• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN LEMBAGA ARBITRASE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "KEWENANGAN LEMBAGA ARBITRASE"

Copied!
230
0
0

Teks penuh

Padahal, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menutup kemungkinan bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan keputusan lembaga arbitrase. Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di atas, maka putusan lembaga arbitrase mempunyai kekuatan hukum mengikat (incraht of judgement).

Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Arbitrase Menyelesaikan Sengketa Bisnis Berbasis Nilai Keadilan Sengketa Bisnis Berbasis Nilai Keadilan

Penerapan Kewenangan Lembaga Arbitrase untuk Penyelesaian Sengketa Bisnis Berdasarkan Nilai-Nilai Keadilan.

Kelemahan Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Arbitrase Terhadap Sifat Kemutlakan Putusan Arbitrase Dalam

Rekonstruksi Hukum Terhadap Sifat Kemutlakan Putusan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Berbasis Nilai Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Berbasis Nilai

Kelemahan dalam pelaksanaan yurisdiksi lembaga arbitrase terhadap sifat absolut putusan arbitrase internal. bersembunyi dari sisi yang berlawanan; atau keputusan itu diambil karena menyesatkan salah satu pihak dalam penyidikan sengketa. Terhadap suatu putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali apabila putusan tersebut memuat unsur-unsur sebagai berikut.

Gambar 1.1  Alur Pemikiran
Gambar 1.1 Alur Pemikiran

KEDUDUKAN DAN FUNGSI

LEMBAGA ARBITRASE DI INDONESIA

Dasar penggunaan arbitrase ad hoc adalah ketentuan Pasal 7 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang mengatur bahwa para pihak dapat sepakat bahwa suatu perselisihan yang telah atau akan timbul di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase. Kedudukan lembaga arbitrase dapat dilihat pada perkataan Pasal 1 Angka 8 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan.

KEWENANGAN LEMBAGA ARBITRASE TERHADAP SIFAT KEMUTLAKAN

PUTUSAN ARBITRASE

Kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, harus dituangkan dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. Hal ini diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

PROSEDUR PEMERIKSAAN PERKARA PADA LEMBAGA ARBITRASE

Teks lengkap Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah sebagai berikut. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

KELEMAHAN PELAKSANAAN

Kelemahan di Substansi Hukum

Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pengadilan Negeri dinyatakan tidak mempunyai yurisdiksi atas perselisihan antara pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang mengatur: Dalam Pasal 55 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ditegaskan bahwa apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, maka pemeriksaan tersebut segera selesai dan ditetapkan tanggal sidang untuk pengumuman putusan arbitrase.

Formalitas putusan arbitrase diatur oleh ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut ketentuan Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, suatu keputusan arbiter yang tidak ditandatangani oleh salah satu arbiter karena sakit atau meninggal dunia, tidak mempengaruhi keabsahan arbitrase. keputusannya. Alasan tidak adanya tanda tangan salah satu arbiter, sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, harus dicantumkan dalam putusan.

Berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan diucapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah penutupan pemeriksaan. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Sifat mutlak tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menegaskan bahwa putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Kelemahan di Struktur Hukum

Kewenangan lembaga arbitrase dalam menangani penyelesaian sengketa juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa: Penegasan mengenai Perjanjian Arbitrase dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan. Dasar klausul arbitrase pactum de compromittendo dapat dilihat pada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu pada kalimat kalimat.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur secara tegas bagaimana cara membuat pactum de. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang. Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Lembaga arbitrase diakui sebagai forum ekstrayudisial berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Intisari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ada di atas. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan kewenangan kepada lembaga arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan atau perselisihan antar pihak dalam hubungan hukum tertentu berdasarkan perjanjian arbitrase.

