Di sebuah desa terpencil di Sulawesi, seorang anak bernama Aji menjalani hidupnya dengan penuh kesendirian dan perjuangan. Desa itu dikelilingi hutan lebat dan pegunungan yang menjulang tinggi, seolah-olah memisahkannya dari dunia luar. Di pagi hari, udara segar bercampur dengan aroma tanah basah, tapi bagi Aji, semua itu hanya menjadi latar dari kehidupan yang tak pernah mudah.
Aji baru berusia delapan tahun ketika kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis saat sedang pergi ke pasar di kota terdekat. Sejak saat itu, ia tinggal di sebuah rumah kecil yang hampir runtuh di tepi desa. Rumah itu adalah peninggalan orang tuanya, tapi kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu mulai rapuh, atapnya yang terbuat dari daun rumbia sering bocor saat hujan deras, dan lantai tanahnya menjadi dingin menusuk tulang di malam hari. Namun, Aji tidak pernah mengeluh. Baginya, rumah itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa dari orang tuanya.
Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Aji sudah bangun dan mempersiapkan dirinya untuk bekerja. Ia menggenggam kotak kecil berisi alat-alat semir sepatu yang ia buat sendiri dari kayu bekas. Dengan langkah kecilnya, ia berjalan menuju pasar desa. Pasar itu adalah tempat paling ramai di desa, tapi bagi Aji, keramaian itu terasa asing. Orang-orang berlalu lalang, sibuk dengan urusan masing-masing, dan hampir tak pernah memperhatikan kehadirannya.
Aji bekerja keras, menawarkan jasa menyemir sepatu kepada siapa saja yang mau mempercayainya. Tapi lebih sering, ia hanya mendapat tatapan dingin atau ejekan dari penduduk desa. "Kamu masih kecil, seharusnya sekolah, bukan berkeliaran di sini!" kata salah seorang pedagang. Yang lain menambahkan dengan nada sinis, "Apa gunanya anak yatim seperti kamu? Hidupmu hanya akan menjadi beban bagi orang lain." Aji hanya menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan mereka.
Ketika tidak ada pelanggan, Aji sering duduk di sudut pasar, memandangi orang-orang yang berlalu lalang. Ia diam-diam bermimpi, berharap suatu hari hidupnya akan berubah. Dalam kesendirian, ia sering membayangkan ayah dan ibunya masih ada, membawanya pulang ke rumah dan menemaninya makan malam di bawah lampu minyak yang temaram. Namun, setiap kali bayangan itu muncul, ia segera tersadar bahwa kenyataan hidupnya jauh dari impian.
Malam hari adalah waktu yang paling sulit bagi Aji. Setelah seharian bekerja keras, ia kembali ke rumah kecilnya yang gelap dan dingin. Ia hanya memiliki satu lampu minyak kecil yang sudah hampir kehabisan minyak. Dalam keremangan, Aji sering memandangi langit yang penuh bintang melalui lubang di atap rumahnya. Di sanalah ia merasa sedikit tenang. "Mungkin ada seseorang di luar sana yang juga melihat bintang-bintang ini," pikirnya. "Mungkin mereka mendoakanku."
Aji tidak pernah berhenti berharap. Meski hidupnya penuh dengan kesulitan, ia percaya bahwa suatu saat akan ada keajaiban yang mengubah nasibnya. Ia percaya bahwa di balik kegelapan, selalu ada cahaya yang menunggu untuk ditemukan.
Pagi itu, pasar desa lebih ramai dari biasanya. Para pedagang menawarkan dagangan mereka dengan suara lantang, dan pembeli berdesakan mencari barang kebutuhan. Aji, seperti biasa, membawa kotak semir sepatunya, berharap mendapatkan pelanggan hari itu. Ia duduk di sudut pasar, memperhatikan hiruk-pikuk yang selalu membuatnya merasa kecil. Di tengah kesibukan itu, terdengar suara gaduh. Seorang pedagang kaya, yang dikenal dengan nama Pak Rustam, tampak panik.
