syarat khusus untuk mendapatkan suatu produk jaminan sosial. UBI dianggap akan mengurangi meningkatnya masalah penerimaan yang rendah, kemiskinan struktural serta stigma yang terkait dengannya.

Kekuatan kunci lain dari pendapatan dasar adalah bahwa UBI akan memberikan lebih banyak kebebasan dan pilihan (Negara, 2014).

Secara signifikan, UBI akan memberikan sistem dukungan yang lebih kuat dalam iklim ekonomi yang jauh lebih rapuh saat ini. UBI akan menjadi alat yang sangat efektif untuk mengatasi risiko ekonomi yang meningkat, dan terutama munculnya pengangguran akibat kemajuan teknologi (Hanna & Olken, 2018b).

Memang, salah satu argumen paling meyakinkan untuk UBI berasal dari akselerasi dalam otomatisasi, dengan kedatangan robot pintar, pencetakan 3D, algoritme, Big Data.

Model jaminan sosial abad ke-20 tidak sesuai dengan model abad ke-21 (Reed & Lansley, 2016).

UBI memiliki janji perubahan yang menarik di banyak lini. Termasuk potensi cakupan, keadilan dalam kontrak sosial, hubungan kekuasaan di pasar tenaga kerja, dan kesetaraan gender. Dari sudut pandang ini, UBI melahirkan minat sebagai cita-cita masyarakat yang ingin dicita-citakan, dan bukan hanya sebuah program (Rosalina, Saputro, &

Simbolon, 2023). Bagi yang lain, UBI siap untuk mengurangi dampak kehilangan pekerjaan besar-besaran yang diklaim dari otomatisasi, merampingkan skema yang disediakan oleh negara, atau memberdayakan masyarakat dengan mengalihkan pendapatan terkait sumber daya alam dari kas publik ke warga negara (Devarajan & Ravicandran, 2011).

Kemajuan keseluruhan dalam sistem perlindungan sosial patut dirayakan secara

global, tetapi dalam banyak kasus, tingkat frustrasi dengan sistem tersebut dapat diraba.

Di dunia yang penuh dengan ketakutan tentang kecerdasan buatan, kelelahan karena birokrasi yang kompleks, dan kebencian terhadap politik, transparansi dan kesederhanaan UBI sangat memikat. Penting untuk mencatat keragaman dalam definisi

"cakupan" dan "keunikan", serta mengenali berbagai jalur menuju universalitas (Borén et al., 2020; Gentilini, Grosh, Rigolini, & Yemtsov, 2020). Universalitas dapat diartikan sebagai hasil seperti semua orang harus dijamin tingkat kesejahteraan minimum atau penerimaan setiap orang harus dilindungi. Literatur asuransi sosial dan kesehatan mendefinisikan cakupan dalam istilah risiko pembayaran adalah janji pembayaran jika terjadi peristiwa tertentu (Pujiyanti, Setiawan, Jasmin, &

Suwandi, 2020).

Jaminan Penghasilan Dasar Untuk Semua atau Universal Basic Income (UBI) menjadi topik hangat yang diperbincangkan di dunia internasional saat ini. Ada dua hal yang mendorong ketertarikan para pemimpin dunia maupun para ahli terhadap konsep ini.

Pertama, kemajuan teknologi, seperti artificial intelligence (AI), yang diprediksi akan menggantikan pekerjaan rutin, manual, dan bahkan kognitif manusia dalam waktu yang tidak lama lagi. Kedua, munculnya krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang tiba- tiba mengancam sendi-sendi kehidupan ekonomi maupun sosial seluruh bangsa dan negara tanpa kecuali. Bahkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, Italia, termasuk negara-negara Eropa lainnya pun kewalahan dalam mencari solusi menghadapi pandemi ini (De Wispelaere & Morales, 2021).

Melonjaknya angka pengangguran akibat teknologi dan pandemi ini, tentu saja memperdalam tingkat keparahan kemiskinan yang sebelumnya sudah cukup berat. Oleh karena itu, setiap negara sedang mencari solusi terbaik untuk meredam dampak dua hal

(7)

tersebut. UBI kemudian muncul menjadi alternatif di tengah-tengah kepanikan ini.

Amerika Serikat, Jepang, Hong Kong, Brasil, Jerman dan negara-negara lain bahkan sudah dan sedang mencoba mengadopsi pendekatan ini (Banerjee et al., 2020). Sebelum mengupas lebih dekat perkembangan terbaru dalam implementasi UBI ini, ada baiknya kita melihat kembali eksperimen-eksperimen yang pernah ada sebelumnya.

Dalam kondisi ideal, Sistem Jaminan Sosial setidaknya harus memiliki tiga hal pokok. Pertama, ia harus memiliki seperangkat tujuan (aims) dan sasaran (objectives) yang diartikulasikan dengan jelas sehingga di dalamnya tertuang siapa sasaran penerima (kelompok target/populasi) dan apa manfaat bagi penerimanya? Kedua, sistem jaminan sosial yang baik harus memiliki badan atau organisasi administratif yang dipercaya untuk mempromosikan dan menjalankan sistem ini secara transparan. Ketiga, memiliki struktur yang akuntabel baik dari segi desain implementasi, pengawasan, hingga evaluasi dan sistem pendanaannya (Prasetyo, 2020).

Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan.

Keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara pada amanat rakyat yang berdaulat atasnya (Mustari, 2015).

Dalam penyusunan sebuah kebijakan, kita mengenal istilah “evidence-based policy”, yaitu sebuah kebijakan dibuat berdasarkan berbagai pertimbangan dan bukti empiris di lapangan yang mendukung kebijakan tersebut.

Untuk mendapatkan berbagai bukti empiris tersebut, kita memerlukan pendekatan yang disebut “research-based policy”, di mana kebijakan yang baik dan benar semestinya juga memiliki landasan ilmiah yang memadai.

Dengan dua pedoman tersebut, maka dapat dikatakan pentingnya sebuah riset ilmiah untuk mengetahui apakah Universal Basic Income memang layak dan tepat untuk dijadikan sebuah kebijakan (Y. E. Prasetyo, 2020).

