• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "KEWENANGAN PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Kewenangan Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan

Nisa Amalina Adlina

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin Jl. Adhyaksa No.2 Kayutangi, Banjarmasin.

Email: amalina.adlina03@gmail.com

Submitted : 15 Mei 2023 Revised : 24 Juni 2023 Accepted : 10 Juli 2023 Published : 17 Juli 2023

Jurnal Al Adl by Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. (CC-BY)

Abstract

The purpose of this research is, first, to find out what are the legal implications of the discrepancy between Article 49 Paragraph (5) Law No. 4 of 2023 concerning the Development of Strengthening the Financial Sector with Article 2 Paragraph (1) Implementing Regulation No. 5 of 2023 concerning Investigation of Criminal Acts in the Financial Services Sector. Second, to find out how to resolve the provisions of the authority to investigate criminal acts in the financial services sector. The research method used in this research is normative research which places law as a system of norms. The data collection technique in this study was to use library research and data analysis with a qualitative descriptive analytical approach. The results of this study indicate that there has been a discrepancy in Article 49 Paragraph (5) Law No. 4 of 2023 concerning the Development of Strengthening the Financial Sector with Article 2 Paragraph (1) Implementing Regulation No. 5 of 2023 concerning Investigation of Criminal Acts in the Financial Services Sector which raises a legal implication, namely the existence of a conflict of norms between law Development of Financial Sector Strengthening with implementing Regulation No. 5 of 2023 concerning Investigation of Criminal Acts in the Financial Services Sector which may have an impact on legal uncertainty. As for completion of provisions on the authority to investigate criminal acts in the financial services sector, namely by applying the right to judicial review to the Constitutional Court that the provisions of Article 49 Paragraph (5) Law Development of Financial Sector Strengthening not in line with Article 30 Paragraph (4) of the 1945 Constitution so that this is a way out to resolve the conflict of norms that occurs between law Development of Financial Sector Strengthening with Implementing Regulation No. 5 of 2023 concerning Investigation of Criminal Acts in the Financial Services Sector.

Keywords: Investigation; Financial Services Sector; OJK.

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah pertama, untuk mengetahui apa implikasi hukum atas ketidaksinkronan antara Pasal 49 Ayat (5) UU No. 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Penguatan Sektor Keuangan dengan Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 Tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan. Kedua, untuk mengetahui bagaimana penyelesaian terhadap ketentuan kewenangan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif yang meletakan hukum sebagai sistem norma. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian kepustakaan dan analisis data bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa telah terjadi ketidaksinkronan pada Pasal 49 Ayat (5) UU No. 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Penguatan Sektor Keuangan dengan Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 Tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan yang menimbulkan suatu implikasi hukum, yaitu adanya konflik norma antara UU PPSK dengan PP No. 5 Tahun 2023 Tentang

(2)

Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan yang dapat berdampak terhadap ketidakpastian hukum.

Adapun Penyelesaian terhadap ketentuan kewenangan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan, yaitu dengan cara mengajukan permohonan hak uji materiil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi bahwa ketentuan pada Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK tidak sejalan dengan Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 sehingga dengan hal tersebut merupakan jalan keluar agar dapat menyelesaikan konflik norma yang terjadi antara UU PPSK dengan PP No. 5 Tahun 2023 Tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan.

Kata kunci: Penyidikan; Sektor Jasa Keuangan; OJK; POLRI

PENDAHULUAN

Dalam rangka mengoptimalkan sektor keuangan di Indonesia, pemerintah telah mengesahkan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau disingkat dengan UU PPSK. UU PPSK sendiri merupakan Omnibus law keuangan yang salah satunya merubah UU OJK terdahulu, yaitu UU No. 21 Tahun 2011. Salah satu isi pasal dalam UU PPSK yang berkaitan dengan OJK, yaitu memberikan kewenangan kepada OJK untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. Memang sebelumnya pada UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK telah memberikan kewenangan kepada OJK untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang singkat cerita kewenangan penyidikan tersebut sempat dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum tepatnya pada Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK No. 21 Tahun 2011, yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan penyidikan OJK tersebut kemudian dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 102/PUU-XVI/2018 yang pada akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) karena permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Dalam pertimbangannya MK berkesimpulan bahwa kewenangan penyidikan OJK yang merupakan inti dari dalil para Pemohon adalah konstitusional sepanjang dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian, maka dalil para Pemohon selain dan selebihnya oleh karena tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Berbicara mengenai kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK ini, dengan disahkan nya UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), khususnya menyoroti Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK, telah memberikan kewenangan penuh kepada OJK untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang menyatakan bahwa : ”Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan”. Seketika dengan adanya pasal tersebut OJK selain sebagai pengatur dan pengawas juga telah diberi kewenangan

(3)

tunggal dalam melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan sehingga lembaga POLRI dinilai tidak berwenang dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan, maka Pasal tersebut dinilai tidak relevan dengan KUHAP, karena pada dasarnya menurut Pasal 6 Ayat (1) KUHAP yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan adalah penyidik pada lembaga POLRI, kemudian diluar itu ada yang namanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu. Selanjutnya penyidik pegawai negeri sipil tertentu dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik pada lembaga POLRI sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 Ayat (2) KUHAP.

