• Tidak ada hasil yang ditemukan

Key word: water management, law, traditional wisdom

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Key word: water management, law, traditional wisdom"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Latar Belakang

Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi manusia . Sebagai sumber daya, air dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia seperti sumber air minum, perumahan, irigasi, peternakan, perikanan, pembangkit listrik, transportasi, industri dan sebagai tempat rekreasi .1 Pemanfaatan air sebagai sumber daya bagi beberapa kepentingan yang berbeda menimbulkan konflik kepentingan, misalnya perebutan air untuk irigasi dan kegiatan industri . Di sisi lain, pembangunan yang dilakukan di wilayah-wilayah tempat penyimpanan air menyebabkan ekosistem terganggu dan mengancam ketersediaan air di wilayah tersebut . Agar kondisi ini tidak semakin parah, pengelolaan sumber daya air perlu dilaksanakan secara berkelanjutan .

Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air . Arah pembangunan pengelolaan sumber daya air diarahkan untuk menjamin keberlanjutan daya dukungnya dengan menjaga kelestarian fungsi daerah tangkapan air dan keberadaan air tanah; mewujudkan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan melalui pendekatan

demand management yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan dan konsumsi air dan pendekatan supply management yang ditujukan untuk meningkatan kapasitas dan keandalan pasokan air; serta memperkokoh kelembagaan sumber daya air untuk meningkatkan keterpaduan dan kualitas pelayanan terhadap masyarakat .2

Pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia dilakukan dengan pendekatan pengelolaan sumber daya air secara terpadu,3 yaitu proses yang mendorong terciptanya pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, lahan, dan sumber daya lainnya yang terkait secara terkoordinasi sehingga upaya optimalisasi keuntungan ekonomi dan kesejahteraan sosial dapat dicapai secara berkeadilan tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem dalam satu Wilayah Sungai .4 Pendekatan pengelolaan sumber daya air secara terpadu merupakan pengelolaan sumber daya air yang didasari prinsip pembangunan berkelanjutan . Pendekatan ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan sumber daya air . Kebutuhan sumber daya air dilakukan dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan air untuk kehidupan manusia (umumnya dalam bentuk blue water) dan kebutuhan air untuk ekosistem (green water) . Sementara pasokan sumber daya air, dicapai

1 Nadia Astriani, “Mengatur Sumber Daya Air secara Adil dan Berkelanjutan” dalam Nadia Astriani dkk (ed), Sistem Hukum Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan, (Bandung: Logoz Publishing, 2018), hlm 280

2 Lihat Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, hlm 30-60 .

3 Kemenpupera, Profil BBWS Citarum, (Bandung, 2017), hlm . 3

4 Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih aliran sungai dan/

atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2 .000 Km2

(3)

melalui upaya-upaya pengembangan sumber daya air, terutama melalui peningkatan cadangan sumber daya air dan efisiensi pemanfaatan air .5

Pengelolaan sumber daya alam sangat dipengaruhi oleh cara pandang manusia terhadap lingkungannya . Dalam teori ekologi-manusia, hubungan Manusia dengan lingkungannya (sumber daya alamnya) dijelaskan oleh Merchant sebagai suatu hubungan yang terbagi atas tiga paradigma yang mempunyai dasar pemikiran yang berbeda-beda .6 Masyarakat adat mengidentifikasi dirinya sebagai bagian yang terintegrasi dengan alam semesta dalam hubungan yang saling terkait, tergantung dan saling mempengaruhi . Oleh karena ini sangat penting untuk menciptakan hubungan yang selaras, serasi dan seimbang untuk mencapai suasana harmonis antar manusia dengan lingkungannya . Menurut alam pikir masyarakat adat yang bercorak religius magis alam semesta ini dihuni oleh roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangan

struktur, mekanisme dan irama alam .7 Jika perilaku manusia menjadi serakah, merusak keseimbangan alam dan tidak selaras dengan irama alam maka akan terjadi gangguan, ketidakselarasan dan kegoncangan dalam alam semesta dalam bentuk bencana alam, wabah penyakit, banjir, kekeringan dan tanah longsong sebagai wujud kemarahan roh-roh penjaga alam tersebut . Pola pikir seperti ini menimbulkan praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, bertanggung jawab dan berkelanjutan .

Keanekaragaman masyarakat Indonesia termasuk didalamnya adalah masyarakat adat merupakan keniscayaan dan memperkaya kehidupan bangsa Indonesia, termasuk juga mempengaruhi perkembangan dan pembangunan hukum Indonesia . Indonesia menganut pluralisme hukum . Pluralisme hukum diartikan sebagai berlakunya beragam sistem hukum dalam suatu negara/masyarakat, sedangkan secara sempit, pluralisme hukum dianggap ada ketika negara mengakui keberadaan hukum adat atau hukum lokal di

5 Chay Asdak, Kebijakan Nasional Sumber Daya Air Terpadu.(Jakarta: Bappenas, 2015), hlm 7 .

6 Martua Sirait, Chip Fay dan A Kusworo, dalam makalahnya berjudul Bagaimana Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur? (Bogor: ICRAF-SE Asia, 2000), hlm 4-5, menyatakan dalam Paradigma Society in Self (Lingkungan di dalam Diri Sendiri), Masyarakat adat dan masyarakat pendatang lama yang telah hidup bergenerasigenerasi, melihat bahwa dirinya merupakan bagian dalam lingkungan sehingga intinya merupakan lingkungan itu sendiri . Nilai dan norma yang berlaku di masyarakat terbentuk berdasarkan pengalaman hidupnya berinteraksi dengan lingkungannya . Sedangkan dalam Paradigma ini disebut Self in Society (Diri Sendiri di dalam Lingkungan), masyarakat yang terdiri dari beragam etnisitas dan merupakan pendatang baru pada satu tempat, menempatkan dirinya sebagai inti yang sangat menentukan kesejahteraan hidupnya dan melihat lingkungan sebagai sumber daya yang harus di usahakan semaksimal mungkin dengan jumlah yang tak terbatas . Paradigma Self versus Society (Diri Sendiri terhadap Lingkungan) berkembang pada masyarakat modern yang umumnya tinggal diperkotaan . Akibat adanya perkembangan informasi, manusia merubah persepsinya terhadap lingkungannya dimana m demikian pula manusia mempertanyakan kembali nilai dan norma yang berlaku di masyarakat serta hubungannya dengan lingkungan, sehingga terdapat jarak antara dirinya dan lingkungan .

7 I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publishing, 2008), hlm 179

(4)

samping hukum yang dibuat oleh negara .8 Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam mengamanatkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus memberi ruang hidup bagi kebudayaan lokal termasuk kearifan lingkungan dan kemajemukan hukum yang secara nyata hidup dan berkembang dalam masyarakat .

