• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Ketidakpastian Hasil dari Metode Statistical Downscaling dalam membuat Model Hujan Rerata Wilayah

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of Ketidakpastian Hasil dari Metode Statistical Downscaling dalam membuat Model Hujan Rerata Wilayah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Teknik Pengairan: Journal of Water Resources Engineering, 2022, 13(2) pp. 195-205 https://jurnalpengairan.ub.ac.id/ | p-ISSN : 2086-1761 | e-ISSN : 2477-6068

Ketidakpastian Hasil dari Metode Statistical Downscaling dalam membuat Model Hujan Rerata Wilayah

Uncertainty of statistical downscaling method in modeling regional rainfall

Tutus Pulung Wijaya1, Karlina1*), Joko Sujono1

1Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Sleman, Yogyakarta, 565233, Indonesia.

Article info:Research Article

DOI:

10.21776/ub.pengairan.2022.013.02.06

Kata kunci:

Hujan; Downscaling; Thiessen

Keywords:

Rainfall; Thiessen; Downscaling

Article history:

Received: 24-03-2022 Accepted: 02-07-2022

*) Koresponden email:

karlina.sipil@ugm.ac.id

(c) 2022 Tutus Pulung Wijaya, Karlina, Joko Sujono

Creative Commons License

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License

Abstrak

Perubahan iklim dapat mempengaruhi karakteristik hujan suatu wilayah dan berpengaruh terhadap pengelolaan sumber daya air.

Pengelolaan sumber daya air yang mempertimbangkan faktor perubahan iklim membutuhkan data hujan hasil proyeksi model iklim. Hujan rerata wilayah hasil proyeksi iklim pada suatu DAS bisa diperoleh dengan dua pendekatan. Pertama, melakukan downscaling untuk setiap stasiun hujan, kemudian menghitung hujan rerata wilayah (Thiessen A). Kedua, menghitung hujan rerata wilayah, lalu melakukan downscaling (Thiessen B). Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi performa dua pendekatan tersebut pada proses kalibrasi dan validasi hujan model iklim dibandingkan dengan hujan observasi. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dalam melakukan proyeksi hujan masa depan. Proses downscaling dilakukan menggunakan statistical downscaling dengan bantuan software SDSM. Data NCEP Reanalysis digunakan sebagai prediktor dan data hujan observasi digunakan sebagai prediktan. Analisis hujan rerata wilayah dilakukan menggunakan poligon Thiessen. Performa model dinilai menggunakan RMSE dan R. Hasil dari pemodelan data hujan rerata wilayah menunjukkan Thiessen A lebih mendekati data terukur dibandingkan Thiessen B. Hal ini dapat dilihat dari performa pendekatan Thiessen A yang memiliki RMSE lebih kecil dan R lebih besar yaitu 10,05 mm dan 0,27, sedangkan Thiessen B sebesar 10,87 mm dan 0,23.

Abstract

Climate change can affect the rainfall characteristics of an area and affect the management of water resources. Management of water resources that considers climate change requires rain data from climate model projections. The regional average rainfall resulting from climate projections in a watershed can be obtained using two approaches. First, downscaling for each rain station, then calculating the average regional rain (Thiessen A). Second, calculate the area's average rain before downscaling (Thiessen B). The purpose of this study was to evaluate the performance of these approaches in the calibration and validation process of climate model rain compared to observed rainfall. The results of this study are the basis for projecting future rain. The downscaling method is carried out using statistical downscaling with the help of SDSM software. The NCEP Reanalysis data were used as predictors, and the observed rainfall data were used as predictions. The regional average rainfall was obtained using the Thiessen polygon. The performance of the model is assessed using RMSE and R values. Regional rainfall data modeling results show that Thiessen A is closer to the measured data than Thiessen B. This can be seen from the performance of the Thiessen A approach, which has a smaller RMSE and a larger R, namely 10.05 mm and 0.27, while Thiessen B is 10.87 mm and 0.23, respectively.

(2)

196 Wijaya, Karlina, Sujono: Ketidakpastian hasil statistical downscaling

Kutipan: Wijaya, T. P., Karlina,. Sujono, J. (2022). Ketidakpastian Hasil dari suatu Metode Statistical Downscaling dalam membuat Hujan Rerata Wilayah. Jurnal Teknik Pengairan: Journal of Water Resources Engineering, 13(2), 195-205.

https://doi.org/10.21776/ub.pengairan.2022.013.02.06

1. Pendahuluan

Perubahan iklim dapat secara signifikan mempengaruhi karakteristik hujan seperti kedalaman hujan, durasi hujan, dan intensitas hujan. Perubahan karakteristik hujan akan berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya air. Oleh karena itu, dalam melakukan pengelolaan sumberdaya air perlu mempertimbangkan faktor perubahan iklim. Untuk melakukan hal tersebut terhadap suatu DAS yang memiliki beberapa stasiun hujan, diperlukan data hujan rerata wilayah proyeksi masa depan. Data proyeksi hujan masa depan dapat diperoleh dari hasil downscaling suatu model iklim. Terdapat 2 jenis metode downscaling yaitu dynamical downscaling dan statistical downscaling. Dynamical downscaling membutuhkan biaya komputasi yang lebih tinggi dan sangat bergantung pada boundary conditions yang disediakan oleh model iklim global. Sedangkan statistical downscaling dapat menghasilkan deret waktu meteorologi skala lokal dengan melihat hubungan statistik yang sesuai dengan variabel prediktor. Metode ini lebih murah, mudah ditransfer, tidak menuntut banyak komputasi dan telah banyak digunakan dalam penilaian risiko atau ketidakpastian perubahan iklim.