Menurut Thomas R. Dye (1992), “Public Policy is whatever the government choose to do or not to do” (kebijakan publik adalah apa pun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu

atau tidak melakukan sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, tentu ada tujuannya karena kebijakan publik merupakan “tindakan” pemerintah.

Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, juga merupakan kebijakan publik yang ada tujuannya (Dye, 1992).

Banerjee et al. (2020) dalam penelitiannya membahas dampak bantuan tunai selama pandemi yang memanfaatkan eksperimen lapangan dengan Jaminan Pendapatan Dasar Semesta atau Universal Basic Income (UBI) yang telah dimulai sebelum pandemi di Kabupaten Bomet dan Siaya, Kenya.

UBI secara sederhana merupakan bantuan pendapatan tunai, periodik, yang ditransfer kepada seluruh warga, dan tanpa adanya persyaratan tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir, manfaat UBI telah diperdebatkan secara intens di negara berkembang dan maju.

Pandemi Covid-19 memberikan kesempatan pembuktian perdebatan tersebut melalui penelitian ini (De Wispelaere, 2016).

Penelitian dilakukan di Bomet dan Siaya, dua daerah termiskin di Kenya. Dampak pandemi terbukti menurunkan pendapatan per kapita rumah tangga miskin dari 2,3 USD PPP pada akhir Februari 2020, menjadi 1,5 USD PP di Juni 2020. Dari sensus awal, 295 dari 325 desa terpilih secara random mencakup 14.674 rumah tangga dan 34.000 individu. Kemudian, dalam eksperimen lapangan ini diacak berdasarkan lokasi dan unit geografis di Kenya (Banerjee et al., 2020).

Dalam penelitian selama pandemi Covid- 19 dilakukan melalui phone survey pada bulan April-Juni 2020. Dalam setiap survei, diwawancarai kepala rumah tangga atau jika tidak ada maka anggota keluarga dewasa lainnya yang kompeten untuk menjawab pertanyaan tentang semua aspek pengambilan keputusan rumah tangga. Survei mencakup lima topik inti: kesehatan, keamanan pangan, pendapatan, transfer dan disimpan, serta interaksi sosial. Dari 8.605 kepala keluarga sebagai bagian dari survei selama pandemi ini, termasuk rumah tangga migran yang dilacak untuk survei di lokasi baru mereka, berhasil diselesaikan wawancara sebesar 97,93 persen dari seluruh kepala keluarga tersebut (Reed &

Lansley, 2016).

Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa transfer (bantuan) dalam bentuk UBI cukup efektif dalam meningkatkan kesejahteraan inti selama pandemi. Dampak semakin besar ketika bantuan berbentuk

(8)

jangka panjang. Hal ini konsisten dengan gagasan bantuan memiliki tambahan manfaat yang cukup penting terutama selama pandemi.

Terdapat efek signifikan secara statistik pada keamanan pangan selama pandemi. Dari ketiga perlakuan, secara signifikan mereka lebih jarang mengalami kelaparan. Bahkan dampak penurunan kelaparan ini dua kali lebih besar untuk kelompok perlakuan jangka panjang.

Selain itu, bantuan juga mengurangi insiden kelaparan ekstrem dalam anggota rumah tangga. Rumah tangga secara signifikan memiliki kemungkinan lebih kecil terjadinya anggota yang tidak makan selama sehari penuh (Banerjee et al., 2020).

Secara empiris, Gibson et al. (2018) telah merangkum dampak penerapan UBI terhadap kesejahteraan secara lebih luas seperti ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, pengembangan komunitas, dan luaran ekonomi lainnya (Gibson, Hearty, & Craig, 2018).

Dalam aspek ekonomi, praktis hanya studi dengan setting APDF yang menilai dampak UBI terhadap ketimpangan pendapatan dan kemiskinan (Gibson et al., 2018). Lebih lanjut, hampir semua setting eksperimen sosial menyertakan aspek ketenagakerjaan dengan outcome kebijakan yang lebih bervariasi (Gibson et al., 2018). Lima eksperimen sosial yang dilakukan di Amerika Serika dan Kanada (NJ NIT, Gary, RIME, SIME, Mincome) hampir seluruhnya mengkonfirmasi bahwa UBI dapat menurunkan jam kerja laki- laki dan perempuan.

Temuan yang menggembirakan juga tercermin pada indikator lain seperti pekerja anak dan kepemilikan UMKM. Sebaliknya, dalam hal tingkat partisipasi di pasar kerja, tampaknya seluruh studi mengkonfirmasi tidak ada pengaruh terhadap tingkat partisipasi laki- laki, sedangkan studi yang menilai dampak terhadap tingkat partisipasi perempuan menuai hasil yang lebih bervariasi. Berikutnya, hampir seluruh setting eksperimen sosial kecuali APDF dan Iran Cash Transfer yang menyertakan aspek pendidikan pada evaluasi programnya (Gibson et al., 2018)

Seluruh studi menemukan bahwa penerapan UBI dapat meningkatkan tingkat partisipasi sekolah. Sedangkan, hasil yang lebih bervariasi terjadi pada kinerja pendidikan dan tingkat kehadiran siswa. Program Gary dan RIME relatif mampu meningkatkan kinerja Pendidikan sedangkan program SIME tidak memiliki dampak terhadap kinerja Pendidikan.

Dalam aspek kesehatan, hanya Iran Cash Transfer yang tidak menyertakan indikator kesehatan dalam evaluasi programnya (Gibson et al., 2018). Sejauh ini, seluruh program menemukan bahwa penerapan UBI dapat meningkatkan kecukupan nutrisi dengan dukungan studi yang relatif kuat. Meskipun ada indikasi UBI meningkatkan pola hidup bersih dan sehat, namun klaim tersebut hanya didukung satu studi pada Casino Dividends.

Dalam hal aspek rumah tangga dan pengembangan komunitas, hanya empat program (yaitu NJ NIT, RIME, SIME, dan Casino Devidends) yang menyertakannya dalam penilaian. Seluruh studi menemukan bahwa penerapan UBI memperbaiki kinerja pengasuhan anak dan tingkat kriminal baik di kalangan remaja maupun di kalangan dewasa.