Kelemahan di Budaya Hukum

Berdasarkan pertimbangan di atas, arbitrase merupakan salah satu pilihan penyelesaian sengketa antar pihak yang sangat penting. Di sini dapat dijelaskan kembali bahwa yang dimaksud dengan arbiter menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah seorang atau lebih orang yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau ditunjuk oleh daerah. pengadilan. atau oleh lembaga arbitrase, untuk memutuskan sengketa tertentu yang diajukan untuk diselesaikan melalui arbitrase. Arbiter diberi wewenang oleh para pihak berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu dalam hal para pihak telah sepakat bahwa perselisihan di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan yang telah memberikan yurisdiksi kepada para pihak, arbiter harus dapat bersikap objektif sejak saat itu.

Upaya hukum terhadap arbiter atau majelis arbitrase serta putusan arbitrase yang dapat diambil oleh para pihak yang bersengketa dapat dijelaskan sebagai berikut: Hak menolak diatur dalam pasal 22 sampai dengan 26 undang-undang no. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 23 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan:

Pembatalan putusan arbitrase diatur dalam ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase kepada Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:.

REKONSTRUKSI HUKUM TERHADAP SIFAT KEMUTLAKAN PUTUSAN

ARBITRASE BERBASIS NILAI KEADILAN

Putusan Arbitrase

Berdasarkan ketentuan di atas terlihat bahwa Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang. Inti dari UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dilihat pada ketentuan Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa ruang lingkup pengaturan undang-undang no. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah penyelesaian perselisihan atau perselisihan pendapat antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan suatu perjanjian.

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24, ayat. 3, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat kekuatan. Penerapan fungsi penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa perselisihan yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah perselisihan yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menjelaskan secara rinci fungsi-fungsi yang berkaitan dengan lembaga peradilan. Fungsi peradilan, khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Sifat Kemutlakan Putusan Lembaga Arbitrase di Berbagai Negara

Ditetapkan oleh BANI atau kesepakatan para pihak (jika diperlukan) (Pasal 13 ayat (4) Tata Tertib BANI). Oleh Ketua BANI apabila para pihak tidak mengadakan penunjukan (Pasal 10 ayat (2) Tata Tertib BANI. Banding di ICC dikecualikan sedangkan di BANI tidak dapat dilakukan karena keputusan BANI bersifat final dan mengikat para pihak.

Ditetapkan oleh BANI atau kesepakatan para pihak (jika diperlukan), (pasal 13 ayat 4 peraturan dan tata cara BANI). Pemohon mengirimkan pemberitahuan arbitrase kepada pihak-pihak yang diadukan (Pasal 3(1) Peraturan Arbitrase UNCITRAL). Proses arbitrase dianggap telah dimulai pada tanggal diterimanya pemberitahuan arbitrase dari pihak tergugat (Pasal 3(2) Peraturan Arbitrase UNCITRAL). Diputuskan oleh majelis arbitrase, kecuali disepakati lain oleh para pihak (Pasal 16(1) Peraturan Arbitrase UNCITRAL).

Oleh Ketua BANI apabila para pihak tidak mengadakan penunjukan (Pasal 10 ayat 2 Tata Tertib BANI). Keputusan BANI tidak dapat diajukan banding, karena keputusan BANI bersifat final dan mengikat para pihak. Keputusan yang bersifat final dan mengikat para pihak (Pasal 32 Tata Tertib BANI) tidak dapat diperbandingkan.

Rekonstruksi Hukum Terhadap Sifat Kemutlakan Putusan Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis yang Berbasis

  • Teori Keadilan Menurut Hans Kelsen
  • Teori Keadilan Menurut Islam

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman juga mengakui adanya penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dengan demikian, kewenangan arbitrase diperoleh berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang diperkuat dengan ketentuan Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman. Kewenangan menjalankan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman.

Mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, masing-masing terdapat 5 (lima) alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Terkait dengan putusan arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis, para pihak diberikan perlindungan melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Keputusan arbitrase sesuai dengan ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak. Badan peradilan di bawah Mahkamah Agung menurut ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain. Peradilan militer menurut Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mempunyai kewenangan untuk menyelidiki, mengadili, dan.

Ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hendaknya direkonstruksi sebagai berikut: Berdasarkan kenyataan tersebut, ketentuan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hendaknya direkonstruksi sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait