• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa pada Materi Desimal melalui Penerapan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa pada Materi Desimal melalui Penerapan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa pada Materi Desimal melalui Penerapan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

di MIN Tungkop Aceh Besar

Orin Asdarina

Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Muhammadiyah ABDYA Orin.asdarina@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa pada materi desimal melalui RME di MIN Tungkop Aceh Besar. berpikir kreatif merupakan suatu proses berpikir untuk menggungkapkan hubungan- hubungan baru, melihat sesuatu dari sudut pandang baru dan membentuk kombinasi baru dari dua konsep atau lebih yang sudah dikuasai sebelumnya.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME). Pendekatan Realistik merupakan konsep pembelajaran yang membantu siswa mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun indikator dari berpikir kreatif yang akan dijadikan tolak ukur untuk kemampuan berpikir kreatif siswa adalah (a) kemampuan berpikir lancar (fluency) yaitu kemampuan untuk mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan, (b) kemampuan berpikir luwes (flexibility) yaitu kemampuan menguraikan secara runtut langkah penyelesaian masalah, dan (c) kemampuan berpikir kebaruan (originality) yaitu kemampuan memunculkan ide-ide yang unik dalam memecahkan masalah, dan mengacu pada kemampuan siswa menjawab masalah dengan beberapa jawaban berbeda- beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang tidak biasa dilakukan oleh individu (siswa) pada tahap perkembangan mereka atau tingkat pengetahuannya. Untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa diberikan 3 soal essay sesuai dengan indikator kemampuan berpikir kreatif. Dari hasil penelitian bisa disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa- siswa kelas V-2dalam kategori “Sangat Rendah”.

Kata kunci: Realistic Mathematics Education (RME), Berpikir kreatif, desimal PENDAHULUAN

Matematika merupakan salah satu pelajaran yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan baik di SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Tujuan diajarkan matematika yang sesuai dengan kurikulum adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

(2)

Menurut Suherman, dkk (2001:58), siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kebutuhan praktis dan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu agar siswa mampu mengikuti pelajaran matematika lebih lanjut, untuk membantu memahami bidang studi lain, agar siswa dapat berpikir logis, kritis dan praktis serta bersikap positif dan berjiwa kreatif.

Dua hal penting yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran matematika yaitu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa (Suherman,dkk.

2001:60). Menurut Ennis dan costa (dalam Suryadi dan Herman, 2008:23) berpikir kreatif merupakan suatu proses berpikir untuk menggungkapkan hubungan-hubungan baru, melihat sesuatu dari sudut pandang baru dan membentuk kombinasi baru dari dua konsep atau lebih yang sudah dikuasai sebelumnya. Dari pengertian tersebut, jelas bahwa kemampuan berpikir kreatif sangat diperlukan dalam menghadapi suatu masalah.

Proses berpikir kreatif tersebut berbeda-beda antar siswa, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki siswa berbeda juga dan mempengaruhi hasil belajar mereka.

Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa, guru hendaknya mengembangkan pembelajaran matematika yang tidak monoton yang hanya mentransfer pengetahuan kepada siswa tetapi juga memfasilitasi siswa aktif membentuk pengetahuan mereka sendiri serta memberdayakan mereka untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Pembelajaran matematika yang demikian, tidak mungkin dapat dicapai hanya melalui hafalan, pemberian tugas dan proses pembelajaran yang berpusat pada guru. Seorang guru dituntut untuk menggunakan pendekatan yang melibatkan siswa dalam belajar yang dapat mengaktifkan interaksi antara siswa dan guru, siswa dan siswa, serta siswa dan bahan pelajarannya. Dengan demikian, pembelajaran diarahkan pada aktivitas aktif siswa untuk menjadi terampil dalam menemukan sendiri konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam matematika.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mendukung proses tersebut adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME). Pendekatan ini satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematization of everday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan. Realistik merupakan konsep pembelajaran yang membantu siswa mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan, banyak sekali ditemukannya permasalahan-permasalahan matematika di SD seperti siswa tidak tertarik dengan pembelajaran matematika, bahkan ada siswa yang takut (fobia), merasa terbebani dengan pelajaran matematika, ditambah lagi dengan cara guru mengajarkan konsep matematika yang kurang tepat, pendekatan pembelajaran yang dipilih guru membuat kurang efektifnya pembelajaran yang dikembangkan di kelas.