(Dibike dan Coulibaly 2005; Fowler dkk. 2007; Huang dkk. 2011; Wilby dan Dawson 2013).

Sampai saat ini, terdapat berbagai jenis metode statistical downscaling yang tersedia dan SDSM adalah salah satu yang menjanjikan (Huang et al. 2011). SDSM dikembangkan melalui kombinasi multiple linear regression dan stochastic weather generator (Gebremeskel dkk. 2004; Diaz-Nieto dan Wilby 2005; Gagnon dkk. 2005; Wilby dkk. 2006). Khan et al. (2006) menganalisis ketidakpastian hasil dari 3 metode statistical downscaling yaitu SDSM, LARS-WG, dan ANN yang dilakukan di Sub DAS Chute-du-diable di Kanada. SDSM mampu mereproduksi berbagai karakteristik statistik dari data yang diamati dengan tingkat kepercayaan 95%, kemudian disusul LARS-WG dan terakhir ANN. Hassan et al. (2014) mengaplikasikan SDSM dan LARS-WG untuk melakukan downscaling terhadap curah hujan dan temperatur dari beberapa stasiun pengamatan yang berada di Semenanjung Malaysia. Secara umum, hasil dari model SDSM lebih mendekati seri data iklim yang diamati jika dibandingkan dengan model LARS-WG.

Adapun penelitian-penelitian tersebut hanya mengamati data hujan hasil downscaling dari masing-masing stasiun observasi. Sedangkan untuk pengelolaan sumber daya air di wilayah yang memiliki beberapa stasiun observasi memerlukan data hujan rerata wilayah. Hujan rerata wilayah merupakan hujan yang dianggap mewakili jumlah seluruh hujan yang terjadi di dalam daerah aliran sungai (DAS). Besaran hujan ini dapat diperoleh dengan merata-ratakan hujan titik (Sri Harto 2009).

Dengan demikian, ada 2 pendekatan untuk membuat data hujan rerata wilayah proyeksi masa depan.

Pertama, melakukan downscaling untuk setiap stasiun hujan, kemudian menghitung hujan rerata wilayah (Thiessen A). Kedua, menghitung hujan rerata wilayah terlebih dahulu sebelum melakukan downscaling (Thiessen B). Tentunya dari 2 pendekatan tersebut akan menghasilkan seri data hujan rerata wilayah yang berbeda. Tujuan penelitian ini untuk menilai performa 2 pendekatan tersebut yang dilakukan pada proses kalibrasi dan validasi hujan model iklim. Hasil penelitian ini akan menjadi dasar dalam melakukan proyeksi hujan masa depan menggunakan model iklim. Penilaian performa dilakukan dengan membandingkan data hujan model iklim dengan data hujan terukur.

2. Bahan dan Metode

2.1. Lokasi penelitian dan data penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi studi di DAS Gajahwong yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sungai Gajahwong merupakan sungai yang membelah Kota Yogyakarta. Hulu sungai ini berada di lereng Gunung Merapi Kabupaten Sleman, sedangkan hilir sungai berada di Kabupaten Bantul. DAS Gajahwong memiliki luas ± 48,8 km2 dengan panjang sungai utama ± 22,8 km. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data hujan harian periode tahun 2001-2020 yang diperoleh dari 5 stasiun hujan (Bedugan, Gemawang, Kemput, Prumpung, Santan). Peta dasar DAS menggunakan peta yang diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO).

Kemudian untuk data model iklim berskala besar menggunakan dataset model sirkulasi atmosfer

(3)

197 Wijaya, Karlina, Sujono: Ketidakpastian hasil statistical downscaling

reanalisis dari National Center for Environmental Prediction (NCEP reanalysis) periode tahun 2001- 2017. Lokasi stasiun hujan dan gambar peta DAS yang ditinjau dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1 berikut ini.