Sementara di Indonesia, laporan dari MIT technology review yang terbit 2 Januari 2019 lalu mengungkap setidaknya ada tiga masalah utama yang mengganjal eksperimen UBI seperti di Indonesia. Pertama, Politik. Lagi-lagi kemauan dan political will dari penguasa sangat mempengaruhi jalannya eksperimen UBI ini.

Seperti kasus di Ontario, Kanada dan Finlandia, penghambat utama adalah kalangan politisi yang menolak gagasan UBI ini.

Kedua, Sumber Daya Finansial.

Memberikan uang secara cuma-cuma, meskipun hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, perumahan, dan pakaian, nampaknya masih dianggap sangat mahal dan tidak menjadi prioritas pengeluaran pemerintah. Mereka lebih setuju untuk memberikan bantuan itu dengan memberikan kategori atau pengecualian- pengecualian.

Memberikan sama rata pada semua warga negara dianggap sebagai pemborosan.

Padahal, UBI yang diberikan langsung kepada warga negara tersebut sejatinya akan kembali ke dalam perekonomian melalui konsumsi rumah tangga. Seperti kita tahu, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sejatinya mayoritas masih ditopang oleh Konsumsi Rumah Tangga ini. Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) pengeluaran konsumsi rumah tangga mencapai Rp2,42 kuadriliun pada kuartal I 2022. Nilai tersebut porsinya mencapai 53,65% dari produk domestik bruto (PDB) nasional kuartal I 2022 yang berjumlah Rp4,51 kuadriliun.

(9)

Melalui jalan ini justru Pemerintah akan mampu meningkatkan daya beli sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan merata (trickle up economics).

Ketiga, UBI dianggap mengganggu sistem jaminan sosial yang sudah mapan. Seperti kita tahu, banyak negara di Eropa maupun Amerika Serikat sendiri yang memiliki sistem jaminan sosial untuk warga negaranya. Termasuk di Indonesia, kita juga memiliki Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar, BPJS, dan lain-lain yang menyasar keluarga miskin, anak-anak, hingga lansia. Kehadiran UBI yang memiliki filosofi berbeda dengan sistem jaminan sosial yang sudah ada bisa jadi dianggap ancaman atau mengganggu kemapanan (Iping, 2020). Padahal kita tidak tahu, apakah sistem jaminan sosial yang dianggap sudah mapan tersebut benar-benar masih relevan dan tepat sasaran. Khususnya dalam menghadapi tantangan jobless future akibat perkembangan AI dan ancaman pandemi yang lebih dahsyat.

Dalam buku terbarunya, Battling Eight Giants: Basic Income Now (2020) Guy Standing berpendapat bahwa Universal Basic Income itu penting karena alasan etika dan moral. UBI memang sering didengungkan sebagai kebijakan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Bagi ulitarianisme, bukan sesuatu yang mustahil, hal yang baik lahir dari motivasi yang jelek. Paham ulitarianisme menekankan kepada perbuatan bukan kepada individu pelakunya (Standing, 2020). Singkat kata, ajaran pokok dari ulitarianisme adalah prinsip kemanfaatan (the principle of ulity).

Bentham memaknai kegunaan atau kemanfaatan (ulity) sebagai sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat mendatangkan manfaat, keuntungan, kesenangan, dan kebahagiaan, atau sesuatu yang dapat mencegah terjadinya kerusakan, ketidaksenangan, kejahatan, atau ketidakbahagian. Nilai kemanfaatan ini ada pada tingkat individu yang menghasilkan kebahagiaan individual (happiness of individual) maupun masyarakat (happiness of community). Bagi Bentham, moralitas suatu perbuatan ditentukan dengan memperimbangkah kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan segenap manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois sebagaimana dianut oleh hedonisme klasik.

Inilah yang kemudian melahirkan dalil klasik Bentham mengenai kebahagiaan: the greatest

happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar untuk mayoritas).

Namun lebih dari itu, misi UBI tak lain adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Kekayaan dan kesejahteraan yang kita nikmati hari ini, sebenarnya adalah hasil jerih payah generasi yang datang sebelum kita. Kita menerimanya sebagai warisan sosial.

Banyak sumber daya yang berasal dari alam atau sosial diwariskan secara turun temurun selama berabad-abad. Sayangnya, dalam perjalanan sejarah manusia, telah terjadi penjarahan terorganisir dan besar-besaran terhadap “the commons” milik bersama tersebut oleh segelintir kelompok. Sebut saja para oligraki, penguasa, pengusaha, elit yang memiliki akses terbesar atas sumber daya tersebut.

Keempat, transfer universal akan lebih sesuai dengan tenaga kerja daripada kebanyakan program, karena menghilangkan efek harga dari transfer yaitu, pengurangan pasokan tenaga kerja untuk menghindari pengurangan manfaat. Universalitas pada akhirnya dapat memperkuat keberlanjutan politik program sebagai penerima manfaat akan menarik dari seluruh distribusi pendapatan. Kasus terhadap "U" di UBI bertumpu terutama pada biaya, kecocokan untuk tujuan, dan apresiasi yang berbeda dari besarnya kemungkinan manfaat. Biaya untuk membuat transfer yang signifikan secara universal cukup tinggi.

Bergantung pada bagaimana ini dibiayai, pengurangan pengeluaran perlindungan sosial yang ada, pengurangan subsidi regresif, peningkatan pajak, ada perubahan penting dalam hasil distribusi di antara kelompok pendapatan dan usia yang mungkin diinginkan atau tidak diinginkan. Selain itu, struktur tunjangan datar mungkin tidak cocok untuk semua tujuan. Ini tidak bisa redistribusi seperti struktur yang lebih progresif dan dengan demikian mungkin memiliki dampak yang diredam pada kemiskinan dan ketidakmerataan. Struktur datar tidak merespons perubahan besar dan sering kali dalam jangka pendek seperti penyakit bencana, kehilangan pekerjaan, atau kehilangan aset dan mata pencaharian dalam bencana alam, dan dengan demikian mungkin tidak cukup untuk memberikan perataan pendapatan dalam kasus ini (Ortiz et al., 2018).