Tidak berselang lama setelah di sahkannya UU No. 4 Tahun 2023 tentang PPSK, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk memperjelas pelaksanaan aturan yang berkenaan dengan penyidikan OJK dalam UU tersebut, maka dikelurkan PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Dikaitkan dengan kewenangan penyidikan yang sepenuhnya dimiliki oleh OJK pada Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK maka pada Peraturan Pemerintah tersebut khusunya Pasal 2 Ayat (1) menyatakan sebaliknya, yang mana berbunyi :

(1). Penyidik Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan terdiri atas:

a. Pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b. Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.

Berdasarkan uraian pasal diatas dinilai telah mengembalikan kewenangan lembaga POLRI dalam melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan karena pasal tersebut menyatakan kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan dapat dilakukan oleh lembaga POLRI dan OJK.

Dilihat dari posisinya atau hierarkinya bahwa secara yuridis Peraturan Pemerintah kedudukannya lebih rendah daripada UU karena pada dasarnya Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksana dari undang-undang yang muatan materinya untuk melaksanakan undang-undang yang bersangkutan sebagaimana mestinya dengan tidak menyimpangi materi dari undang-undang yang bersangkutan. Sehingga walaupun dengan adanya Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan, akan tetapi sulit untuk mengindahkan Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK yang memberikan kewenangan tunggal kepada OJK untuk melakukan penyidikan tindak pidana sektor jasa keuangan. Dengan demikian terlihat ketidaksinkronan antara kedua norma pasal tersebut.

(4)

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk merumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut:

1. Apa implikasi hukum atas ketidaksinkronan Pasal 49 Ayat (5) UU No. 4 Tahun 23 Tentang PPSK dengan Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 tentang penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan?

2. Bagaimana penyelesaian terhadap ketentuan kewenangan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan?

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian normatif (normative legal research), pelaksanaan penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan menggunakan inventarisasi hukum positif, pelaksanaan asal-asal hukum dan kaidah dari peraturan perundang-undangan serta doktrin hukum, penelitian normatif adalah penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sistem norma.1

Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian doktrinal (doctrinal research) berkenaan dengan ketidaksinkronan norma Pasal 49 Ayat (5) UU No. 4 Tahun 2023 Tentang PPSK dihubungkan dengan Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 Tentang penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer berupa Peraturan Perundang- undangan, bahan hukum sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dihimpun dengan cara studi kepustakaan, bahan yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang dikelompokkan sesuai dengan kepentingannya. Setelah semua bahan hukum terkumpul, bahan-bahan hukum tersebut kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan, penandaan, penyusunan, sistematisasi berdasarkan permasalahan yang di bahas kemudian dianalisis berdasarkan hal-hal yang bersifat umum (deduksi) lalu kemudian dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat khusus (induksi) sehingga diperoleh informasi yang sebenarnya untuk selanjurnya disusun secara sistematik.

1 Mukti Fajar ND Dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Hukum Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 34.

(5)

PEMBAHASAN

Implikasi Hukum Atas Ketidaksinkronan Pasal 49 Ayat (5) UU No. 4 Tahun 23 Tentang PPSK Dengan Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 Tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan

OJK atau dikenal sebagai Otoritas Jasa Keuangan merupakan Lembaga negara yang independen yang dibentuk berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.2 Lahirnya OJK melalui UU No. 21 Tahun 2011 Tentang OJK merupakan amanat dari Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.3 OJK merupakan lembaga negara yang mempunyai kewenangan yang sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan jasa keuangan di Indonesia4 yang diperlukan untuk mengatur dan mengawasi akan potensi terjadinya pelanggaran (moral hazard) yang terjadi dalam sistem keuangan di Indonesia.5 OJK dalam pengoperasiannya tidak dapat terlepas dari tuntutan praktik pelaksanaan tata kelola lembaga atau perusahaan yang baik (Good Corporate Governance (GCG) ).6 Tuntutan tersebut diakibatkan karena banyaknya jasa keuangan yang beroperasi tanpa mengantongi izin. 7

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, wewenang yang dimiliki oleh OJK selain pengaturan, pengawasan dan pemeriksaan, juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan yang disebutkan pada Pasal 1 Angka 1 UU OJK, yaitu:

2OJK. FAQ Otoritas Jasa Keuangan. https://www.ojk.go.id/id/pages/faq-otoritas-jasa- keuangan.aspx#:~:text=Otoritas%20Jasa%20Keuangan%20(OJK)%20adalah,modal%2C%20dan%20sektor%20 jasa%20keuangan. Diakses pada tanggal 15/02/2023.

3Meirinaldi dan Sudijo. Peran Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Sistem Keuangan Di Indonesia. 2015. Artikel Dalam “Jurnal Ekonomi”. No. 2. Vol. 17, hlm. 144.