Dalam sejarah pengaturan bidang air di Indonesia,9 regulasi yang pertama kali secara khusus mengatur tentang sumber daya air adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (selanjutnya UU Pengairan 1974), yang kemudian pelaksanaannya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air, Peraturan Pemerintah No . 23 Tahun 1982 tentang Irigasi dan Drainase . Hak masyarakat adat dalam Undang-Undang ini diakui secara terbatas, dimana pada Pasal 3 ayat 2 disebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai negara tetap menghormati hak yang dimiliki masyarakat ada setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional . Dalam penjelasannya disebutkan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui sepanjang hak-hak tersebut pada kenyataannya masih ada dan pelaksanaannya harus sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan yang dicantumkan dalam undang- undang ini dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional . Dengan penjelasan

ini, maka hak masyarakat adat merupakan pelengkap terhadap pengelolaan alam yang dilakukan oleh pemerintah .

Pada 18 Maret 2004, Indonesia memberlakukan sebuah undang-undang baru untuk menggantikan UU Pengairan 1974 itu yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (selanjutnya UU SDA 2004) . Substansi pengaturan sumber daya air dalam UU No . 7 Tahun 2004 lebih komprehensif, meliputi domain pengelolaan (konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian dan penanggulangan daya rusak air) dan proses pengelolaannya . UU No . 7 Tahun 2004 juga mengemukakan hak dan peran masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya air termasuk mengakui keberadaan hak ulayat atas sumber daya air . Pengaturan mengenai Hak ulayat dalam undang-undang ini tidak berbeda jauh dengan yang telah diatur oleh Undang- Undang Pengairan . Dalam penjelasannya dikatakan bahwa pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat termasuk hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan . Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu:10

8 Ida Nurlinda, Membangun Pluralisme Hukum dalam Kerangka Unifikasi Hukum Agraria, (Bandung: LoGoz Publishing, 2015), hlm 3

9 Sulastriyono dan Totok Dwiantoro, “Kebijakan Sektoral Lingkungan/SDA”, dalam, La Ode Syarif dan Andri Wibasana (ed), Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan Studi Kasus, (Jakarta: USAID, 2016), hlm 605 10 Penjelasan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

(5)

a . Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya seharihari;

b . Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan c . Unsur hubungan antara masyarakat

tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut .

Berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat adat masih menjaga hubungan mereka dengan alam melalui nilai-nilai yang mereka yakini . Relasi masyarakat adat dengan alam yang selaras, serasi dan seimbang ini dapat menjadi contoh dalam mengelola sumber daya air secara berkelanjutan . Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti secara lebih mendalam mengenai praktik-praktik pengelolaan sumber daya air berdasarkan kearifan tradisional yang dilakukan masyarakat adat di Indonesia dan apakah pengelolaan sumber daya air yang berdasarkan kearian tradisional ini dapat dijadikan contoh pengelolaan sumber daya

alam yang berkelanjutan . Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan artikel ini adalah penelitian normatif melalui kajian data sekunder yang terdiri atas bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan-bahan hukum sekunder berupa rancangan peraturan perundang-undangan dan hasil-hasil penelitian dan bahan-bahan hukum tersier, berupa laporan dan berita (cetak maupun internet) . Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perbandingan, dengan membandingkan beberapa bentuk kearifan tradisional di beberapa wilayah di Indonesia . Selanjutnya hasil penelitian dianalisis secara kualitatif untuk menemukan jawaban atas identifikasi masalah yang ditentukan sebelumnya .

Pembahasan

Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa

”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang” Adapun Pasal 28I ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” . Berdasarkan pengakuan dalam undang-undang dasar tersebut, maka masyarakat adat memiliki hak untuk

(6)

mengelola lingkungan dan sumber daya alam yang ada di wilayahnya . Hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia .11 Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam, masyarakat adat dengan kearifan tradisional yang dimilikinya, telah mengelola sumber daya alam secara arif sejak dulu . Pengaturan hak masyarakat adat dalam hal pengelolaan sumber daya air dapat ditemukan dalam peraturan-perundang- undangan yang mengatur mengenai sumber daya air . Pemerintah menjamin pelindungan dan pemberdayaan masyarakat termasuk masyarakat adat dalam upaya konservasi air dan sumber air,12 pemerintah tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan13 dan sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat .14

A. Bentuk Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Masyarakat Adat Agraris Masyarakat adat merupakan komunitas yang hidup dan berkembang di Indonesia selama ribuan tahun . Mereka hidup dengan sistem sosialnya, sistem kepercayaan dan

tradisi serta aturan adat yang unik . Penelitian yang dilakukan Lynch dan Talbott mengatakan bahwa masyarakat adat memiliki kapasitas budaya, sistem pengetahuan dan teknologi, religi, tradisi serta modal sosial berupa etika dan kearifan lingkungan, norma-norma dan institusi hukum untuk mengelola sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan .15 Sementara menurut Ter Haar adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya .16

Konvesi internasional ILO 169 tahun 1989 merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi

11 Sandra Moniaga, Masyarakat Adat, Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia disampaikan pada Orasi Ilmiah Lustrum FH UNPAR, (Bandung: FH UNPAR, 2018), hlm .2

12 Pasal 3 RUU Sumber Daya Air

13 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Sumber Daya Air tahun 2004, Pasal 9 ayat (2) RUU Sumber Daya Air 14 Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Sumber Daya Air tahun 2004, Pasal 9 ayat (3) RUU Sumber Daya Air 15 Imamulhadi, Penegakan Hukum Lingkungan berbasis Kearifan Masyarakat Adat Nusantara, (Bandung:

Unpad Press, 2011), hlm 125 16 Ibid.,

(7)

masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus . Sedangkan masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun- temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas .17

Sebagai negara yang terletak di wilayah khatulistiwa, Indonesia diberkahi oleh sumber daya air yang melimpah . Oleh karena itu, masyarakat di negeri ini sangat akrab dengan Budaya Air . Di Sumatera dan Kalimantan, sebagian besar penduduknya berbudaya sungai . Sungai menjadi pusat kehidupan masyarakat yang tinggal di dekatnya, rumah-rumah dibangun menghadap sungai besar, dimana sungai tersebut menjadi media transportasi untuk melakukan sosialisasi maupun perdagangan . Sementara di Pulau Jawa, masyarakat memiliki budaya bersawah dengan irigasi . Belum diketahui secara pasti kapan masyarakat agraris ini mengenal sistem irigasi . Sebuah prasasti yang ditemukan di Jawa Barat menuliskan bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Hindu Tarumanegara pada abad ke-5 telah memerintahkan untuk membuat saluran pengelak banjir sepanjang kurang lebih 10 km di sebuah sungai . Sementara beberapa prasasti

yang ditemukan di Jawa tengah dan Jawa Timur mencatat bahwa teknologi irigasi sawah baru dibangun pada abad 7-8 M .18 Adapun prasasti Manukaya yang berangka tahun 960 (abad ke 10) di Bali menyebutkan bahwa raja Chandrabhayangsingha Warmmadewa memperbaiki tanggul pada sumber mata air di Tirta Empul yang setiap tahun dihanyutkan oleh banjir .19 Kesemua prasasti ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah mengenal teknologi irigasi sejak lama . Meskipun demikian, berbeda dengan pengembangan irigasi oleh pemerintah yang tujuannya adalah untuk memproduksi beras sebesar-besarnya untuk mencapai ketahanan pangan . Teknologi irigasi yang dikelola oleh masyarakat adat tidak terlepas dari nilai-nilai hidup yang dianut oleh masyarakat tersebut, sebagaimana yang terlihat pada pengelolaan sumber daya air oleh masyarakat adat di Ciptagelar, Sukabumi dan sistem Subak, Bali . 1. Pengelolaan Sumber Daya Air

oleh Masyarakat Kasepuhan, Ciptagelar

Di dalam kawasan hutan, di wilayah Gunung Halimun terdapat kelompok masyarakat yang membentuk perkampungan yang terpisah dari masyarakat desa pada umumnya . Perkampungan itu terpencar di bukit-bukit dan gunung-gunung . Di antara mereka ada pula yang tinggai berbaur

17 AMAN, Surat Keputusan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara No.01/kman/1999 tentang Statuta Aliansi Masyarakat Adat.(Jakarta: AMAN, 1999)

18 Gunawan Jusuf, Blue Gold: Emas Biru Sumber Nyawa Kehidupan, (Jakarta: Penerbit Berita Nusantara, 2015), hlm 6

19 Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Prasasti-prasasti tentang Subak, https://kebudayaan . kemdikbud .go .id/ditpcbm/pra sasti-klungkung-a-dan-manukaya-tentang-subak/ diakses pada 15 Januari 2019

(8)

bersama masyarakat desa yang kemudian membentuk kampung campuran . Pola perilaku sosiobudaya mereka hingga kini masih menunjukkan karakteristik budaya Sunda abad ke-16 . Walaupun demikian, mereka tidak menutup diri dalam pergaulan dengan masyarakat desa pada umumnya yang tinggal di seputar wilayah Gunung Halimun . Oleh masyarakat desa pada umumnya, kelompok masyarakat adat ini diseput warga Kasepuhan . Sepanjang perjalanan sejarahnya, warga kasepuhan yang bermukim di sekitar kawasan hutan kompleks Gunung Halimun secara turun-temurun telah mengembangkan pola pertanian ladang . Namun, karena adanya kekhawatiran dari kalangan pemerintah terhadap penggundulan hutan yang dapat menyebabkan erosi dan banjir, maka warga kasepuhan tidak diperkenankan lagi membuka kawasan perladangan baru . Terhadap pembatasan pemerintah ini, warga kasepuhan meresponnya dengan cara melakukan pengembangan kegiatan ke pola pengelolaan sawah, sebagaimana yang dikehendaki pemerintah . Selain itu, mereka juga secara terbatas mengembangkan pola pertanian lahan kering .20

Soesilo dalam penelitian disertasinya menemukan bahwa Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah sedikit dari kelompok adat yang masih mempertahankan nilai- nilai dari sistem kepercayaan dan religi

budaya padi (rice culture) hingga sekarang . Kasepuhan Ciptagelar melihat bahwa spirit padi merupakan salah satu penyusun alam raya (komos) yang tersulam dan terjalin dengan rumit dengan alam materi, tubuh, pikiran, maupun jiwa . Aktivitas dan tata kehidupan masyarakat tidak lepas dari ritus budidaya padi yang berorientasi pada proses pemeliharaan keselarasan kosmik, sebuah cara pandang yang tetap mempertahankan kaidah antropokosmos alih-alih antroposentris . Kehidupan masyarakat Jawa Barat (Sunda) menurut Hidding harus dilihat sebagai bentuk partisipasi dalam tata kosmik, di mana adat, ritual, kewajiban, dan buyut (tabu), mcrupakan panduan yang tepat untuk menjalani kehidupan . Sebagai masyarakat yang kehidupannya secara rutin dan ritual berdasarkan budava padi, bertani adalah ajaran kehidupan yang paling hakiki . Menanam padi bukanlah mata pencaharian; bertani adalah kehidupan bagi warga Ciptagelar .21

Sebagai kelompok masyarakat adat yang berbasis budaya padi, Kasepuhan Ciptagelar memiliki beberapa keunikan tertentu dibandingkan dengan kelompok adat lain di sekitarnya, yaitu: (1) menggunakan pola pertanian akulturatif antara huma dan sawah; (2) menerima modernitas walaupun terbatas pada kehidupan di luar perpadian;

(3) memiliki tradisi ngalalakon dalam budaya bermukimnya, yaitu tradisi memindahkan

20 Kusnaka Adimihardja, Kasepuhan: Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh - Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional Di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat, (Bandung: Penerbit Tarsito, 1992), hlm .4

21 Susilo Kusdiwanggo, “Pancer-Pangawinan sebagai Konsep Spasial Masyarakat Adat Budaya Padi Kasepuhan Ciptagelar”, Disertasi, Ilmu Arsitektur Institut Tekonologi (Bandung: ITB, 2015), tidak dipublikasikan, hlm 1-2 .

(9)

kasepuhan .22 Kehidupan masyarakat Kasepuhan di Ciptagelar yang berakar pada tradisi dan budaya padi tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan hutan dan sumber daya air . Keberlangsungan budaya dan tradisi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak dapat dipisahkan dengan kondisi hutan yang baik . Oleh karena itu, tidak mengherankan bila masyarakat Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki perangkat adat dan ritual yang secara khusus melindungi serta merawat wilayah hutan beserta dengan semua penghuninya . Dalam sistem tata kelola hutan, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar membagi wilayah hutan ke dalam 3 zona ataupun kategori yang spesifik, yaitu: (1) hutan titipan; (2) hutan tutupan; dan (3) hutan garapan .Wilayah hutan titipan merupakan wilayah sakral yang dilindungi secara ketat oleh aturan adat . Sementara itu, hutan tutupan merupakan wilayah lindung yang juga tidak boleh diganggu keberadaannya . Dalam hal ini, kegiatan pertanian dan pengembangan permukiman hanya dapat dilakukan di wilayah hutan garapan dengan tata aturan yang juga ditentukan oleh aturan adat yang

berlaku . Zona hutan titipan dan hutan tutupan merupakan wilayah yang dilindungi karena di dalamnya terdapat sumber air serta sumber daya alam yang penting bagi kelangsungan budaya dan tradisi pertanian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar .23

Tata kelola air di kalangan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar juga diatur secara khusus oleh lembaga dan perangkat adat . Umumnya alokasi penggunaan air dibagi ke dalam tiga fungsi utama, yaitu untuk pengelolaan sawah, kebutuhan sehari-hari, serta turbin mikrohidro sebagai sumber listrik bagi warga .24 Pengelolaan sumber daya air umumnya ditangani oleh Rorokan Manintin atau Ulu-Ulu25 yang memiliki tanggungjawab untuk memastikan bahwa sumber air secara rutin dijaga dan dirawat secara teratur . Rorokan Manintin secara rutin memimpin proses pemeriksaan dan perawatan sumber serta saluran air yang mengalir ke sawah dan perkampungan . Sementara untuk pengelolaan turbin mikrohidro berada dalam tanggungjawab Rorokan Turbin, Rorokan Turbin melakukan perawatan rutin saluran air dan turbin mikrohidro, memperbaiki turbin

22 Susilo Kusdiwanggo, “Kasepuhan Ciptagelar: Entitas Bangun Pengetahuan Nusantara”, Makalah Lokakarya INNOVATION FACTORY 2016, (Kabupaten Bandung: Kampung Karuhun Sutan Raja, 2016), hlm .2

23 Gustaff H. Iskandar, “Tata Kelola Hutan dan Air yang Lestari : Pembelajaran dari Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar”, Diskusi Pembangunan Sumber Daya Air, Pangan dan Energi dalam Lingkungan yang Kompetitif, (Jakarta: Forum Irigasi Indonesia, 2018), hlm 3-5

24 Di kalangan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, penggunaan turbin mikrohidro sebagai sumber listrik dapat dikatakan relatif baru . Turbin pertama dibangun di wilayah Cicemet secara gotong royong oleh warga kasepuhan yang bekerjasama dengan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Yayasan IBEKA) pada tahun 1997 . Sampai sekarang pengelolaan turbin mikrohidro dikelola secara mandiri oleh warga . Dalam hal pemenuhan kebutuhan listrik, warga dapat menentukan sendiri besaran daya listrik untuk kebutuhan mereka sesuai dengan keperluan dan kemampuan yang mereka miliki .

25 Dalam menjalankan tatanan budaya, tradisi dan kehidupan sehari-hari, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki perangkat ataupun struktur lembaga adat yang dipimpin oleh seorang Abah (ayah) dengan pendamping seorang Emak (ibu) . Untuk menjalankan peran sebagai pemimpin adat, Abah juga dibantu oleh Rendang Kande (semacam asisten) serta sejumlah Rorokan yang memiliki peran dan tanggungjawab yang diatur secara spesifik

(10)

bila terjadi kerusakan, selain mengumpulkan iuran listrik warga kasepuhan setiap bulan . Di dalam lembaga adat kasepuhan, Rorokan Manintin atau Ulu-Ulu berada di bawah koordinasi Rorokan Pamakayaan yang menangani urusan pertanian . Sementara Rorokan Turbin merupakan bagian dari Rorokan Pakakas/Rorokan Pandai dan berada di bawah naungan Rorokan Jero yang sekaligus berkoordinasi langsung dengan Abah . Sebagaimana lazimnya mekanisme penentuan figur yang memiliki kewenangan tertentu dalam lembaga adat, tanggungjawab Rorokan Manintin dan Rorokan Turbin juga ditentukan berdasar garis keturunan selain dengan pertimbangan petunjuk leluhur dan kompetensi yang dimiliki . Masing- masing Rorokan ini memiliki tim khusus (barisan) yang siap membantu setiap saat bila diperlukan .

2. Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Sistem Subak, Bali

Subak di Bali adalah sistem irigasi tradisional yang diperkirakan dikenal sejak adanya persawahan di Bali sebelum abad ke IX dengan adanya tulisan tentang “huma” yang berarti sawah . Subak menurut Geertz adalah suatu areal persawahan yang mendapatkan air dari satu sumber dan memiiki banyak saluran irigasi . Dalam Pasal 4 Perda Propinsi Bali No 2 tahun 1972 tentang Irigasi Daerah Propinsi Bali, Subak didefinisikan sebagai:

“masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi pengusaha tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-laian untuk persawahan dari suatu sumber air di dalam suatu daerah”

Sebagai bagian dari desa adat di Bali, Subak dipengaruhi oleh konsep Tri Hita Karana dalam agama Hindu yang meliputi keharmonisan hubungan manusia dengan Pencipta (Parahyangan), hubungan manusia dengan alam sekitar (Palemahan) dan hubungan manusia dengan manusia (Pawongan) .26 Menurut Purwita, bumi (Palemahan) yang diciptakan sebagai suatu elemen dari alam semesta adalah anugrah Tuhan yang Maha Esa (Parahyangan), karena kecintaannya pada umat manusia (Pawongan) . Oleh karenanya manusia harus menjaga hubungan yang harmnis dengan sesamanya (Pawongan), dan dengan alam lingkungannya (Palemahan) sebagai perwujudan dari rasa hormatnya kepada Tuhan Yang Maha Esa (Parahyangan) .

Sebagai suatu organisasi tradisional di Bali, subak memiliki ciri:27

1 . Mempunyai staf pengurus yang disebut prajuru subak

2 . Mempunyai anggota petani sawah yang disebut krama subak

26 I Gusti Ayu Wahyu Utari, “Penerapan Tri Hita Karana Pada Subak Kelawanan, Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar”, dwijenAgro Vol. 7, No. 2, (2017): 83-84

27 Sutawan dalam I Nyoman Gede Ustriyana dan Ni Wayan Putu Artini, “Kajian Konsep Tri Hita Karana Pada Lembaga Subak sebagai Sumberdaya Budaya di Bali (Studi Subak Juwuk Manis dan Subak Temesi di Kabupaten Gianyar)”, SOCA, Vol . 9, No . 3, (2009): 380-382

(11)

3 . Mempunyai wilayah berupa areal persawahan dengan batas-batas yang jelas

4 . Mempunyai sumber irigasi dari sebuah empelan (bendungan)

5 . Mempunyai satu atau lebih pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri)

6 . Mempunyai awig-awig (peraturan dasar) 7 . Mempunyai otonomi penuh, baik ke

dalam untuk mengurus rumah tangganya sendiri, maupun berhubungan dengan pihak luar .

Struktur organisasi dalam subak sangat jelas, ada pembagian status keanggotaan, memiliki awig-awig (peraturan) dan dipimpin oleh seperangkat pengurus disebut Prajuru . Prajuru terdiri dari Pekaseh, wakil pekaseh, sekretaris (penyarikan), bendahara (patengan) dan pembantu umum (saya) .28

Pelaksanaan kegiatan persubakan sampai saat ini masih mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana dan diatur dalam awig- awig subak . Implementasi Tri Hita Karana dalam Subak dapat dilihat melalui contoh pelaksanaannya di Subak Pulagan29 yang terdiri atas:

(1) Implementasi aspek Parahyangan (hubungan dengan pencipta) mencakup:

pelaksanaan upacara ritual di Pura melalui rangkaian ritual30 yang dilaksanakan oleh masing masing anggota subak mulai dari ritual mapag toya31 hingga ritual mantenin .32

(2) Implementasi aspek Pawongan (hubungan dengan manusia), diatur di dalam Awig-Awig yang dibuat dan disepakati secara bersama sama oleh para pemimpin (prajuru) serta krama (anggota) subak dalam suatu bentuk tertulis . Awig-awig ini berisi susunan organisasi subak dan tugas serta kewajiban masing-masing organ, aturan pengelolaan, batas sawah, hak dan kewajiban anggota, serta pembagian hasil dan penyelesaian masalah/konflik.