Argumen ekonomi politik bahwa universalitas menghasilkan dukungan politik dan peningkatan anggaran masuk akal, tetapi

(10)

tidak mendukung program dalam negeri dengan baik (Desai & Dharmapala, 2006).

Praktik dapat ditingkatkan dalam program yang lebih terarah untuk mengurangi biaya transaksi dan menurunkan stigma. Dan akhirnya, bukti yang signifikan menunjukkan bahwa program bantuan sosial saat ini tidak mengurangi upaya kerja. Ekonomi politik UBI masih sangat kurang dieksplorasi. Ada beberapa utas ekonomi politik yang penting di UBI. Misalnya dalam mendukung sistem saat ini, bagaimana mengganti sebagian dari program saat ini, dan dalam mobilisasi sumber daya (Standing, 2020).

Perdebatan yang mendasari pilihan parameter praktis. Universalitas, persyaratan, modalitas transfer, serta serangkaian enam pilihan lainnya. Ekosistem UBI yang luas melibatkan narasi gaya yang berbeda. Secara khusus, UBI ditafsirkan dalam konteks reformasi bantuan sosial, pendekatan berbasis hak, otomatisasi dan gangguan pasar tenaga kerja, dan dividen sumber daya dan akuntabilitas negara-warga negara. Narasi semacam itu dilengkapi dengan pelajaran yang muncul dari pengalaman negara dan sub nasional. Gagasan bahwa perlindungan sosial bersifat universal bertumpu pada dua elemen:

yaitu bahwa setiap orang dilindungi. Dalam banyak kasus, perdebatan berkisar pada aspek

“semua orang” yaitu, alasan dan modalitas untuk mencakup semua anggota masyarakat dan bukan hanya beberapa. Namun, ini mengasumsikan kejelasan makna

"pertanggungan", yang merupakan asumsi besar (Reed & Lansley, 2016).

Dalam asuransi kesehatan, misalnya, tujuannya sering untuk memberikan pertanggungan kepada semua, sehingga ketika orang sakit, mereka menerima layanan kesehatan. Prinsip yang sama berlaku untuk asuransi tanaman. Dan untuk program asuransi pensiun, pengangguran, atau cacat, pertanggungan digunakan dengan cara yang serupa. Di sebagian besar periode, orang yang dicakup oleh asuransi tersebut akan mendapat manfaat dari jaminan atau janji bantuan saat dibutuhkan, tetapi tidak harus dari pembayaran (Gentilini et al., 2020). Sebagai gantinya, untuk bantuan sosial, cakupan sering diartikan sebagai menerima transfer yang sebenarnya.

Ini adalah perbedaan yang cukup besar dan masalah yang kritis untuk diklarifikasi mengingat implikasinya bagi perlindungan sosial universal. Misalnya, jika suatu negara

memiliki program pendapatan minimum yang dijamin yang menyediakan uang tunai ketika pendapatan turun di bawah ambang batas, interpretasi asuransi sosial adalah seperti dalam kasus kesehatan atau pensiun, setiap orang dilindungi terlepas dari peristiwa yang terjadi.

Dengan demikian, cakupan akan berkali- kali lebih besar dari daftar manfaat yang sebenarnya. Pendapatan minimum yang dijamin bersifat universal dalam hal asuransi, tetapi ditargetkan dari sudut pandang bantuan sosial. Sebagian dari komunitas bantuan sosial mengacu pada program untuk orang tua atau anak-anak sebagai universal. Tetapi yang sebenarnya dimaksudkan adalah bahwa kelayakan untuk program semacam itu tidak memerlukan persyaratan selain usia, mereka yang tidak memenuhi persyaratan dikecualikan, oleh karena itu tidak untuk semua. Sebuah “dana pensiun yang universal,”

misalnya, sekali lagi universal dari perspektif asuransi, tetapi ditargetkan dari sudut pandang bantuan sosial.

Ada juga pertanyaan apakah cakupan mengacu pada manfaat kotor atau bersih.

Sementara dengan UBI setiap orang menerima pembayaran, manfaat tersebut harus dibiayai.

Karakter datar dan seragam UBI perlu diubah setelah pembiayaan diperhitungkan. Ketika pembiayaan melalui pajak penghasilan progresif, misalnya, beberapa orang akan membayar lebih dari manfaat yang mereka terima sebagai pembayaran UBI. Jadi, beberapa orang secara nominal adalah penerima manfaat, tetapi secara de facto adalah pemodal.

Sifat permanen dan terbuka dari UBI harus membantu mengatasi hambatan yang terkait dengan informasi bahkan jika mereka tidak sadar atau tidak mau pada tahun pertama, individu yang awalnya tidak terdaftar dapat memperoleh informasi atau kepercayaan dari waktu ke waktu sebagai orang lain di jaringan sosial mereka mulai mendapatkan keuntungan.

Demikian pula, UBI harus membantu menghilangkan batasan pendaftaran berdasarkan stigma, anggapan bahwa orang mungkin tidak memenuhi persyaratan kelayakan, atau biaya peluang dalam partisipasi Dalam hal cakupan, satu titik awal untuk analisis adalah arsitektur legislatif atau agenda hak. Misalnya, di bawah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan para penandatanganan berkomitmen untuk menerapkan sistem dan langkah-langkah

(11)

perlindungan sosial yang sesuai secara nasional untuk semua

Demikian pula, inisiatif Landasan Perlindungan Sosial yang disahkan oleh Dewan Pimpinan Eksekutif PBB pada tahun 2009 menyerukan seperangkat kebijakan sosial yang terintegrasi untuk memberikan jaminan pendapatan dasar dan akses ke layanan sosial penting untuk semua, dengan memberikan perhatian khusus kepada kelompok rentan.

Cakupan perlindungan sosial universal dapat dicapai melalui beberapa jalur. Kombinasi skema iuran dan non iuran dapat mengarah pada sistem perlindungan sosial universal. Hal ini dapat dicapai melalui kombinasi program yang berbeda dalam kelas intervensi yang sama, seperti dengan beberapa program bantuan sosial. Atau bisa diwujudkan melalui satu program dalam keluarga bansos, yaitu UBI.