4Annisa Arifka Sari. Peran Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Jasa Keuangan Di Indonesia.

2018. Artikel Dalam “Supremasi Jurnal Hukum”. No. 1. Vol. 1, hlm. 33.

5Muhammad Fakhri Amir. Peran Dan Fungssi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Sistem Keuangan Di Indonesia (Perspektif Hukum Islam). 2020. Artikel Dalam “AL-Amwal : Journal of Islamic Economy Law”.

No. 1. Vol. 5, hlm. 66.

6Melia Agustina Tertius dan Yulius Jogi Christiawan. Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Kinerja Perusahaan pada Sektor Keuangan. 2015. Artikel dalam “Business Accounting Review”. No. 1. Vol. 3, hlm. 223.

7Nabilah Farah Diba, Hari Sutra Disemadi dan Paramita Prananingtyas. Kebijakan Tata Kelola Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Di Indonesia. 2019. Artikel dalam “Jurnal Penelitian Hukum dan Pendidikan”. No. 18.

Vol. 2, hlm. 869.

(6)

Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini.

Selanjutnya kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK juga dinyatakan pada Pasal 9 huruf c, yaitu :

Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

Berdasarkan kedua pasal diatas maka OJK telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan. Kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK seperti penyidikan terhadap semua tindak pidana yang berkaitan dengan jasa keuangan seperti diatur dalam sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan.8

Penyidikan pada dasarnya merupakan serangkaian kegiatan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.9 Bahwa dalam hal ini kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK terdiri atas:10

a. Menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;

b. Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;

c. Melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;

d. Memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;

8Serlika Aprita. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Melakukan Penyidikan: Analisis Pasal 9 Huruf C Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2021. Artikel dalam “Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi”. No. 21. Vol. 2, hlm. 556.

9 M. Yahya Harahap. 2014. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika, hlm 109.

10Bambang Murdadi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawas Lembaga Keuangan Yang Memiliki Kewenangan Penyidikan. 2012. Artikel dalam “Jurnal Unimus”. No. 2. Vol. 8, hlm. 40-41.

(7)

e. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;

f. Melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap

g. Meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi;

h. Dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

i. Meminta bantuan aparat penegak hukum lain;

j. Meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

k. Memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;

l. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan; dan

m. Menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan.

Penyidikan sendiri bertujuan untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan memberikan pembuktian-pembuktian mengenai masalah yang telah dilakukannya. Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun keterangan dengan fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu. 11

Disamping itu bahwa wewenang penyidikan OJK meliputi antara lain, yaitu dapat langsung menggeledah dan menyita dokumen yang diperlukan serta menemukan, menangkap dan menahan tersangka. Namun mengingat OJK adalah lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri, dimana pegawainya bukan termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka apabila OJK melakukan penyidikan harus menggunakan kerja sama dengan PNS yang memiliki hak untuk melakukan penyidikan atau dengan POLRI. Hal ini juga membawa konsekuensi penyediaan anggaran OJK untuk keperluan ini.12 Selanjutnya wewenang untuk melakukan penyidikan yang dimiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu dinyatakan pada Pasal 49 Ayat (1) UU OJK, yaitu :

“Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Hukum Acara Pidana”.

11 M. Husein Harun. 1991. Penyidik Dan Penuntut Dalam Proses Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 58.

12Bambang Murdadi. Loc. cit.

(8)

Jadi diketahui bahwa OJK telah memiliki kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan berdasarkan UU No. 21 tahun 2011 Tentang OJK yang terdiri atas Penyidik Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP.

Kemudian muncul UU No. 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang merupakan omnibus law keuangan. Berbicara mengenai Omnibus law sendiri pada dasarnya merupakan undang-undang yang substansinya merevisi dan/atau mencabut banyak undang-undang, yang mana konsep dari omnibus law ini berkembang di negara-negara common law dengan sistem hukum anglo saxon seperti Amerika Serikat, Belgia, Inggris dan Kanada. Konsep omnibus law menawarkan pembenahan permasalahan yang disebabkan karena peraturan yang terlalu banyak (over regulasi) dan tumpang tindih (overlapping).13 Sehingga omnibus law dijadikan solusi untuk mengatasi permasalahan negara yang mengalami benturan kepentingan, benturan kekuasaan serta benturan antara produk hukum yang diciptakan oleh para pejabat yang berwenang14. Dalam hal ini khususnya menyoroti Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK yang merupakan omnibus law tersebut, dimaknai telah memberikan kewenangan penuh kepada OJK untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang menyatakan bahwa : “Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan”. Berdasarkan Pasal tersebut maka OJK secara mutlak telah diberi kewenangan penuh atau tunggal dalam melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan dan artinya mulai dari pengawasan hingga penyidikan sektor keuangan, satu- satunya hanya OJK yang dapat melaksanakannya sehingga bunyi Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK tersebut ditafsirkan bahwa lembaga POLRI tidak berwenang melaksanakan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Apabila dicermati maka hal ini tidak sejalan dengan KUHAP yang merupakan landasan utama dalam melakukan penyidikan. Apabila melihat dari ketentuan umum Pasal 1 angka 1 KUHAP menyatakan bahwa Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

13Antoni Putra. Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi. 2020. Artikel dalam

“Jurnal Legislasi Indonesia”. No. 1. Vol. 17, hlm. 2.