(3) Implementasi aspek Palemahan (hubungan dengan alam sekitar) diatur dalam awig-awig Subak, mencakup:

menetapan batas wilayah subak, pengaturan air (toya) dan bangunan irigasi, penetapan tetanduran, wewalungan di area subakdan berbagai larangan (patikawenang) disawah . Secara lebih lengkap dapat dilihat dalam awig- awig33 tentang persubakan pada Subak Pulagan yang berisi pengaturan yang:

28 Pitana dalam I Nyoman Gede Ustriyana dan Ni Wayan Putu Artini, Ibid

29 I Nyoman Norken1, I Ketut Suputra, I Gusti Ngurah Kerta Arsana, “Implementasi Tri Hita Karana Pada Subak Pulagan Sebagai Warisan Budaya Dunia Di Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar”,https://simdos . unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/a7557e77edd8b6b561cea8822ba28d72.pdf, diakses pada 7 Januari 2019

30 Terdapat kurang lebih 10 jenis ritual dalam satu kali masa tanam

31 Ritual Mapag Toya merupakan ritual yang dilakukan kepada penguasa air sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan izin atas air yang digunakan, dengan memulai mengalirkan air dari bendungan ke sawah-sawah subak

32 Ritual mantenin adalah akhir rangkaian ritual upacara dimana padi yang telah dipanen disimpan di lumbung masing-masing anggota subak .

33 Awig-awig adalag peraturan yang disepakati Bersama terdiri atas Palet (bagian) dan Pawos (Pasal)

(12)

a . Berkaitan dengan Palemahan/Indik Palemahan (Palet 1) yaitu berkaitan dengan batas sawah sesuai dengan ukuran masing masing, serta kepemilikan tanaman yang ada di jalan dalam wilayah subak (Pawos 22) . Sementara Pawos 23 mengatur/melarang tentang tanaman tahunan (tanem tuwuh), berhubungan badan di wilayah subak/sawah . Apabila ada yang melanggar akan dikenakan denda sesuai dengan kesepakatan serta membersihkan secara keagamaan (mrayascita) tempat tersebut .

b . Berkaitan dengan air (indik toya) diatur pada Palet 2 yang memuat: Pawos 24 tentang tempat memperoleh air/

bangunan air seperti: empelan (bendung), tembuku aya (bangunan bagi primer) dan bangunan bagi masing masing anggota (tembuku pengalapan) . Biaya pembangunan bangunan air (empelan, telabah/saluran, aungan/terowongan, dan lain lain), disediakan oleh anggota subak dan bantuan pihak luar, sementara pemeliharaannya dilakukan oleh anggota subak . Pawos 25, mengatur tentang larangan merusak saluran dan bangunan, serta menutup air/bangunan air anggota lain, apabila diketemukan akan dikenakan denda sesuai kesepatanan . Sementara Pawos 26 mengatur berkaitan dengan kekurangan air dengan melaksanakan pergiliran yang diatur oleh Prajuru Subak, apabila anggota yang tidak meperoleh air diwajibkan untuk menanam palawija .

c . Berkaitan dengan tanaman (indik tetanduran) diatur pada Palet 3 yang diuraikan dalam Pawos 27, memuat:

pola tanam yang mengikuti kerta masa (bersamaan) saat musim hujan dan ngegadon (saat musim kemarau), bibit padi yang ditanam antara lain: padi del (padi dengan umur panjang), cicih (padi dengan umur pendek) serta bibit unggul, cara menanam padi, memelihara dan merabuk padi, membuat sunari (buluh perindu), baling baling serta kentungan disawah, memotong padi yang efisien, jenis tanaman yang boleh ditanam, tanaman yang tidak boleh ditanam . d . Berkaitan dengan peternakan (indik

wewalungan) diatur pada Palet 4 yang memuat: jenis ternak yang boleh dipelihara serta larangan untuk melepas (nglumbar) ternak di lahan anggota subak yang lain . Apabila dilanggar akan dikenakan denda sesuai dengan kesepakatan (perarem) .

e . Berkaitan dengan hama (indik merana) diatur pada Palet 5 Pawos 29, yang memuat: jenis hama, pengendalian hama secara sekala (alam nyata) seperti: membasmi tikus, menghalau burungg, membasmi padi yang kena hama, penyeprotan dengan racun . Sementara secara niskala (alam tidak nyata) dilakukan dengan upacara neduh, nanggluk merana, ngaben (mengabukan) tikusserta penyepian setelah upacara mebalik sumpah .

(13)

f . Berkaitan dengan larangan terhadap adanya binatang disawah (indik patikawenang) diatur pada Palet 6 pada Pawos 30, yang memuat: Setelah maenanam padi dan sebelum padi cukup umur, tidak diperbolehkan:

menggebala itik, ayam dan ternak kaki empat, mencari keong dan sayur sayuran disawah tetangga, mencari belut serta menyusuri dan merusak pematang sawah serta meracun ikan . Apabila melanggar akan dikenakan biaya dan denda sesuai dengan kesepakatan . Disamping itu tidak dibenarkan meracun ikan, memancing serta mencari ikan dilahan anggota subak yang lain, apabila ditemui akan dikenakan denda sesuai kesepakatan .

Semua pawos dalam awig-awig yang tertera berkaitan dengan aspek palemahan dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh anggota subak . Termasuk dalam kondisi subak kekurangan air . Pergiliran dilakukan dengan tertib dawasi oleh Wakil Pekaseh(Pangliman) selaku pengawas pelaksanaan pergiliran air, pergiliran dilakukan terutama saat membajak sawah, anggota yang sedang melakukan pengolahan tanah mendapat prioritas dalam memperoleh air, sehingga air sepenuhnya dialirkan dengan menutup aliran kebagian hilir dari sawah tersebut . Pergiliran umumnya dilakukan selama 2 jam dan dilakukan disiang hari . Berkaitan dengan pemeliharaan bangunan air, beberapa persoalan yang dihadapi antara

lain adanya kobocoran air, sebagian saluran tersier (kekalen) masih terbuat dari tanah dengan kondisi yang kurang baik . Disamping itu adanya sampah disepanjang saluran akibat adanya pemuangan sampah yang tidak pada tempatnya menyebabkan sebagian saluran tersumbat sampah . Untuk itu selain dari anggota, subak juga menerima bantuan dari pihak luar untuk memperbaiki bangunan air .34 B. Bentuk-Bentuk Konservasi Sumber

Daya Air berdasarkan Kearifan Tradisional

Kearifan tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak (dalam hal ini terkait bidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam) . Pengertian ini menyiratkan bahwa kearifan lokal memainkan peran dalam mengembangkan perilaku, baik secara individu maupun secara kelompok dalam kaitan dengan lingkungan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam .35 Ranger dan Hobsbawm mengatakan kearifan tradisional sebagai seperangkat praktik, yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang diterima secara jelas atau samar-samar maupun suatu ritual atau sifat simbolik, yang ingin menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan, yang secara otomatis mengimplikasikan adanya

34 I Nyoman Norken, I Ketut Saputra, I Gusti Ngurah Kerta Arsana, Op.,Cit

35 Nanang Widarmanto, “Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”, Sabda Vol.13, No. 1, (Juni 2018): 20

(14)

kesinambungan dengan masa lalu . Pengertian tersebut mengandung arti bahwa kearifan lokal memiliki ciri bermatra tiga waktu (masa lalu, sekarang, dan yang akan datang), sehingga dimungkinkan ada upaya sambung- menyambung dan seiring kehidupan manusia dalam setting dan konteks yang berubah- ubah sesuai zamannya .36 Kearifan tradisional yang telah terkristalisasi dalam suatu hukum adat, berbentuk sistem norma yang mengejawantahkan nilai-nilai, asas, struktur, kelembagaan, mekanisme, religi yang tumbuh, berkembang dan dianut masyarakat lokal, dalam fungsinya sebagai instrumen untuk menjaga keteraturan interaksi antar warga masyarakat, ketertiban hubungan dengan sang pencipta dan roh-roh yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural dan menjaga keteraturan perilaku masyarakat dengan alam lingkungannya .37 Kearifan lokal oleh Undang- Undang RI No .32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimaknai sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat yang antara lain dipakai untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari .38

Penelitian Chay Asdak mengenai Konservasi Sumber Daya Air Terpadu tahun 2015 menunjukkan bahwa kearifan tradisional terkait sumber daya air masih bisa ditemukan di berbagai daerah di Indonesia .

Bahkan kearifan tradisional ini bisa diadopsi oleh pemerintah daerah dan menjadi bagian kebijakan pemerintah . Bentuk-bentuk kearifan tradisional tersebut adalah sebagai berikut39: 1. Lubuk Larangan, Kearifan tradisional ini

dapat ditemukan di wilayah Sumatra Utara dan Sumatra Barat . Di Kab . Mandailing Natal, Sumatera Utara, merupakan kesepakatan lokal antar masyarakat dan pemuka masyarakat untuk menjaga kelestarian dan kebersihan air sungai dengan cara pelarangan mengambil ikan di luar waktu yang telah ditentukan dan disepakati bersama . Ikan tersebut sengaja ditebar ke sungai untuk dimanfaatkan bagi pengembangan desa di Kabupaten Mandailing Natal . Pemanenan ikan secara kolektif diatur waktunya sesuai dengan aturan yang disepakati dalam Lubuk Larangan. Pelanggaran terhadap aturan yang disepakati dikenakan denda Rp 5 juta/kejadian pelanggaran untuk kas desa . Keberadaan aturan lokal Lubuk Larangan ini mendukung upaya konservasi sumber daya air karena melalui aturan tersebut, masyarakat setempat sepakat untuk menjaga keutuhan ekosistem sungai dan daerah tangkapan airnya . Di Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat, Lubuk Larangan dilestarikan oleh masyarakat Kampung Surau, aturan mengenai Lubuk

36 Ibid.,

37 I Nyoman Nurjaya, Loc Cit

38 Siswadi, Tukiman Taruna, Hartuti Purnawen, “Kearifan Lokal Dalam Melestarikan Mata Air (Studi Kasus di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal)”, Jurnal Ilmu Lingkungan Vol . 9, Issue . 2, (2011):64 39 Chay Asdak, Op Cit, hlm 34-36 .

(15)

Larangan dibuat secara tertulis dalam:40Jorong Kampuang Surau dalam Bab

VIII tentang Racun dan Tuba dalam Pasal 1 yang berbunyi Barang siapa yang tertangkap/ terbukti menangkap ikan/ udang di sungai atau dirawa memakai racun, tuba dan sentrum akan dibawa dalam pengadilan Ninik Mamak (pengadilan adat) . Pasal 2 berbunyi Dilarang menangkap/ mengambil ikan di lokasi lubuk larangan atau ikan larangan kecuali sudah dibuka resmi dalam musyawarah Ninik Mamak (perangkat adat), apabila tertangkap/ terbukti akan ditangkap oleh Dubalang (perangkat adat) dan disidangkan dalam pengadilan Ninik Mamak (pengadilan adat)”

2. Ilengi dari Provinsi Gorontalo merupakan kearifan lokal Praktek pemanfaatan lahan dengan mempertimbangkan pemanfaatan dan perlindungan keragaman hayati .41 Agroforestri ilengi merupakan hamparan kebun campuran, dikelola turun temurun sehingga membentuk struktur vegetasi yang menyerupai hutan alam ini sangat relevan dengan kebijakan konservasi sumber daya air karena sistem tanam ini menciptakan stratifikasi tajuk tanaman bertingkat sehingga efektif dalam pengendalian laju erosi . Dengan adanya

tajuk yang bertingkat, kecepatan dan besarnya butiran air hujan dapat direduksi sehingga ketika air hujan tersebut sampai ke permukaan tanah, energi kinetik yang dihasilkan sangat kecil/minimal . Namun demikian, perkembangan sistem Ilengi terhambat oleh kegiatan pertambangan, perkebunan, dan perluasan pertanian . Keberlanjutan Ilengi ini penting terutama mempertimbangkan sebagian wilayah hulu DAS di provinsi Gorontalo memiliki karakteristik curah hujan tinggi, kemiringan lereng besar, dan stabilitas tanah sedang-rendah (tanah berbatu dengan humus tanah tipis) . Sistem tanam Ilengi ini sesuai dengan karakteristik biofisik setempat sehingga keberadaannya cukup luas dan efektif untuk mencegah terjadinya erosi, mencegah longsor, dan meningkatkan laju infiltrasi. Sehingga keberadaannya perlu dipertahankan dan cakupannya diperluas .

3. Mondau di Sulawesi Tenggara tepatnya di Kabupaten Konawe . Bentuk kearifan lokal ini adalah mengganti tanaman padi dengan tanaman tahunan ketika melakuan pembukaan lahan/tanah adat di kawasan hutan . Relevansinya dengan program konservasi sumber daya air adalah penanaman tanaman tahunan

40 Amin Pawarti, Hartuti Purnaweni, dan Didi Dwi Anggoro, “Nilai Pelestarian Lingkungan dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung di Kampuang Surau Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat”, Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, (Semarang: 11 September 2012), hlm . 100

41 Abdul Shamad Hiola, “Agroforestri Ilengi: Suatu Kajian Pelestarian Dan Pemanfaatan Jenis Pohon (Studi Kasus di Desa Dulamayo Selatan, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo)”, Tesis, Sekolah Pascasarja, (Institut Pertanian Bogor : 2011), https://repository .ipb .ac .id/bitstream/

handle/123456789/51396/2011ash .pdf?sequence=1&isAllowed=y, diakses pada 23 Januari 2019, hlm . 2-3

(16)

(pohon, buah) termasuk tumbuhan bahwa yang menyertainya sangat efektif dalam mengurangi besarnya run-off dan besarnya erosi .42

4 . Kearifan lokal lainnya ditemukan di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Buton Utara dalam bentuk Kaindea43, yaitu upaya lokal perlindungan mata air (tidak boleh menebang pohon, tapi boleh mengambil hasil non-kayunya) . Di kabupaten Wakatobi juga ditemukan kesepakatan/kearifan lokal yang diberi nama Motika, yaitu hutan diperuntukkan terbatas untuk bangunan rumah dan tidak dijual secara komersial .

5 . Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan beberapa kearifan lokal dalam hal pengelolaan air . Antara lain adalah Ma’pesung (setiap sumber mata air menjadi tempat peribadatan sehingga areal dan lanskap di sekitar sumber mata air harus dijaga keberadaannya) . Karama atau Romang Karamaka (perlindungan terhadap mata air, hutan/saukang tidak boleh dieksploitasi karena mengganggu sumber/mata air) .44

6 . Bentuk kearifan lokal lain adalah Tudang Sipulung (suku bugis),45 Kombongan

(suku toraja), dan Empo Sipitangari (suku makassar), melalui ketiga kearifan lokal ini masyarakat melakukan musyawarah untuk menetapkan waktu tanam dan pemanfaatan air bersama (pemanfaatan air dilakukan secara komunal/common pool water resource management) . 7 . Di Yogyakarta, kearifan lokal ditemukan

dalam bentuk Wono Deso (hutan desa), dan Telogo Deso (pembuatan embung/

kolam retensi) . Pembangunan hutan desa dan terutama Telogo Deso dapat menjadi alternatif untuk penyediaan air untuk pertanian dan perikanan/peternakan, utamanya pada musim kemarau . Untuk kebutuhan lahannya, Pemerintah D .IYogyakarta membeli lahan dengan memanfaatkan dana yang dihimpun dari dana corporate social responsibility (CSR) . Selain itu, pemerintah juga menggunakan tanah desa/bengkok, dan tanah lain yang dikuasai Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa sebagai lokasi Wono Deso dan Telogo Deso .46 8 . Di Kab . Lombok Tengah (NTB) terdapat

kearifan lokal suku Sasak Bekerase dalam bentuk pembuatan embung untuk budidaya ikan . Embung tersebut

42 Chay Asdak, Op.,Cit, hlm 34-36

43 Nur Arafah, Dudung Darusman, Didik Suharjito, Leti Sundawati , “Kaindea: Dinamika Pengelolaan Hutan Adat di Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi)”, Jurnal Ilmu Kehutanan Vol . V, No 1, (2011), mengatakan bahwa Kaindea merupakan hutan yang sengaja ditanam oleh masyarakat adat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat pada saat panceklik, berfungsi menguatkan hubungan masyarakat dan memiliki fungsi lindung . Semua Kaindea dimiliki dan dikelola oleh adat terutama untuk fungsi ekologi .

44 Loc Cit

45 Baharuddin Dollah, “Tudang Sipulung sebagai Komunikasi Kelompok dalam Berbagi Informasi”, Jurnal Pekommas Vol. 1, No. 2, (Oktober 2016): 177-178 mengatakan bahwa Tudang Sipulung merupakan suatu pola komunikasi dalam suatu kelompok yang sama untuk mencapai keputusan melalui musyawarah .

46 Loc Cit.

(17)

kemudian disewakan kepada pengusaha ikan . Pengaturan pemanfaatan embung untuk budidaya ikan berdasarkan kesepakatan antara aparat, masyarakat, penyewa . Kesepakatannya adalah penyewa embung diberi kesempatan melakukan pemanenan pertama dan kedua dalam satu tahun . Sedangkan masyarakat diberi kesempatan memanen ikan pada kesempatan ketiga pada tahun yang sama . Pemeliharaan ikan pada embung mensyaratkan kualitas air embung terjaga, laju erosi dan tanah longsor yang masuk ke dalam embung diupayakan seminimal mungkin . Dengan demikian, budaya suku Sasak Bekerase mendorong terjaganya kualitas tutupan lahannya sedemikian rupa sehingga mengurangi laju erosi dan sedimentasi, dan dengan demikian, memungkinkan ikan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal . Selain itu, budaya pengembangan embung juga bermanfaat untuk meningkatkan jumlah air yang dapat ditahan dalam embung yang sekaligus berlaku sebagai kolam retensi air .47

9 . Di Kalimantan Selatan, suku Dayak Meratus melarang peladangan berpindah dan penebangan pohon di pegunungan, sebagaimana terlihat di desa Angkipih dan desa Peramasan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan . Aturan lokal tersebut dilandasi pemahaman bahwa kerusakan/

degradasi yang terjadi di gunung tersebut akan mengganggu sumber daya air .48 C. Pembelajaran dari praktek-

praktek Pengelolaan Sumber Daya Air yang dilakukan oleh Masyarakat Adat.

Dengan melihat praktek-praktek pengelolaan sumber daya air yang dilakukan oleh masyarakat adat terdapat beberapa pembelajaran yang bisa diambil, yaitu :

1 . Pengelolaan Sumber Daya Air yang dilakukan berdasarkan kearifan tradisional menekankan keseimbangan hubungan manusia dengan lingkungan . Hal ini muncul dari filosofi hidup masyarakat adat itu sendiri dan berkaitan dengan kepercayaan yang dianut masyarakat adat tersebut. Filosofi hidup yang selaras dengan alam ini yang menjadi dasar keberhasilan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan . Hal ini tentunya menjadi tantangan untuk diterapkan dalam masyarakat modern yang cenderung melihat sumber daya air sebagai sarana untuk pembangunan sehingga pemanfaatannya seringkali eksploitatif . Menghadapi tantangan ini peran hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat menjadi penting . Pengaturan tentang Pengelolaan Sumber Daya Air harus dilandasi filosofi hidup masyarakat adat yang selaras dengan

47 Chay Asdak, Op Cit, hlm 34-36 48 Ibid

(18)

alam sebagaimana telah terelaborasi dalam falsafah hidup Pancasila . Hukum yang dibentuk dari hukum yang hidup dengan bersandar pada jiwa bangsa (volkgeist) akan lebih mudah membentuk kesadaran hukum masyarakat untuk mentaati hukum, karena hukum itu dirasakan sesuai, bermanfaat dan dirasa adil oleh masyarakat .49 Mengadopsi kearifan tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat ke dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah D .I . Yogyakarta membuat peraturan perundang-undangan berjalan lebih efektif dan mudah diterima oleh masyarakat karena sejalan dengan kebutuhan mereka .

2 . Pengaturan terkait sumber daya air dan sumber daya alam lainnya yang ada di masyarakat adat, selain merupakan turunan dari filosofis hidup yang ada juga merupakan kesepakatan yang dibuat bersama . Sebagaimana terlihat dalam pembuatan awig-awig atau lubuk larangan . Dengan adanya partisipasi dari anggota masyarakat dalam pembuatan peraturan, maka masyarakatlebih mudah mentaati aturan yang ada karena merasa menjadi bagian yang membuat peraturan dan telah menyepakati poin-poin yang diatur dalam peraturan tersebut . Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi

masyarakat dalam pembuatan peraturan terkait pengelolaan sumber daya air sangatlah penting . Sehingga aturan yang dibuat dirasakan adil oleh pihak-pihak yang menjalaninya .

3 . Organisasi pengelolaan sumber daya air pada masyarakat adat memiliki struktur dan kewenangan yang jelas dengan kepemimpinan yang tegas dan dihormati . Sementara salah satu masalah pengelolaan sumber daya air yang dihadapi dalam pemerintahan saat ini adalah benturan kewenangan dan kurangnya koodinasi antar instansi yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya air, sehingga perlu dipikirkan cara terbaik untuk mengatasi persoalan kelembagaan tersebut .