"Dompetku hilang! Dompetku hilang!" serunya dengan wajah memerah.
Para pedagang dan pembeli di sekitar langsung berhenti beraktivitas, memperhatikan kejadian itu. Pak Rustam dikenal sebagai pedagang besar yang sering membawa uang dalam jumlah banyak. Kehilangan dompetnya adalah masalah besar, dan kegaduhan ini segera menarik perhatian seluruh pasar.
Beberapa orang mulai berbisik-bisik. "Siapa yang mencuri? Siapa yang berani mengambil dompet Pak Rustam?" suara-suara penuh curiga mulai terdengar. Aji, yang duduk tak jauh dari tempat itu, merasa was-was.
Tiba-tiba, salah seorang pedagang menunjuk ke arah Aji. "Mungkin anak itu yang mencuri! Dia selalu berkeliaran di sini, dan siapa tahu apa yang ada dalam pikirannya?" katanya dengan nada menuduh.
Aji terkejut. "Bukan saya Pak. Saya tidak mencuri apa-apa," katanya sambil berdiri, mencoba membela diri. Tapi suaranya terlalu kecil di tengah kerumunan yang semakin ramai.
"Siapa lagi yang mungkin melakukannya? Dia anak miskin, pasti dia butuh uang!" seru yang lain.
Orang-orang mulai mengelilingi Aji, tatapan mereka penuh tuduhan. Beberapa bahkan mendekat dengan sikap mengancam. Aji merasa terpojok. Ia berusaha menjelaskan, "Saya hanya bekerja di sini, saya tidak mengambil apa pun. Tolong percayalah."
Namun, tak seorang pun mendengarkan. Dalam kemarahan dan prasangka, beberapa orang langsung menyerbu rumah kecil Aji di tepi desa. Mereka membongkar isi rumahnya yang seadanya, mencari-cari dompet Pak Rustam, meskipun tanpa bukti bahwa Aji bersalah.
Rumah itu sudah rapuh, dan kini hancur berantakan. Barang-barang Aji yang sedikit—sebuah tikar lusuh, beberapa pakaian lama, dan kotak semir sepatunya—dilempar keluar dengan kasar.
"Ini pelajaran untukmu! Jangan coba-coba mencuri lagi!" teriak salah satu dari mereka sebelum pergi.
Aji berdiri di depan rumahnya yang kini hanya berupa puing-puing, tubuhnya gemetar menahan tangis. Ia ingin berteriak, ingin melawan, tapi ia tahu itu hanya akan sia-sia. Tidak ada yang mau mendengarkan seorang anak yatim seperti dirinya.
Malam itu, Aji duduk di antara reruntuhan rumahnya, memandangi bulan yang menggantung di langit. Hatinya terasa berat. Dunia seolah-olah telah berpaling darinya, meninggalkannya dalam kesepian yang semakin dalam.
Dalam diam, ia bertanya-tanya apa yang telah dilakukannya sehingga hidupnya penuh dengan penderitaan. Ia tidak pernah mencuri, tidak pernah menyakiti siapa pun, tapi mengapa semua orang begitu mudah menyakitinya? Air mata mengalir di pipinya, tapi ia segera menghapusnya.
"Aku harus kuat," pikirnya. "Kalau aku menyerah sekarang, siapa yang akan membantuku?"
Aji memutuskan bahwa ia tidak bisa tinggal di desa itu lagi. Tempat itu bukan rumah baginya—
hanya tempat penuh luka dan prasangka. Dengan hati yang berat, ia memutuskan untuk pergi, meninggalkan semua yang ia kenal, dan mencari kehidupan baru di tempat lain.
Pagi-pagi buta, Aji memulai perjalanannya. Ia tidak tahu ke mana kakinya akan membawanya, tapi ia yakin satu hal: ia harus menemukan tempat di mana ia bisa hidup dengan tenang, jauh dari orang-orang yang menghakiminya tanpa alasan. Dengan membawa kotak semir sepatunya dan pakaian yang tersisa, ia melangkah keluar dari desa itu, meninggalkan masa lalu yang penuh kepahitan.
Namun, di dalam hatinya, ada harapan kecil yang terus menyala—harapan bahwa di suatu tempat, ada orang-orang yang akan melihat kebaikan dalam dirinya, dan memberinya kesempatan untuk memulai hidup baru.
Aji melangkah tanpa arah, meninggalkan desanya yang telah memberinya begitu banyak luka.
Jalan setapak di pinggiran desa yang biasanya dilewati para petani terasa sepi pagi itu. Hanya
ada suara gemerisik dedaunan yang diterpa angin. Aji terus berjalan, menahan rasa lapar dan dingin yang menggigit tubuhnya. Ia tahu tidak ada yang akan merindukannya. Hatinya terasa kosong, seperti dunia telah melupakan keberadaannya.
Seiring berjalannya waktu, Aji mulai memasuki hutan yang lebat. Pohon-pohon tua menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bertautan seperti ingin menutupi langit. Cahaya matahari hanya menembus dalam garis-garis tipis, menciptakan bayangan gelap di sepanjang tanah berlumut.
Suara kicauan burung bercampur dengan gemerisik dedaunan yang diinjak Aji.
Awalnya, Aji merasa takut. Hutan itu terkenal dengan cerita-cerita seram yang sering didengar Aji dari penduduk desa. "Hutan itu rumah bagi roh-roh jahat," begitu mereka berkata. Tapi bagi Aji, hutan itu terasa lebih aman daripada desanya sendiri. Tidak ada mata penuh prasangka, tidak ada tuduhan kejam. Hanya kesunyian, yang meski mengintimidasi, memberikan sedikit kedamaian.
Hari mulai beranjak sore ketika Aji memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia menemukan sebuah pohon besar dengan akar yang menonjol keluar dari tanah, membentuk semacam tempat berlindung. Ia duduk di sana, memeluk lututnya, berusaha menghangatkan diri. Perutnya keroncongan, dan kepalanya terasa ringan akibat kelelahan.
Namun, di tengah keheningan itu, Aji mendengar sesuatu. Suara itu seperti desisan panjang yang menyelinap di antara gemerisik dedaunan. Aji segera waspada. "Apa itu?" gumamnya dalam hati. Ia menoleh ke segala arah, berusaha mencari sumber suara. Suara itu semakin mendekat, diiringi oleh gemeretak ranting yang patah.
Dengan rasa takut bercampur penasaran, Aji mengikuti suara itu. Ia melangkah perlahan, melewati semak-semak dan pohon-pohon besar. Di depan sana, ia melihat sesuatu yang tak biasa—sebuah jaring besar yang terbuat dari tali kasar tergantung di antara dua pohon. Di dalam jaring itu, seekor ular raksasa terperangkap.
Aji tertegun. Ular itu berwarna hitam mengkilap dengan pola keemasan di sisiknya. Matanya yang besar menatap Aji dengan tajam, seolah-olah meminta tolong. Tubuhnya melilit-lilit, mencoba membebaskan diri, tapi semakin ia bergerak, semakin erat jaring itu menjeratnya.
Aji merasa takut, tapi ia juga tidak tega melihat ular itu kesakitan. "Bagaimana ini? Kalau aku mendekat, mungkin aku akan dimangsa. Tapi kalau aku pergi, dia akan mati," pikirnya. Aji berdiri di tempatnya, bergumul dengan rasa takut dan iba di dalam hatinya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk bertindak. Dengan hati-hati, ia mencari sesuatu yang tajam. Di dekatnya, ia menemukan sepotong bambu yang pecah, ujungnya runcing. Aji menggenggam bambu itu dengan tangan yang gemetar, lalu mendekati ular itu perlahan.
"Aku akan membantumu, tapi jangan menyerangku," bisik Aji, meski ia tahu ular itu mungkin tidak mengerti.
Dengan hati-hati, Aji mulai memotong tali-tali jaring yang menjerat ular itu. Prosesnya tidak mudah. Ular itu bergerak gelisah, membuat Aji harus berkali-kali mundur. Tapi ia tidak menyerah. Keringat bercucuran di dahinya, dan tangannya mulai terasa sakit akibat memegang bambu yang tajam.
Setelah beberapa saat, akhirnya jaring itu putus. Ular itu bebas. Aji mundur dengan cepat, berjaga-jaga jika ular itu menyerangnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ular itu tidak bergerak menyerang. Ia hanya menatap Aji dengan mata yang bersinar, lalu perlahan tubuhnya mulai berkilauan.
Aji terkejut. Di depan matanya, ular itu berubah menjadi seorang wanita cantik dengan pakaian berkilauan, seperti terbuat dari cahaya bulan. Wanita itu tersenyum lembut kepada Aji.
"Terima kasih Aji," katanya dengan suara yang lembut namun berwibawa. "Engkau telah menunjukkan kebaikan hati, bahkan di saat hidupmu sendiri penuh penderitaan. Aku adalah Ratu Ular, dan aku sangat berhutang budi padamu."
Aji terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya memandangi wanita itu dengan bingung.
Bagaimana ia bisa tahu namaku? pikirnya.
"Jangan takut," lanjut wanita itu. "Aku tidak akan menyakitimu. Sebagai balas budi atas keberanian dan kebaikan hatimu, aku ingin membawamu ke tempatku. Di sana, engkau akan aman dan terlindungi."
Aji masih ragu, tapi tatapan wanita itu membuatnya merasa tenang. Setelah sekian lama hidup dalam ketakutan dan kesepian, untuk pertama kalinya ia merasa dihargai. Dengan hati yang berat, ia mengangguk.
Ratu Ular mengulurkan tangannya. "Ikutlah denganku," katanya. Aji menggenggam tangan itu, dan tiba-tiba, dunia di sekitarnya berubah. Hutan yang gelap menghilang, digantikan oleh
pemandangan yang tak pernah dilihat Aji sebelumnya—sebuah istana yang penuh cahaya dan keindahan.
Aji tidak bisa percaya pada apa yang dilihatnya. Setelah menggenggam tangan Ratu Ular, ia tiba-tiba berada di tempat yang sangat berbeda dari hutan yang gelap dan menyeramkan. Di depannya berdiri sebuah istana megah yang tampak seperti terbuat dari kristal. Cahaya yang memancar dari dinding-dinding istana menyilaukan mata, seolah-olah ribuan bintang terkumpul di sana. Pepohonan di sekitar istana menjulang tinggi dengan dedaunan yang berkilauan seperti permata, dan sungai kecil yang mengalir di dekatnya tampak bersinar seperti cairan perak.
"Masuklah," ujar Ratu Ular dengan senyum lembut. "Ini adalah rumahku, dan selama engkau di sini, engkau adalah tamuku."
Aji mengikuti langkah Ratu Ular memasuki istana. Di dalam, keindahan yang luar biasa menantinya. Lantai istana terbuat dari marmer putih yang memantulkan cahaya seperti cermin, sementara pilar-pilar besar dihiasi ukiran yang rumit. Langit-langitnya begitu tinggi, dipenuhi dengan lukisan indah yang tampak hidup. Suara air mengalir terdengar lembut, menciptakan suasana yang menenangkan.
Aji merasa canggung berjalan di tempat semegah itu. Pakaian lusuhnya terasa tidak pantas berada di antara kemegahan ini. Namun, Ratu Ular tampak tidak memedulikannya. Ia mempersilakan Aji duduk di sebuah meja panjang yang dipenuhi makanan.
"Silakan makan," katanya. "Kau pasti lelah dan lapar."
Aji memandang meja itu dengan takjub. Ada berbagai macam makanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya: buah-buahan berwarna cerah, roti yang harum, dan sup yang mengepul hangat. Namun, ia ragu-ragu. "Apakah semua ini benar-benar untukku?" tanyanya dengan suara pelan.
"Tentu saja," jawab Ratu Ular. "Engkau adalah tamuku. Jangan ragu Aji."