Namun, apakah konsep UBI dan Landasan Perlindungan Sosial kompatibel? Sebagaimana didefinisikan oleh Organisasi Perburuhan Internasional No. 202 menjamin setidaknya tingkat dasar keamanan pendapatan dan akses ke perawatan kesehatan esensial. Pada prinsipnya, ini tidak bertentangan dengan UBI.

Seperti Ortiz et al. (2018) mengatakan UBI akan menjadi bentuk paling radikal dari komponen pendapatan dasar perlindungan sosial. Apakah UBI kompatibel dengan tujuan atau tidak tergantung pada bagaimana desainnya selaras dengan prinsip-prinsip Rekomendasi 202: jika UBI dirancang untuk sepenuhnya menggantikan sebagian besar sistem kesejahteraan, termasuk program dan layanan untuk kebutuhan khusus, dan lainnya, maka itu jelas bertentangan (Ortiz et al., 2018).

Ketika UBI dimaksudkan untuk memperkuat dan meningkatkan penyediaan perlindungan sosial yang progresif, maka landasan dan konsep UBI diselaraskan.

Penyelarasan tersebut terjadi, misalnya, ketika UBI ditetapkan pada tingkat manfaat untuk memastikan setidaknya tingkat dasar jaminan pendapatan, manfaat bantuan sosial pelengkap dipertahankan bagi mereka yang berkebutuhan khusus, dan pembiayaan bersifat tambahan dan tidak regresif.

Kelompok seperti itu disebut sebagai

‘para pejuang’; dengan pendapatan antara US$4 dan US$10/hari, mereka merupakan sekitar 60 persen dari populasi di negara berkembang (Naviul, 2020). UBI sering dianggap sebagai kendaraan untuk menata kembali birokrasi publik dengan mengkonsolidasikan kebanyakan program bantuan sosial dan

merampingkan administrasinya. Memang sulit membayangkan membiayai UBI tanpa menggunakan kembali anggaran dari beberapa program yang ada.

Oleh karena itu, proses substitusi program merupakan manifestasi teknis dari prinsip-prinsip normatif. Dalam beberapa hal dapat mengungkapkan sifat, tujuan, dan arah reformasi yang sebenarnya. Saat ini, bansos hampir di mana-mana terdiri dari sejumlah besar program individu. Data dari beberapa inventaris masing-masing negara menunjukkan jumlah program yang mencengangkan. Database Atlas of Social Protection Indicators of Resilience and Equity (ASPIRE) Bank Dunia, yang tidak dibuat untuk menangkap detail seperti itu dan berfokus pada program yang lebih besar di setiap subkelas, menunjukkan rata-rata 21,4 program bantuan sosial per negara, dengan Chili, Burkina Faso, dan Pakistan masing-masing memiliki 143, 54, dan 37 program (Osorio, 2020).

Ada beberapa alasan negara memiliki beragam program perlindungan sosial. Salah satu alasannya adalah untuk mencapai tujuan yang berbeda, pencegahan kemiskinan, perataan pendapatan, pengumpulan risiko, pembentukan sumber daya manusia, meningkatkan pendapatan tenaga kerja.

Lainnya adalah menyesuaikan atau bisa saja serupa layanan untuk kelompok tertentu, misalnya, program untuk meningkatkan hasil pekerjaan dapat berfokus pada transisi pemuda untuk bekerja, pengangguran jangka panjang, pekerja yang lebih tua, migran, atau pemuda berisiko tinggi (Irfandinata & Reskiawan, 2020).

Dari perspektif lain, model asuransi sosial yang berlaku dirancang dengan asumsi hubungan kerja tunggal, stabil, dan penuh waktu. Pekerja paruh waktu dan temporer biasanya diasuransikan dengan cara yang sama seperti pekerja standar selama mereka memenuhi persyaratan pendapatan dan iuran minimum. Tetapi wiraswasta, mereka yang sering berganti pekerjaan, atau mereka yang menggabungkan pekerjaan mandiri dan ketergantungan tidak mudah masuk ke dalam kerangka sistem perlindungan sosial iuran.

Bentuk-bentuk pekerjaan ini menimbulkan pertanyaan untuk perlindungan sosial.

Sebagaimana digarisbawahi oleh Organisasi untuk Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi, meningkatnya jumlah pekerja tidak standar juga dapat mengikis keefektifan sistem perlindungan sosial (Habibullah, 2017).

(12)

Jika pajak dan kontribusi sosial hanya dibayarkan untuk beberapa kategori pekerja, perusahaan memiliki insentif untuk mengalihkan pekerjaan kepada pekerja yang kurang terlindungi dan lebih murah (Samuel, 2019). Rintangan-rintangan ini telah membangkitkan minat pada penyediaan perlindungan sosial yang lebih sederhana dan lebih seragam yang mencakup semua pekerja terlepas dari bagaimana dan di mana mereka bekerja, berpotensi seperti UBI. Tren pekerjaan tidak standar, pekerjaan sementara dan paruh waktu, pekerjaan triangular, dan pekerjaan terselubung, lebih beragam di negara-negara berpenghasilan menengah.

Di Amerika Latin dan Karibia, prevalensi bentuk pekerjaan seperti itu umumnya stabil selama dua dekade terakhir, sementara di Eropa Timur dan Asia Tengah kurang homogen (Samuel, 2020). Namun di sejumlah negara berkembang, tantangan inti terhadap model Bismarckian tidak selalu ditimbulkan oleh diversifikasi pasar tenaga kerja dan otomatisasi, tetapi oleh informalitas yang meluas. Faktanya, 81 dan 46 persen pekerja masing-masing memiliki pekerjaan informal di negara berpenghasilan rendah dan menengah atas (Gaffar, 2019). Mengingat sifat endemik dari tantangan dan lambatnya kemajuan dalam melawannya, penelitian analitis baru berpendapat bahwa kebanyakan orang akan lebih baik dengan sistem perlindungan sosial yang tidak bergantung pada situasi kerja mereka. Pemikiran yang berkembang ini telah memicu ide-ide baru tentang bagaimana memahami sosial bantuan yang memastikan fungsi pemerataan untuk sebagian besar populasi, dilengkapi dengan asuransi bersubsidi terhadap kerugian bencana, sambil menjaga asuransi sosial iuran untuk tujuan kelancaran konsumsi.

