BENDARA KLIWON KACANGAN
Pada masa Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang diperintah oleh Pakubuwono X, hidup seorang Kyai yang sangat terkenal namanya di daerah Kerajaan Surakarta, Kyai tersebut bernama Kyai Yahya.
Kemashyurannya di kalangan keluarga kerajaan dikarenakan ilmunya yang tinggi, kejujuran dan akhlak yang mulia, sepadan dengan kedudukannya sebagai seorang pemimpin agama. Oleh karena hal-hal tersebut raja sangat dekat dengan Kyai yahya apalagi telah ada pertalian antara keluarga Raja dengan Keluarga Kyai Yahya yaitu perkawinan antara kakak perempuan Raja PB. X dengan putra Kyai Yahya yang bernama Ki. Gitadipura.
Kepercayaan raja terhadap Kyai Yahya mengantarkan Ki Gitadipura diangkat menjadi Kliwon Kacangan yang memang pada saat itu jabatan tersebut masih kosong.Semula Raja PB. X telah memerintahkan agar Ki Gitadipura agar berkedudukan di Desa Krajan (sekarang daerah Karangmojo, Kecamatan Klego) tetapi oleh guru Ki Gitadipura (Kyai Gethong yang bertempat tinggal di Ngawi Jawa Timur) tidak diperbolehkan tetapi diharuskan berkedudukan di desa sebelah timur Desa sumur Genthong Kacangan.
Perintah sang guru dipatuhi dan mulailah Ki Gitadipura mohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara shalat isthikharah ditempat tersebut, dan memang petunjuk Yang Kuasa menunjukkan bahwa Ki Gitadipura harus berkedudukan di tempat tersebut. setelah itu mulailan Ki Gitadipura menjalankan tugas sebagai Kliwon Kacangan di tempat tersebut yang merupakan daerah yang sangat luas mulai dari sebelah barat yaitu Sungai Boyoromo (Karanggede), sebelah utara sampai dengan perbatasan Juwangi, disebelah timur sampai dengan Sungai Bengawan Solo (Tanon-Gabugan) dan sebelah selatan sampai dengan Banyudana.
Ki Gitadipura adalah seseorang yang memiliki watak seperti ayahnya, berjiwa besar, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, bijaksana dalam memimpin dan sangat menyukai ber- riadlaha, setiap hari senantiasa membaca Al-Quran. Dengan keluarga yang cukup besar (pada jaman dahulu keluarga raja biasa beristri lebih dari satu orang) yaitu beristri lima orang yang menurunkan anak sejumlah sepuluh orang yang kesemuanya dapat hidup dalam damai rukun dan sejahtera.
Selain jabatan sebagai seorang Kliwon, Ki Gitadipura juga sangat dikenal sebagai sosok yang sering berda`wah yang sudah merupakan atau menjadi bagian dari rencana
kepemimpinannya, hal seperti inilah yang membuat nampaknya cahaya Islam di daerah Kacangan dan hal ini mewarnai setiap gerak kehidupan masyarakatnya sehingga tidak pernah terjadi kejahatan yang dinilai membahayakan.
Dengan mengajak serta sanak famili serta kerabat untuk bermukim di Kacangan untuk membantu tugas-tugasnya sesuai dengan kemahiran masing-masing membuat usahanya berhasil dan tentu semuanya itu atas ijin dari Kerajaan Surakarta.
Ki Gitadipura juga membangun tata ruang daerah Kacangan lebih sempurna, pembuatan jalan raya yang tadinya melintas di tengah Desa Kacangan dengan bentuk agak melengkung busur diluruskan (seperti yang dapat di saksikan saat ini), hal ini dimaksudkan untuk keamanan dan kenyamanan pemakai jalan oleh sebab jalan tersebut melewati pasar (pasar Kacangan lama berada di sebelah barat desa). Jalan yang baru ini menerobos tanah pekuburan dan membaginya dua (sekarang sebelah utara menjadi komplek perkantoran dan sebelah selatan menjadi desa Magersari Wetan).
Tempat pendidikan pun didirikan berupa pondok pesantren dan sampai saat ini masih berjalan. Adapun hasil yang dirasakan adalah persatuan, kerukunan, suka bersedekah, sebab menurut Ki Gitadipura hal-hal seperti itu akan
mendatangkan limpahan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang dapat menyelamatkan kehidupan baik dunia maupun akhirat.
Singkat cerita pada saat itu Pemerintah Belanda yang sedang mengusahakan tanah perkebunan, menggunakan segala cara untuk meraih hasil dan keuntungan sebanyak mungkin dan tidak segan-segan menggunakan politik adu dombanya untuk memecah belah bangsa. Diceritakan bahwa Belanda memiliki sebuah pabrik tepung tapioka yang bertempat di Desa Sendang, pada mulanya hubungan Bendara Kliwon Kacangan dengan penguasa pabrik tersebut sangatlah baik, namun karena sesuatu hal hubungan mereka merenggang, dan Belanda mulai meremehkan kedudukannya sebagai seorang Bendara Kliwon Kacangan.
Hasutan belanda tidak sampai disitu saja sebab sudah masuk ke istana namun pihak istana tidak terburu-buru menanggapinya, namun lagi lagi kekuatan hasutan Belanda sangatlah besar.
Bendara Kliwon Kacangan mengambil langkah tegas, daripada mendapat jabatan selalu makan hati dan mengalah kepada yang salah dan senantiasa menutup-nutupi kebenaran maka Ki Gitadipura tidak pernah hadir dalam setiap acara pisowanan (tidak mau menghadap raja secara
rutin untuk melaporkan tugas dan tanggung jawab yang diembannya sambil membawa atau mengirimkan glondong pangareng-areng), hal ini sebagai upaya Bendara Kliwon Kacangan untuk mendapatkan perhatian pihak Kerajaan.
Namun apalah daya harapan Bendara Kliwon Kacangan tidak terpenuhi, bahkan sepasukan kerajaan dan bala tentara Belanda mendatangi rumah Bendara Kliwon Kacangan dan mengusirnya bersama-sama keluarganya dengan tanpa diperkenankan membawa barang miliknya satupun dan yang boleh dibawa hanya pakaian yang melekat di tubuhnya saja (lunga ngadeg), dengan penuh kesabaran Bendara Kliwon Kacangan beserta keluarga meninggalkan kacangan dan menetap di Cakran Surakarta sampai akhir hayatnya.
Sepeninggal Bendara Kliwon Kacangan tempat tinggal beserta pekarangannya dibagi-bagikan kepada masyarakat pada tahun 1927, dan akhirnya menjadi tempat yang ramai dan dinamai dukuh Magersari (artinya orang yang bertempat tinggal dipekarangan orang lain) sedangkan tempat kedudukan Kliwon (Desa Kliwonan) diberikan nama Magersari Kulon, dan setelah adanya batas penganturan wilayah maka sebelah utara jalan menjadi daerah Kelurahan kacangan sedangkan sebelah selatan jalan menjadi daerah
kelurahan Mojo, dengan demikian Desa Magersari dan Desa Kliwonan adalah bagian dari Kelurahan Mojo