• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang memiliki tugas memberantas korupsi di Indonesia.

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang memiliki tugas memberantas korupsi di Indonesia."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENANGANAN TINDAK

PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

SUTARGO NPM. 16810554

ABSTRAK

Penanganan korupsi yang sistematis dan berkelanjutan di beberapa negara tampak begitu kontras dengan realitas yang terjadi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih belum efektif. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang memiliki tugas memberantas korupsi di Indonesia. KPK memiliki kewenangan yang hampir sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam perkara tindak pidana korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan kedudukan KPK dalam sistem hukum di Indonesia dan kewenangan KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi ditinjau dari hukum positif di Indonesia. Yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian hukum normatif, dilakukan untuk menggali asas asas, norma, teori dan pendapat hukum yang relevan dengan masalah penelitian melalui inventarisasi dan mempelajari bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tertier

KPK dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan salah satu struktur hukum yang luar biasa di era transisi yang sampai saat ini masih eksis.

Lembaga ini penting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. KPK merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang di era transisi akibat ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga konvensional seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. salah satu konsideran Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002 mengatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Pembentukan KPK merupakan amanat dari Pasal 43 UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 dengan UU No 30 Tahun 2002. Kewenangan KPK dalam bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam UU No 30 Tahun 2002 adalah: 1). Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi (Pasal 6 huruf c UU KPK); 2). Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a). Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b). Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau; c). Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah); d). Ketiga syarat tersebut merupakan syarat yang bersifat alternatif, bukan limitatif ataupun kumulatif.

Kata Kunci: Tinjauan Hukum, Kewenangan KPK, Pidana Korupsi

(2)

PENDAHULUAN

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Good governance atau pemerintahan yang bersih dan penegakan hukum, khususnya di bidang korupsi, adalah agenda demokrasi yang paling dasar untuk mencegah terjadinya triple crisis of governance. Tiga krisis itu adalah kemandekan penegakan hukum, ketidakmampuan pemerintah menjaga perdamaian rakyat atau daerah, serta pertumbuhan ekonomi yang stagnan atau krisis sebagai akibat dari kegagalan kebijakan perekonomian dan rendahnya kapasitas dan integritas birokras pemerintah.1

Masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia salah satunya ialah masalah korupsi. Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian. Tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik, social budaya, maupun keamanan.2 Salah satu faktor penghambat kesejahteraan negara berkembang disinyalir akibat dari praktek korupsi yang eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor publik, maupun melibatkan masyarakat yang lebih luas. Indikasi maraknya praktek korupsi di negara ini dapat terlihat dari tidak kunjung membaiknya angka persepsi korupsi Indonesia.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana khusus, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga lambat laun akan membawa daampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.3

Upaya penanganan korupsi yang sistematis dan berkelanjutan di beberapa negara tampak begitu kontras dengan realitas yang terjadi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih sangat lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor. Walaupun telah terdapat sejumlah lembaga yang memiliki peran dalam penanganan tindak pidana korupsi, antara lain: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, BPK, serta BPKP dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi. Pentingnya lembaga khusus yang memiliki kewenangan untuk memberantas korupsi, bukan hanya di Indonesia, tetapi semua Negara peserta (state party). Namun lemahnya institusi penegak hukum menjadi permasalahan tersendiri dalam penanganan tindak pidana korupsi. Kenyataan pahit lainnya adalah kuatnya intervensi dari intstitusi/lembaga lain atau pihak yang mempunyai kepentingan, khususnya kepentingan

1 Tri Agung Kristanto, 2009, Korupsi Kelembagaan Masih Ancaman, (Jakarta: Kompas), hal. 21

2 Deni Styawati, 2008, KPK Pemburu Koruptor, ( Yogyakarta: Pustaka Timur), hal. 1

3 Lilik Mulyadi., 2000, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hal 1 dan 2.

(3)

hukum yang dialaminya. Akhirnya barter kepentingan pun terjadi antara penegak hukum dengan pihak yang sedang tersangkut kasus hukum. Oleh karena itu, penyelesaian korupsi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan menggunakan metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus dengan metode baru dan lembaga baru.4 Dengan demikian tidak salah jika masyarakat menjadi tidak percaya terhadap kinerja penegak hukum yang penuh dengan intervensi kepentingan, kurangnya itikad baik dan jauh dari independensi serta keseriusan dalam menangani kasus korupsi. Oleh karena itu untuk menanggulangi lemahnya penegakan hukum, menghindari intervensi dan perebutan kewenangan antara institusi dan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka perlu adanya institusi khusus yang mempunyai kewenangan ekstra-khusus memberantas penyakit yang telah lama menggagu stabilitas keuangan bangsa ini. akankah harapan tersebut terwujud dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan tindak pidana Korupsi (KPK).

