1
SPATIAL ANALYSIS OF DENGUE FEVER DISEAS CASE IN PADANG
Fadila Asnelasari,Erna Juita, Afrital Rezki
Program Studi Pendidikan Geografi STKIP PGRI Sumatera Barat.
ABSTRACT
This research’s aim to get the data and analyze the case in padang from: 1) spatial distribution case of dengue fever in padang, 2) factors that influence the case of dengue fever in padang.This research is categorized as descriptive research using a quantitative approach. The population of this reseach is 11 (eleven) districs In Padang. The sample of the research is taken with total sampling technique, it means that the 11 districs In Padang are used as the sample of the research, to analyze the factors that effected the dengue fever case, using statistics test. The analyze that are used in this reseach is map analising. The conclusion of this research is showed that the highest distribution of Dengue Hemorrhage Fever (DHF) in padang is in Koto Tangah district and Kuranji district. And for the lowest is in Bungus Teluk Kabung district. Than, the statistic result the factor that infected the DHF disease are the significant relation between the temperature and DHF case in padang since 2012- 2016. No significant relations between air humidity and DHF case in padang since 2012-2016. No significant relations between fall of rain and DHF case in padang since 2012-2016.
Keywords: Spatial Analysis, DHF, Temperature
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan satu penyakit me- nular yang dapat menyebabkan kem- atian. Salah satu faktor yang berhub- ungan dengan DBD adalah unsur iklim dan kepadatan penduduk. Bumi mengalami perubahan iklim dan pe- manasan suhu global. Menurut kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dinyatakan bahwa kenaikan suhu permukaan bumi ber-
ada pada kisaran 1,40C hingga 5,80C pada awal abad ke-21. Peningkatan ini merupakan pening-katan suhu paling tinggi sepanjang 100.000 tahun terakhir. Perubahan iklim ini biasa disebut global warming. Salah satu dari dampak secara tidak lang- sung akibat dari global warming adalah perubahan penyakit yang ditularkan nyamuk (Masrizal, 2016).
2 Global warming dapat menyeba- bkan perubahan bionomik nyamuk seperti pertumbuhan nyamuk semak- in cepat, siklus hidup semakin pen- dek tetapi populasinya meningkat dengan pesat dan perilaku keinginan menggigit manusia meningkat. Sehi- ngga pada tahun 2010 di perkirakan apabila suhu meningkat 30c maka akan terjadi penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebanyak dua kali lipat. Salah satu penyakit yang ditularkan melalui nyamuk adalah demam berdarah dengue.
World Health Organization (WHO) meny-ebutkan kasus DBD meningkat setiap tahunnya. Hal ini dibuktikan dari rentangan tahun 1990-1997 kasus DBD tercatat sebanyak 479.848 kasus terjadi peningkatan hampir dua kali lipat pada rentangan tahun 2000-2007 sebanyak 925.896 kasus. (Putri,2008)
Selanjutnya, pada tahun 2013 Provinsi Sumatera Barat merupakan provinsi menempati urutan ke 4 dari 9 provinsi yang ada di Sumatera.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat mencatat bahwa terjadi fluk- tuasi kasus DBD selama 3 tahun ter- akhir yaitu pada tahun 2011 IR sebesar 44,65/100.000 penduduk, ta-
hun 2012 dengan IR sebesar 66,- 76/100.00 penduduk, tahun 2013 didapatkan IR sebesar 62,25/100.000 penduduk, dan tahun 2014 dengan IR sebesar 47,55%.
Seluruh kota atau kabupaten di Sumatera Barat merupakan daerah yang endemis DBD kecuali Kepula- uan Mentawai. Kota Padang adalah Kota terbesar dipantai Barat pulau Sumatera, Kota Padang termasuk kabupaten endemis DBD. Pada awal tahun 2015 kabupaten Tanah Datar adalah kabupaten yang memiliki ju- mlah kasus nomor dua tertinggi set- elah kota padang (40 kasus) (Mas- rizal, 2016).
Penularan DBD dipengaruhi oleh unsur iklim. Suhu mempengaruhi reproduksi nyamuk, angka gigitan, masa inkubasi ekstrinstik virus, dan pergesaran daerah distribusi nyamuk.
Curah hujan mempengaruhi kepada- tan populasi nyamuk betina dewasa.
Tingginya curah hujan dapat menyebabkan terbentuknya tempat perindukan bagi nyamuk sehingga dapat meningkatkan populasi nya- muk. Biasanya di negara tropis, kasus DBD meningkat pada musim hujan dan mengalami penurunan pada
3 beberapa bulan setelah berakhirnya musim hujan. (Chintia,2016)
Faktor yang memegang peranan penting dalam penyakit ini adalah manusia, vektor (nyamuk), dan virus.
Faktor lainnya yang juga sangat berpengaruh adalah faktor hospes yaitu kerentanan respon imun, faktor lingkungan yaitu kondisi geografis (curah hujan, suhu udara, kelem- baban) dan kondisi demografis (kep- adatan, mobilitas, sosial ekonomi penduduk). Untuk mencegah atau mengurangi angka kejadian penyakit ini, harus diadakan intervensi kepada faktor tersebut. Dengan penanganan yang terpadu dan sikap yang tepat terhadap penanganan penyakit DBD, maka penyebaran penyakit ini bisa dihambat (Karnaini, 2016).
Kota Padang mengenai kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) lima tahun terakhir dari tahun 2012 sampai tahun 2016. Didapatkan bah- wa tahun 2012 terdapat 1626 kasus, tahun 2013 terdapat 998 kasus, tahun 2014 terdapat 666 kasus, tahun 2015 terdapat 1126 kasus, dan tahun 2016 terdapat 911 kasus.
Tersebar di 11 kecamatan deng- an tingkat kasus tertinggi pada tahun
2012 di Kecamatan Kuranji sebanyak 360 penderita, pada tahun 2013 ter- tinggi terdapat di Kecamatan Kuranji sebanyak 253 penderita, pada tahun 2014 tertinggi terdapat di Kecamatan Kuranji sebanyak 151 penderita, kemudian pada tahun 2015 tertinggi terdapat di Kecamatan Koto Tangah sebanyak 222 penderita, dan tahun 2016 tertinggi terdapat di Kecamatan Koto Tangah sebanyak 206 pende- rita.
Kemudian tingkat kasus Demam Berdarah Dangue terendah dalam lima tahun terakhir terdapat di Keca- matan Bungus yaitu pada tahun 2012 sebanyak 33 penderita, pada tahun 2013 sebanyak 2 penderita, pada tah- un 2014 sebanyak 4 pender-ita, kem- udian tahun 2015 sebanyak 42 penderita dan pada tahun 2016 sebanyak 20 penderita. Perlu adanya satu kajian yang memetakan perse- baran kasus Demam Berdarah Den- gue (DBD) secara spasial di Kota Padang sehingga Peme-rintah dan Dinas Kesehatan mengetahui wilayah mana saja yang mem-iliki kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) paling banyak. Sehingga dap-at dilakukan upaya untuk mengantisi- pasi dan mengurangi jumlah pen-
4 derita kasus Demam Berdarah Den- gue (DBD) yang ada di Kota Padang.
METODE PENELITIAN
penelitian yang dilakukan ter- golong pada penelitian deskriptif kuantitatif. Soehardi yang dikutip oleh Malisya Pratami (2014) menya- takan penelitian deskriptif kuantitatif merupakan suatu metode dalam men- eliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Populasi dari penelitian ini adal- ah wilayah kota padang yang meli- puti wilayah administrasi 11 kecama- tan. Teknik pengambilan sampel ya- ng digunakan dalam penelitian ini ad- alah total sampling, yaitu seluruh populasi diambil sebagai sampel.
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh kecamatan yang menjadi kas- us Demam Berdarah Dangue (DBD) di kota padang.
Teknik analisis data mengg- unanakan: a) Distribusi spasial, men- ggabungkan beberapa peta sehingga menghasilkan peta baru kemudian pengklasifikasian menggunakan kel- as interval, dimana data yang men- ggunakan kelas interval adalah kasus DBD, kepadatan penduduk, dan cu-
rah hujan. b) faktor-faktor yang mempengaruhi kasus DBD menggu- nakan uji korelasi melihat hubungan faktor iklim (suhu udara, kelem- baban, curah hujan dan kepadatan penduduk dengan kasus DBD.
Dalam analisis data, dilakukan sesuai dengan data penelitian yang didapatkan. Data kasus DBD, suhu udara, kelembaban dan curah hujan kemudian diolah dengan mengguna- kan Arc Gis 10,4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertama, Distribusi spasial Kas- us Demam Berdarah Dengue (DBD) dikota padang pada umumnya ter- dapat diseluruh kecamatan yang ada.
Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) terbanyak dari tahun 2012- 2016 terdapat di kecamatan Kuranji yaitu 1163 kasus, selanjutnya Koto Tangah yaitu 1110 kasus, kecamatan Padang Timur yaitu 538 kasus, kec- amatan Padang Utara yaitu 494 kasus, kecamatan Lubuk Begalung yaitu 454 kasus, kecamatan Nanggalo yaitu 424 kasus, kecamatan Pauh yaitu 317 kasus, kecamatan Padang Barat yaitu 247 kasus, kecamatan Padang Selatan yaitu 241 Kasus, kecamatan Lubuk Kilangan yaitu 238
5 kasus dan paling terendah di kecamatan bungus yaitu 101 kasus.
kepadatan penduduk dengan kasus DBD di Kota Padang menunjukan tidak adanya hubungan dengan korelasi keduanya, yang berarti bahwa peningkatan kepadatan penduduk yang terjadi tidak terlalu meningkatkan kasus DBD begitu pula sebaliknya. Rata-rata kepadatan penduduk di Kota Padang pada tahun 2012 adalah 45.266 Jiwa.
Dapat dilihat dari beberapa kec- amatan di Kota Padang yang memi- liki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi terdapat di Kecamatan Nang- galo, Padaang Barat, Padang Selatan, Padang Timur Dan padang Utara dengan kasus DBD yang rendah hingga sangat rendah. Tetapi beb- erapa kecamatan di Kota Padang
seperti Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Lubuk Kilangan dan Pauh jumlah kepadatan penduduk dan kasus DBD keduanya memiliki keter- kaitan yaitu dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah mem- iliki kasus DBD yang sangat rendah pula.
Hasil penelitian ini juga diduku- ng oleh Masrizal (2015) dengan judul penelitian “Analisis Kasus DBD Berdasarkan Unsure Iklim dan Kepa- datan Penduduk Melalui Pendekatan GIS Di Tanah Datar” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hub- ungan unsur iklim dan kepadatan penduduk dengan kasus DBD di kabupaten tanah datar tahun 2008- 2014. Hasil analisis kasus DBD den- gan kepadatan penduduk (p=0,001).
Secara spasial distribusi kasus terbanyak terdapat di kec-amatan padat penduduk.
Distribusi diartikan sebagai per- sebaran. Persebaran dalam hal ini adalah posisi lokasi yang terletak disuatu area/tempat dalam keadaan tertentu (Subekhan, 2007: 15). Klasi- fikasi sebaran pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga macam, diantaranya yaitu: 1) Mengelompok
6 (Cluter), 2) Acak (Random), dan 3) Teratur (Reguler) (Yunus,2010:52).
Ahmad dalam priyani (2012) mengungkapkan bahwa pendekatan spasial di sektor kesehatan mer- upakan pendekatan baru yang berarti pembangunan kesehatan berorientasi problem dan prioritas masalah ke- sehatan (lingkungan) secara spasial.
Dengan pendekatan spasial, tiap wil- ayah dapat mengkonsentrasikan diri- nya menanggulangi permasalahan ke- sehatan yang dianggap prioritas utama, sehingga sumber daya dapat digunakan secara efektif. Dengan menggunakan var-iabel faktor resiko terjadinya DBD baik itu faktor kependudukan maupun lingkungan maka perlu dilakukan analisis spasial untuk mengetahui wilayah yang ber- potensial terjadinya DBD.
Kedua, Berdasarkan hasil peng- ujian statistik dengan SPSS22 dari tahun 2012-2016 diperoleh koefisien korelasi suhu udara dengan kasus DBD sebesar 0,0756 dengan signi- fikan 0,004 dengan demikian dapat disimpulkan terdapat hubungan yang kuat dan adanya hubungan yang signifikan antara suhu udara dengan kejadian demam berdarah.
Ini membuktikan bahwa peruba- han pada suhu udara selama periode tahun 2012-2016 memberikan kore- lasi yang bermakna terhadap kejadian demam berdarah dengue. Jika suhu udara mulai naik, maka ada kec- enderungan kejadian DBD menurun dan juga sebaliknya pada saat suhu udara mulai turun kejadian DBD
cenderung meningkat.
Hasil uji korelasi selama 5 tahun menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan kasus DBD. Dimana nilai ko- efisien korelasi (r) menunjukkan hub- ungan yang lemah/tidak ada hub- ungan. Diperkirakan penyebab ting- ginya kasus DBD di Kota Padang bukan karena kelembaban udara mel- ainkan ada faktor lain seperti sanitasi lingkungan yang masih buruk, mobi- litas penduduk yang tinggi, dan peril- aku masyarakat yang belum baik se- hingga kasus DBD yang terjadi masih tinggi.
Hasil Penelitian ini sejalan den- gan penelitian Yuniart (2009) hasil analisis bivariat hubungan kelem- baban dengan kejadian DBD di Kota Administrasi Jakarta Timur pada tahun 2004-2008 mempunyai hubun-
7 gan yang tidak bermakna (p=0,14, r=0,02). Hal ini sejalan dengan penelitian Febriasari (2011) di Kota Administrasi Jakarta Timur pada tahun 2000-2009 menunjukkan hubu- ngan yang tidak signifikan pula an- tara kelembaban dengan kasus DBD.
Begitu juga penelitian Yanti (2004) menunjukkan bahwa kelem- baban dan kasus DBD memiliki hasil yang tidak signifikan di Jakarta Timur pada Tahun 2000-2004 serupa dengan penelitian Putri (2008) di Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2005 - 2007 menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara variabel kel- embaban udara dengan kasus DBD.
Hasil uji korelasi selama 5 tahun menunjukkan tidak ada hub- ungan yang signifikan antara curah hujan dengan kasus DBD. Dimana nilai koefisien korelasi (r) men- unjukkan hubungan yang lemah/tidak ada hubungan.
Hasil Penelitian ini sejalan den- gan penelitian Yuniart (2009) hasil analisis bivariat hubungan curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Administrasi Jakarta Timur pada tahun 2004-2008 mempunyai hubun- gan yang tidak bermakna (p=0,21,
r=0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian Febriasari (2011) di Kota Administrasi Jakarta Timur pada tah- un 2000-2009 menunjukkan hubung- an yang tidak signifikan pula antara curah hujan dengan kasus DBD.
Begitu pula dengan penelitian Pur- wandari (2010) dimana tidak ada hubungan antara curah hujan dengan kejadian DBD di Kota Administrasi Jakarta Selatan tahun 2005-2009.
KESIMPULAN
1. Distribusi Spasial Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Padang pada tahun 2012-2016 menu- njukan daerah yang memiliki tingkat kasus yang tinggi tiatahunnya terjadi di kecamatan kuranji dan koto tangah dan distribusi kepadatan penduduk tertinggi di Kota Padang pada tahun 2012-2016 terjadi pada kecamatan Padang Timur.
2. Faktor- faktor yang mempeng- aruhi kasus Demam Berdarah Den- gue (DBD) di Kota Padang, di peng- aruhi oleh suhu udara. Berdasarkan hasil pengujian statistik dengan SPSS 22 dari tahun 2012-2016 diperoleh koefisien korelasi suhu udara dengan kasus DBD sebesar 0,0756 dengan signifikan 0,004 dengan demikian dapat disimpulkan terdapat hubungan
8 yang kuat dan adanya hubungan yang signifikan antara suhu udara dengan kejadian demam berdarah.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah dan Faizah (2010). Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dangue Di Desa Mojo- songo Kabupaten Boyolali. Jurnal DKK.2012-2016. Padang Dalam
Angka dalam Berbagi Edisi. Dinas Kesehatan Kota Padang
Eka, Okta Priyani 2012. Analisis Spasial Penyakit Demam Berda- rah Dengue Di Wilayah Kota De- pok, Kota Bogor Dan Kabupaten Bogor Tahun 2008-2010. Skripsi Faizah , Betty. (2010). Analisis Fak-
tor Risiko Penyakit Demam Ber- darah Dangue di Wilayah Kerja Puskesmas Guntung Payung Kota Banjarbaru (Tinjauan Terhadap Faktor Manusia, Lingkungan, dan Keberadaan Jentik). Jurnal
Karnaini Saputra, Adi 2016, Hub- ungan Pengetahuan Tentang DBD Dan Sikap Masyarakat Dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Desa Kuok Wilayah Kerja Puskesmas Kuok Tahun 2016. Jurnal
Mazrizal (2016). Analisis Kasus DBD Berdasarkan Unsure Iklim
Dan Kepadatan Penduduk Melalui Pendekatan GIS Di Tanah Datar.
Jurnal
Ronald dan wulan. (2015). Pemetaan Penyebaran Penyakit Demam Ber- drah Dangue Dengan Geographic Information System (GIS) di Kota Kotamobagu. Jurnal
Rustiadi, Ernan; Saefulhakim, Sunsun dan Dyah R. Panuju, 2009. Perencanaan dan Pengem- bangan Wilayah. Jakarta: Crest- pent Pres dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Yulidasari dan Fakhriadi (2015).
Faktor Risiko Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Wilayah Kerja Puskesmas Guntung Paying Kota Banjarbaru (Tinjauan Terhadap Faktor Manusia, Ling- kungan, Dan Keberadaan Jentik).
Jurnal
Yunus, H. 2010. Metodologi Penel- itian Wilayah Kontemporer. Yog- yakarta: Pustaka Pelajar.