Tabel 1. Lokasi stasiun hujan

No Stasiun Kabupaten Lat Lon 1 Bedugan Bantul -7.864 110.394 2 Gemawang Sleman -7.763 110.368 3 Kemput Sleman -7.633 110.389 4 Prumpung Sleman -7.683 110.392 5 Santan Sleman -7.792 110.443

Gambar 1. Peta DAS Gajahwong

2.2. Statistical downscaling

SDSM (Statistical DownScaling Model) adalah suatu tool untuk membantu menilai dampak perubahan iklim lokal menggunakan metode statistical downscaling yang kuat. SDSM merupakan kombinasi dari model fungsi transfer dan pendekatan stochastic weather generator dengan menggunakan dua jenis data harian. Data yang dibutuhkan yaitu data prediktan lokal (hujan observasi) dan data prediktor skala besar (NCEP reanalysis) dari area studi (Hashmi et al. 2011).

Variabel-variabel prediktor NCEP diperoleh dari website SDSM yang dapat diunduh pada laman https://sdsm.org.uk/data.html. Kumpulan variabel prediktor NCEP tersebut merupakan data yang bersumber dari Canadian Climate Change Scenarios Network (CCCSN). Terdapat 31 variabel prediktor NCEP yang tersedia untuk periode tahun 1948-2017. Berikut adalah kumpulan variabel prediktor NCEP yang dapat dilihat pada Tabel 2.

(4)

198 Wijaya, Karlina, Sujono: Ketidakpastian hasil statistical downscaling

Tabel 2. Variabel prediktor NCEP

No. Prediktor Deskripsi No. Prediktor Deskripsi

1. dswr Direct shortwave radiation 17. p8_f Geostrophic airflow velocity at 850 hPa 2. lftx Surface lifted index 18. p8_u Zonal velocity component at 850 hPa 3. mslp Mean sea level pressure 19. p8_v Meridional velocity component at 850 hPa 4. p_f Geostrophic airflow velocity near the surface 20. p8_z Vorticity at 850 hPa

5. p_u Zonal velocity component near the surface 21. p850 850 hPa geopotential height 6. p_v Meridional velocity component near the surface 22. p8th Wind direction at 850 hPa 7. p_z Vorticity near the surface 23. p8zh Divergence at 850 hPa 8. p_th Wind direction near the surface 24. pottmp Potential temperature 9. p_zh Divergence near the surface 25. pr_wtr Precipitable water 10. p5_f Geostrophic airflow velocity at 500 hPa 26. prec Precipitation total

11. p5_u Zonal velocity component at 500 hPa 27. r500 Relative humidity at 500 hPa height 12. p5_v Meridional velocity component at 500 hPa 28. r850 Relative humidity at 850 hPa height 13. p5_z Vorticity at 500 hPa 29. rhum Near surface relative humidity 14. p500 500 hPa geopotential height 30. shum Near surface specific humidity 15. p5th Wind direction at 500 hPa 31. temp Near surface air temperature 16. p5zh Divergence at 500 hPa

Beberapa pengaturan dalam SDSM seperti optimisation algorithm, event thershold, process dan model transformation mengacu pada manual SDSM yang dibuat oleh Wilby dan Dawson (2007).

Dalam SDSM terdapat 2 algoritma pengoptimalan yang dapat digunakan, yaitu ordinary least square (OLS) dan dual simplex (DS). Penelitian ini menggunakan OLS sebagai algoritma pengoptimalan karena dapat memberikan hasil yang sebanding namun lebih cepat jika dibandingkan dengan DS.

Untuk menentukan event threshold saat mengkalibrasi model curah hujan harian, parameter diatur ke 0,3 mm/hari untuk memperlakukan jejak hari hujan sebagai hari kering. Kemudian data curah hujan dimodelkan sebagai conditional process. Terakhir untuk transformasi model data hujan menggunakan model transformation fourth root.

Pada tahap kalibrasi model, data yang digunakan adalah data prediktor (NCEP) dan prediktan (hujan observasi) untuk periode waktu 2001-2012. Kemudian periode tahun 2013-2017 digunakan sebagai validasi model. Komponen stokastik (acak) dari weather generator memungkinkan model regresi SDSM untuk menghasilkan hingga 100 ensembles variabel cuaca yang diturunkan skalanya.

Ensembles di sini merupakan kumpulan rangkaian seri data sintetis kejadian hujan harian untuk periode waktu 2001-2017.

2.3. Pemilihan prediktor

Sebelum melakukan statistical downscaling, langkah yang harus dilakukan adalah pemilihan prediktor dari model iklim berskala besar yang memiliki hubungan kuat dengan kondisi cuaca lokal.

Kuatnya hubungan antara variabel prediktor dengan prediktan dilihat berdasarkan kombinasi matriks korelasi, korelasi parsial, dan nilai probabilitas. Pemilihan prediktor menjadi tahapan yang paling penting dalam proses statistical downscaling (Wilby et al. 2002; Huang et al. 2011). Untuk menemukan prediktor pertama relatif lebih mudah, namun untuk mencari prediktor kedua, ketiga, dan seterusnya sangatlah subjektif. Oleh karena itu, untuk memilih prediktor digunakan metode kuantitatif seperti yang diterapkan oleh Mahmood dan Babel (2013) dengan langkah sebagai berikut ini.

