• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesejahteraan Masyarakat

N/A
N/A
Bayu Adi Suprapto

Academic year: 2023

Membagikan "Kesejahteraan Masyarakat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

18 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kesejahteraan Masyarakat

Konsep kesejahteraan dikembangkan menjadi lebih luas dibandingan sekedar mengukur aspek pendapatan nominal. Kesejahteraan adalah standard living, well- being, welfare, dan quality of life. Brudeseth (2015) menyatakan kesejahteraan sebagai kualitas kepuasan hidup yang bertujuan untuk mengukur posisi anggota masyarakat dalam membangun keseimbangan hidup mencakup antara lain, (a) kesejahteraan materi, (b) kesejahteraan bermasyarakat, (c) kesejahteraan emosi, (d) keamanan.

Kajian organisasi ekonomi dalam keluarga menggunakan permintaan terhadap barang strategis sebagai indikator kesejahteraan. Ukuran lainnya kesejahteraan adalah proporsi pengeluaran untuk pangan. Kesejahteraan merupakan pencerminan dari kualitas hidup manusia (quality of human life), yaitu suatu keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasikannya nilai-nilai hidup. Istilah kesehatan sosial keluarga dan kesejahteraan sosial keluarga bagi keluarga yang dapat melahirkan individu dengan pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Pengertian kesejahteraan sosial merupakan sistem suatu bangsa tentang manfaat dan jasa untuk membantu masyarakat guna memperoleh kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan yang penting bagi kelangsungan masyarakat tersebut. Seseorang yang mempunyai kekurangan kemampuan mungkin memiliki

(2)

19 kesejahteraan yang rendah, kurangnya kemampuan dapat berarti kurang mampu untuk mencapai fungsi tertentu sehingga kurang sejahtera. Terdapat beragam pengertian mengenai kesejahteraan, karena lebih bersifat subjektif dimana setiap orang dengan pedoman, tujuan dan cara hidupnya yang berbeda-beda akan memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang kesejahteraan dan faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan.

Keluarga sejahtera lebih sedikit dari keluarga pra-sejahtera, pendapatan per kapita keluarga prasejahtera lebih rendah dari keluarga sejahtera, pendapatan keluarga sejahtera dan prasejahtera lebih tinggi dari kriteria kemiskinan. Persentase pengeluaran pangan keluarga prasejahtera lebih besar dari keluarga sejahtera, pengetahuan gizi ibu dari keluarga prasejahtera lebih rendah dari keluarga sejahtera, status gizi balita baik dari keluarga sejahtera lebih baik dari status gizi balita keluarga pra-sejahtera. Dalam kaitannya dengan perilaku konsumsi di keluarga, khususnya menyoroti perilaku altruistik dari sebagian anggota keluarga dari sudut pandang ahli ekonomi terhadap perilaku konsumsi di keluarga. Anggota keluarga altruistik melakukan serangkaian perilaku pengorbanan yang menyebabkan peningkatan kesejahteraan bagi anggota lainnya dalam keluarga. Hasil kajian sebaliknya menunjukkan bahwa peningkatan sumber daya bagi anggota keluarga yang egoistik berakibat terhadap penurunan kesejahteraan anggota keluarga lainnya, khususnya yang altruistik. Sedang Narayan, et al., (2000) mengkaji kemiskinan (poverty) di berbagai negara serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam

(3)

20 kajian tersebut digunakan beberapa konsep atau istilah kesejahteraan sebagai sisi lain pengukuran kemiskinan seperti kesejahteraan material dan kesejahteraan psikologi.

2.2 Pola Karakteristik Rumah Tangga Miskin

Pola kemiskinan dapat dilihat berdasarkan pengukuran dimensi ekonomi mencakup kemampuan konsumsi dari rumah tangga dalam mencukupi kebutuhannya.

