• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASAS KEPASTIAN HUKUM TERHADAP TUMPANG TINDIH KEWENANGAN MENGADILI ANTARA MAHKAMAH AGUNG DAN BANI (BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA) DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "ASAS KEPASTIAN HUKUM TERHADAP TUMPANG TINDIH KEWENANGAN MENGADILI ANTARA MAHKAMAH AGUNG DAN BANI (BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA) DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 ASAS KEPASTIAN HUKUM TERHADAP TUMPANG TINDIH KEWENANGAN MENGADILI ANTARA MAHKAMAH AGUNG DAN BANI (BADAN ARBITRASE

NASIONAL INDONESIA) DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

Yati Nurhayati dan Istiana Heriani

Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan MAAB Email : Nurhayati.law@gmail.com,1isty99@gmail.com,2

Abstract

The purpose of this research is to find the root cause of the law towards authority of the judiciary with the Indonesian National Arbitration Board (BANI) in the event of a dispute resolution clauses which selected by the parties to be resolved through BANI. In addition, aims of this research is to determine which agency has authority to decide the dispute. The objective of the research is to create certainty and legal protection to society.This research used normative juridical research. Furthermore, normative legal research was done by descriptive qualitativ. This research means material or legal materials were collected, sorted out for further study and analyze its content, so that can know the level of synchronization, eligibility norms, and the submission of a new normative ideas.

Keyword : Law certainty and Justice system.

Abstrak

Tujuan jangka pendek yang diharapkan dari penelitian ini adalah mencari akar permasalahan hukum terhadap tumpang tindih kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam hal terdapat klausul penyelesaian sengketa yang dipilih para pihak diselesaikan melalui BANI.Tujuan jangka panjang dari penelitian ini dapat menjadi kerangka kerja yang tepat dan efektif dalam menyelesaikan permasalahan/ perkara tumpang tindih kewenangan tersebut. Kegunaan hasil penelitian adalah terwujudnya kepastian dan perlindungan hukum terhadap masyarakat.Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. penelitian hukum normatif ini dilakukan secara diskriptif kualitatif, yaitu materi atau bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan, dipilah-pilah untuk selanjutnya dipelajari dan dianalisis muatannya, sehingga dapat diketahui taraf sinkronisasinya, kelayakan norma, dan pengajuan gagasan-gagasan normatif baru.

Keywords: Law certainty and Justice system.

(2)

266 PENDAHULUAN

Perjanjian adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Perjanjian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perjanjian Kerjasama Investasi (Investment agreement) antara Siti Hardijanti Rukmana atau yang akrab dipanggil Mbak Tutut dan PT. Berkah Karya Bersama yang dibuat pada tanggal 23 Bulan Agustus Tahun 2002.

Perjanjian Kerjasama Investasi antara Tutut dan PT. Berkah Karya Bersama ini merupakan serangkaian peristiwa yang dimulai dari pengajuan konsep dan kerangka perjanjian, penentuan isi perjanjian, kesepakatan para pihak, penandatanganan surat perjanjian, hingga berakhirnya perjanjian. Dalam Praktik perjanjian ini Hary Tanoe diharuskan memberikan bantuan penyelesaian hutang yang dimiliki Mbak Tutut dan memberikan penambahan modal pada TPI, sebagai imbalannya, Mbak Tutut memberikan 75% saham TPI kepada Hary Tanoe melalui PT. Berkah, Dengan demikian akan terjadi keseimbangan prestasi.

PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), adalah perusahaan yang didirikan oleh anak putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana. Sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT. Cipta Lamtoro Gungpersada. Perusahaan televisi yang akrab disebut TPI ini memang harus diakui bahwa tidak mempunyai kinerja keungan yang baik, terutama saat TPI memutuskan untuk tidak bekerjasama dengan TVRI sebagai televisi nasional. Sejak saat itu keadaan keungan TPI semakin memburuk, hingga tiba pada tahun 2002 diketahui bahwa hutang TPI menembus angka Rp 1,634 triliun, nominal yang tentu saja tidak sehat bagi perusahaan di Indonesia, Sejak saat itu TPI menghadapi ancaman kepailitan. Hingga pada agustus 2002 Tutut sepakat membuat perjanjian dengan Hary Tanoe, yang juga pemilik PT.

Bhakti Investama Tbk, perusahaan pengambilalih PT. Bimantara Citra Tbk (sekarang PT.

Global Mediacom Tbk) dari tangan Bambang Trihatmodjo, Dalam perjanjian itu, disebut semua utang Tutut akan diambil alih Hary Tanoe.