1. Membuat matriks korelasi antara 31 prediktor NCEP dengan prediktan. Lalu 12 prediktor dengan R1 tertinggi disusun dalam urutan menurun. Prediktor peringkat pertama yang memiliki koefisien korelasi tertinggi dipilih sebagai prediktor pertama dan disebut prediktor super.

(5)

199 Wijaya, Karlina, Sujono: Ketidakpastian hasil statistical downscaling

2. Selanjutnya melakukan regresi terhadap 11 prediktor yang tersisa secara individual dengan prediktor super untuk mendapatkan koefisien korelasi absolut antara prediktor dengan prediktor super (R2), korelasi parsial absolut (Pr) dan nilai probabilitas (Pv).

3. Prediktor dengan Pv lebih besar dari α (0,05) dan prediktor yang sangat berkorelasi dengan prediktor super (R2 > 0,7) dihilangkan untuk mendapatkan hasil yang signifikan dan menghilangkan multikolinieritas.

4. Menghitung persentase reduksi korelasi parsial absolut (PRP) dengan Persamaan 1 sebagai berikut.

𝑃𝑅𝑃 = (𝑃𝑟−𝑅1

𝑅1 ) (1)

Pada persamaan ini Pr merupakan koefisien korelasi parsial absolut, sedangkan R1 merupakan koefisien korelasi absolut antara prediktor dengan prediktan.

5. Prediktor dengan nilai PRP yang paling kecil dipilih sebagai prediktor kedua.

6. Untuk memperoleh prediktor ketiga, keempat, dan seterusnya dilakukan cara yang sama dengan mengulangi langkah 2 sampai 5. Satu hingga tiga prediktor sudah cukup untuk menjelaskan prediktan selama kalibrasi dan tanpa menimbulkan multikolinieritas

2.4. Curah hujan wilayah

Jika suatu DAS mempunyai beberapa stasiun hujan yang ditempatkan terpencar, hasil pengukuran kedalaman hujan yang tercatat di setiap stasiun biasanya tidaklah sama. Data hujan yang diperoleh dari stasiun penakar hujan merupakan data hujan lokal yang hanya mewakili pengukuran hujan untuk luas daerah tertentu (Djafar et al. 2014). Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis curah hujan wilayah untuk mengetahui besar hujan yang terjadi pada DAS tersebut. Curah hujan wilayah merupakan besar hujan rerata dari hasil pengukuran hujan di beberapa stasiun pengukuran. Salah satu metode yang sering digunakan dalam penelitian adalah metode poligon Thiessen (Amrulloh et al. 2021; Djafar et al. 2014; Fathoni et al. 2016). Metode ini dipandang cukup baik karena memberikan koreksi terhadap kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang dianggap mewakili (Triatmodjo 2019). Persamaan yang digunakan untuk menghitung hujan rerata wilayah menggunakan poligon Thiessen dapat mengikuti Persamaan 2 berikut ini.

𝑅 =𝑅1𝐴1+𝑅2𝐴2+⋯+𝑅𝑛𝐴𝑛

𝐴1+𝐴2+⋯+𝐴𝑛 (2)

Pada persamaan ini Rn merupakan curah hujan di stasiun hujan n, sedangkan An merupakan luas area pengaruh stasiun hujan n. Perlu diperhatikan bahwa perata-rataan data hujan hanya dapat dilakukan pada periode yang sama. Hujan yang terjadi pada tanggal yang berbeda tidak dapat dirata- ratakan, karena tidak mempunyai arti fisik apapun (Sri Harto 2009).

2.5. Performa model

Untuk menilai kinerja model perlu ada suatu ukuran yang menunjukkan kedekatan data model terhadap data terukur (existing). SDSM menghasilkan sejumlah ensemble yang perlu diuji kinerja dari masing-masing ensemble untuk mendapatkan ensemble terbaik. Pemilihan ensemble untuk setiap stasiun hujan dilakukan menggunakan parameter statistik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hassan dkk. (2014), untuk membandingkan performa model simulasi yang dihasilkan dari SDSM dan LARS-WG diperiksa menggunakan Root Mean Square Error (RMSE) dan koefisien korelasi (R) dengan persamaan sebagai berikut.

𝑅𝑀𝑆𝐸 = √1

𝑛𝑛𝑖=1(𝑋𝑜𝑏𝑠− 𝑋𝑝𝑟𝑒𝑑)2 (3)

𝑅 = (𝑋𝑜𝑏𝑠−𝑋𝑜𝑏𝑠)(𝑋𝑝𝑟𝑒𝑑−𝑋𝑝𝑟𝑒𝑑)

𝑛𝑖=1

√∑𝑛𝑖=1(𝑋𝑜𝑏𝑠−𝑋𝑜𝑏𝑠)2𝑛𝑖=1(𝑋𝑝𝑟𝑒𝑑−𝑋𝑝𝑟𝑒𝑑)2

(4)

(6)