UBI dapat menjadi salah satu opsi untuk membentuk platform bantuan sosial semacam itu, menghilangkan tekanan dari asuransi sosial dalam mengejar tujuan pemerataan distribusi (Borén et al., 2020). Demikian pula, UBI kadang-kadang ditafsirkan sebagai tulang punggung untuk membangun negara yang lebih kuat; yang lain melihatnya sebagai batu loncatan untuk membongkarnya.

UBI adalah sarana, bukan tujuan. UBI adalah apa yang dihasilkan oleh negara. UBI sering dikaitkan dengan menjadi pengubah permainan dalam redistribusi kekuasaan (Standing, 2020). Seruan semacam itu dapat beresonansi dan memperkuat persepsi yang

sudah ada sebelumnya tentang ketidakadilan dan ketidakadilan yang merayap ke dasar kontrak sosial (Pratiwi, 2022).

Rawls mengikat dua prinsip keadilan di mana prinsip pertama mendahului prinsip kedua dalam urutan leksikal. Artinya, urutan prinsip kesamaan kemerdekaan (equal liberty) sebagai prinsip pertama, mendahului prinsip pengaturan kesamaan ekonomi (economic equality) dan ketidaksamaan sosial (social inequality) yang memberikan kesempatan secara fair. Prinsip politik harus lebih dahulu daripada prinsip-prinsip ekonomi dan sosial.

Prinsip kemerdekaan tidak bisa dinegosiasikan atau dikompromikan demi keuntungan- keuntungan ekonomi dan sosial yang lebih besar. Dalam menguraikan teori keadilan, John Rawls menggunakan argumen intuitif sebagai landasan utama dalam mencermati kebijakan- kebijakan struktur kekuasaan yang tidak berpihak pada kelompok masyarakat yang terbelakang.

Oleh karena itu, sebuah UBI mungkin tampak menawarkan cara yang tajam dan nyata untuk memenuhi selera perubahan. Tetapi generator ketidakadilan mungkin terletak di tempat lain; misalnya, dalam akses yang tidak merata ke sistem pendidikan dan kesehatan, pekerjaan berupah rendah dan produktivitas rendah, pasar yang tidak berfungsi dengan baik, korupsi, kode pajak regresif, upah yang tidak setara, dan diskriminasi sosial.

Mengingat praktik bantuan sosial saat ini, langkah menuju transfer tunai tanpa syarat adalah masuk akal, meskipun program dalam bentuk barang dan terkondisi yang ekstensif menunjukkan bahwa itu mungkin bukan tanpa kontroversi. Lompatan ke universalitas dalam satu program bantuan sosial jelas lebih radikal.

Sampai saat ini, upaya universalitas dalam perlindungan sosial sebagian besar terbatas pada asuransi sosial. Sama seperti proliferasi global transfer tunai yang pernah tak terbayangkan, prospek menyediakan uang tunai untuk semua orang tidak boleh dikesampingkan.

Sebagai solusi radikal, UBI pasti akan menggugah pikiran. Tetapi ketika rincian desain dan pembiayaan ditata, itu mungkin tidak terlalu ekstrem dari yang dibayangkan, termasuk berubah menjadi program yang ditargetkan. Dan dengan terkadang memainkan peran sebagai manusia jerami, sebuah UBI bertujuan untuk mengungkap batasan sistem perlindungan sosial saat ini (Reed & Lansley, 2016). Bagaimana membawa perbaikan

(13)

mungkin merupakan pertanyaan paling mendasar yang mendasari perdebatan UBI, yaitu, haruskah negara membangun, meningkatkan, dan memperluas apa yang ada dalam sistem perlindungan sosial mereka atau haruskah mereka memperkenalkan pendekatan baru yang radikal?

Pada tingkat seluruh sistem, ada permintaan yang luas untuk membuat sistem perlindungan sosial secara keseluruhan inklusif, progresif, dan adaptif. UBI akan mendapat nilai tinggi dalam hal inklusivitas, karena tidak akan membedakan antara orang- orang dalam suatu pemerintahan; tetapi kurangnya diferensiasi justru yang membuat efek UBI tidak pasti pada progresivitas.

UBI kemungkinan akan menjadi instrumen kaku yang mungkin tidak sepenuhnya beradaptasi dengan beragam keadaan, terutama dalam konteks berpenghasilan rendah dalam hal kondisi pasar, atau yang lainnya. Pada tingkat program, pilihan akan bergantung pada pernyataan masalah yang ingin ditangani UBI, misalnya, apakah kemajuan teknologi pada akhirnya akan mengakibatkan hilangnya pekerjaan bersih secara besar-besaran dan seberapa baik sistem atau program tertentu seperti UBI versus transfer tunai yang ditargetkan atau versus subsidi energi regresif bekerja melawan tujuan itu dalam konteks tertentu.

Menilai kelayakan dan kelayakan UBI membutuhkan pemahaman dan kerja meskipun trade-off komparatif yang dihadapi setiap program atau serangkaian program (Banerjee et al., 2019). Dalam hal cakupan, progresivitas, kecukupan, insentif, biaya, opsi pembiayaan, ekonomi politik, dan pengiriman.

Tak satu pun dari parameter ini memiliki hasil yang mudah dan telah ditentukan sebelumnya (Bidadanure, 2019). UBI adalah ide yang

tampaknya sederhana yang melibatkan pilihan yang kompleks. Satu pengamatan jelas ketika menyurvei upaya untuk memindahkan pendapatan dasar ke atas agenda politik:

mendorong pemerintah untuk secara serius mempertimbangkan pembuatan undang- undang dan implementasi pendapatan dasar terbukti cukup menantang. Karena alasan ini, emulasi kebijakan langsung dari skema yang paling berkembang pun tidak disarankan.