Permasalahan tidak selesai sampai disitu, dalam klausula perjanjian salah satunya menyebutkan bahwa Tutut memberikan surat kuasa agar PT. Berkah Karya Bersama bisa mengendalikan penuh operasional TPI. Sejak Juni 2003, TPI resmi masuk grup MNC.

namun, baru setahun perjanjian itu berjalan, Tutut merasa dirugikan sebab MNC berniat menjual lahan seluas 12 hektare di kawasan Taman Mini untuk menambah modal. Dengan

(3)

267 kejadian tersebut Tutut meminta agar saham 75% dikembalikan kepadanya. Berbagai negosisasi telah dilakukan namun tetap saja tidak menghasilkan kesepakatan bagii kedua belah pihak, TPI masih dibawah kendali MNC bahkan TPI pun berubah nama menjadi MNC TV.

Selanjutnya Tutut melakukan upaya melalui jalur hukum dengan menggugat PT. Berkah Karya Bersama ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, padahal dalam klausul perjanjian menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan dalam menjalankan perjanjian pilihan forumnya adalah diselesaikan di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Namun sepertinya itu tidak menjadi masalah bagi Tutut sebab kenyataannya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetap memproses gugatan yang diajukan oleh Tutut hingga memberikan putusan yang memenangkan Tutut. Upaya hukum pun berlanjut hingga tingkat kasasi. Pada 2 Oktober 2014 Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Tutut, dan menyatakan para tergugat (termohon kasasi) telah melakukan perbuatan melawan hukum.

A. Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Tipe penelitian ini akan lebih mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan, putusan pengadilan, serta kebiasaan umum yang berkaitan namun tidak mengabaikan juga persoalan hukum secara lebih bermakna dengan melakukan perbandingan antara law in book dengan law in action. ( David M. Fetterman : 1998)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan Mahkamah Agung Untuk Memberi Putusan Dalam Sengketa Antara Para Pihak Yang Yang Mencantumkan Klausul Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

Perjanjian dalam hukum perdata di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1388 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.

Asas kebebasan berkontrak mengandung arti bahwa setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi berlakunya dan bebas untuk memilih pilihan hukum mana yang akan digunakan untuk perjanjian itu.

(4)

268 Asas konsensualisme menurut hukum perjanjian menetapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Asas ini memberikan informasi bahwasanya suatu perjanjian pada dasarnya ada sejak tercapainya kata sepakat dari para pihak yang membbuat perjanjian tersebut. Konsensualisme dapat diartikan bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata sepakat dan kehendak bebass dari para pihak yang membuat perjanjian mengenai isi atau pokok perjanjian.

Perjanjian juga mengenal dengan asas pacta sunt servanda, asas ini sering kita artikan sebagai asas kekuatan mengikat. Asas ini berhubungan dengan akibat suatu perjanjian dan diatur dalam Passal 1388 ayat (1) dan (2) KUHPerdata. Asas tersebut dapat disimpulkan dari kalimat “…berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya…”, dengan adanya asas kekuatan mengikat tersebut berarti para pihak harus mentaati perjanjian yang telah mereka buat seperti halnya mentaati undang-undang, maksudnya adalah apabila diantara para pihak tersebut dianggap melanggar perjanjian yang mereka buat tentunya akan dikenakan sanksi hukum. Asas pacta sunt servanda juga dikenal sebagai asas kepastian hukum. Adanya kepastian hukum tersebut maka para pihak yang telah menjanjikan sesuatu akan memperoleh jaminan yaitu apa yang telah diperjanjikan itu akan dijamin pelaksanaanya.

Dalam perjanjian Kerjasama Investasi (Investment Agreement) antara Tutut dan PT.

Berkah Karya Bersama dalam klausul perjanjian tersebut menyatakan tentang pilihan forum yang termuat dalam Pasal 13 jelas menyatakan bahwa interpretasi pelaksanaan, keabsahan, kekuatan berlaku dan pemutusan hak dan kewajiban Para pihak dari setiap sengketa (DISPUTES) disepakati diselesaikan melalui BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), sedangkan Pasal 13.7 Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 jelas diatur bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berwenang untuk pelaksanaan (eksekusi) dari putusan Arbitrase. Berdasarkan pada Pasal 13 Investment Agreement tersebut jelas merupakan klausula Arbitrase yang tercakup dalam pengertian Undang-

Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan tidak dapat dicabut serta mengikat para pihak untuk menyerahkan sengketa kepada arbitrase bersifat final dan mengikat sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian tersebut.