Pembentukan komisi khusus dalam penanggulangan tindak pidana korupsi ini dibentuk dengan pertimbangan yaitu Pertama melalui media massa ada beberapa kasus besar yang tidak pernah jelas ujung akhir penanganannya. Kedua, pada kasus tertentu seringkali terjadi adanya kebijakan Pengeluaran SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh aparat terkait sekalipun secara yuridis Bukti permulaan sudah cukup kuat. Ketiga, kaluapun suatu kasus korupsi penanganannya sudah sampai pada tahap persidangan di Pengadilan, seringkali publik dikecewakan dengan vonis vonis yang melawan arus dan rasa keadilan masyarakat. Dan selain itu penanganan tindak pidana korupsi secara Konvensional selama ini terbukti seringkali mengalami hambatan.5 Oleh karena itu pemberantasan Tindak pidana Korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif dan berkesinambungan selain itu lembaga pemerintahan yang menangani perkara Tindak Pidana Korupsi.6

PEMBAHASAN

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan tindak pidana yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana telah di sebutkan dalam alenia pertama. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu Negara dan bangsa. Dampak dari tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya berbagai bencana alam dan kerusakan lingkungan seperti banjir, bahkan Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan bahwa akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.7

4 Romli Atmasasmita, 2002, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Percetakan Negara RI), hal. 40.

5 Mahrus Ali, “ Asas Asas dan Praktek Hukum Pidana Korupsi “ (Yogyakart: UII Press), hal 224

6 Konsideran Huruf a dan b Undang Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak pidana Korupsi

7 Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. (Citra Aditya Bakti), hal. 69

(4)

Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu Negara akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Hal ini ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi selalu melibatkan penyelenggara negara atau pejabat Negara. Hal ini berbeda apabila para pihaknya adalah orang biasa dalam hal ini penegak hukum lebih bebas untuk mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Dalam hal salah satu pihaknya Negara atau pejabat Negara penegak hukum akan ekstra hati-hati dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang pilih dan sebagainya. Dalam kondisi demikian asas Equality Before the Law akan dibuktikan kebohongannya, dan hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos belaka. Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan:

Dampak negatif dari keadaan di atas adalah muncul fenomena ambivalensi sikap dan perilaku pejabat pemerintahan dan bahkan penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya menaati hukum dan menegakan hukum. Berbagai kasus korupsi yang menyangkut pejabat tinggi dan mereka yang dekat dengan kekuasaan ditindak lanjuti secara selektif dan menampakkan diskriminasi secara terbuka, resistensi terhadap agenda pemberantasan korupsi mulai tumbuh seperti jamur di musim hujan, mulai dari lontaran keresahan pejabat daerah dan calon pemimpin proyek sampai kepada gagasan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengurangi peranan lembaga Negara yang ditugasi melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah.8Upaya memerangi tindak pidana korupsi tidak pernah mengenal surut berbagai upaya untuk menghambat di hadapi pula dengan upaya yang lebih tegas dalam membentuk instrumen hukum yang luar biasa. Di hapuskannya TGTPK melalui keputusan Mahkamah Agung segera disambut dengan pembentukan KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan amanat dari Pasal 43 UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi itu sendiri adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang korupsi No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Setiap penyelenggara negara seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang No 28 tahun 1999 tentang penyelanggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme diharapkan dapat di bebaskan dari segala bentuk perbuatan yang tidak terpuji ini, sehingga terbentuk aparat dan aparatur penyelenggara negara yang benar benar bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.9 Dengan Undang-Undang No.32 tahun 2002 ini, status hukumKPK secara tegas ditentukan sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapunpembentukan komisi ini bertujuan untuk meningkatkan daya guna

8 Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial. Komisi Yudisial, hal. 116

9 Jimly asshiddiqie, 2010, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika), hal, 193-196

(5)

dan hasil guna upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah berjalan sejak sebelumnya.10

Berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuklah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berada dilingkungan Peradilan Umum dan untuk sementara Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi wilayah Negara Republik Indonesia. KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah membuat suatu gebrakan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan berhasil membuat para pelaku tindak pidana korupsi jera karena tidak ada kasus Korupsi yang di adili oleh pengadilan tindak pidana korupsi lepas dari jerat hukum. Keberadaan dua lembaga tersebut pun sempat membuat para pejabat Negara merasa takut apabila berhadapan dengan KPK.

PENUTUP

KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Hal tersebut dinyatakan pada Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun. Dalam Pasal 3 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. memiliki independensi yang lebih dibanding dengan kepolisian dan kejaksaan.

Upaya memerangi tindak pidana korupsi tidak pernah mengenal surut berbagai upaya untuk menghambat di hadapi pula dengan upaya yang lebih tegas dalam membentuk instrumen hukum yang luar biasa. Dihapuskannya TGTPK melalui keputusan Mahkamah Agung segera disambut dengan pembentukan KPK yang merupakan amanat dari Pasal 43 UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Sebagai suatu lembaga Negara yang bersifat independen, selain keberadaannya diatur dalam undang-undang tersendiri, KPK dalam menjalankan kewajiban, kewenangan terikat pada: 1). UU No 8 tahun 1981 2). UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah ditambah dalam UU No 20 Tahun 2001. KPK terikat pada KUHAP (UU No 8 Tahun 1981) ketentuan KUHP, UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 28 Tahun 1999 serta ketentuan hukum pidana lainnya. Adapun kewenangan KPK dalam bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi di dalam Undnag-Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah sebagai berikut: 1). Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi (Pasal 6 huruf c UU KPK); 2). Berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a).

Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b). Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau; c).

Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah); d).

Ketiga syarat tersebut merupakan syarat yang bersifat alternatif, bukan limitatif ataupun kumulatif.

REFERENSI

10 Ibid

(6)

Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia

---, 1991. Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

---, 2008, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

---, 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia , Malang: Bayumedia Publishing

Adrian Sutendi. 2010. Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Sinar Grafika

Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika

Barda Namawi Arief , 2006, “Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan “, Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: PT Pradnya Paramitha

Deni Styawati, 2008, KPK Pemburu Koruptor, Yogyakarta: Pustaka Timur

Prinst Darwan. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Citra Aditya Bakt

Evi Hartanti., 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika

Ermansjah Djaja, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:

Penerbit Sinar Grafika

Efi Laila Kholis, 2010, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta:

Penerbit Solusi Publishing

Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Jakarta: Sinar Grafika

Firman Wijaya, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Jakarta: Maharini Press

(7)

Lilik Mulyadi., 2000, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

---, 2007, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya), Bandung: PT Citra Aditya Bakt Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta

---, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara

Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung:

CV Mandar Maju

Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). (Bandung: Penerbit Mandar Maju

Mahmuddin Muslim, 2004, Jalan Panjang Menuju KPTPK, Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Indonesia

Prakoso Djoko, 1990, Peranan Pengawasan dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Aksara Perrsada Indonesia

Romli Atmasasmita, 2002, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Jakarta: Percetakan Negara RI

R. Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo

Tri Agung Kristanto, 2009, Korupsi Kelembagaan Masih Ancaman, Jakarta: Kompas

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(8)

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

http://ideapahlevi.blogspot.co.id

http://eprints.uns.ac.id

http://dorlan-harahap.blogspot.co.id

http://mysavedata.blogspot.co.id

http://portalgaruda.org

http://antikorupsi.info/id

https://wonkdermayu.wordpress.com

Referensi

Dokumen terkait

LEMBAR HASIL PENILAIAN SEJAWAT ATAUPEER REVIEW KARYA ILMIAH: JURNAL IILMIAH Judul Jurnal Ilmiah artikel : Pengaruh Kualitas Pelayanan Internet Banking Terhadap Kepuasan Nasabah pada

PENINGKATAN KEAMANAN DENGAN PEMASANGAN PAGAR MENGGUNAKAN PENYANGGA AMAN PADA MASJID DI KOTA DEPOK I Ketut Sucita, Kusumo Dradjat Sutjahjo, Kartika Hapsari Sutantiningrum, Safri,