Sebaliknya, pembelajaran kebijakan sebagai mekanisme untuk transfer kebijakan mengharuskan pembuat kebijakan memeriksa tidak hanya kinerja institusi kebijakan, tetapi juga mempertimbangkan sejauh mana keadaan konteks kebijakan cukup sebanding untuk memungkinkan transfer kebijakan (Standing, 2020). Strategi optimal untuk pembuat kebijakan rasional adalah untuk memeriksa apa yang terjadi di yurisdiksi lain, dan mengeksplorasi tujuan dan kelayakan dengan melakukan usaha serupa. Tantangan khusus yang dihadapi oleh pendukung UBI, bagaimanapun, adalah tidak adanya skema yang dikembangkan sepenuhnya. Dalam situasi ini, para pendukung pendapatan dasar mungkin mencoba untuk mengambil pelajaran penting dari kasus-kasus yang menawarkan setidaknya sebagian wawasan dalam meningkatkan pendapatan dasar dalam agenda politik: kasus-kasus ini termasuk upaya legislatif yang terhenti di tengah proses kebijakan, program bersyarat yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan utama untuk pemberlakuan pendapatan dasar masa depan, dan dua varian pendapatan dasar yang diterapkan di Alaska dan Iran (Berman, 2018;

De Wispelaere, 2016). Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal ini pemprov DKI Jakarta guna menekan penyebaran Covid- 19.

SIMPULAN

Program-program perlindungan sosial di Indonesia sampai saat ini masih dapat terus dikembangkan. Selama ini, banyak program perlindungan sosial di Indonesia yang masih dilaksanakan secara terpisah-pisah. Program bantuan sosial di Indonesia masih membutuhkan pengembangan dan transformasi. Dengan pengembangan dan transformasi pada program jaminan serta bantuan sosial, diharapkan pengurangan angka kemiskinan, pemenuhan hak-hak dasar, hingga perlindungan bagi penduduk atas setiap

guncangan sosial ekonomi di Indonesia dapat diwujudkan.

Agar kebijakan bansos lebih optimal dampaknya terhadap tujuan pemulihan ekonomi nasional, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah diantaranya:

penyempurnaan baik di aspek, mekanisme ataupun skema kebijakan. Harmonisasi data, penyesuaian cakupan dan besaran manfaat, peningkatan ketepatan waktu penyaluran, dan penguatan koordinasi antar pemangku kepentingan.

Dalam konteks Indonesia, meskipun UBI dapat meminimalisir tingkat kesalahan penargetan baik itu inclusion error

(14)

624 (memasukkan rumah tangga yang tidak miskin dalam penargetan) dan mengecualikan rumah tangga miskin dalam penargetan, namun manfaat yang diterima kelompok kurang beruntung bisa lebih tinggi dibandingkan program bantuan dengan penargetan tertentu.

Selain itu, perlu dicatat, penerapan UBI di masa krisis dan pemulihan ekonomi tetap harus dilengkapi dengan program bantuan sosial dengan penargetan tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Anas, A. (2021). Transformasi Bantuan Sosial Saat Pembatasan Sosial Berskala Besar Dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. MONAS: Jurnal Inovasi Aparatur, 3(1), 257–268.

Banerjee, A., Faye, M., Krueger, A., Niehaus, P., & Suri, T. (2020, September 2). Effects of a Universal Basic Income During the Pandemic. Retrieved March 27, 2023, from poverty-action.org website: https://poverty-action.org/effects- universal-basic-income-during-pandemic Banerjee, A., Niehaus, P., & Suri, T. (2019). Universal

Basic Income in the Developing World.

Annual Review of Economics, 11(1), 959–983.

https://doi.org/10.1146/annurev- economics-080218-030229

Berman, M. (2018). Resource Rents, Universal Basic Income, And Poverty Among Alaska’s Indigenous Peoples. World Development, 106, 161–172.

https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2018.01 .014

Bidadanure, J. U. (2019). The Political Theory of Universal Basic Income. Annual Review of Political Science, 22(1), 481–501.

https://doi.org/10.1146/annurev-polisci- 050317-070954

Borén, J., Chapman, M. J., Krauss, R. M., Packard, C. J., Bentzon, J. F., Binder, C. J., … Ginsberg, H. N.

(2020). Low-density lipoproteins cause atherosclerotic cardiovascular disease:

pathophysiological, genetic, and therapeutic insights: a consensus statement from the European Atherosclerosis Society Consensus Panel. European Heart Journal, 41(24), 2313–

2330.

https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehz962 Chaterine, R. N. (2021, November 18). Mensos

Risma Ungkap 31.624 ASN Terima Bantuan Sosial. Retrieved March 27, 2023, from nasional.kompas.com website:

https://nasional.kompas.com/read/2021/1 1/18/12031271/mensos-risma-ungkap- 31624-asn-terima-bantuan-sosial

Chilisia, B., & Kawulich, B. (2005). Selecting a Research Approach: Paradigm, Methodology and Methods. Cape Town: Pearson Education.

De Wispelaere, J. (2016). Basic Income in Our Time:

Improving Political Prospects Through Policy Learning? Journal of Social Policy, 45(4), 617–

634.

https://doi.org/10.1017/S00472794160000 39

De Wispelaere, J., & Morales, L. (2021). Emergency Basic Income during the Pandemic.

Cambridge Quarterly of Healthcare Ethics,

30(2), 248–254.

https://doi.org/10.1017/S09631801200008 08

Denney, A. S., & Tewksbury, R. (2013). How to Write a Literature Review. Journal of Criminal Justice Education, 24(2), 218–234.

https://doi.org/10.1080/10511253.2012.73 0617

Desai, M. A., & Dharmapala, D. (2006). Corporate tax avoidance and high-powered incentives.

Journal of Financial Economics, 79(1), 145–

179.

https://doi.org/10.1016/j.jfineco.2005.02.0 02

Devarajan, V., & Ravicandran, V. (2011). Review:

Nanoemulsions: As Modified Drug Delivery Tool. Pharmacie Globale: International Journal of Comprehensive Pharmacy, 2(4).

Retrieved from

https://journaldatabase.info/articles/revie w_nanoemulsions_as_modified_drug.html Dye, T. R. (1992). Understanding Public Policy. New

Jersey: Prentice Hall.

Fadhli, K., Himmah, S. R., & Taqiyuddin, A. (2021).