14Hassanain Haykal, Desmon Tiopan dan Theo Negoro. Penerapan Metode Omnibuslaw Dikaitkan Teori Kemanfaatan Hukum Dalam Permasalahan Legislasi Lingkungan Hidup. 2021. Artikel dalam “Jurnal Ilmu Hukum”. No. 1. Vol. 5, hlm. 38.

(9)

Selanjutnya dalam Pasal 6 Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa Penyidik adalah:

a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;

b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang.

Perihal kewenangan penyidikan oleh pegawai negeri sipil kemudian dipertegas pada Pasal 7 Ayat (2) yang menyatakan bahwa:

“Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a”.

Sudah jelas bahwa di dalam KUHAP selaku lex generalis hanya mengenal penyidik pada lembaga POLRI serta Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dalam melakukan penyidikan yang mana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik pada lembaga POLRI. Sehingga dengan Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK yang dimaknai bahwa OJK sebagai penyidik tunggal dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan sudah jelas tidak sesuai dengan KUHAP. UU PPSK sendiri dinilai merupakan ranah hukum administrasi, independensi dari OJK padahal tidak dapat juga dimaknai berdiri sendiri, seharusnya lembaga POLRI tetap diberikan kewenangan penyidikan sehingga dapat menghindari yang namanya konflik kepentingan. Kewenangan tunggal OJK dalam melakukan penyidikan tersebut juga dinilai rawan menimbulkan terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan menimbulkan tindak pidana korupsi seperti suap menyuap dan jual beli perkara, juga dikhawatirkan OJK akan tebang pilih kasus dalam melakukan penyidikan. Apalagi dalam hal penyidikan karena selama proses beracaranya masih megacu kepada KUHAP, sehingga harus tetap tunduk dan patuh pada KUHAP apalagi dalam pengaturan menganai kewenangan penyidikan yang diatur dalam Pasal 6 KUHAP.

Tidak berselang lama setelah pemerintah mengesahkan UU PPSK, maka dalam rangka memperjelas dari pelaksanaan UU PPSK tersebut yang berkaitan dengan penyidikan maka pemerintah mengeluarkan PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Berkaitan dengan hal ini bahwa pada Pasal 2 Ayat (1) pada PP tersebut ternyata memperluas lembaga yang berwenang melaksanakan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan, yakni Penyidik Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan terdiri atas:

a. Pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

(10)

b. Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.

Selanjutnya di Pasal 2 Ayat (2) PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan menyatakan bahwa penyidik OJK pada Pasal 2 Ayat (1) huruf b berasal dari pejabat penyidik POLRI, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu, dan pejabat tertentu yang diberikan wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.

Dalam hal ini berfokus pada Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan, maka apabila dicermati lagi dalam pada pasal tersebut maka diartikan telah mengembalikan kewenangan lembaga POLRI dalam melaksanakan penyidikan tersebut. Berdasarkan konsideran dari PP tersebut dikeluarkan dengan menimbang bahwa untuk mendukung sinergi antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan OJK dalam pengekan hukum di sektor jasa keuangan, serta untuk melaksanakan ketentuan salah satunya Pasal 49 UU PPSK.

Pernyataan pada Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan apabila dikaitkan dengan Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK maka terdapat perbedaan. Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK memberi kewenangan tunggal kepada OJK melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Dalam Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK bahwa

Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan”. Pada pasal tersebut terdapat frasa “hanya dapat”. Apabila melihat arti kata “hanya” yang menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengandung arti

“cuma, tak lebih dari, tak terkecuali” sedangkan kata “dapat” sendiri menurut KBBI, yakni mengandung arti “mampu, bisa, sanggup”. Sehingga menurut hemat penulis bahwa hal tersebut menjadikan suatu permasalahan karena frasa “hanya dapat” dalam Pasal tersebut diartikan telah mutlak memberikan kewenangan tunggal atau penuh kepada OJK dalam melaksanakan penyidikan.

Apabila melihat dari tata urutan perundang-undangan, sudah jelas bahwa kedudukan undang-undang lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan pemerintah. Menurut Hans Kelsen dalam teori jenjang norma hukum yang menyatakan bahwa hukum itu berjenjang- jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan).15 Menurut Undang-Undang No.

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Pasal 7 bahwa

15 Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.

Yogyakarta: Kansius, hlm. 41.

(11)

peraturan pemerintah berada dibawah undang-undang/peraturan pemerintah penggati undang- undang. Dalam hal ini jelas bahwa Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan kedudukannya berada di bawah UU PPSK, sehingga sulit untuk melupakan keberadaan Pasal 49 Ayat (5) dalam UU PPSK.