200 Wijaya, Karlina, Sujono: Ketidakpastian hasil statistical downscaling

Pada persamaan ini Xobs dan Xpred merupakan data hujan terukur dan data hujan prediksi, 𝑋𝑜𝑏𝑠 dan 𝑋𝑝𝑟𝑒𝑑 merupakan rata-rata data hujan terukur dan rata-rata data hujan prediksi, sedangkan n merupakan jumlah data kejadian hujan. Dalam suatu pemodelan nilai RMSE diharapkan sekecil mungkin karena menunjukkan keakuratan suatu model, sedangkan untuk R apabila mendekati ±1 maka hubungan linier kedua peubah semakin erat (Gunawan dan Linarka 2011). SDSM merupakan model stokastik yang mempertimbangkan kemungkinan bersyarat terjadinya hujan dan proses peralihan dalam curah hujan, hasil statistik dari model-model tersebut tidak dapat hanya dijadikan acuan untuk menguji performa model. Untuk meningkatkan kepercayaan performa model, curah hujan rata-rata secara grafis dibandingkan dengan data yang diamati. Perbandingan grafis ini dapat mengidentifikasi pola dan variasi yang ditangkap oleh model (Hassan dkk. 2014).

3 Hasil dan Pembahasan

3.1 Curah hujan rerata wilayah

Hujan rerata wilayah dicari menggunakan metode poligon Thiessen. Luasan poligon dari masing- masing stasiun hujan diperoleh menggunakan bantuan software ArcGIS. Gambar poligon Thiessen beserta luasan area pengaruh dari masing-masing stasiun hujan di DAS Gajahwong dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 2. Berdasarkan data hujan hasil dari analisis hujan rerata wilayah, besar hujan harian rerata terukur untuk periode tahun 2001-2017 yang diperoleh sebesar 5,06 mm.

Tabel 3. Luas area poligon No. Stasiun Luas (km2) Luas

(%)

1. Kemput 4,7 9,7

2. Prumpung 7,2 14,7

3. Gemawang 16,1 33

4. Santan 8,1 16,6

5. Bedugan 12,7 26

Total 48,8 100

Gambar 2. Poligon Thiessen DAS Gajahwong

(7)

201 Wijaya, Karlina, Sujono: Ketidakpastian hasil statistical downscaling

3.2 Prediktor terpilih

Berdasarkan data hujan terukur di setiap stasiun hujan, dilakukan pemilihan variabel-variabel prediktor NCEP Reanalysis menggunakan metode yang diterapkan oleh Mahmood dan Babel (2013).

Begitu juga dengan data hujan terukur hasil dari analisis hujan rerata wilayah. Variabel-variabel prediktor yang terpilih dari data hujan rerata wilayah disebut sebagai prediktor Thiessen B. Rentang periode yang digunakan untuk pemilihan prediktor menyesuaikan dengan rentang periode kalibrasi yaitu tahun 2001-2012. Variabel prediktor yang sudah terpilih beserta nilai korelasi antara prediktor dan prediktan (R1) ditampilkan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Variabel prediktor terpilih

No. Data hujan Prediktor 1 R1 Prediktor 2 R1 Prediktor 3 R1

1. Bedugan ncep_pottmp 12,1 ncep_p8_f 6,2 ncep_p_f 11,8 2. Gemawang ncep_p_f 11,7 ncep_temp 6,5 ncep_p5_f 9,4 3. Kemput ncep_pottmp 18,3 ncep_p8th 11,6 ncep_p8_v 13,8 4. Prumpung ncep_p_u 11,3 ncep_p8th 7 ncep_p_v 6,6 5. Santan ncep_p8_z 8,8 ncep_p8_u 6,5 ncep_pottmp 4,8 6. Thiessen B ncep_p_u 21,7 ncep_p_zh 10,9 ncep_p8th 15,8

Berdasarkan hasil yang diperoleh, setiap data hujan terukur memiliki korelasi terhadap prediktor yang berbeda-beda. Secara keseluruhan curah hujan yang terjadi dipengaruhi oleh pergerakan angin dan suhu udara. Hal ini bisa terjadi karena pada kenyataannya proses terjadinya hujan berhubungan dengan banyak unsur cuaca seperti kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan arah angin (Rohmana et al. 2019). Oleh karena itu, pemilihan variabel iklim untuk data hujan dilakukan menggunakan conditional prosess. Pada proses ini terdapat proses perantara antara variabel-variabel prediktor dan cuaca lokal. Misalnya, jumlah curah hujan lokal tergantung pada banyaknya awan, namun pembentukan awan juga dapat dipengaruhi oleh prediktor iklim seperti pergerakan arah angin dan temperatur udara.