Permasalahan tersebut bisa membuat siswa menjadi kesulitan dalam memahami materi matematika, salah satunya yaitu materi desimal. Ada banyak kesalahpahaman tentang besarnya desimal. Banyak anak-anak sering menggunakan beberapa aturan implisit dan salah dalam menafsirkan desimal, misalnya siswa akan menentukan bahwa

(3)

(Desmet et al, 2010). Ubuz dan Yayan (2010) memaparkan tentang konsep bilangan desimal dan menginvestigasi sikap siswa, serta mengobervasi kesulitan-kesulitan siswa dalam hal membaca skala, mengurutkan bilangan, dan mengoperasikan desimal.

Kekeliruan yang paling umum dalam persoalan penjumlahan bilangan desimal adalah ketika menambahkan angka terakhir di belakang koma, misalnya menambahkan 0,1 ke 4,256 dan 6,98, kemudian siswa memberikan jawaban yang keliru 4,257 dan 6,99 dari pada jawaban 4,356 dan 7,08. Kesulitan-kesulitan ini perlu diperhatikan ketika melakukan proses pembelajaran bilangan desimal di sekolah. Oleh karena itu, proses belajar mengajar desimal membutuhkan lebih banyak perhatian untuk mendukung belajar siswa dan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa.

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimanakah kemampuan berpikir kreatif siswa pada materi desimal melalui RME di MIN Tungkop Aceh Besar?

KAJIAN PUSTAKA

Kemampuan Berpikir Kreatif

Meskipun berpikir merupakan istilah yang sudah populer di kalangan masyarakat serta prosesnya dilakukan oleh setiap orang, akan tetapi istilah berpikir sendiri sangat sulit untuk didefinisikan. Bukan hanya itu, sulit untuk menggambarkan ketika seseorang sedang berpikir. Karena setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk mengekspresikan cara apabila sedang berpikir. Sebagaimana yang kita ketahui proses berpikir berkaitan erat dengan apa yang terjadi di dalam otak manusia. Pada umumnya berpikir dilakukan dalam keadaan sadar, tetapi tidak menutup kemungkinan berkaitan dengan sesuatu yang diperoleh secara tidak sadar.

Menurut Priest (dalam Ikhsan, 2009:3) “Berpikir dilakukan saat kita dihadapkan pada masalah yang sukar, rumit, tidak familiar, dan tidak dapat menjawab seketika.

Pada saat berpikir paling tidak melakukan aktivitas seperti : menganalisis, membayangkan, memprediksi, memahami, merefleksi, mengantisipasi, meyakini, tidak meyakini, meninjau kembali, memutuskan, menyimpulkan dan mengingat.

Gambaran secara kasar dan relatif dari seseorang yang sedang berpikir, diantaranya ketika dirinya dihadapkan pada masalah non-rutin, lantas terdiam, termenung atau mencoba-coba sambil menulis, seandainya ada titik terang ke arah solusi, dia berekspresi tersenyum sambil manggut-manggut kepala, atau secara refleks dia mengucapkan kata ahaaa….horeee atau yesss. Jadi beragam cara mengepresikan diri apabila sesorang sedang berpikir, tidak ada satu ciri atau parameter yang pasti.

Paling tidak kita tahu apakah seseorang sedang berpikir atau tidak.

Tujuan berpikir adalah mengumpulkan informasi serta menggunakannya sebaik mungkin. Karena cara pikiran bekerja untuk menciptakan konsepsi pola yang tetap.

Kita tidak dapat menggunakan informasi baru secara lebih baik, kecuali jika kita mempunyai beberapa cara untuk membangun kembali pola-pola yang lama (Edward de Bono, 1991:14).

Kaitan berpikir dengan pendidikan matematika, menurut Sumarno (dalam Ikhsan, 2009:3) secara umum berpikir matematik dapat diartikan sebagai melaksanakan kegiatan atau proses matematika (doing math) atau tugas matematik (math task).

Ditinjau dari kedalaman atau kekomplekan kegiatan matematik yang terlibat, berpikir matematik dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu berpikir matematik tingkat rendah

(4)

dan berpikir matematik tingkat tinggi. Berpikir kreatif termasuk pada berpikir matematik tingkat tinggi.

Menurut Munadar (1999:50) berpikir kreatif adalah kemampuan mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan keaslian (orsinalitas) dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, dan meperinci) suatu gagasan. Menurut McGregor (dalam Mahmudi, 2010:2) berpikir kreatif adalah berpikir yang mengarah pada pemerolehan wawasan baru, pendekatan baru, perspektif baru, atau cara baru dalam memahami sesuatu. Sementara menurut Martin (dalam Mahmudi, 2010:2), kemampuan untuk menghasilkan ide atau cara baru dalam menghasilkan suatu produk. Pada umumnya, berpikir kreatif dipicu oleh masalah- masalah yang menantang.