Namun pada kenyataannya gugatan yang diajukan oleh Tutut justru melalui Pengadilan Negeri bahkan Pengadilan Negeri Jakata Pusat yang menerima gugatan yang

(5)

269 diajukan oleh Pihak Penggugat yaitu Tutut tetap memproses jalannya persidangan hingga berakhir pada putusan serta diajukannya upaya hukum kasasi juga diterima oleh Mahkamah Agung yang putusannnya juga memenangkan Tutut padahal dalam waktu bersamaan Badan Arbitrase Nasional Indonesia sedang menangani kasus TPI tersebut. Tentu saja ini sebenarnya bertentangan dengan asas pacta sunt servanda dimana seharusnya apabila terjadi sengketa atau perselisihan seharusnya diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagaimana telah disepakati oleh para pihak untuk menjamin kepastian hukum dalam perjanjian Investment Agreement.

Selain bertentangan dengan asas pacta sunt servanda, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung yang telah menerima dan mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Tutut juga melanggar Pasal 3 UU No. 30 Tahun 199 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Senggketa yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrasi. Dalam undang- undang tersebut Pasal 11 ayat (2) juga menyatakan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.

Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, tindakan Tutut tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan Undang-undang. Secara jelas Undang-undang telah mengatur menegenai kewenangan absolute arbitrase dan meniadakan kewenangan Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung untuk memeriksa sengketa perjanjian ini.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka untuk menjamin kepastian hukum seharusnya Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan atas penanganan sengketa kepemilikan saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sebab kasus tersebut sedang ditangan Badan Aribtrase Nasional Indonesia (BANI) yang merupakan lembaga yang

mempunyai kewenangan absolute untuk menyelesaikan kasus yang terjadi dalam TPI.

Lembaga peradilan harus menghormati lembaga arbitrase sebagaimana termuat dalam Pasal 11 ayat (2).

B. Pemberlakuan Putusan Antara Putusan Mahkamah Agung dan Putusan BANI Dalam Sengketa TPI

Faktor pembagian atau perbedaan yuridiksi dalam lingkungan peradilan, yang melahirkan kekuasaan dan kewenangan absolute bagi masing-masing lingkungan peradilan yang disebut juga atribusi kekuasaan (attributive competentie, attributive

(6)

270 jurisdiction)(Subekti : 1997) Sama dengan peradilan lainnya, arbitrase juga memiliki kewenangan absolutnya sendiri. Konvensi New York 1958 telah menetapkan status arbitrase sebagai forum atau mahkamah yang memiliki kewenangan absolute dalam menyelesaikan dan memutus sengketa, apabila para pihak telah membuat persetujuan tentang itu (Yahya Harahap : 2004).

Ketentuan dalam penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase harus termuat dalam perjanjian arbitrase dengan suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tertulis dalam suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak pembuat perjanjian tersebut. Menurut Pasal 1 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa menjelaskan sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dalam bidang perdagangan dan mengenai hak yang yang menurut hukum dan peraturan/perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Jika ketentuan tersebut dihubungka dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 66 Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif maka akan diketahui ruang lingkup peragangan tersebut adalah kegiatan yang diantaranya tentang bidang perniagaan, penanaman modal, perbankan, keuangan, industry dan kekayaan hak intelektual.

Pada sengketa yang terjadi Antara Tutut dan Hary Tanoe diawali dengan adanya Perjanjian Kerjasama Investasi (Investment Agreement) yang disepakati dan ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 23 Agustus 2002, dimana salah satu klausul dalam perjanjian tersebut termuat klausul arbitrase. Namun pengajuan gugatan yang dilakukan oleh Tutut tetap diterima hingga diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan Pasal 3 dan Pasal 11 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pada perjanjian Investement Agreement antara Tutut dan Hary Tanoe terdapat klausul arbitrase dalam bentuk pacta de compromittendo yang artinya klausul arbitrase dibuat sebelum terjadinya sengketa. Adanya klausul tersebut bisa diartikan bahwa untuk persiapan apabila terjadi sengketa dikemudian hari setelah perjanjian disepakati oleh para pihak.

(7)

271 Untuk mengetahui isi klausul arbitrase dalam Investmen Agreement antara Tutut dan Hary Tanoe tertanggal 23 Agustus 2002 dapat merujuk pada Pasal 13.2, Pasal 13.3 dan Pasal 13.4 Perjanjian tersebut.