3.3 Kalibrasi dan validasi model

Proses kalibrasi model dilakukan untuk periode tahun 2001-2012, sedangkan untuk validasi model dilakukan di periode 2013-2017. Kalibrasi model dilakukan menggunakan data variabel prediktor yang sudah terpilih sebelumnya. Dari hasil kalibrasi tersebut dilakukan pembangkitan cuaca (weather generator) untuk menghasilkan 100 ensemble seri data hujan buatan dari periode tahun 2001-2017. Kemudian dari 100 ensemble yang dihasilkan, dipilih 1 ensemble yang secara statistik memiliki kedekatan dengan data hujan terukur. Pemilihan ini didasarkan terhadap ensemble member yang memiliki nilai RMSE terkecil dan R terbesar. Hasil kalibrasi dan validasi model dapat dilihat pada pada Tabel 5 dan Tabel 6 berikut ini.

Tabel 5. Kalibrasi model periode tahun 2001-2012 No. Data hujan R RMSE Hujan rerata harian

(mm)

Hujan maksimum (mm) 1. Bedugan

Terukur - - 3,32 151,00

NCEP 0,12 14,30 4,01 140,03

2. Gemawang

Terukur - - 3,76 142,00

NCEP 0,15 14,83 4,79 148,24

3. Kemput

Terukur - - 5,10 188,00

NCEP 0,16 16,39 4,81 121,62

4. Prumpung

Terukur - - 4,14 164,00

NCEP 0,12 16,53 5,15 142,59

(8)

202 Wijaya, Karlina, Sujono: Ketidakpastian hasil statistical downscaling

No. Data hujan R RMSE Hujan rerata harian (mm)

Hujan maksimum (mm) 5. Santan

Terukur - - 4,69 196,00

NCEP 0,14 19,11 5,63 154,83

6. Thiessen B

Terukur - - 4,08 85,07

NCEP 0,22 9,81 4,38 87,21

Tabel 6. Validasi model periode tahun 2013-2017

No. Data hujan R RMSE

(mm)

Curah Hujan (mm)

Rerata harian Maksimum harian 1. Bedugan

Terukur - - 6,35 244,00

NCEP 0,17 16,56 3,78 97,17

2. Gemawang

Terukur - - 7,65 200,90

NCEP 0,11 19,42 4,50 115,46

3. Kemput

Terukur - - 9,20 165,00

NCEP 0,12 21,45 4,22 100,09

4. Prumpung

Terukur - - 7,82 178,50

NCEP 0,14 19,04 4,92 128,39

5. Santan

Terukur - - 7,20 253,00

NCEP 0,13 21,78 5,63 137,99

6. Thiessen B

Terukur - - 7,41 209,32

NCEP 0,28 13,07 4,16 58,08

Hasil kalibrasi dan validasi model data hujan Thiessen B memiliki nilai RMSE dan R yang lebih baik jika dibandingkan dengan data hujan di 5 stasiun hujan lainnya. Namun, nilai RMSE pada proses kalibrasi validasi masih terbilang cukup besar dan memiliki R yang lemah. Hal ini bisa saja disebabkan karena proses kalibrasi menggunakan periode yang cukup pendek dan terdapat data hujan yang hilang. Selain itu hujan juga merupakan variabel iklim yang heterogen dan sulit untuk disimulasikan secara akurat (Wilby et al. 2002). Data hujan di 5 stasiun hujan memiliki RMSE pada tahap kalibrasi berkisar 14,30-19,11 mm, sedangkan pada tahap validasi berkisar 16,56-21,78 mm.

Berdasarkan nilai R pada tahap kalibrasi berkisar 0,12-0,16 dan pada tahap validasi berkisar 0,12- 0,17. Selanjutnya untuk data hujan Thiessen B nilai RMSE pada tahap kalibrasi diperoleh sebesar 9,81 mm, sedangkan pada tahap validasi sebesar 13,07 mm. Berdasarkan nilai R pada tahap kalibrasi diperoleh sebesar 0,22 dan pada tahap validasi sebesar 0,28.

Dari data curah hujan hasil pemodelan yang diperoleh, tampak bahwa hujan rerata harian memiliki selisih yang kecil terhadap hujan rerata harian terukur. Sebaliknya untuk hujan maksimum harian masih memiliki selisih yang besar terhadap data hujan maksimum harian terukur. Besar selisih antara hujan rerata harian terukur dengan pemodelan pada periode kalibrasi berkisar 0,29-1,03 mm, sedangkan selisih pada tahap validasi berkisar 1,57-4,98 mm. Kemudian untuk selisih antara hujan maksimum harian terukur dengan pemodelan pada periode kalibrasi berkisar 2,14-66,38 mm dan pada tahap validasi berkisar 50,11-151,24 mm.

3.4 Penilaian performa

Selanjutnya data hujan hasil pemodelan di setiap stasiun hujan digunakan untuk menghitung besar hujan rerata wilayah. Data hujan rerata wilayah tersebut disebut sebagai data hujan Thiessen A.