Berpikir kreatif akan menghasilkan kreativitas. Kreativitas artinya daya cipta.

Daya cipta sebagai kemampuan untuk menciptakan hal-hal yang sama sekali adalah baru adalah hal yang hampir tidak mungkin, oleh karena itu kreativitas merupakan gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya.

Menurut Siswono (2006:1) Kreativitas merupakan produk berpikir kreatif seseorang. Berpikir kreatif merupakan suatu proses yang digunakan ketika kita mendatangkan/memunculkan suatu ide baru. Hal itu menggabungkan ide-ide yang sebelumnya yang belum dilakukan. Hal ini akan berguna dalam menemukan penyelesaiannya. Berpikir kreatif memperhatikan berpikir logis untuk menghasilkan ide-ide. Oleh karena itu, dalam berpikir kreatif dua bagian otak akan sangat diperlukan.

Keseimbangan antara logika dan intuisi sangat penting. Jika menempatkan deduksi logis terlalu banyak, maka ide-ide kreatif akan terabaikan. Dengan demikian untuk memunculkan kreativitas diperlukan kebebasan berpikir tidak dibawah kontrol atau tekanan.

Untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif seseorang ditunjukan melalui produk pemikiran atau kreativitasnya menghasilkan sesuatu yang baru. Munandar (1999) menunjukan indikasi berpikir kreatif dalam definisinya bahwa kreativitas adalah kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keberagaman jawaban.

Pengertian ini menunjukan bahwa kemampuan berpikir kreatif seseorang makin tinggi jika ia mampu menunjukan banyak kemungkinan jawaban pada suatu masalah.

Selanjutnya menurut Hamalik (2008:179) “Aspek khusus berpikir kreatif adalah berpikir divergen (divergen think), yang memiliki ciri-ciri fleksibilitas, originalitas, dan fluency(keluwesan, keaslian, dan kuantitas output)”.

Kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan berpikir yang berdasarkan data dan informasi yang tersedia untuk menentukan banyak kemungkinan pertanyaan atau peryataan yang diberikan berdasarkan informasi yang telah disediakan. Dari pendapat mengenai kriteria atau ciri-ciri berpikir kreatif dari para ahli dan peneliti dalam bidang kreativitas, peneliti tidak akan menggunakan semua kriteria yang ada. Adapun indikator dari berpikir kreatif yang akan dijadikan tolak ukur untuk kemampuan berpikir kreatif siswa adalah (a) kemampuan berpikir lancar (fluency) yaitu kemampuan untuk mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan, (b) kemampuan berpikir luwes (flexibility) yaitu kemampuan menguraikan secara runtut langkah penyelesaian masalah, dan (c) kemampuan berpikir kebaruan (originality) yaitu kemampuan memunculkan ide-ide yang unik dalam memecahkan

(5)

jawaban berbeda-beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang tidak biasa dilakukan oleh individu (siswa) pada tahap perkembangan mereka atau tingkat pengetahuannya.

Tingkat Berpikir Kreatif (TBK)

Menurut Siswono (2006:3) perbaikan pengembangan tingkat berpikir kretif dalam matematika didasarkan pada 3 komponen, yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan dalam memecahkan masalah. Tingkat Berpikir Kreatif (TBK) ini terdiri dari 5 tingkat, yaitu tingkat 4 (sangat kreatif), tingkat 3(kreatif), tingkat 2 (cukup kreatif), tingkat 1(kurang kreatif), dan tingkat 0 (tidak kreatif). Teori hipotetik tingkat berpikir kreatif ini dinamakan draf tingkat berpikir kreatif.

Draf tingkat berpikir kreatif tersebut adalah sebagai berikut:

Tingkat Berpikir Kreatif 4

Pada tingkat ini siswa mampu menyelesaikan suatu masalah dengan lebih dari satu alternatif jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah dengan lancer (fasih) dan fleksibel. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa sangat kreatif.

Tingkat Berpikir Kreatif 3

Pada tingkat ini siswa mampu menunjukkan suatu jawaban yang baru dengan cara penyelesaian yang berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau membuat berbagai jawaban yang baru meskipun tidak dengan cara yang berbeda (tidak fleksibel). Selain itu, siswa dapat membuat masalah yang berbeda dengan lancar (fasih). Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa kreatif.

Tingkat Berpikir Kreatif 2

Pada tingkat ini siswa mampu membuat satu jawaban atau masalah yang berbeda dari kebiasaan umum meskipun tidak dengan fleksibel atau fasih, atau mampu menunjukkan cara penyelesaian yang berbeda dengan fasih meskipun jawaban yang dihasilkan tidak baru. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa cukup kreatif.

Tingkat Berpikir kreatif 1

Pada tingkat ini siswa tidak mampu membuat jawaban atau membuat masalah yang berbeda (baru), meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi, yaitu cara penyelesaian yang dibuat berbeda-beda (fleksibel) atau jawaban yang dibuat beragam (fasih). Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan siswa kurang kreatif.

Tingkat Berpikir Kreatif 0

Pada tingkat ini siswa tidak mampu membuat alternatif jawaban maupun cara penyelesaiannya atau membuat masalah yang berbeda dengan lancer (fasih) dan fleksibel. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa tidak kreatif.

Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education) mengacu pada pendekatan pendidikan matematika yang telah dikembangkan dan diterapkan di Belanda sejak 1971. RME berakar dari interpretasi Hans Freudenthal, yang menyatakan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia dan matematika harus

(6)

dihubungkan dengan realitas. Matematika harus dilakukan sebagai kegiatan dimana siswa mengalami matematika sebagai subjek yang bermakna dan dapat memahaminya dengan lebih baik (Freudenthal, 1991). Pandangannya menekankan bahwa materi- materi matematika harus ditransmisikan sebagai aktifitas manusia (human activity).

Pendidikan seharusnya memberi kesempatan bagi siswa untuk “reinvent

(menemukan/menciptakan) matematika melalui praktek (doing it). Dalam RME, pembelajaran matematika berarti melakukan matematika, bagian penting adalah memecahkan setiap masalah dalam kehidupan sehari-hari (masalah kontekstual).

Dengan demikian dalam pendidikan matematika, matematika seharusnya tidak sebagai sistem yang tertutup tetapi sebagai suatu aktivitas dalam proses matematisasi.

RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri.

Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Gravemeijer (1994:90), mengemukakan bahwa ada tiga prinsip utama dalam RME.

Ketiga prinsip tersebut dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

1. Penemuan Terbimbing dan Matematika Progresif (Guided Reinvention and Progressive Mathematizing)

Gravemeijer (1994:90) menjelaskan, “Melalui topik yang disajikan, siswa harus diberikan kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep- konsep matematika ditemukan. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan masalah kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi, dilanjutkan dengan matematisasi”. Proses belajar diatur sedemikian rupa sehingga siswa menemukan sendiri konsep atau hasil.

2. Fenomena yang Bersifat Mendidik (Didactical Phenomenology)

Prinsip ini menekankan bahwa pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kecocokan masalah kontekstual yang disajikan dengan materi yang diajarkan, serta konsep, prinsip, rumus, dan prosedur matematika yang akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran.

3. Mengembangkan Model Sendiri (Self Developed Models)

Sewaktu mengerjakan masalah kontekstual, siswa mengembangkan model mereka sendiri. Model-model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarahkan kepada bentuk yang lebih baik menuju kearah pengetahuan matematika formal, sehingga diharapkan terjadi urutan seperti berikut:

Masalah kontekstual model dari masalah kontekstual tersebut model kearah formal pengetahuan formal, (Nalole, 2008:4)

Karakteristik RME

Konsep dalam pembelajaran matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkaitan dengan konteks, siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematika ke tingkat yang lebih formal.

Model-model yang muncul dari aktivitas matematika siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematika yang lebih tinggi.

(7)

Menurut Gravemeijer (1994:114) “Karakteristik RME adalah penggunaan konteks, penggunaan model untuk matematisasi progresif, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, dan keterkaitan”.

1. Penggunaan Konteks

Proses matematisasi berupa siklus di mana dunia nyata tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika. Gravemeijer (1994:115) berpendapat bahwa dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah konstekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Wijaya (2012:21) menyatakan bahwa penggunaan konteks bisa berupa permainan, alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.

Inti dari proses yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep- konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.

2. Penggunaan Model untuk Matematisasi Progresif

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal, Wijaya (2012:22). Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Awalnya siswa diberikan model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematika model-of akan bergeser menjadi model-for. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.