Analisis Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat Penerima Bantuan Sosial Pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Education and Development, 9(3), 110–117.

https://doi.org/10.37081/ED.V9I3.2777 Fadilah, I. (2022, November 5). 2022 Sudah Mau

Usai, Dana PEN Baru Terserap Setengah Lebih. Retrieved March 27, 2023, from

finance.detik.com website:

https://finance.detik.com/berita-ekonomi- bisnis/d-6389012/2022-sudah-mau-usai- dana-pen-baru-terserap-setengah-lebih Fadmi, F. R., Sanatang, & Gerung, J. (2022).

Peningkatan Pendapatan Keluarga Melalui Pembuatan Konektor Masker Rajut pada Masa Pandemi Covid-19. Abdimas Universal:

Jurnal Pengabdian Masyarakat, 4(2), 180–

185.

https://doi.org/10.36277/ABDIMASUNIVER SAL.V4I2.227

Faiz, P. M. (2009). Teori Keadilan John Rawls (John Rawls’ Theory of Justice). Jurnal Konstitusi, 6(1), 135–149.

(15)

Gaffar, M. (2019, March 25). Pendapatan Dasar: Uji Coba Pertama Di Finlandia Tunjukkan Manfaatnya Tidak Terlalu Besar. Retrieved March 27, 2023, from theconversation.com website:

https://theconversation.com/pendapatan- dasar-uji-coba-pertama-di-finlandia- tunjukkan-manfaatnya-tidak-terlalu-besar- 113773

Gentilini, U., Grosh, M., Rigolini, J., & Yemtsov, R.

(2020). Exploring Universal Basic Income: A Guide to Navigating Concepts, Evidence, and Practices. Washington DC: World Bank.

Gibson, M., Hearty, W., & Craig, P. (2018). Universal Basic Income: A Scoping Review Of Evidence On Impacts And Study Characteristics. Edinburgh:

What Works Scotland.

Habibullah. (2017). Perlindungan Sosial Komprehensif Di Indonesia. Sosio Informa, 3(1). https://doi.org/10.33007/inf.v3i1.492 Hanna, R., & Olken, B. A. (2018a). Universal Basic Incomes versus Targeted Transfers: Anti- Poverty Programs in Developing Countries.

Journal of Economic Perspectives, 32(4), 201–

226. https://doi.org/10.1257/jep.32.4.201 Hanna, R., & Olken, B. A. (2018b). Universal Basic

Incomes versus Targeted Transfers: Anti- Poverty Programs in Developing Countries.

Journal of Economic Perspectives, 32(4), 201–

226. https://doi.org/10.1257/jep.32.4.201 Iping, B. (2020). Perlindungan Sosial Melalui

Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Di Era Pandemi Covid-19: Tinjauan Perspektif Ekonomi Dan Sosial. Jurnal Manajemen Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 1(2), 516–526.

https://doi.org/10.38035/jmpis.v1i2.290 Irfandinata, & Reskiawan, R. (2020, May 19).

Pandemi dan Mutasi Sistem Ekonomi.

Retrieved March 27, 2023, from

news.detik.com website:

https://news.detik.com/kolom/d- 5020718/pandemi-dan-mutasi-sistem- ekonomi

Juliani, H. (2020). Kebijakan Fiskal: Anggaran Belanja Negara Untuk Perlindungan Sosial Dalam Penanganan Pandemi Covid 19.

Administrative Law and Governance Journal, 3(4), 595–616. Retrieved from https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/al j/article/view/9539

Latif, I. S., & Pangestu, I. A. (2022). Problematika Penyalahgunaan Bantuan Sosial Pada Masa Pandemi. Justisi, 8(2), 95–107.

https://doi.org/10.33506/js.v8i2.1612 Mufida, A. (2020). Polemik Pemberian Bantuan

Sosial di Tengah Pandemic Covid 19.

Adalah: Buletin Hukum Dan Keadilan, 4(1), 159–166.

https://doi.org/10.15408/ADALAH.V4I1.1 5669

Muhyiddin, & Hadi, S. (2020). Sinergi Prioritas Program Kerja Pemerintah 2020-2024 dengan Kerangka Ketahanan Nasional dalam Penanganan Covid-19. Majalah Media Perencana, 1(1), 127–136. Retrieved from

https://mediaperencana.perencanapemba ngunan.or.id/index.php/mmp/article/vie w/8

Mukhtar. (2013). Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: Reference.

Mustari, N. (2015). Pemahaman Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta:

Leutika Prio.

Naviul, R. (2020, December 9). Jejak Panjang Gagasan & Eksperimen Universal Basic Income. Retrieved March 27, 2023, from tirto.id website: https://tirto.id/jejak- panjang-gagasan-eksperimen-universal- basic-income-f7Lr

Nawawi, A. (2021). Arah Kebijakan Perlindungan Sosial Ke Depan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.

Jurnal Health Sains, 2(10), 1824–1838.

https://doi.org/10.46799/jsa.v2i10.329 Nazir, M. (2009). Metode penelitian. Bogor:

Ghalia Indonesia.

Negara, T. A. S. (2014). Analisis Perkara Penyimpangan Penyaluran Dana Bantuan Sosial Kemasyarakat oleh Pemerintah Daerah. Rechtidee, 9(2), 154–168.

https://doi.org/10.21107/ri.v9i2.406 Noerkaisar, N. (2021). Efektivitas Penyaluran

Bantuan Sosial Pemerintah untuk Mengatasi Dampak Covid-19 di Indonesia.

Jurnal Manajemen Perbendaharaan, 2(1), 83–104.

https://doi.org/10.33105/jmp.v2i1.363 Nugroho, H., & Ruhama, Z. (2021). Kebijakan

Perlindungan Sosial Indonesia pada Situasi Krisis Corona Virus Disease 2019. Salus Cultura: Jurnal Pembangunan Manusia Dan

Kebudayaan, 1(1), 61–70.

https://doi.org/10.55480/saluscultura.v1i 1.9

Ortiz, I., Behrendt, C., Acuña-Ulate, Andrés, &

Nguyen, Q. A. (2018). Universal basic income proposals in light of ILO standards:

key issues and global costing. Retrieved

Referensi

Dokumen terkait

This study also found that nursing students had positive attitude and had good perceptions about using social media responsibly.. Perhaps, this may be attributed to the fact