World Bank mengukur dua dimensi pola kemiskinan penduduk. Kelompok pertama, adalah rumah tangga sangat miskin yang memilki pendapatan kurang dari US 1.25 untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam sehari, serta kelompok miskin yaitu pemegang pendapatan kurang dari $ 2 untuk memenuhi kebutuhan dalam sehari (Banerjee dan Duflo, 2007). Akibat dari keterbatasan kemampuan pendapatan untuk mendapatkan pola konsumsi yang layak, maka pada warga miskin menghadapi resiko tidak tercukupinya kebutuhan nutrisi yang dapat menyebabkan peluang untuk membangun perbaikan pedapatan dan mendapatkan segmen pasar menjadi lebih terbatas (Chakravarti, 2006).

Gambaran tentang rumah tangga miskin lebih dipertajam sebagai fenomena yang bersifat multi dimensi dan kompleksitas sosial ekonomi (Arora and Romijn, 2012), yang memerlukan sejumlah pendekatan ekonomi dan sosial dalam memahami persoalan kemiskinan. Banjere dan Duflo (2007) merumuskan pola karakteristik kemiskinan sebagai kompleksitas dari persoalan sosial ekonomi, politik kelembagaan, serta budaya kemasyarakatan yang berproses, dimana terdapat sejumlah kelompok dalam berbagai sebab tertentu tidak memiliki kemampuan untuk membangun kesejahteraan. Aspek terpenting yang banyak dillihat sebagai bagian penting dari

(4)

21 aspek kemiskinan adalah vulnerability. World Bank (2012) mendefinisikan vulnerability sebagai peluang terjadinya resiko bahwa kemiskinan yang dihadapi oleh kelompok rumah tangga miskin dapat menjadi lebih miskin pada hari berikutnya, disebabkan oleh keterbatasan kemampuan konsumsi yang berdampak kepada tidak terpenuhinya nutrisi untuk mempu mempertahankan kondisi fisik secara normal dalam membangun kinerja pasar. Itu sebabnya dalam berbagai aktivitas pemberdayaan penurunan jumlah rumah tangga miskin dari program bantuan World Bank selalu memmberikan perhatian terhadap aspek vulnerability sebagai fokus strategi dalam menurunkan rumah tangga miskin di berbagai negara berkembang.

Resiko terjadinya penurunan asset kelompok miskin yang dapat meningkatkan terjadinya vulnerability, dapat dicegah melalui sejumlah langkah strategis. Sen (1985) memprakarsai strategi penurunan rumah tangga miskin melalui pendekatan capabilities sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya rumah tangga miskin untuk lebih mampu dalam mendapatkan sumber daya dan pendapatan secara lebih stabil untuk mengurangi resiko vulnerability kelompok rumah tangga miskin.

2.3 Modal Sosial dan Kemiskinan

Pendekatan konsep untuk membangun penguatan ekonomi rumah tangga miskin menjadi lebih terbatas apabila dikaitkan dengan potensi asset yang mereka miliki, sehingga muncul kemudian pandangan bahwa modal sosial dapat menjadi kekuatan dalam rangka menurunkan resiko vulnerability dan dapat mewujudkan sumber pendapatan yang lebih stabil dimasa depan. Scott (1976) mendapatkan sejumlah fakta bahwa wilayah pedesaan dengan latar belakang sektor agraris adalah

(5)

22 didominasi oleh pola karakteristik produksi yang masih bersifat subsistence sehingga memiliki sikap budaya norma kebersamaan, sharing community yang kuat, sehingga dapat menjadi kekuatan dalam rangka meningkatkan posisi kekuatan rumah tangga miskin dalam membangun jaringan pasar, mendapatkan akses layanan keuangan dan layanan pendidikan dan pelatihan.

Putnam (1993) mengembangkan teori jaringan, kebersamaan norma dan kepercayaan sebagai kekuatan modal sosial yang dapat berfungsi membangun produktivitas produksi dan perluasan segmentasi peluang pasar. Hasil penelitian empirik menunjukkan bahwa modal sosial dapat berfungsi menjadi kekuatan dalam menurunkan rumah tangga miskin (Woolcock dan Narayan, 2000).