Pasal 13.2 “Segala sengketa yang timbul diantara Para pihak yang berasaldari atau terkait dengan Perjanjian ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada, pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun akan diselesaikan secara musyawarah”;

Pasal 13.3 “Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah oleh Para pihak, maka sengketa tersebut harus diselesaikan secara eksklusif dan bersifat final melalui arbitrase di Jakarta menurut Peraturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia”;

Pasal 13.4 “Pasal 13 ini merupakan suatu Klausula Arbitrase yang tercakup dalam pengertian menurut Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (12 Agustus 1999) dan tidak dapat dicabut serta mengikat Para Pihak untuk menyerahkan sengketa kepada arbitrase bersifat final dan mengikat sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan di dalam Perjanjian ini”;

Dengan adanya Pasal tersebut maka lembaga peradilain diluar Arbitrase tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa yang terjadi antara Tutut dan Hary

Tanoe. Klausul arbitrase memberikan kewenangan absolute yang bersifat mutlak kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (Bani) untuk menyelesaikan dan memutuskan sengketa yang terjadi dari perjanjian. Kewenangan absolute arbitrase dalam perjanjian telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Klausul Arbitrase adalah dasar hukum diatas para arbiter yang mempunyai kewenangan. Maka dengan adanya klausul arbitrase tersebut para arbiter mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan sengketa.

PT. Berkah Karya Bersama yang dalam perkara gugatan yang diajukan oleh Tutut sebagai Pihak Tergugat mengajukan upaya banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan pihak Tutut ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena merasa bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mempunyai kewenangan yang absolute untuk memeriksa dan memutus perkaya yang diajukan oleh Tutut, karena dalam perjanjian yang dibuatnya mencantumkan klausul arbitrase sebagai penyelesaian sengketa. Berdasarkan alasan dan fakta hukum yang diajukan oleh PT. Berkah Karya Bersama, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakrta Pusat Nomor :

(8)

272 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST dengan Putusan Nomor : 629/PDT/2011/PT.DKI pada tanggal 20 April 2012.

Permaslahan tidak hanya berhenti sampai pada putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Pihak Tutut yang tidak terima dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta lalu mengajukan kasasi pada Mahkamah Agung. Selanjutnya Mahkamah Agung menerima kasasi yang diajukan oleh Tutut melalui putusan kasasi Nomor : 862PK/Pdt/2013. Putusan kasasi oleh Mahkamah Agung tersebut mengabulkan permohonan Tutut bukan putusan akhir dari sengketa antara kedua belah pihak. Selanjutnya PT. Berkah Karya Bersama melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dengan Nomor Perkara 238PK/Pdt/2014.

Panjangnya upaya hukum yang ditempuh oleh para pihak yang bersengketa hingga tingkat Mahkamah Agung bukan merupakan akhir dari sengketa. Pada tanggal 19 November 2013 PT. Berkah Karya Bersama telah mengajukan pendaftaran permohonan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang tercatat dengan nomor pendaftaran perkara No. 547/XI/ARB-BANI/2013 dan pada tanggal 12 Desember 2014

telah menghasilkan putusan. Dimana salah satu isi putusan tersebut memutuskan menghukum Tutut untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pinjaman berikut cost of found kepada PT. Berkah Karya Bersama dengan nominal sebesar Rp. 510 Milyar.

Dengan adanya dua putusan dalam perkara yang sama antara Mahkamah Agung dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menjadikan pertanyaan besar bagi masyarakat yang mengikuti perkembangan perkara tersebut. Adanya asas pacta sunt servanda maka para pihak diharuskan untuk mentaati isi aturan yang telah disepakati bersama. Jika dalam Investment Agreement telah disepakati bahwa penyelesaian sengketa diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maka sudah semestinya Putusan Badan Arbitrase Nasional (BANI) yang dapat dieksekusi, karena telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa jika parra pihak telah sepakat memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa, maka pengadilan tidak mempunyai kewenangan atau yuridiksi mengadili suatu sengketa.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung seharusnya batal demi hukum karena sengketa tersebut merupakan kewenangan

(9)

273 absolute yang dimiliki oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdasarkan klausul arbitrase yang termuat dalam Investmen Agreement tersebut. Jika klausul arbitrase dengan mudah dikesampingkan oleh para pihak, maka eksistensi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian dianggap tidak ada.

Saran

Penegakan hukum di Indonesia selain tujuannya memberikan keadilan tetapi harus juga berlandaskan pada asas kepastian hukum. Artinya diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta harmonisasi dalam proses penegakannya.

DAFTAR PUSTAKA

David M. Fetterman, 1998, Ethnography Step by Step, London, Sage Publishing.

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu. 2007, Hukum Bisnis. Cet II. Bandung: PT Refika Aditama.

Harahap Yahya, 2004, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta.

Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia. Bandung:

PT Citra Aditya Bakti.

Subekti. 2002. hukumperjanjian.cet.19. jakarta: PT.intermasa.

Referensi

Dokumen terkait

and Ramasarma, T., Rate of catalytic activity of superoxide dismutase SOD: A method based on a new inter- pretation of its inhibition of pyrogallol autoxidation.. L., Nature of NADH: