Retorika Khilafah dalam Media Sosial: Analisis Wacana Gerakan Islam di Instagram
ABSTRACT
Amid the rapid development of digital information and communication technology, social media has emerged as a new public sphere strategically utilized by ideological actors to disseminate ideas, shape public opinion, and build a support base. One discourse actively produced and distributed through social media is the idea of khilafah—an Islamic system of governance that has long been debated in academic, political, and religious circles in Indonesia. Although the khilafah narrative is often associated with radicalism, the fact remains that this idea continues to evolve through new forms of communication, including rhetorical approaches presented visually and narratively on platforms such as Instagram. This study aims to analyze how khilafah rhetoric is constructed and communicated by Islamic movement accounts on Instagram, and how such discourse shapes public perception of Islamic governance as an alternative to the national democratic system.
This research employs a qualitative approach using Norman Fairclough’s model of critical discourse analysis, which emphasizes three levels of analysis: text, discursive practice, and social practice. Data were collected through non-participatory observation of Instagram accounts that actively publish pro-khilafah content, namely @khilafahchannel. Data collection was conducted during May 2025, resulting in a total of 784 posts that were analyzed in-depth.
The analysis instruments focused on identifying themes, narrative structures, language use, visual symbols, and persuasive strategies used to convey the khilafah message.
The results show that khilafah rhetoric on social media, particularly Instagram, is constructed through three main strategies: (1) historical simplification, in which the khilafah is presented as the sole solution to all problems facing the Muslim ummah, disregarding its historical and contextual complexity; (2) emotional framing, which involves the use of symbols of Muslim suffering, global moral crises, and social injustice to position khilafah as a spiritual- political solution; and (3) delegitimization of democracy, where democracy is framed as a Western concept incompatible with Islamic law. These strategies are reinforced by visual rhetoric, including the use of black-and-white flags (liwa and rayah), excerpts of sermons by influential clerics, and selective quotations from hadiths and Quranic verses taken out of context. All these elements are blended into attractive and concise graphic designs suited to Instagram’s visual-centric platform.
The study also finds that the language used in these contents tends to be emotive, imperative, and dichotomous. Terms such as “kufr system,” “oppressed ummah,” “Islam’s awakening,” and “the only solution” are dominant narratives used to position audiences within an ideological struggle. These posts typically do not invite open discussion but rather push for emotionally charged identification based on religious identity. In terms of discursive practice, khilafah content on Instagram creates a homogeneous virtual community where interactions are limited to reinforcing collective beliefs rather than encouraging critical
dialogue. This finding supports Sutrisno’s (2021) assertion that Islamic political media on social platforms is more affirmative than deliberative in nature.
From the social practice dimension, the production and circulation of khilafah discourse on social media cannot be separated from broader socio-political contexts. Its emergence often responds to national or global events such as elections, economic crises, or the Palestine conflict, which are exploited as evidence of the failure of both global and domestic systems. Thus, social media becomes a battleground for ideological contestation that intertwines Islamic narratives, social discontent, and collective identity needs. This result aligns with Fealy and White’s perspective in Expressing Islam, where they emphasize that religious expression in digital media is becoming increasingly political and personal.
Additionally, this study reveals that Instagram’s algorithm plays a role in reinforcing exposure to khilafah-related content through filter bubble and echo chamber mechanisms.
Users who previously engaged with similar content are more likely to be shown posts with the same narrative, forming a closed discursive space that strengthens ideological beliefs without room for correction. This further confirms that khilafah rhetoric on social media is shaped not only by message content but also by the digital distribution system, which enables selective and segmented dissemination. Consequently, the resulting public opinion is often biased and difficult to counter with rational logic alone.
The conclusion of this study is that Instagram, as a social media platform, has been effectively utilized by certain Islamic political groups as a means to disseminate khilafah ideology through persuasive visual and verbal rhetoric. The rhetoric constructed is no longer purely academic or theological but is packaged in a popular narrative that appeals to the younger generation. In the context of Islamic political communication, this indicates a shift from traditional forms of dakwah to digital dakwah that is visual, instant, and emotionally charged. Therefore, the khilafah discourse on social media should not be understood merely as a narrow ideological movement but as a response to broader social dynamics marked by injustice, uncertainty, and identity crises. The government, academics, and religious organizations must approach this communication pattern critically in order to build counter- narratives that are not repressive but grounded in education, dialogue, and digital literacy.
This research recommends that responses to khilafah narratives on social media go beyond mere repression through bans or blocking. Instead, a literative approach that can distinguish between legitimate Islamic expression and exclusive ideological propaganda is needed. Media education strategies and critical discourse awareness must be widely introduced in religious and communication studies curricula, particularly at the higher education level. Furthermore, moderate Islamic organizations play an essential role in delivering alternative narratives that are equally engaging, both in terms of substance and visual presentation. Future research may expand on this study by examining similar phenomena on other platforms such as TikTok or Telegram, which are increasingly popular among young Muslims.
ABSTRAK
Di tengah dinamika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi digital, media sosial telah menjadi ruang publik baru yang strategis bagi berbagai aktor ideologis untuk menyampaikan gagasan, membentuk opini, dan membangun basis dukungan. Salah satu diskursus yang aktif diproduksi dan disebarluaskan melalui media sosial adalah gagasan tentang khilafah—sebuah sistem pemerintahan Islam yang selama ini menjadi perdebatan baik di ruang akademik, politik, maupun sosial keagamaan di Indonesia. Meskipun wacana khilafah kerap dikaitkan dengan narasi radikalisme, kenyataannya gagasan ini terus berkembang melalui cara-cara baru, termasuk melalui pendekatan retoris yang dikemas secara visual dan naratif dalam platform seperti Instagram. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana retorika khilafah dibangun dan dikomunikasikan oleh akun-akun gerakan Islam di Instagram, serta bagaimana wacana tersebut membentuk persepsi khalayak terhadap sistem kenegaraan Islam sebagai alternatif dari sistem demokrasi nasional.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis wacana kritis model Norman Fairclough. Model ini menekankan pada tiga dimensi analisis: teks, praktik wacana, dan praktik sosial. Data diperoleh melalui observasi non-partisipatif pada akun-akun Instagram yang secara aktif mempublikasikan konten pro-khilafah, yaitu @khilafahchannel . Data dikumpulkan selama periode Mei 2025, dengan total 784 konten unggahan yang dianalisis secara mendalam. Instrumen analisis mencakup identifikasi tema, struktur narasi, penggunaan bahasa, simbol visual, serta strategi persuasi yang digunakan dalam menyampaikan pesan khilafah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa retorika khilafah di media sosial, khususnya Instagram, dibangun melalui tiga strategi utama: (1) simplifikasi historis, yakni penggambaran sistem khilafah sebagai solusi tunggal atas seluruh persoalan umat Islam tanpa mempertimbangkan kompleksitas historis dan kontekstualnya; (2) pembingkaian emosional, yakni penggunaan simbol-simbol penderitaan umat, krisis moral global, dan ketidakadilan sosial sebagai latar untuk memunculkan khilafah sebagai jawaban spiritual-politik; dan (3) delegitimasi sistem demokrasi, di mana demokrasi digambarkan sebagai produk Barat yang bertentangan dengan syariat Islam. Strategi ini diperkuat dengan penggunaan retorika visual seperti bendera hitam putih (liwa dan rayah), potongan ceramah tokoh ulama, serta kutipan hadits dan ayat Al-Qur’an yang dipotong dari konteksnya. Semua elemen tersebut dipadukan dalam desain grafis yang menarik dan ringkas, sesuai dengan karakter media Instagram yang berbasis visual.
Penelitian ini juga menemukan bahwa bahasa yang digunakan dalam konten-konten tersebut cenderung emotif, imperatif, dan dikotomis. Istilah seperti “sistem kufur,” “umat tertindas,” “bangkitnya Islam,” dan “solusi satu-satunya” menjadi narasi dominan yang mengajak khalayak untuk memosisikan diri dalam perjuangan ideologis. Konten-konten ini seringkali tidak mengajak pada diskusi terbuka, melainkan mendorong pada bentuk keterlibatan emosional berbasis identitas. Secara praktik wacana, konten khilafah di Instagram juga membentuk komunitas virtual yang homogen, di mana interaksi terbatas pada penguatan
keyakinan kolektif, bukan dialog kritis. Hal ini memperkuat temuan Sutrisno yang menyebutkan bahwa media sosial Islam politik lebih bersifat afirmatif daripada deliberatif.
Dalam dimensi praktik sosial, produksi dan sirkulasi wacana khilafah di media sosial tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik yang lebih luas. Kemunculannya seringkali merespons peristiwa-peristiwa nasional seperti Pemilu, krisis ekonomi, atau konflik Palestina yang dieksploitasi sebagai bukti kegagalan sistem global dan domestik. Dengan demikian, media sosial menjadi medan kontestasi ideologi yang mempertemukan narasi keislaman, ketidakpuasan sosial, dan kebutuhan akan identitas kolektif. Hasil ini sejalan dengan pendapat Fealy dan White dalam bukunya Expressing Islam yang menegaskan bahwa ekspresi keagamaan di media digital semakin politis dan personal secara bersamaan.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa algoritma Instagram berperan dalam memperkuat eksposur terhadap konten khilafah melalui mekanisme filter bubble dan echo chamber. Pengguna yang sebelumnya tertarik atau berinteraksi dengan konten serupa akan lebih sering disuguhi unggahan dengan narasi sejenis, sehingga membentuk ruang diskursus tertutup yang memperkuat keyakinan ideologis tanpa koreksi. Hal ini mempertegas bahwa retorika khilafah di media sosial tidak hanya terbentuk dari isi pesan, tetapi juga dari sistem distribusi digital yang memungkinkan penyebaran narasi secara selektif dan tersegmentasi.
Akibatnya, opini publik yang terbentuk seringkali bersifat bias dan sulit dilawan dengan logika rasional semata.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa Instagram sebagai platform media sosial telah berhasil dimanfaatkan oleh sebagian kelompok Islam politik sebagai sarana penyebaran gagasan khilafah melalui retorika visual dan verbal yang efektif. Retorika yang dibangun tidak lagi bersifat akademik atau teologis semata, melainkan dibungkus dalam narasi populer yang mampu menjangkau generasi muda. Dalam konteks komunikasi politik Islam, hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dakwah tradisional ke arah dakwah digital yang bersifat visual, instan, dan emosional. Oleh karena itu, wacana khilafah di media sosial tidak bisa dipahami hanya sebagai gerakan ideologis sempit, tetapi juga sebagai respons terhadap dinamika sosial yang dirasakan tidak adil, penuh ketidakpastian, dan kehilangan arah identitas.
Pemerintah, akademisi, serta organisasi keagamaan perlu memahami pola komunikasi ini secara kritis agar dapat membangun kontra-narasi yang tidak represif, tetapi berbasis pada edukasi, dialog, dan literasi digital.
Penelitian ini menyarankan agar pendekatan terhadap narasi khilafah di media sosial tidak hanya dilakukan secara represif melalui pelarangan atau pemblokiran, melainkan melalui pendekatan literatif yang mampu membedakan antara ekspresi keislaman yang sah dan propaganda ideologis yang eksklusif. Strategi edukasi media dan pemahaman wacana kritis perlu diperkenalkan lebih luas dalam kurikulum pendidikan agama dan komunikasi, terutama di tingkat perguruan tinggi. Selain itu, peran organisasi Islam moderat juga penting dalam menyampaikan narasi alternatif yang tidak kalah menarik, baik dari sisi substansi maupun penyajian visualnya. Dalam konteks riset lanjutan, peneliti dapat mengembangkan kajian ini dengan memperluas objek ke platform lain seperti TikTok atau Telegram yang kini menjadi medium populer di kalangan generasi muda Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Fahmi, M., Harahap, L., & Al Fatah, M. H. (2023). Studi Kualitatif Representasi Islam Pada Akun Media Sosial Masjid Di Indonesia. NIVEDANA : Jurnal Komunikasi dan Bahasa, 4(2), 467–485. https://doi.org/10.53565/nivedana.v4i2.866
Latip Kahpi, M., Syahbana Siregar, A., & Romadhon Sahru. (2024). Dinamika Komunikasi Poltik Islam: Narasi dan Dampak dalam Konteks Politik Kontemporer. Hikmah, 18(1), 1–130. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/aqidah-ta/article/view/5653
Sampe Litha, T., & Kreshan, A. (2024). SOCIAL MEDIA USER INTEREST IN VISUAL CONTENT ON @himakom.uki INSTAGRAM KETERTARIKAN PENGGUNA MEDIA SOSIAL TERHADAP KONTEN VISUAL DI INSTAGRAM @himakom.uki. 11(1), 103–
113. https://doi.org/10.22487/ejk.v11i1.1266
Fealy, G., & White, S. (2016). Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (13 ed.). ISEAS Publishing. https://books.google.co.id/books?id=_HYiqv333C8C&printsec
=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
Anderson, B. R. O. G. (2015). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia.
Equinox Publishing Indonesia. https://books.google.co.id/books?id=05cZ6dxZYLcC&
printsec=copyright&hl=id#v=onepage&q&f=false
Nurhayati, M. A., Wirayudha, A. P., Fahrezi, A., Pasama, D. R., & Noor, A. M. (2023). Islam Dan Tantangan Dalam Era Digital: Mengembangkan Koneksi Spiritual Dalam Dunia Maya. Al-Aufa: Jurnal Pendidikan Dan Kajian Keislaman, 5(1), 1–27.
https://doi.org/10.32665/alaufa.v5i1.1618
Rachmadhani, A. (2021). Otoritas Keagamaan di Era Media Baru: Dakwah Gus Mus di Media Sosial. PANANGKARAN, Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat, 5(2), 150–169.
https://grafis.tempo.co/read/1312/rumus-pendapatan-platform-
Zainuddin, T. (2024). Pendidikan Politik Islam melalui Media Sosial dalam Meningkatkan Partisipasi Warga pada Pemilihan Presiden Tahun 2024. Sadida, 4(1), 47–86.
Karim, S., & Alamsyah, A. (2020). Analisis Framing: Konstruksi Pemberitaan Islam Dan Politik Pada Harian Amanah 2017. JPP (Jurnal Politik Profetik), 6(2), 198–233.
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/6867
Setiawan, R. F., & Abadi, T. W. (2024). Strategi Retorika dan Persuasi Keagamaan dalam Khotbah YouTube di Indonesia. 2, 1–12.