Jadi dalam hal ini telah terjadi ketidaksinkronan antara Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK dengan Pasal Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Sehingga menurut penulis menimbulkan suatu implikasi hukum, yaitu adanya konflik norma antara UU PPSK dengan PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan yang dapat berdampak terhadap ketidakpastian hukum.

Penyelesaian Terhadap Ketentuan Kewenangan Penyidikan Atas Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan

Indonesia sendiri merupakan negara hukum yang dinyatakan pada Pasal 1 Ayat (3) amandemen UUD RI 1945 dan untuk mempermudah dalam pelaksanaan aspek kegiatan berbangsa dan bernegara maka dibuatlah peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sendiri merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum.16 Sistem hukum di Indonesia lebih mengarah kepada civil law atau Eropa kontinental yang lebih mengutamakan hukum tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan dalam pelaksanaan kegiatan berbangsa dan bernegara sehingga peraturan perundang- undangan merupakan sendi utama dalam sistem hukum nasional17 yang diharapkan untuk mencapai suatu kesejahteraan.

Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

16Sopiani dan Zainal Mubaroq. Politik Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasca Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

2020. Artikel dalam “Jurnal Legislasi Indonesia”. No. 2. Vol. 17, hlm. 147.

17 Rokilah. The Role Of The Regulations In Indonesia State System. 2020. Artikel Dalam “Ajudikasi:

Jurnal Ilmu Hukum”. No. 1. Vol. 4, hlm. 35.

(12)

Dalam peraturan perundang-undangan terdapat yang namanya jenis dan hierarki atau kedudukan dalam perundang-undangan. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Hierarki atau kedudukan peraturan perundang-undangan merupakan kesistematisan peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi hingga terendah. Peraturan yang lebih tinggi menjadi sumber serta dasar peraturan-peraturan yang berada dibawahnya. Peraturan- peraturan tersebut tidak boleh bertolak belakang dengan peraturan di atasnya. Seluruh peraturan perundang-undangan tidak boleh bertolak belakang dengan konstitusi RI (UUD 1945) merupakan konsekuensi besar menganut supremacy of constitution. Dalam teori Hans Kelsen, yaitu ‘stufenbau theory’, hukum positif dikonstruksi memiliki tingkatan serta berlapis-lapis, peraturan yang tinggi adalah sumber dari peraturan yang lebih renah dan harus sejalan atau tidak boleh bertentangan.18 Hal tersebut agar menghindari tumpang tindih antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya yang dapat menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan aspek kegiatan berbangsa dan bernegara.

Hukum pada dasarnya bertugas untuk memberikan kepastian hukum karena bertujuan menciptakan ketertiban masyarakat. Disisi lain, masyarakat mengharapkan manfaat dalam penegakan hukum.19 Jadi hukum untuk manusia, maka penegakan hukum harus memberikan manfaat, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.20

Dengan semakin banyak peraturan perundang-undangan yang telah dibuat di Indonesia maka tidak sedikit menimbulkan disharmonisasi dalam peraturan perundang- undangan. Disharmonisasi yang dimaksud dalam hal ini yaitu konflik norma. Pada kenyataannya sering ditemui persoalan konflik norma yang mana terdapat dua atau lebih

18Evi Hastuti, Fence Wantu dan Lusiana Margareth Tijow. Penyelesaian Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan Melalui Mediasi . 2020. Artikel dalam “Gorontalo Law Review”. No. 2. Vol. 3. Hlm, 139.

19Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, hlm. 37.

20 Winda Wijayanti. Eksistensi Undang-Undang Sebagai Produk Hukum Dalam Pemenuhan Keadilan Bagi Rakyat (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-X/2012). 2013. Artikel Dalam “Jurnal Konstitusi”. No. 1. Vol. 10, hlm. 189.

(13)

norma hukum yang saling bertentangan satu sama lain dalam pengaturan yang sama. Hal demikian dapat berdampak terhadap pengabaian atau pelanggaran terhadap norma lainnya yang berada dalam pengaturan yang sama.

Konflik norma dapat terjadi antara peraturan yang lebih rendah dan peraturan yang lebih tinggi (vertikal), antar peraturan yang sederajat (horizontal), atau bahkan antar norma dalam satu instrumen pengaturan itu sendiri (internal).21 Ketidakselarasan atau konflik norma tersebut baik secara vertikal atau horizontal dilihat dengan mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Maka dari itu dalam rangka pengharmonisasian perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu harmonisasi horizontal dan harmonisasi vertikal.

Konflik norma terjadi apabila dalam satu objek pengaturan terdapat dua norma yang saling bertentangan sehingga terhadap objek pengaturan tersebut hanya dapat diterapkan salah satu norma saja dan mengakibatkan norma lainnya harus dikesampingkan. Terkait hal ini, dikenal juga istilah tumpang tindih pengaturan, yaitu kondisi dimana suatu pengaturan diatur dalam dua peraturan yang berbeda. Kondisi tumpang tindih ini pada dasarnya tidak terlalu menjadi masalah dalam penerapannya jika pengaturan tersebut tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Namun demikian, pengaturan yang tumpang tindih sedapat mungkin harus dihindari. 22

Berkaitan dengan hal ini, implikasi dari adanya inkonsistensi dari peraturan perundang-undangan, antara lain:23

1. Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya;

2. Timbulnya ketidakpastian hukum;

3. Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien;

4. Disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.

21 Nurfaqih Irfani. Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum. 2020. Artikel dalam “Jurnal Legislasi Indonesia”.

No. 3. Vol. 16. hlm, 306.

22I.C. van der Vlies. 2005. Handboek Wetgeving. Diterjemahkan oleh Linus Doludjawa, Jakarta:

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, hlm. 225.

23Kadek Widya Antari, Ratna Artha Windari, Dewa Gede Sudika Mangku. Tinjauan Yuridis Mengenai Antynomy Normen (Konflik Norma) Antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar- Dasar Pokok Agraria Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terkait Jangka Waktu Perolehan Hak Atas Tanah. 2019. Artikel dalam “e-Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Ilmu Hukum”. No. 2. Vol. 2. hlm, 93-94.

(14)

Sebenarnya ada 3 (tiga) cara dalam mengatasi disharmonisasi peraturan perundang- undangan, yaitu sebagai berikut:24

1. Mengubah/mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmoni atau seluruh pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, oleh lembaga/instansi yang berwenang membentuknya;

2. Mengajukan permohonan uji materil kepada lembaga yudikatif sebagai berikut;

a. Untuk pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar kepada Mahkamah Konsitusi;

b. Untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Agung.

3. Menerapkan asas hukum.

Salah satu cara yang dilakukan dalam mengatasi persoalan konflik norma adalah dengan menerapkan asas konflik norma, yaitu asas lex superior derogat legi inferiori, lex posterior derogat legi priori, dan lex specialis derogat legi generali.25

Pertama, asas lex superior derogat legi inferiori yang bermakna undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih tinggi meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih rendah. Kedua, asas lex posterior derogat legi priori bermakna undang-undang (norma/aturan hukum) yang baru meniadakan keberlakuan undang- undang (norma/aturan hukum) yang lama. Asas ini hanya dapat diterapkan dalam kondisi norma hukum yang baru memiliki kedudukan yang sederajat atau lebih tinggi dari norma hukum yang lama. Kemudian asas yang terakhir atau ketiga, asas lex specialis derogat legi generali bermakna undang-undang (norma/aturan hukum) yang khusus meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/ aturan hukum) yang umum.26

Disamping itu cara yang lazim digunakan dalam mengatasi persoalan konflik norma adalah dengan jalur konstitusional, yaitu :

1. Judicial review atau hak uji materiil yang dimiliki oleh lembaga yudikatif guna melakukan proses pengujian terhadap peraturan perundang-undangan sebagai objeknya untuk menilai apakah aturan itu bertentangan atau tidak terhadap aturan yang lebih tinggi hierarkinya.27 Lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal ini adalah

24 Ibid.

25 Nurfaqih Irfani. Loc. cit.

26 Ibid, hlm, 311-313.

27Virginia Usfunan. Pengaturan Tentang Penyelesaian Konflik Norma Antara Peraturan Menteri Terhadap Undang-Undang. 2020. Artikel dalam “Jurnal Kertha Semaya”. No. 8. Vol. 8, hlm. 1198

(15)

pertama, Mahkamah Agung yang berwenang untuk menguji peraturan perundang- undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dan kedua, Mahkamah Konstitusi yang berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

2. Executive review yakni pengujian atau peninjauan atas peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif sendiri tanpa dimintakan judicial review kelembaga yudisial karena ada kekeliruan atau kebutuhan baru untuk meninjaunya.28

3. Legislative review, merupakan alternatif terhadap pengujian peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah melalui Depdagri adalah dengan menggunakan legislative review, dimana DPR dan DPRD dalam fungsi legislasinya melakukan pengawasan terhadap produk hukum sehingga sebelum sebuah produk hukum ditetapkan seharusnya terlebih dahulu melewati proses kajian legislasi.

Jika produk hukum itu sesuai dengan konstitusi, maka dapat di sahkan dan di undangkan, bila tidak maka tidak boleh disahkan. 29

Sebelum dikeluarkannya UU PPSK yang merupakan omnibus law keuangan dimana salah satu Pasal didalamnya memberi kewenangan tunggal OJK dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan, OJK sendiri telah diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU OJK terdahulu, yaitu UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Apabila dicermati bahwa antara UU OJK yang terdahulu dengan PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama tidak memberikan kewenangan tunggal kepada OJK dalam melaksanakan penyidikan sehingga kedua aturan tersebut sejalan perihal ini. Sejauh UU OJK terdahulu sejak diundangkan hingga sebelum keluarnya UU PPSK ini khususnya pengaturan tentang kewenangan penyidikan nyatanya telah berlaku efektif hingga muncul UU PPSK dalam ketentuan Pasal 49 Ayat (5) yang dapat menimbulkan suatu permasalahan.

Konflik norma yang terjadi diantara ketentuan UU PPSK dengan PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan, merupakan konflik norma vertikal, yaitu konflik norma yang terjadi antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah. Dalam mengatasi hal tersebut apabila menggunakan asas preferensi hukum dengan menggunakan asas lex superior derogat legi inferiori karena asas ini berarti peraturan yang derajatnya lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah, dalam kasus ini yang

28 Evi Hastuti, Fence Wantu dan Lusiana Margareth Tijow. Op. cit, hlm. 144.

29 Ibid.

(16)

bertentangan memiliki hierarki atau derajat yang berbeda yaitu Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.

Pada dasarnya Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dasar konstitusional dari pembentukan PP tercantum dalam Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Oleh karena itu jika melihat kedudukan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan maka materi muatan PP adalah materi untuk menjalankan undang- undang sebagai mestinya atau dikatakan bahwa kedudukan PP berada dibawah UU.

Akan tetapi, dengan menerapkan asas lex superior derogat legi inferiori dalam konflik norma pada UU PPSK dengan PP No. 5 Tahun 2023 terkait dengan kewenangan penyidikan di sektor jasa keuangan maka berdasarkan asas tersebut yang digunakan adalah UU PPSK.

Sebagai konsekuensinya PP No. 5 Tahun 2023 harus dikesampingkan.

Namun melihat ketentuan pada Pasal 49 Ayat (5) dalam UU PPSK yang memberikan kewenangan tunggal kepada OJK dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dinilai tidak sejalan dengan Pasal 6 KUHAP dan hal ini ditinjau dari dasar konstitusional tentu tidak sejalan dengan UUD 1945. Sedangkan UU OJK terdahulu dengan PP No. 5 Tahun 2023 yang sama-sama tidak memberikan kewenangan tunggal OJK melakukan penyidikan nyatanya sejalan dengan UUD 1945. Dalam hal ini menurut Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa POLRI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Salah satu tugas POLRI berdasarkan Pasal tersebut, yaitu menegakkan hukum diartikan disini adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana.

Melihat dari dasar konstitusional maka disini UU PPSK dinilai tidak sejalan dengan UUD 1945. Sedangakan PP No. 5 Tahun 2023 yang kedudukannya dibawah UU PPSK yang memberikan kewenangan kepada Lembaga POLRI melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan justru sejalan dengan UUD 1945. Maka seyogyanya penyelesaian ini perlu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal menguji UU PPSK terhadap UUD 1945 yang kewenangannya dalam menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar sebagaimana tercantum pada Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 9 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2022 tentang perubahan kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

(17)

Agar Lembaga POLRI menjadi penyidik tindak pidana di sektor jasa keuangan, maka dengan mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi bahwa ketentuan Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK tidak sejalan dengan Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 sehingga Pasal 49 Ayat (5) tersebut harus dibatalkan. Jika Pasal 49 Ayat (5) ini dibatalkan, maka kewenangan penyidik pejabat Kepolisian di Lembaga POLRI pulih kembali seperti sebelum adanya UU PPSK.30 Sehingga dengan hal tersebut menurut penulis merupakan jalan keluar agar menyelesaikan konflik norma yang terjadi antara UU PPSK dengan PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan.

PENUTUP Kesimpulan

1. Implikasi hukum atas ketidaksinkronan Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK dengan Pasal Pasal 2 Ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan, yaitu menimbulkan konflik norma antara UU PPSK dengan PP No. 5 Tahun 2023 yang dapat berdampak terhadap ketidakpastian hukum.

2. Penyelesaian terhadap ketentuan kewenangan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan dengan mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi bahwa ketentuan Pasal 49 Ayat (5) UU PPSK tidak sejalan dengan Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 sehingga dengan hal tersebut merupakan jalan keluar agar menyelesaikan konflik norma yang terjadi antara UU PPSK dengan PP No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan.

Saran

1. Penulis memberikan saran bahwa dalam membentuk suatu peraturan perundang- undangan dalam hal ini UU PPSK yang berkaitan dengan penyidikan terhadap tindak pidana sektor keuangan dan jasa, pembuat undang-undang agar mengkaji lebih dalam dengan peraturan yang memiliki relevansi dengan peraturan yang akan dibentuk, yaitu KUHAP (lex generalis) dan bahkan dengan aturan yang memiliki kedudukan paling tinggi, yaitu UUD 1945 agar konflik dalam suatu norma dapat diminimalisir atau dicegah.

30Yunus Husein. 2023. Batalkah Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Penyidik Tunggal?.

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/12/batalkah-otoritas-jasa-keuangan-sebagai-penyidik-tunggal.

Diakses pada tanggal 17/02/2023.

(18)

2. Bahwa perlu mengembalikan kewenangan penyidikan Lembaga POLRI berdasarkan dasar konstitusional, yaitu UUD 1945 dan sesuai dengan KUHAP selama proses beracaranya masih mengacu kepada KUHAP (lex generalis).

