• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of KESETARAAN DAN KEPEMILIKAN HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of KESETARAAN DAN KEPEMILIKAN HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF INDONESIA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Minhaj: Jurnal Ilmu Syariah

Abd. Basit Misbachul Fitri STAI Darussalam Nganjuk

abdbasitfitri@gmail.com

Abstrak: Kesetaraan dan kepemilikan harta benda dalam perkawinan perspektif hukum positif diatur dalam UU.

Perkawinan tahun 1974 dalam tiga pasal, pasal 35 sampai dengan pasal 37. Menurut Ulama’ Madzhab Fikih dalam kitab-kitab fikih disebut dengan syirkah atau syarikah.

Menurut Mazhab Hanafi : Syirkah Atau Syarikah dibagi menjadi dua bagian, yaitu syarikah milik dan Syirkah atau Syarikah Uqud. Menurut Mazhab Maliki, pembahasan syirkah dibagi menjadi enam, yaitu syirkah mufawadhah, syirkah inaan, syirkah amal, syirkah dziman, syirkah jabar, dan syirkah mudharabah, Menurut mazhab Syafi’i : Syirkah dapat dibagi menjadi empat bagian. Menurut Mazhab Hambali : Syirkah dibagi menjadi dua, yaitu syirkah fil maal dan syirkah fil uqud.

Adapun dalam KHI menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga, dan istri sebagai ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Sedangkan dalam hukum adat Indonesia ada 3 pilihan, apakah menggunakan struktur masyarakat patrinial, Struktur masyarakat matrinial, atau Struktur masyarakat parental atau bilateral. Adapun dalam

(2)

Abd. Basith Misbachul Fitri – Kesetaraan dan Kepemilikan Harta Benda Perkawinan

Pasal 27 Ayat (1) UUD. 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak terkecuali.

Kata kunci: Kesetaraan, Kepemilikan, Harta Benda Perkawinan

Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara yang Adil dan sangat menghargai hak-hak rakyatnya, bahkan sampai hak kepemilikan baik secara individu maupun keluarga. Di tengah-tengah perkawinan keluarga pasti memiliki harta baik yang diperoleh sendiri ataupun kerjasama antar suami istri.

Umumnya harta dalam keluarga diatasnamakan suami karena suami dianggap memikul beban dan tanggungjawab yang berat dalam hal ekonomi, padahal melihat prosesnya suami dan istri, mereka memiliki peran yang kelihatannya berbeda tapi muaranya sama yakni untuk mencukupi perekonomian keluarga, cuma berbeda dalam hal teknisnya, intinya mereka bekerja sesuai jobnya masing-masing, ada yang bekerja di luar rumah, di perusahaan, lembaga pemerintahan, lembaga independen masyarakat dan lain-lain sementara seorang istri umumnya bertugas bekerja di rumah menyelesaikan segala kebutuhan rumah, mulai mencuci, memasak, merawat anak, membersihkan rumah dan melengkapi segala isi rumah.

Indonesia merupakan Negara hukum, sehingga segala aktivitas manusia harus diatur dalam aturan hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif yang didalamnya terdapat hukum perdata Islam, hukum perdata umum, hukum adat istiadat. Semua manusia harus tunduk dan patuh kepada aturan hukum negara. Melihat betapa pentingnya posisi harta dalam keluarga, maka perlu dicarikan dasar hukum untuk menentukan kepemilikan harta bersama dalam keluarga agar suami istri mendapatkan kesetaraan dalam kepemilikan mereka masing-masing dan mereka merasa enjoy ketika mentasharrufkan harta sesuai keinginan masing-masing. Dalam penelitian ini akan dijelaskan tentang :

“Kesetaraan dan kepemilikan harta benda dalam perkawinan perspektif hukum positif Indonesia.”

Metode Penelitian

Penelitian ini disusun dengan menggunakan library research sebagai metode dalam penggalian data. yaitu suatu penelitian dengan memusatkan perhatian yang sumber datanya diperoleh dari pustaka.

(3)

Buku-buku dan karya tulis yang sesuai dengan pokok permasalahan yang sedang diteliti.1

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.2

Penggunaan kajian pustaka ini bertujuan untuk mengeksplorasi tentang kesetaraan dan kepemilikan harta benda dalam perkawinan menurut hukum positif Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan mendeskripsikan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, situasi-situasi atau kejadian-kejadian, suatu gejala, peristiwa yang terjadi sekarang, dengan mengambil masalah atau pusat perhatian pada masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian dilakukan.3

A. Pembahasan

Kesetaraan dan Harta Bersama dalam Perkawinan 1. Pengertian Kesetaraan

Dalam mengartikan arti kata kesetaraan dapat dilihat dari dua sisi, yakni secara bahasa (etimologi) dan secara istilah (terminologi). Kata setara berasal dari kata tara yang mempunyai arti yang sama tingkatannya, kedudukannya. Sedangkan kata setara berarti sejajar (sama tingkatannya, tingginya, derajatnya). 4 Kata tersebut mempunyai sinonim berupa kata seimbang, sejajar, yang juga mempunyai arti senada yakni banding atau sebanding.5 Sedangkan pengertian kesetaraan menurut istilah atau terminologi dapat difahami dari kata yang mempunyai hubungan erat dengannya, yakni keadilan, kedua kata tersebut mempunyai keeratan yang sangat erat, sebegitu eratnya sehingga jika terjadi perlakuan yang tidak sama atau tidak adil, hal itu menjadi suatu ketidakadilan yang berakibat

1Sofyan A.P. Kau, Metode Penelitian Hukum Islam Penuntun Praktis untuk Penulisan Skripsi dan Tesis (Yogyakarta: Mira Pustaka, 2013), 155.

2Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2017), 6.

3Sofyan A.P. Kau, Metode Penelitian Hukum Islam Penuntun Praktis untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, 155-156.

4 Suharsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Semarang: Widya Karya, 2011), 531.

5 Tim Pandom Media Nusantara, Kamus Bahas Indonesia Edisi Baru (Jakarta Barat: Jakarta, 2014), 340.

(4)

Abd. Basith Misbachul Fitri – Kesetaraan dan Kepemilikan Harta Benda Perkawinan

serius. Adapun pengertian keadilan ialah sesuatu yang menjadi nilai (value) yang dengannya dapat tercipta suatu hubungan yang ideal diantara manusia sebagai individu, masyarakat, maupun sebagian dari alam.6 2. Pengertian Harta Bersama

Harta bersama ialah suatu harta yang diperoleh secara bersama- sama (syirkah). Sedangkan pengertian harta bersama jika ditarik ke dalam pembahasan perkawinan ialah suatu harta yang diperoleh selama suami- istri dalam ikatan perkawinan.7

Kesetaraan dan Kepemilikan Harta Perkawinan Perspektif UU.

Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Semenjak dilangsungkannya pernikahan, sejak saat itulah seorang pria berkedudukan sebagai suami dan seorang wanita berkedudukan sebagai seorang istri. Suami-istri selama dalam sebuah ikatan perkawinan akan memperoleh hak dan kewajiban tertentu yang keduanya harus mereka penuhi, baik hak seorang suami yang harus dipenuhi oleh istri maupun kewajiban suami terhadap istrinya.8 Ikatan perkawinan menimbulkan akibat hukum dan akibat hukum tersebut muncul bila perkawinan itu dilaksanakan secara sah. Salah satu akibat hukum yang diterima suami-istri dalam ikatan perkawinan ialah terbentuknya harta perkawinan. Harta benda perkawinan tersebut ada untuk pemenuhan kebutuhan maupun keperluan dalam kehidupan berkeluarga.9

Aturan perundang-undangan No. 1 tahun 1974 yang mengatur tentang harta perkawinan disebutkan sebanyak tiga pasal, pada pasal 35 sampai dengan pasal 37 UU. Perkawinan. Dalam Pasal 35 UU.

Perkawinan menyatakan bahwa:

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dari pernyataan aturan di atas dapat disimpulkan bahwa harta benda perkawinan dalam UU. Perkawinan terbagi kedalam dua golongan, yaitu harta asal disebut harta bawaan dan harta bersama disebut dengan harta gono-gini. Dalam pasal 35 tersebut bisa dipahami bahwa setiap harta yang didapat selama perkawinan akan menjadi milik bersama, baik

6 Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan (Bandung: Refika Editama, 2015), 38.

7 Ibid, 5.

8 Ibid, 4.

9 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 244.

(5)

harta yang diperoleh itu diusahakan oleh salah satu dari suami-istri atau memang diusahakan secara bersama-sama sebagaimana yang ada di masyarakat, dikarenakan adanya tuntutan kebutuhan, seseorang yang sudah menjalin ikatan perkawinan agar berusaha memenuhinya dengan bekerja secara bersama-sama, yang hal ini sangat mempengaruhi terhadap hak dan kewajiban suami-istri dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Akan sangat rawan terhadap timbulnya masalah baik di dalam atau di luar rumah akibat tidak ada keseimbangan, sehingga demi terjaganya keutuhan rumah tangga harus terpenuhi sebuah keadilan atau kesetaraan suami-istri dalam mengembangkan, membelanjakan, bahkan memakai harta yang dihasilkan selama dalam ikatan perkawinan. Adanya tuntutan keadilan dan kesetaraan pada zaman ini menjadi sebuah kewajiban yang harus terpenuhi, sebab yang paling mempengaruhi adalah kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan terus bertambah, atau alasan lain demi untuk berhasilnya sebuah perjuangan perlu bekal yang mencukupi, itu semua bertujuan agar keyakinan terhadap agama Islam dapat dijaga dengan kuat dan tidak mudah untuk dirobohkan. 10

Mengenai harta bersama pasal 36 UU. Perkawinan menjelaskan bahwa:

1. Mengenai harta bersama suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Harta bawaan masing-masing, suami-istri mempunyai hak sepenuhnya utuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Atas harta perkawinan yang diusahakan, suami-istri dapat secara bersama-sama mewujudkan keadilan dan kesetaraan dengan membuat sebuah kesepakatan sejak diberlangsungkanya ikatan perkawinan.

Dengan adanya kesepakatan itu, dapat menjadi dasar yang kuat bagi suami-istri untuk membangun strata ekonomi keluarga yang lebih berkembang, sehingga tidak hanya pemenuhan demi kebutuhan pokok saja namun kebutuhan penunjang keharmonisan keluarga yang sejahtera dapat terwujud. Dalam masalah harta bawaan masing-masing, mereka dapat menggunakan sepenuhnya tanpa ada larangan maupun kekangan sebuah aturan.11

Sesuai dengan pasal 36 Ayat (1) UU. Perkawinan yang menjelaskan bahwa berkaitan dengan harta bersama, suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, pernyataan terebut mencerminkan suatu

10Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan (Bandung: Refika Editama, 2015), 23.

11 Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak Dan Kedudukan Suami-Isteri Dalam Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung: Mandar Maju, 2006), 46.

(6)

Abd. Basith Misbachul Fitri – Kesetaraan dan Kepemilikan Harta Benda Perkawinan

kedudukan yang sejajar, setara atau seimbang terhadap kepemilikan dan kekuasaan atas harta bersama dalam perkawinan. Sehingga jika keduanya atau salah satu dari keduanya akan melakukan perbuatan hukum, maka harus didasarkan atas persetujuan keduanya.12

Kesetaraan dan Kepemilikan Harta Perkawinan Perspektif Hukum Islam dan KHI

Dalam hukum Islam pembahasan mengenai harta bersama disebut sebagai syirkah, pengertianya ialah suatu penyatuan atau penggabungan antara harta seseorang dengan harta orang lain. Di dalam naṣh al-Qur’an maupun Hadist tidak ada pembahasan mengenai harta bersama secara jelas, akan tetapi pembahasan hal tersebut banyak dibicarakan di dalam kitab-kitab fiqh yang disebut juga syirkah atau syarikah.

Kata syirkah atau syarikah berasal dari bahasa arab, oleh karena masalah harta bersama suami-istri termasuk syirkah atau syarikah, maka hal ini akan dibahas macam-macam perkongsian menurut para ulama’

mazhab yang akan diuraikan sebagai berikut:13 Menurut Mazhab Hanafi

Syirkah Atau Syarikah dibagi menjadi dua bagian, yaitu syarikah milik atau syarikah uqud. Syarikah milik adalah suatu perkongsian antara dua orang atau lebih terhadap suatu tanpa adanya akad atau perjanjian.

Syirkah Atau Syarikah Uqud adalah suatu perkongsian modal, tenaga, dan perkongsian modal akan tetapi sama-sama mendapat kepercayaan orang.

Menurut Mazhab Maliki

Dalam mazhab maliki pembahasan dibagi menjadi enam, yaitu syirkah mufawadhah (perkongsian tak terbatas), syirkah inaan (perkongsian terbatas), syirkah amal (perkongsian tenaga), syirkah dziman (perkongsian kepercayaan), syirkah jabar (perkongsian karena turut hadir), dan syirkah mudharabah (perkongsian berdua laba).

Menurut Mazhab Syafi’i

Dalam mazhab Syafi’i pembagian syirkah dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu syirkah inaan (perkongsian terbatas), syirkah abdaan (perkongsian tenaga), syirkah mufawadhah (perkongsian tak terbatas), dan syirkah wujuuh (perkongsian kepercayaan).

Menurut Mazhab Hambali

12Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan (Bandung: Refika Editama, 2015), 25.

13 A. Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung:

Mandar Maju, 2007), 40-44.

(7)

Dalam mazhab Hambali pembagian syirkah dapat dibagi menjadi dua, yaitu syirkah fil maal (perkongsian kekayaan) dan syirkah fil uqud (perkongsian berdasarkan perjanjian).

Dari beberapa uraian pembagian syirkah di atas, dapat disimpulkan bahwa harta bersama dalam islam dapat dikatakan sebagai syirkah abdaan mufawadhah. Dikatakan syirkah abdaan karena menurut kenyataan bahwa pada kebiasaanya suami-istri dalam masyarakat indonesia secara bersama- sama bekerja dan berusaha membanting tulang demi dan untuk memenuhi kebutuhan keluarga setiap hari. Dinamakan syirkah mufawadhah.karena perkongsian yang dilakukan suami-istri tidak terbatas.

Termasuk semua yang mereka hasilkan bersama selama dalam ikatan perkawinan.14

Dalam Al-Qur’an dan Hadist, dan hukum fiqh tidak membahas secara rinci masalah harta bersama dalam perkawinan, melainkan hanya secara garis bear saja. Dalam perumusan pasal 85 sampai dengan 97 KHI para pakar hukum Islam setuju untuk mengambil syirkah abdaan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami-istri, juga melakukan pendekatan syirkah abdaan mufawadhah dengan hukum adat, sehingga didapatlah rumusan pengertian harta bersama sebagai mana yang terdapat dalam pasal 1 KHI.15

Dalam pasal 1 KHI menyatakan bahwa harta perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama- sama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Kompilasi hukum Islam menganut asas kesamaan kedudukan suami-istri dalam ikatan perkawinan sebagaimana UU. Perkawinan. Hal ini terwujud dalam aturan pasal 79 KHI yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga, dan istri sebagai ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.16

Asas yang menjadi dasar persamaan kedudukan suami-istri dalam perkawinan ialah pasal 79 KHI yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga, dan istri adalah ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Sehingga dapat dipahami dengan arti yang lebih luas bahwa kesetaraan hak antara suami dan istri dalam hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan seperti

14Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan (Bandung: Refika Editama, 2015), 15.

15 Ibid, 16.

16 Kompilasi Hukum Islam. UU. Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2015).

(8)

Abd. Basith Misbachul Fitri – Kesetaraan dan Kepemilikan Harta Benda Perkawinan

halnya yang berkaitan dengan harta benda perkawinan atau harta bersama dapat didasarkan pada pasal ini.

Pasal 89 KHI menyatakan bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri, maupun hartanya sendiri. Pasal tersebut mempunyai arti bahwa suami harus menjaga harta bersama dengan penuh amanah. Di dalam pasal 90 KHI istri juga harus bertanggun jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya. Sehingga kedua pasal itu secara tidak langsung menyatakan bahwa suami-istri mempunyai hak yang setara dalam kepemilikan serta menjaga harta yang mereka usahakan selama dalam ikatan perkawinan.

Suami-istri tidak diperbolehkan menjual atau memindah harta bersama secara sepihak.

Dan perlu ditegaskan bahwa dalam harta bersama tidak membedakan dari mana atau asal-usul mengenai pihak siapa yang menghasilkanya. Artinya dari siapapun pemilik asal harta itu atau di atas namakan kesiapapun harta tersebut, asalkan harta itu diperoleh selama suami-istri dalam ikatan perkawinan, maka harta itu masuk kategori harta bersama.17

Kesetaraan dan Kepemilikan Harta Bersama Perkawinan Perspektif KUH Perdata

Aturan hukum harta bersama dalam KUH perdata berlainan dengan ketentuan UU. Perkawinan, dimana menurut ketentuan pasal 119 menyatakan bahwa sejak dimulainya perkawinan, mulai saat itulah hukum pembulatan atau persatuan harta bersama berlaku bagi harta suami-istri.18

Dengan demikian, adanya perkawinan menyebabkan leburnya status harta suami-istri menjadi suatu harta persatuan (bersama). Semua harta dari kedua pihak suami-istri, baik yang mereka bawa di saat pertama kali perkawinan maupun harta yang mereka peroleh selama dalam ikatan perkawinan dicampur menjadi satu sebagai harta bersama suami-istri.

Persatuan harta perkawinan itu selama masa perkawinan tidak boleh ditiadakan dan diubah dengan persetujuan antara suami-istri.

Persatuan atau pembulatan harta bersama itu sangat luas, meliputi semua harta suami-istri baik yang diperoleh sebelum maupun selama dalam ikatan perkawinan, termasuk didalamnya adalah modal, bunga, dan hutang-hutang mereka.19 Kesamaan harta bersama dalam perkawinan itu

17 Kompilasi Hukum Islam. UU. Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2015).

18 Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan (Bandung: Refika Editama, 2015), 19.

19 Ibid, 20.

(9)

merupakan hak milik bersama yang terikat, yaitu kebersamaan harta itu terjadi ketika adanya ikatan di antara para pemiliknya (suami-istri).

Kesetaraan dan Kepemilikan Harta Bersama Perkawinan Perspektif Hukum Adat

Harta perkawinan menurut hukum adat ialah semua harta yang dikuasai suami-istri selama dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, warisan, hibbah, penghasilan sendiri, harta yang diusahakan bersama oleh suami-istri, dan hadiah.20 Dalam lingkungan adat, pengaturan harta bersama atau harta perkawinan diatur menurut tiga macam struktur masyarakat adat sebagai berikut:

Struktur Masyarakat Patrilineal

Masyarakat yang berasaskan sistem kekeluargaan Patrilineal mengatur harta perkawinan dengan sedemikian rupa, bentuk perkawinan jujur sangat mempengaruhi terhadap kedudukan suami dan istri, yang mengakibatkan ketidak seimbangan hak dan kedudukan suami-istri.

Dalam sistem Patrilineal ini menentukan kedudukan seorang istri lebih rendah dari pada kedudukan suaminya. Semua harta yang masuk dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama yang dikuasai penuh oleh seorang suami sebagai kepala rumah tangga, semua perbuatan hukum atas harta tersebut harus diketahui dan disetujui oleh suami, istri tidak boleh bertindak tanpa mendapatkan izin suami. Bahkan penguasaan harta itu tidak hanya dikuasai suami saja melainkan juga oleh kerabat suami.21

Struktur Masyarakat Matrilinial

Pengaturan harta bersama dalam sistem Matrilinial, apabila terjadi ikatan perkawinan, maka suami masuk dalam kerabat istri. Harta bersama yang dikuasai berupa harta pencarian, sedangkan yang lain tetap dikuasai masing-masing.22

Struktur Masyarakat Parental

Struktur masyarakat parental atau bilateral memberi peranan secara seimbang terhadap suami-istri dalam membentuk sebuah keluarga bahagia dan sejahtera selam dalam ikatan perkawinan. Karena keduanya memiliki kedudukan yang sama dan seimbang khususnya dalam menjaga menggunakan dan melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama yang mereka usahakan.23

20 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), 156.

21 Hilma Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan: Hukum Adat (Bandung: CV. Mandar Maju, 2003), 124.

22 Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan (Bandung: Refika Editama, 2015), 8.

23 Ibid,8.

(10)

Abd. Basith Misbachul Fitri – Kesetaraan dan Kepemilikan Harta Benda Perkawinan

Asas Keadilan Sebagai Dasar Kesetaraan Hak Suami-istri Atas Kepemilikan Harta Perkawinan

Penerapan konsep kesetaraan hak dan kedudukan suami-istri dalam hukum perkawinan Indonesia dilandaskan pada persamaan kedudukan yang termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak terkecuali.24 Dalam ruang lingkup hukum, banyak istilah yang digunakan untuk penerapan kata kesetaraan, pengungkapannya sesuai dengan penekanan dari masing- masing penggunaannya, seperti halnya persamaan dalam hukum (equality before the law), kesamaan manusia dalam penciptaan (all men are crested equal), persamaan antar sesama manusia (equality of men), perlindungan yang sama oleh hukum (equality protection of law).25

Unsur kesetaraan dan kesamaan merupakan hal yang paling penting dari tegaknya sebuah keadilan, baik keadilan yang berkaitan antara dua orang atau lebih, antar individu dengan kelompok, maupun individu dengan organisasi. Pentingnya tegaknya sebuah keadilan dapat berpengaruh yang sangat besar terhadap suatu hubungan, dimana perlakuan yang tidak sama akan berakibat tidak kepada ketidak adilan di antara mereka.

Keadilan ialah suatu nilai yang harus diciptakan guna untuk memperoleh suatu hubungan yang ideal bagi manusia sebagai individu, anggota masyarakat, dan sebagai mahluk ciptaan tuhan. Dengan memberikan sesuatu yang menjadi hak dan kebebasan yang sesuai dengan prestasi yang diperolehnya dan membebankan suatu kewajibanya menurut hukum dan moral, manusia akan mendapatkan pembelaan atas hak asasinya.26

Nilai keadilan atau kesetaraan serta persamaan hak harus diperoleh dan diutamakan demi untuk mendapat kesejahteraan hidup antara suami- istri. Terkhusus hak suami-istri atas kepemilikan harta perkawinan harus dipenuhi dan dijaga oleh kedua pihak, karena hal itu akan sangat mempengaruhi mereka dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Jika dilihat, kondisi sosial kehidupan masyarakat muslim saat ini yang jauh lebih maju dan modern, sangatlah mungkin bahkan menjadi suatu tuntutan bagi pasangan suami-istri untuk secara bersama-sama dan

24 Ibid, 37.

25Ibid, 38.

26 Ibid, 38.

(11)

berusaha dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga secara seimbang.27

Hal-hal yang mempengaruhi adanya modernisasi dan tuntutan adanya kesetaraan antara seorang suami dan istri ialah pengakuan dan perlakuan yang yang sama antara keduanya, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sebagai akibat yang ditimbulkan oleh pengaruh tersebut munculnya perubahan dalam persoalan domistik keluarga, termasuk dalam pekerjaan, pemenuhan hak dan kewajiban bagi mereka.28 Tidak hanya tuntutan adanya pengakuan dan perlakuan yang sama antara suami-istri, tetapi ada faktor lain berupa adanya paham emansipasi wanita, Indonesia sebagai negeri muslim yang sangat menjunjung adanya paham tersebut, menghargai aktifitas dan upaya kreatif seorang wanita sebagai istri dalam membantu suami, seperti halnya keikut setaan seorang istri sekedar membantu suami dalam berdagang, atau bekerja sebagai pegawai berpenghasilan yang mungkin saja melebihi penghasilan suami yang kelanjutanya akan digabungkan dengan penghasilan dan pendapatan suami. Problematika seperti itu sudah banyak terjadi dikalangan masyarakat, mengingat aturan hukum yang berlaku tidak melarang seorang istri membantu suaminya dalam mencari nafkah. Dengan demikian nilai adat-kebiasaan sangat berpengaruh terhadap rumusan harta bersama sebagai mana yang diatur dalam Pasal 85 sampai Pasal 97 KHI, yang juga dapat pahami bahwa perumusan Pasal 85 sampai Pasal 97 itu dilakukan melalui pendekatan aturan syirkah abdan dan adat.29 Dikatakan syirkah abdaan karena menurut kenyataan bahwa pada kebiasaanya suami-istri dalam masyarakat indonesia secara bersama-sama bekerja dan berusaha membanting tulang demi dan untuk memenuhi kebutuhan keluarga setiap hari.30

Pengadaptasian hukum kesetaran suami-istri dalam hal harta bersama, memiliki landasan yang kuat sesuai dengan kaidah al-‘Adah Muhakamah. Di samping itu, hal itu dapat dibenarkan berdasarkan teori Maṣlahah Mursalah Imam Malik karena mengandung nilai manfaat dan rasa adil dalam membina sebuah keutuhan, kerukunan, dan ketertiban kehidupan keluarga dan masyarakat.31

Pada kenyataannya, harta bersama dalam perkawinan secara yuridis mendapatkan legitimasi dan pengakuan secara khusus dalam KHI

27 Oyo Sunaryo Muklas, Pranata Sosial Hukum Islam (Bandung: PT. Refika Editama, 2015), 121.

28 Ibid, 125.

29 Ibid, 126.

30 Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan (Bandung: Refika Editama, 2015), 15.

31 Oyo Sunaryo Muklas, Pranata Sosial Hukum Islam, 128.

(12)

Abd. Basith Misbachul Fitri – Kesetaraan dan Kepemilikan Harta Benda Perkawinan

berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Pasal 96 dinyatakan: ”Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.” Dalam pasal 97 dijelaskan : “Janda atau duda cerai hidup masing- masing berhak atas seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjiaan perkawinan.” Dari kedua pasal tersebut juga cukup jelas asas keadilan sebagai dasar untuk mengatur harta bersama, khususnya dalam hal pembagian harta milik bersama ketika terjadi perceraian.32 Kesimpulan

Kesetaraan dan kepemilikan harta benda dalam perkawinan perspektif hukum positif memberikan keadilan yang merata dalam kepemilikan suami istri, Undang-undang ini diberlakukan Negara bertujuan memberikan kenyamanan bagi masyarakatnya dan sebagai bentuk penghargaan terhadap suami istri. Kesetaraan dan kepemilikan harta benda dalam perkawinan perspektif hukum positif diatur dalam : UU. Perkawinan tahun 1974 dalam tiga pasal, pasal 35 sampai dengan pasal 37.

Menurut Ulama’ Madzhab Fikih dalam kitab-kitab fikih disebut dengan syirkah atau syarikah. Menurut Mazhab Hanafi : Syirkah Atau Syarikah dibagi menjadi dua bagian, yaitu syarikah milik dan Syirkah atau Syarikah Uqud Menurut Mazhab Maliki, pembahasan syirkah dibagi menjadi enam, yaitu syirkah mufawadhah, syirkah inaan, syirkah amal, syirkah dziman, syirkah jabar, syirkah mudharabah, Menurut mazhab Syafi’i : Syirkah dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu syirkah inaan, syirkah abdaan, syirkah mufawadhah, dan syirkah wujuuh Menurut Mazhab Hambali : Syirkah dibagi menjadi dua, yaitu syirkah fil maal, dan syirkah fil uqud.

Dalam KHI menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga, dan istri sebagai ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam hukum adat Indonesia ada 3 pilihan, apakah menggunakan struktur masyarakat patrinial, yakni kedudukan seorang istri lebih rendah dari pada kedudukan suaminya, struktur masyarakat matrinial yakni pengaturan harta bersama antara suami dan istri masuk dalam kerabat istri. Harta bersama yang dikuasai berupa harta pencarian, sedangkan yang lain tetap dikuasai masing-masing, struktur masyarakat parental atau bilateral memberi peranan secara seimbang terhadap suami-istri Pasal 27 Ayat (1) UUD. 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak terkecuali.

32 Ibid, 133.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Damanhuri, A. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Bandung: Mandar Maju, 2007.

Judiasih, Sonny Dewi, Harta Benda Perkawinan, Bandung: Refika Editama, 2015.

Kau, Sofyan A.P., Metode Penelitian Hukum Islam Penuntun Praktis untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Yogyakarta: Mira Pustaka, 2013.

Kompilasi Hukum Islam. UU. Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2015.

Kusuma, Hilman Hadi, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.

Manaf, Abdul, Aplikasi Asas Equalitas Hak Dan Kedudukan Suami-Isteri Dalam Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, Bandung: Mandar Maju, 2006.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2017.

Muklas, Oyo Sunaryo, Pranata Sosial Hukum Islam, Bandung: PT. Refika Editama, 2015.

Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Suharsono, dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang: Widya Karya, 2011.

Tim Pandom Media Nusantara, Kamus Bahas Indonesia Edisi Baru, Jakarta Barat: Jakarta, 2014.

Referensi

Dokumen terkait

24198 dated 3 July 2017, which indicate that High Pathogenic Avian Influenza HPAI outbreaks have occurred in West- Vlaanderen, Belgium, South Africa and Togo, it is deemed necessary for

APLIKASI LAYANAN PENGAMBILAN BARANG KARGO PADA DUS BONI CARGO BANJARBARU Mustaqim Noor1, Nur Alamsyah2, Fitrah Yuridka3 1Teknik Informatika, 55201, Fakultas Teknologi Informasi,