3. Pemanfaatan Hasil Konstruksi Siswa

Suharta (dalam Jannah, 2007:39) menekankan bahwa dengan pembuatan produksi bebas siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.

Wijaya (2012:22) menyatakan bahwa karakterisik ketiga dari RME ini tidak hanya bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep matematika, tetapi juga mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa.

4. Interaktivitas

Interaksi antar siswa dan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME.

Gravemeijer (1994:115) menjelaskan, “Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa”. Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka. Wijaya (2012:23) menyatakan

(8)

bahwa pemanfaatan interaksi dapat mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa secara simultan.

5. Keterkaitan

Esensial dalam RME adalah pengintegrasian unit-unit matematika. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Wijaya (2012:23) menyatakan bahwa dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar atau geometri tetapi juga bidang lain. RME menempatkan keterkaitan antar konsep matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilaksanakan terhadap siswa di kelas V-2 MIN Tungkop Aceh Besar pada materi desimal menggunakan pendekatan realistic mathematic education (RME).

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dibagian pendahuluan, diperlukan adanya analisis data hasil penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa pada materi desimal melalui RME di MIN Tungkop Aceh Besar dengan jumlah siswa 35 orang.

Pada penelitian ini mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa. Untuk mengukur kemampuan siswa ini, dilakukan dengan memberikan tes berbentuk soal uraian yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kreatif. Tes tersebut diberikan setelah siswa mengikuti proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dengan menggunakan pendekatan realistik pada materi desimal.

Dari data hasil tes kemampuan berpikir kreatif yang telah diberikan, dapat disimpulkan bahwa dari 35 orang siswa yang mengikuti tes, hanya 1 orang siswa yang memperoleh total skor 83,3 dan memperoleh kemampuan berpikir kreatif dalam kategori “Tinggi”, sedangkan selebihnya atau 34 orang siswa memperoleh skor dengan kategori “Sangat Rendah”.

Jika dilihat dari persentase total keselurah skor yang diperoleh siswa, diperoleh hasil kemampuan berpikir kritis siswa yaitu 24,5% dan masuk dalam kategori “Sangat rendah”. Jadi bisa disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa-siswa kelas V-2 dalam kategori “Sangat Rendah”.

Pada penelitian ini yang akan dijadikan tolak ukur untuk kemampuan berpikir kreatif siswa adalah (a) kemampuan berpikir lancar (fluency) yaitu kemampuan untuk mencetuskan banyak gagasan atau jawaban, (b) kemampuan berpikir luwes (flexibility) yaitu kemampuan menguraikan secara runtut langkah penyelesaian masalah, Dan (c) kemampuan berpikir kebaruan (originality) yaitu kemampuan memunculkan ide-ide yang unik dalam memecahkan masalah. jika dilihat dari keseluruhan siswa, dari hasil tes diperoleh bahwa untuk kemampuan berpikir lancar (fluency) (soal no 1) dengan persentase 31% yaitu dengan kategori “Sangat rendah”. Kemampuan berpikir luwes (flexibility) (Soal no 2) dengan persentase 26,4% juga dengan kategori “Sangat rendah”, dan kemampuan berpikir kebaruan (originality) (soal no 3) dengan persentase 16% juga dengan kategori “Sangat rendah”. Jika dilihat dari persentase keseluruhan

(9)

soal untuk kemampuan berpikir kreatif (soal no 1, 2, dan 3) dengan persentase 24,5%

dengan kategori “Sangat Rendah”.

Dalam proses pembelajaran guru telah berusaha untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa pada materi desimal. Hal ini terlihat dari Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang kreativitas siswa seperti, “ini bagaimana lagi cara menyelesaikannya? Adakah cara lain? dll”. Kemudian memberikan motivasi kepada siswa untuk mempunyai banyak ide untuk masalah yang diberikan, seperti pada saat mereka mengerjakan tugas mandiri tentang timbangan yang beratnya harus sama, disini siswa dituntut untuk menemukan bermacam cara agar berat timbangan sama sebelah kiri dan kanan. Kemudian guru menciptakan interaksi dengan siswa dan memberikan pertanyaan terbuka kepada siswa agar mereka mau menyampaikan pendapat-pendapat dari mereka terlebih dahulu, kemudian cara mereka dalam menjawab soal mereka harus mendapatkan jawaban tersebut.