Simpulan

Indonesia sebagai negara yang menganut pluralisme hukum, mengakui kearifan tradisional sebagai bagian dari hukum Indonesia . Pengelolaan sumber daya air yang dilakukan berdasarkan kearifan tradisional dilandaskan pada falsafah hidup yang selaras, serasi dan seimbang dengan alam . Oleh karena itu, praktik pengelolaan sumber daya air berdasarkan kearifan tradisional sesuai dengan prinsip pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan . Lebih lanjut, beberapa praktik kearifan tradisional ini dapat diadopsi ke dalam peraturan perundang-undangan dan diintegrasikan ke dalam kebijakan pemerintah

49 Maria S .W . Sumardjono, Pluralisme Hukum Sumber Daya Alam dan Keadilan dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat, (Yogyakarta: FH UGM, 2018), hlm 5

(19)

sebagaimana hasil penelitian diatas . Peraturan perundang-undangan yang dibuat berdasarkan kearifan tradisional lebih mudah diterima oleh masyarakat karena sejalan dengan nilai-nilai

kehidupan yang dijalankan sehari-hari dan pada akhirnya peraturan tersebut berjalan lebih efektif karena sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat .

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adimihardja, Kusnaka . Kasepuhan:

Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh -Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional Di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat . Bandung:

Penerbit Tarsito, 1992 .

Imamulhadi . Penegakan Hukum Lingkungan berbasis Kearifan Masyarakat Adat Nusantara, Bandung: Unpad Press, 2011 .

Jusuf, Gunawan . Blue Gold: Emas Biru Sumber Nyawa Kehidupan . Jakarta : Penerbit Berita Nusantara, 2015 .

Kemenpupera . Profil BBWS Citarum.

Bandung: BBWS, 2017 .

Nurjaya, I Nyoman . Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum . Jakarta: Prestasi Pustaka Publishing, 2008 .

Nurlinda, Ida . Membangun Pluralisme Hukum dalam Kerangka Unifikasi Hukum Agraria. Bandung: LoGoz Publishing, 2015 .

Sumardjono, Maria S .W . Pluralisme Hukum Sumber Daya Alam dan Keadilan dalam Pemanfaatan tanah Ulayat, Yogyakarta: FH UGM, 2018 .

Kumpulan Tulisan dalam Buku

Astriani, Nadia . “Mengatur Sumber Daya Air secara Adil dan Berkelanjutan” . Sistem Hukum Lingkungan dn Pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan.

Bandung: Logoz Publishing, 2018 . Sulastriyono dan Totok Dwiantoro . “Kebijakan

Sektoral Lingkungan/SDA”, dalam, La Ode Syarif dan Andri Wibasana (ed), Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan Studi Kasus, Jakarta: USAID, 2016 .

Jurnal

Arafah, Nur dkk . “Kaindea: Dinamika Pengelolaan Hutan Adat di Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi)” . Jurnal Ilmu Kehutanan Vol. V, No.1, (2011)

Dollah, Baharuddin . “Tudang Sipulung sebagai Komunikasi Kelompok dalam Berbagi Informasi” . Jurnal Pekommas Vol. 1, No. 2, (Oktober 2016)

Siswadi, dkk . “Kearifan Lokal Dalam Melestarikan Mata Air (Studi Kasus di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal)”, Jurnal Ilmu Lingkungan Vol. 9, Issue. 2, (2011)

(20)

Ustriyana, I Nyoman Gede dan Ni Wayan Putu Artini . “Kajian Konsep Tri Hita Karana Pada Lembaga Subak sebagai Sumberdaya Budaya di Bali (Studi Subak Juwuk Manis dan Subak Temesi di Kabupaten Gianyar)” . SOCA Vol. 9, No. 3, (2009) .

Utari, I Gusti Ayu Wahyu . “Penerapan Tri Hita Karana Pada Subak Kelawanan, Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar” . dwijenAGRO Vol.

7, No.2, (2017)

Widarmanto, Nanang . “Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan” . Sabda Vol.13, No. 1, (Juni 2018)

Tesis dan Disertasi

Hiola, Abdul Shamad . “Agroforestri Ilengi: Suatu Kajian Pelestarian Dan Pemanfaatan Jenis Pohon (Studi Kasus di Desa Dulamayo Selatan, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo)” . Tesis, Sekolah Pascasarja, Institut Pertanian Bogor, Bogor : 2011, https://repository .ipb .ac .id/bitstream/

handle/123456789/51396/2011ash . pdf?sequence=1&isAllowed=y, diakses pada 23 Januari 2019

Kusdiwanggo, Susilo . “Pancer-Pangawinan sebagai Konsep Spasial Masyarakat Adat Budaya Padi Kasepuhan Ciptagelar” . Disertasi, Ilmu Arsitektur Institut Tekonologi, Bandung: 2015, tidak dipublikasikan

Makalah

Amin Pawarti, Hartuti Purnaweni, dan Didi Dwi Anggoro, “Nilai Pelestarian Lingkungan dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung di Kampuang Surau Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat”, Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Semarang: 2012

Chay Asdak, Kebijakan Nasional Sumber Daya Air Terpadu. Bappenas, Jakarta:

2015 .

Gustaff H. Iskandar, “Tata Kelola Hutan dan Air yang Lestari : Pembelajaran dari Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar”, Diskusi Pembangunan Sumber Daya Air, Pangan dan Energi dalam Lingkungan yang Kompetitif, Forum Irigasi Indonesia, Jakarta : 2018 .

Martua Sirait, Chip Fay dan A Kusworo, Bagaimana Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur?, ICRAF-SE Asia, Bogor: 2000 .

Sandra Moniaga,Masyarakat Adat, Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Orasi Ilmiah Lustrum FH UNPAR, FH UNPAR, Bandung: 2018 .

Susilo Kusdiwanggo, “Kasepuhan Ciptagelar:

Entitas Bangun Pengetahuan Nusantara”, Makalah Lokakarya INNOVATION FACTORY 2016, Kampung Karuhun Sutan Raja, Kabupaten Bandung: 2016 .

(21)

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Undang - Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Peraturan Daerah Propinsi Bali No 2 tahun 1972 tentang Irigasi Daerah Propinsi Bali

Komisi V DPR RI, Rancangan Undang- Undang Sumber Daya Air

AMAN, Surat Keputusan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara No .01/kman/1999

tentang Statuta Aliansi Masyarakat Adat

Internet

I Nyoman Norken, I Ketut Suputra, I Gusti Ngurah Kerta Arsana, “Implementasi Tri Hita Karana Pada Subak Pulagan Sebagai Warisan Budaya Dunia Di Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar”, https://simdos .unud . ac .id/uploads/file_penelitian_1_

dir/7e77edd8b6b561cea8822ba28d72 . pdf, diakses pada 7 Januari 2019

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Prasasti-prasasti tentang Subak, https://kebudayaan . kemdikbud .go .id/ditpcbm/pra sasti- klungkung-a-dan-manukaya-tentang- subak/, diakses pada 15 Januari 2019

Referensi

Dokumen terkait

geografis dan segmentasi demografis. Target pasar toko mebel samsuri adalah pasar sasaran jangka pendek, pasar sasaran primer dan sasaran sekunder. Dan posisi pasar toko

International Journal of Research in Counseling and Education, Vol 1 No 1 2017 25 Student writing result 86,9% Very high Picture 1.1 Recapitulation of Teaching Materials Assesment