DAFTAR PUSTAKA Buku

Achmad, Yulianto Mukti Fajar ND Dan. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Hukum Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harahap, M. Yahya. 2014. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Jakarta:

Sinar Grafika

Harun, M. Husein. 1991. Penyidik Dan Penuntut Dalam Proses Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Indrati S, Maria Farida. 2007. Ilmu perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.

Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Vlies, I.C. van der. 2005. Handboek Wetgeving. Diterjemahkan oleh Linus Doludjawa, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan.

(19)

Jurnal

Amir, Fakhri Muhammad. Peran Dan Fungssi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Sistem Keuangan Di Indonesia (Perspektif Hukum Islam). 2020. Artikel Dalam “AL- Amwal : Journal of Islamic Economy Law”. No. 1. Vol. 5.

Aprita, Serlika. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Melakukan Penyidikan: Analisis Pasal 9 Huruf C Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2021. Artikel dalam “Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi”.

No. 21. Vol. 2.

Christiawan, Yulius Jogi dan Melia Agustina Tertius. Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Kinerja Perusahaan pada Sektor Keuangan. 2015. Artikel dalam

Business Accounting Review”. No. 1. Vol. 3.

Irfani, Nurfaqih. Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum.

2020. Artikel dalam “Jurnal Legislasi Indonesia”. No. 3. Vol. 16.

Mangku, Dewa Gede Sudika, Kadek Widya Antari dan Ratna Artha Windari. Tinjauan Yuridis Mengenai Antynomy Normen (Konflik Norma) Antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terkait Jangka Waktu Perolehan Hak Atas Tanah. 2019. Artikel dalam “e-Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Ilmu Hukum”. No.

2. Vol. 2.

Meirinaldi dan Sudijo. Peran Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Sistem Keuangan Di Indonesia. 2015. Artikel Dalam “Jurnal Ekonomi”. No. 2. Vol. 17 Murdadi, Bambang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawas Lembaga Keuangan Yang

Memiliki Kewenangan Penyidikan. 2012. Artikel dalam “Jurnal Unimus”. No. 2.

Vol. 8.

Negoro, Theo, Hassanain Haykal dan Desmon Tiopan. Penerapan Metode Omnibuslaw Dikaitkan Teori Kemanfaatan Hukum Dalam Permasalahan Legislasi Lingkungan Hidup. 2021. Artikel dalam “Jurnal Ilmu Hukum”. No. 1. Vol. 5.

Prananingtyas, Paramita, Nabilah Farah Diba dan Hari Sutra Disemadi. Kebijakan Tata Kelola Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Di Indonesia. 2019. Artikel dalam “Jurnal Penelitian Hukum dan Pendidikan”. No. 18. Vol. 2.

Putra, Antoni. Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi. 2020. Artikel dalam “Jurnal Legislasi Indonesia”. No. 1. Vol. 17.

Rokilah. The Role Of The Regulations In Indonesia State System. 2020. Artikel Dalam

“Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum”. No. 1. Vol. 4,

Sari, Annisa Arifka. Peran Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Jasa Keuangan Di Indonesia. 2018. Artikel Dalam “Supremasi Jurnal Hukum”. No. 1. Vol. 1

(20)

Mubaroq, Zainal dan Sopiani. Politik Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasca Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 2020. Artikel dalam “Jurnal Legislasi Indonesia”. No. 2. Vol. 17.

Tijow, Lusiana Margareth, Evi Hastuti dan Fence Wantu. Penyelesaian Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan Melalui Mediasi . 2020. Artikel dalam

“Gorontalo Law Review”. No. 2. Vol. 3.

Usfunan, Virginia. Pengaturan Tentang Penyelesaian Konflik Norma Antara Peraturan Menteri Terhadap Undang-Undang. 2020. Artikel dalam “Jurnal Kertha Semaya”. No. 8. Vol. 8.

Wijayanti, Winda. Eksistensi Undang-Undang Sebagai Produk Hukum Dalam Pemenuhan Keadilan Bagi Rakyat (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU- X/2012). 2013. Artikel Dalam “Jurnal Konstitusi”. No. 1. Vol. 10.

Internet

Husein , Yunus. 2023. Batalkah Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Penyidik Tunggal?.

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/12/batalkah-otoritas-jasa-keuangan- sebagai-penyidik-tunggal. Diakses pada tanggal 17/02/2023.

OJK. FAQ Otoritas Jasa Keuangan. https://www.ojk.go.id/id/pages/faq-otoritas-jasa- keuangan.aspx#:~:text=Otoritas%20Jasa%20Keuangan%20(OJK)%20adalah,mod al%2C%20dan%20sektor%20jasa%20keuangan. Diakses pada tanggal 15/02/2023.

Referensi

Dokumen terkait

Shahin, M.A., Jaksa, M.B., and Maier, H.R.2001, Artificial Neural Network Application IN Geotechnical Engineering, Australian Geomechanics, pp.49-62 Shahin, M.A., Jaksa, M.B., and