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan guru, guru juga menambahkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan realistik lebih baik untuk siswa karena dengan pembelajaran tersebut siswa mau berpikir dan mau mengerjakan tugas mereka sendiri tanpa bergantung pada orang lain, dengan menggunakan pendekatan realistik tersebut, anak-anak lebih bisa untuk menjawab soal dan lebih bisa untuk memahami soal karena pendekatan realistik tersebut langsung kepada prakteknya, dengan praktek mereka lebih bisa mengingat. Peranan alat peraga lebih dari 50% karena siswa-siswa tersebut lebih menjurus kepada penggunaan alat peraga. Adapun kendala yang dialami selama proses pembelajaran dengan pendekatan realistik yaitu hanya pada siswa yang malas, tetapi kalau siswa yang kreatif, mereka akan lebih cepat memahami materi pelajaran.

Siswa-siswa terlihat senang dan suka, kecualinya bagi siswa yang suka main-main saja, tapi bagi siswa yang mau belajar mereka termotivasi untuk belajar dengan pendekatan realistik.

PENUTUP Kesimpulan

Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa

1. Kemampuan berpikir kreatif siswa-siswa kelas V-2 dalam kategori “Sangat Rendah”.

2. Kemampuan berpikir lancar (fluency) (soal no 1) dengan persentase 31% yaitu dengan kategori “Sangat rendah”. Kemampuan berpikir luwes (flexibility) (Soal no 2) dengan persentase 26,4% juga dengan kategori “Sangat rendah”, dan kemampuan berpikir kebaruan (originality) (soal no 3) dengan persentase 16%

juga dengan kategori “Sangat rendah”. Jika dilihat dari persentase keseluruhan soal untuk kemampuan berpikir kreatif (soal no 1, 2, dan 3) dengan persentase 24,5% dengan kategori “Sangat Rendah”.

3. Dengan menerapkan pendekatan realistik dalam pembelajaran materi desimal dapat membuat siswa lebih aktif, anak-anak lebih bisa untuk menjawab soal dan lebih bisa untuk memahami soal karena pendekatan realistik tersebut langsung kepada prakteknya, dengan praktek mereka lebih bisa mengingat.

(10)

Saran

1. Guru diharapkan untuk terus menerapkan pendekatan realistik dalam pembelajaran matematika.

2. Guru diharapkan untuk terus memberikan soal-soal kemampuan berpikir kreatif pada siswa, sehingga kemampuan berpikir kreatif dan berpikir kritis siswa kedepannya akan menjadi lebih baik.

Daftar Pustaka

Desmet et al. (2010). Development Changes In the Comparison of Decimal Fractions, Centre for Research on the Teaching of Mathematics, Learning and Instruction, 521-532. Belgium: Centre for Research on the Teaching of Mathematics

Edward de Bono. 1991. Berpikir Lateral. Jakarta: Erlangga.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Netherland:

Technipress

Hamalik, Oemar. 2008. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ikhsan, M. 2009. Mengembangkan Berpikir Kritis dan Kreatif Melalui Pemecahan Masalah. Makalah, disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika “Pendidikan Matematika dan Kontribusinya terhadap Peningkatan SDM Tenaga Kependidikan yang Profesional. 21 Juni 2009

Jannah, M. (2007). Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Tanjung Brebes dalam Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) Sub Materi Pokok Bahasan Persegi Panjang dan Persegi Tahun Pelajaran 2006/2007. Skripsi, [Online], (www.4skripsi.com/.../kemampuan pemahaman-konsep-siswa-kelas-v, diakses 10 Februari 2015

Mahmudi, A. 2010. Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Makalah, disajikan pada Konferensi Nasional Matematika XV UNIMA Manado, 30 juni-3 juli 2010.[Online]. Tersedia : http:// staff.uny.ac.id. [ 14 februari 2012]

Munandar, U. 1999. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak. Jakarta: PT Gramedia

Nasution, H. (2007). Pembelajaran Matematika Realistik Topik Pembelajaran Pembagian di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains, Jilid 2, No. 1 [Online], (http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2107713.pdf, diakses pada tanggal 20 Februari 2015

Siswono, T. Y. E. (2006). Implementasi Teori Tentang Tingkat Berpikir Kreatif dalam Matematika.Seminar Konferensi Nasional Matematika XIII dan Kongres Himpunan Matematika Indonesia di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang, 24-27 juli 2006.http://tatagyes.files.wordpress.com/2009/11/

paper06_implentasiteori

Suherman, E. dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:

JICA UPI

Suryadi, D & Tatang Herman. 2008. Eksplorasi Matematika Pembelajaran Pemecahan Masalah. Jakarta: Karya Duta Wahana.

Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Referensi

Dokumen terkait