Peran modal sosial juga terbukti berfungsi sebagai mesin penggerak penguatan jaringan dalam membangun sumber pendapatan, peluang kerja dan mendapatan informasi yang memperkuat posisi sumber pendapatan rumah tangga miskin menjadi lebih stabil (Adler dan Kwon, 2002). Berdasarkan peran modal sosial yang dapat dipolakan sebagai strategi penurunan rumah tangga miskin, dalam hal mana penguatan jaringan adalah cognitive component yang memiliki basis penguatan ketahanan rumah tangga miskin dari persaingan pasar produksi dan informasi (Nahapiet and Ghoshal, 1998)

Ansari (2012) menyatakan bahwa pengembangan akses keuangan menjadi bagian penting dari proses penguatan permodalan rumah tangga miskin, maka penguatan modal sosial jaringan merupakan jalan keluar untuk membangun kesejahteraan rumah tangga miskin, sehingga lebih banyak rumah tangga dapat

(6)

23 dikurangi jumlahnya. Laporan Bateman (2010) memberikan dukungan fakta bahwa keberadaan modal sosial dapat memperkuat akses keuangan melalui peningkatan aspek kolateral yang memberikan penguatan kepercayaan lembaga keuangan kepada kelompok rumah tangga miskin. Aspek solidaritas dan kebersamaan yang menjadi aspek fundamental dari kekuatan modal sosial akan memperkecil vulnerability rumah tangga miskin, sehingga dapat memberikan brand image bagi rumah tangga miskin untuk memperlus akses keuangan pada berbagai lembaga keuangan yang tersedia.

2.4 Kinerja Lembaga Keuangan

Kinerja keuangan lembaga keuangan mikro tidak dapat disamakan dengan lembaga keuangan bank komersial yang sepenuhnya digerakkan untuk mencapai pertumbuhan laba sesuai dengan keinginan pemegang saham dari perbankan tersebut.

Pada lembaga keuangan mikro, target kinerja yang dicapai memiliki dua target secara bersamaan, yaitu target usaha pertumbuhan laba usaha dan target mewujudkan kesejahteraan sosial.

Kinerja usaha jasa keuangan lembaga keuangan mikro berbeda dengan pengukuran kinerja keuangan bank komersial, disebabkan oleh peran lembaga keuangan mikro yang berfungsi ganda, sebagai lembaga keuangan yang mencari laba dan sebagai lembaga keuangan yang menargetkan tercapainya tujuan sosial tertentu, seperti upaya untuk mengurangi rumah tangga miskin, perluasan akses keuangan untuk kelompok masyarakat berpendapatan kebawah. Berasarkan dua sasaran ganda tersebut, maka pengukuran kinerja lembaga keuangan mikro dipolakan menjadi dua

(7)

24 yaitu, pengukuran atas prestasi capaian laba usaha berdasarkan pengelolaan usaha secara komersial, dilakukan dengan pendekatan pengukuran balance scorcecard model ( Kaplan dan Norton, 1996), serta pengukuran atas kinerja sosial berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh Hashemi (2007).

2.5 Penelitian Terdahulu.

Penelitian ini merujuk kepada Erasmus Kipesha (2013) dengan topik kajian

Performance of Microfinance Institutions in Tanzania: Integrating Financial and Non financial Metrics” yang melakukan peranan lembaga keuangan lembaga Keuangan mikro. Kispeha menyajikan karya ilmiahnya pada European Journal of Business and Management, yang di publikasi kembali pada Researchgate (2016).

Konsep yang dikembangkan Kipesha melakukan perluasan pengukuran dari konsep balance scorecard Kaplan dan Norton (1992) dengan menyertakan kinerja sosial, sehingga konsep pengukuran kinerja usaha menjadi lima dimensi. Penelitian ini merujuk kepada model Kipesha untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.

Penelitian ini berbeda dengan model yang dikembangkan Kipesha (2013), bahwa model penelitian ini mengintegrasikan modal sosial dan kebijakan pemerintah sebagai variabel eksogen yang mempegaruhi kinerja usaha lembaga perkreditan desa, serta dampak atas kinerja usaha terhadap kesejahteraan masyarakat miskin.

Referensi

Dokumen terkait