Dengan hati-hati, Aji mengambil sepotong roti dan mencicipinya. Rasanya begitu lezat, jauh berbeda dari makanan sederhana yang biasa ia makan. Setelah beberapa gigitan, rasa laparnya mengalahkan rasa malunya. Ia mulai makan dengan lahap, sementara Ratu Ular tersenyum melihatnya.
Setelah selesai makan, Aji diberi pakaian baru yang lembut dan nyaman. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan kehangatan yang tidak hanya berasal dari pakaian, tetapi juga dari kebaikan seseorang yang peduli padanya. Ia tidur di sebuah kamar yang besar, dengan tempat tidur empuk yang membuatnya merasa seperti sedang berbaring di atas awan. Malam itu, Aji tidur nyenyak, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
Keesokan paginya, Ratu Ular memanggil Aji ke sebuah ruangan besar di istana. Ruangan itu dipenuhi dengan cahaya keemasan, dan di tengahnya terdapat sebuah takhta megah yang dihiasi permata. Ratu Ular berdiri di depan takhta, memegang sesuatu di tangannya.
"Aji," katanya, "Engkau telah menunjukkan kebaikan hati di saat hidupmu penuh penderitaan.
Engkau tidak hanya membantuku, tetapi juga membuktikan bahwa masih ada kebaikan di tengah dunia yang kejam. Sebagai balas budi, aku ingin memberikan sesuatu untukmu."
Ratu Ular membuka tangannya, memperlihatkan beberapa sisik emas yang bersinar terang.
Sisik-sisik itu tampak seperti potongan matahari, berkilauan dengan indah.
"Ini adalah hadiahku untukmu," katanya. "Sisik ini memiliki nilai yang sangat tinggi di dunia manusia. Gunakanlah dengan bijak untuk memulai hidup baru. Tapi ingat, kekayaan bukanlah segalanya. Yang lebih penting adalah bagaimana engkau menggunakannya untuk kebaikan."
Aji memandang sisik-sisik emas itu dengan mata terbelalak. Ia hampir tidak percaya bahwa benda sekecil itu bisa memiliki nilai yang begitu besar. Namun, kata-kata Ratu Ular membuatnya merenung. Ia mengangguk perlahan. "Terima kasih Ratu. Saya akan mengingat nasihat Anda dan menggunakan ini dengan bijaksana."
Ratu Ular tersenyum puas. "Engkau adalah anak yang baik Aji. Aku yakin hidupmu akan berubah menjadi lebih baik. Namun, ingatlah satu hal: waktu di tempatku berbeda dengan waktu di duniamu. Satu hari di sini setara dengan satu tahun di dunia manusia. Maka, ketika engkau kembali, dunia mungkin sudah berubah."
Aji terkejut mendengar hal itu, tetapi ia menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang.
Setelah mengucapkan terima kasih yang mendalam, ia berpamitan kepada Ratu Ular. Dengan satu gerakan tangan, Ratu Ular menciptakan portal bercahaya yang membawa Aji keluar dari istana.
Ketika Aji melangkah keluar, ia kembali berdiri di tepi hutan. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Udara terasa asing, dan suasana di sekelilingnya tidak seperti yang ia ingat. Dengan hati yang berdebar, ia berjalan menuju desanya, siap menghadapi dunia yang telah ia tinggalkan, dengan harapan baru dan tekad untuk menjalani hidup yang lebih baik.
Ketika Aji keluar dari hutan, ia mendapati dunia di sekitarnya tampak berbeda. Jalan setapak yang dulu akrab diingatnya kini tampak lebih sepi, dengan rumput liar yang tumbuh di sepanjang tepinya. Pohon-pohon di sekitar desa tampak lebih tua, dan suara kehidupan desa yang biasa ia dengar dari kejauhan kini terasa asing. Perasaan ragu mulai menyelimutinya.
"Apakah ini benar desaku?" pikirnya.
Setelah berjalan beberapa saat, Aji akhirnya tiba di tempat yang dulu ia sebut rumah. Namun, pemandangan di depannya membuat langkahnya terhenti. Rumah kecilnya yang dulu sudah hancur menjadi puing-puing, tertutup semak belukar. Bahkan, desa itu sendiri terlihat lebih kumuh dibandingkan saat terakhir kali ia melihatnya. Beberapa rumah tampak kosong dan rusak, sementara yang lainnya berdiri dengan atap yang bolong dan dinding yang miring.
Aji berjalan pelan menyusuri jalan desa. Wajah-wajah penduduk yang ia temui terlihat asing, lebih tua, atau sama sekali baru. Mereka memandang Aji dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seolah-olah mencoba mengenali siapa dia. Aji menyadari bahwa waktu benar-benar telah berlalu dengan cepat selama ia berada di istana Ratu Ular.
Namun, Aji tidak membiarkan kebingungannya menguasai dirinya. Ia mengingat nasihat Ratu Ular dan memutuskan untuk menggunakan sisik emas yang diberikan kepadanya dengan bijaksana. Ia menjual satu sisik emas kepada seorang pedagang dari kota, dan uang yang didapatnya cukup untuk membangun kembali rumahnya yang hancur. Aji mengawasi sendiri proses pembangunan rumah itu, memastikan bahwa rumah baru ini lebih kokoh dan nyaman daripada sebelumnya.
Setelah selesai, Aji tidak hanya berhenti pada membangun rumahnya sendiri. Ia juga menggunakan sebagian uangnya untuk membeli alat-alat baru untuk bekerja. Ia tidak lagi menjadi tukang semir sepatu, melainkan membuka sebuah kios kecil di pasar desa, tempat ia menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Aji kini memiliki kehidupan yang jauh lebih baik daripada sebelumnya, tetapi ia tetap rendah hati dan tidak pernah lupa pada masa-masa sulit yang telah ia lalui.
Namun, perubahan Aji tidak diterima dengan mudah oleh penduduk desa. Mereka mulai mencurigai keberhasilannya yang tiba-tiba. "Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?"
bisik salah seorang penduduk. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres."
"Apa dia memakai ilmu hitam?" tanya yang lain.
Desas-desus tentang Aji menyebar dengan cepat. Orang-orang mulai menghindarinya, bahkan ada yang mencoba menakut-nakutinya dengan tuduhan palsu. Namun, Aji tetap bersabar. Ia tidak membalas perlakuan mereka dan memilih untuk menjauh dari konflik.
Beberapa minggu kemudian, sebuah bencana besar melanda desa. Hujan deras turun selama berhari-hari, menyebabkan sungai di dekat desa meluap. Air bah menghancurkan rumah-rumah penduduk, meninggalkan banyak dari mereka tanpa tempat tinggal. Aji, yang rumahnya dibangun dengan kokoh, menjadi salah satu dari sedikit orang yang selamat dari kerusakan parah.
Setelah banjir besar yang melanda desa, Aji berdiri di tengah reruntuhan yang dulunya adalah tempat tinggal para penduduk. Rumah-rumah yang pernah menjadi simbol kehidupan kini hanyalah sisa-sisa kayu dan lumpur. Wajah-wajah penduduk desa penuh kesedihan, kelelahan, dan keputusasaan. Namun, Aji tahu bahwa ini bukan akhir. Justru dari kehancuran inilah harapan bisa dimulai kembali.
Aji, dengan rumahnya yang kokoh dan sumber daya yang cukup, menjadi tempat perlindungan bagi banyak penduduk. Setiap pagi, ia membagikan makanan yang ia simpan, memastikan semua orang mendapatkan bagian. Ia juga memberikan tempat tidur dan pakaian kering bagi mereka yang kehilangan segalanya. Tidak peduli bagaimana orang-orang ini pernah memperlakukannya, Aji membuka pintunya lebar-lebar.
Pada suatu malam, di tengah keramaian orang-orang yang berlindung di rumahnya, seorang wanita tua mendekatinya. Wanita itu adalah salah satu dari banyak orang yang dulu sering mencemoohnya. Dengan mata yang berlinang, ia memegang tangan Aji. "Aji, maafkan aku,"
katanya dengan suara bergetar. "Aku dulu salah menilaimu. Aku tidak tahu bahwa engkau memiliki hati sebesar ini."
Aji menatap wanita itu dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa Bu," jawabnya. "Semua orang pernah membuat kesalahan. Yang penting adalah bagaimana kita melangkah maju."
Seiring berjalannya waktu, permintaan maaf seperti itu datang dari banyak penduduk desa.
Orang-orang yang pernah memandangnya rendah, menuduhnya mencuri, dan mengusirnya dari desa kini berdiri di hadapannya dengan kepala tertunduk. Aji menerima setiap permintaan maaf itu dengan hati yang lapang.
Namun, Aji tidak hanya berhenti pada memberikan tempat berlindung. Ia mulai mengambil tindakan nyata untuk membangun kembali desa. Dengan menggunakan sisik emas yang tersisa, ia mengupah para pekerja yang ia mintai tolong untuk memperbaiki rumah-rumah yang hancur.
Ia mendirikan jembatan baru di atas sungai yang meluap dan membangun tanggul untuk mencegah banjir di masa depan. Ia bahkan membangun sebuah lumbung desa agar semua orang memiliki cadangan makanan jika bencana datang lagi.
"Ini bukan hanya untukku," kata Aji suatu hari saat para penduduk bertanya mengapa ia melakukan semua ini. "Ini untuk kita semua. Desa ini adalah rumah kita, dan kita harus menjaganya bersama-sama."
Lambat laun, desa itu kembali hidup. Rumah-rumah yang rusak berdiri tegak lagi, bahkan lebih kokoh dari sebelumnya. Pasar yang dulunya sepi kini kembali ramai, dipenuhi dengan suara tawa anak-anak dan pedagang yang bersemangat.
Penduduk desa tidak hanya berterima kasih kepada Aji, tetapi juga belajar darinya. Mereka mulai memahami pentingnya saling mendukung dan tidak menghakimi orang berdasarkan prasangka. Mereka belajar untuk melihat kebaikan dalam diri orang lain, seperti yang Aji lakukan selama ini.
Aji sendiri merasa hidupnya penuh makna. Meskipun ia pernah mengalami masa-masa tergelap, ia menyadari bahwa semua itu membawanya ke titik ini. Kesulitan yang ia alami telah memberinya kekuatan untuk membantu orang lain dan menjadi cahaya bagi mereka yang sedang berada dalam kegelapan.
Pada suatu sore, saat matahari mulai terbenam, Aji berdiri di bukit kecil di pinggir desa. Ia memandang ke bawah, melihat desanya yang telah bangkit kembali. Ia mendengar suara tawa teman-temannya yang bermain, suara lonceng dari pasar, dan melihat asap tipis dari cerobong- cerobong rumah yang kembali dihuni. Pemandangan itu membuat hatinya hangat.
Seorang temannya mendekatinya, memegang sebuah bunga liar dan menyerahkannya kepada Aji. "Terima kasih Aji," katanya dengan polos. "Karenamu, desa kita indah lagi."
Aji tersenyum. "Tidak ada yang perlu kau terima kasihkan" katanya. "Kita semua bekerja bersama untuk ini."
Namun, jauh di lubuk hatinya, Aji tahu bahwa apa yang ia lakukan bukan hanya untuk desanya, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Dengan membantu orang lain, ia telah menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.
Malam itu, saat bintang-bintang mulai muncul di langit, Aji duduk sendirian di depan rumahnya. Ia menatap ke atas, mengingat kedua orang tuanya dan semua kesulitan yang telah ia lalui. Air mata mengalir di pipinya, bukan karena kesedihan, tetapi karena rasa syukur yang mendalam.
Sejak saat itu, desa kecil yang dulu penuh prasangka berubah menjadi tempat yang penuh harapan dan persaudaraan. Dan Aji, yang dulu dianggap sebagai beban, kini dikenang sebagai pahlawan sejati.