Kemudian dilakukan penilaian performa model terhadap 2 pemodelan data hujan rerata wilayah (Thiessen A dan Thiessen B). Penilaian performa model dilakukan dengan cara dibandingkan dengan

(9)

203 Wijaya, Karlina, Sujono: Ketidakpastian hasil statistical downscaling

data hujan rerata wilayah terukur (Thiessen Obs) untuk periode tahun 2001-2017. Pada Tabel 7 memperlihatkan hasil evaluasi performa model Thiessen A dan Thiessen B.

Tabel 7. Evaluasi performa model Thiessen A dan Thiessen B tahun 2001-2017

No. Data hujan R RMSE

(mm)

Curah hujan (mm)

Rerata harian Maksimum harian

1. Thiessen Obs - - 5,06 209,32

2. Thiessen A 0,27 10,05 4,71 52,48

3. Thiessen B 0,23 10,87 4,31 87,21

Hasil penilaian performa model data hujan Thiessen A memiliki nilai RMSE dan R yang lebih baik dibandingkan dengan data hujan Thiessen B. Namun, baik Thiessen A maupun Thiessen B masih memiliki nilai RMSE yang cukup besar dan R yang lemah. Thiessen A dan Thiessen B memiliki nilai RMSE sebesar 10,05 mm dan 10,87 mm, sedangkan untuk nilai R sebesar 0,27 dan 0,23. Berdasarkan curah hujan rerata harian untuk periode tahun 2001-2017 Thiessen A mempunyai hasil yang paling mendekati data terukur. Selisih hujan rerata harian untuk Thiessen A sebesar 0,35 mm dan Thiessen B sebesar 0,75 mm. Namun, untuk hujan maksimum harian periode tahun 2001- 2017 baik Thiessen A maupun Thiessen B tidak ada yang mendekati data terukur. Selisih hujan maksimum harian Thiessen A sebesar 156,84 mm dan Thiessen B sebesar 122,11 mm. Dapat dilihat pada Gambar 4 selisih hujan maksimum terbesar terjadi di bulan November. Hal ini berkaitan dengan kejadian cuaca ekstrem yang pernah melanda Kota Yogyakarta pada tanggal 28 November 2017 dan menyebabkan banjir di berbagai wilayah. Perbandingan data hujan rerata wilayah terukur dengan hasil pemodelan untuk periode tahun 2001-2017 ditampilkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

a.) b.)

Gambar 3. Curah hujan rerata harian tiap bulan periode tahun 2001-2017

a.) b.)

Gambar 4. Curah hujan maksimum harian tiap bulan periode tahun 2001-2017

4. Kesimpulan

Hasil evaluasi performa model curah hujan rerata wilayah menggunakan 5 stasiun hujan yang ada di DAS Gajahwong, menunjukkan bahwa melakukan statistical downscaling untuk setiap stasiun

0 2 4 6 8 10 12

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Curah Hujan (mm)

Thiessen Obs Thiessen A

0 2 4 6 8 10 12

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Curah Hujan (mm)

Thiessen Obs Thiessen B

0 50 100 150 200 250

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Curah Hujan (mm)

Thiessen Obs Thiessen A

0 50 100 150 200 250

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Curah Hujan (mm)

Thiessen Obs Thiessen B

(10)

204

Wijaya, Karlina, Sujono: Ketidakpastian hasil statistical downscaling

hujan baru kemudian menghitung curah hujan rerata DAS (Thiessen A) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan menghitung curah hujan rerata DAS terlebih dahulu sebelum melakukan statistical downscaling (Thiessen B). Hal ini dapat dilihat dari nilai RMSE pada Thiessen A yang lebih kecil dibandingkan Thiessen B yaitu 10,05 mm dan 10,87 mm. Selain itu nilai R pada Thiessen A lebih besar dibandingkan Thiessen B yaitu 0,27 dan 0,23. Thiessen A mampu memodelkan curah hujan rerata harian mendekati data terukur dengan selisih curah hujan rerata harian sebesar 0,35 mm sedangkan Thiessen B sebesar 0,75 mm. Dengan begitu data hujan Thiessen A menjadi opsi yang lebih baik untuk digunakan dalam pengelolaan sumber daya air seperti analisis ketersedian air waduk. Akan tetapi untuk data hujan maksimum harian baik Thiessen A maupun Thiessen B masih belum dapat mendekati data terukur. Sehingga untuk melakukan pengelolaan sumber daya air yang menggunakan data hujan maksimum harian akan mendapatkan hasil yang kurang baik.

Daftar Pustaka

Amrulloh, M., W.Y. Widiarti, and G. Halik. 2021. “Evaluasi Kinerja Sistem Drainase Jalan Kaliurang Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember.” Jurnal Teknik Pengairan 12(2): 81–91.

https://jurnalpengairan.ub.ac.id/index.php/jtp/article/view/540.

Diaz-Nieto, J., and R.L. Wilby. 2005. “A Comparison of Statistical Downscaling and Climate Change Factor Methods: Impacts on Low Flows in the River Thames, United Kingdom.”

Climatic Change 69(2–3): 245–68. http://link.springer.com/10.1007/s10584-005-1157-6.

Dibike, Y.B., and P. Coulibaly. 2005. “Hydrologic Impact of Climate Change in the Saguenay Watershed: Comparison of Downscaling Methods and Hydrologic Models.” Journal of Hydrology 307(1–4): 145–63.

Djafar, H., L.M. Limantara, and R. Asmaranto. 2014. “Studi Analisa Kebutuhan Jumlah Stasiun Hujan Berdasarkan Evaluasi Perbandingan Antara Analisa Hidrograf Banjir Dan Banjir Historis Pada DAS Limboto Provinsi Gorontalo.” Jurnal Teknik Pengairan 5(2): 172–81.

Fathoni, S., V. Dermawan, and E. Suhartanto. 2016. “Analisis Efektivitas Kerapatan Jaringan Pos Stasiun Hujan Di DAS Kedungsoko Dengan Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan.” Jurnal Teknik Pengairan 7(1): 129–38.

Fowler, H.J., S. Blenkinsop, and C. Tebaldi. 2007. “Linking Climate Change Modelling to Impacts Studies: Recent Advances in Downscaling Techniques for Hydrological Modelling.”

International Journal of Climatology 27(12): 1547–78.

Gagnon, S., B. Singh, J. Rousselle, and L. Roy. 2005. “An Application of the Statistical Downscaling Model (SDSM) to Simulate Climatic Data for Streamflow Modelling in Québec.” Canadian Water Resources Journal 30(4): 297–314.

Gebremeskel, S. et al. 2004. “Analysing the Effect of Climate Changes on Streamflow Using Statistically Downscaled GCM Scenarios.” International Journal of River Basin Management 2(4): 271–80.

Gunawan, D., and U.A. Linarka. 2011. “Penentuan Prediktor Untuk Prediksi Curah Hujan Bulanan Menggunakan Metode Statistical Dynamical Downscaling.” Jurnal Meteorologi dan Geofisika 12(1): 93–102.

Hashmi, M.Z., A.Y. Shamseldin, and B.W. Melville. 2011. “Comparison of SDSM and LARS-WG for Simulation and Downscaling of Extreme Precipitation Events in a Watershed.” Stochastic Environmental Research and Risk Assessment 25(4): 475–84.

Hassan, Z., S. Shamsudin, and S. Harun. 2014. “Application of SDSM and LARS-WG for Simulating and Downscaling of Rainfall and Temperature.” Theoretical and Applied Climatology 116(1–

2): 243–57.

Huang, J. et al. 2011. “Estimation of Future Precipitation Change in the Yangtze River Basin by Using Statistical Downscaling Method.” Stochastic Environmental Research and Risk Assessment 25(6): 781–92.

(11)

205

Wijaya, Karlina, Sujono: Ketidakpastian hasil statistical downscaling

Khan, M.S., P. Coulibaly, and Y. Dibike. 2006. “Uncertainty Analysis of Statistical Downscaling Methods.” Journal of Hydrology 319(1–4): 357–82.

Mahmood, R., and M.S. Babel. 2013. “Evaluation of SDSM Developed by Annual and Monthly Sub- Models for Downscaling Temperature and Precipitation in the Jhelum Basin, Pakistan and India.” Theoretical and Applied Climatology 113(1–2): 27–44.

Rohmana, F.S., A. Rusgiyono, and Sugito. 2019. “Penentan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intensitas Curah Hujan Dengan Analisis Diskriminan Ganda Dan Regresi Logistik

Multinomial.” Jurnal Gaussian 8(3): 398–406.

http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/gaussian.

Sri Harto Br. 2009. Hidrologi : Teori, Masalah, Penyelesaiannya. Yogyakarta: Nafiri.

Triatmodjo, B. 2019. Hidrologi Terapan. Cetakan-7. Yogyakarta: Beta Offset .

Wilby, R.L. et al. 2006. “Integrated Modelling of Climate Change Impacts on Water Resources and Quality in a Lowland Catchment: River Kennet, UK.” Journal of Hydrology 330(1–2): 204–

20.

Wilby, R.L., and C.W. Dawson. 2007. SDSM 4.2-A Decision Support Tool for the Assessment of Regional Climate Change Impacts, User Manual. Lancaster, UK: Lancaster University.

———. 2013. “The Statistical Downscaling Model: Insights from One Decade of Application.”

International Journal of Climatology 33(7): 1707–19.

Wilby, R.L., C.W. Dawson, and E.M. Barrow. 2002. “SDSM — a Decision Support Tool for the Assessment of Regional Climate Change Impacts.” Environmental Modelling & Software 17(2): 145–57.

Referensi

Dokumen terkait

58 thinking skills on an ongoing basis.In addition to using the Problem based learning model in developing students' thinking skills, in addition to the

1) Menghitung Intensitas hujan dengan Metode Mononobe dari data curah hujan tahun 2003 – 2013 yang didapat dari BMKG Stasiun Meteorologi Pattimura Ambon. 3)