• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Konflik Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam Penanganan Covid 19 di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Konflik Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam Penanganan Covid 19 di Indonesia"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

PERSPEKTIF

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif

Konflik Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam Penanganan Covid 19 di Indonesia Conflict of Central Government Authority and DKI Jakarta

Government in Handling Covid 19 in Indonesia

Muhammad Zubeir Sipahutar, Heri Kusmanto* & Indra Kesuma Nasution Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara, Indonesia

Diterima: 12 Januari 2023; Direview: 21 Januari 2023; Disetujui: 22 Maret 2023 Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana konflik kewenangan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam mengatasi pandemi Covid-19. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data berupa studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik kewenangan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta terjadi karena adanya perbedaan orientasi dan kepentingan masing-masing pemerintah. Sejak mendeteksi virus ini di Jakarta pada Januari 2020, Pemerintah DKI Jakarta menginginkan isu pandemi Covid-19 ini menjadi masalah prioritas yang harus direspon cepat karena menyangkut kesehatan masyarakat lokal. Namun di sisi lain, Pemerintah Pusat saat itu sedang fokus meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan promosi sektor pariwisata dan transportasi. Perbedaan pandangan ini berdampak pada perbedaan kebijakan yang diambil sehingga sering tumpang tindih dan membuat penanganan pandemi Covid ini kurang maksimal. Namun secara hierarki, Pemerintah DKI Jakarta harusnya mengikuti langkah Pemerintah pusat agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan terhindar dari konflik kewenangan.

Kata Kunci: Konflik Kewenangan; Pemerintah Pusat; Pemerintah DKI Jakarta; Penanganan Covid 19 Abstract

This study aims to see how the conflict of authority in the relationship between the Central Government and the Government of DKI Jakarta is in overcoming the Covid-19 pandemic. This research is a qualitative research with a qualitative descriptive method and data collection techniques in the form of literature study. The results of this study indicate that the conflict of authority between the Central Government and the DKI Jakarta Government occurs due to the different orientations and interests of each government.

Since detecting this virus in Jakarta in January 2020, the DKI Jakarta Government wants the issue of the Covid-19 pandemic to become a priority issue that must be responded to quickly because it involves the health of the local community. But on the other hand, the Central Government at that time was focusing on increasing economic growth by promoting the tourism and transportation sectors. This difference in views has an impact on the different policies taken so that they often overlap and make the handling of the Covid pandemic less than optimal. However, hierarchically, the Government of DKI Jakarta should follow the steps of the central government to avoid overlapping policies and avoid conflicts of authority.

Keywords: Authority Conflict; Central government; DKI Jakarta Government; Handling Covid 19

How to Cite: Sipahutar, M.Z. Kusmanto, H. & Nasution, I.K. (2022). Konflik Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam Penanganan Covid 19 di Indonesia, PERSPEKTIF, 12 (2) (2023):

560-574

*Corresponding author:

E-mail: herikusmanto@usu.ac.id ISSN 2085-0328 (Print)

ISSN 2684-9305(Online)

(2)

PENDAHULUAN

Pandemi akibat virus Covid-19 secara mengejutkan mengubah cara pemerintah di banyak negara bekerja dalam waktu singkat.

Sejak kasus pertama Covid-19 teridentifikasi, secara berkala, hampir seluruh negara di dunia yang terdampak mereformulasi kebijakan- kebijakannya untuk mencari jalan keluar dari pandemi ini, termasuk di Indonesia. Kasus pertama kali terjadi penyebaran virus corona di Indonesia yaitu 2 (dua) warga Kota Depok, Jawa Barat yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada hari Senin, 2 Maret 2020.

Sejak saat itu, pandemi ini menyebar dengan cepat hingga ke berbagai wilayah (Nurfurqon, 2020). Orang pertama kali terjangkit virus covid-19 di Indonesia ini adalah WNA Jepang yang sedang berada di Indonesia (Febriyanti, 2022). Hingga saat ini, pemerintah dengan berbagai upayanya masih terus berjuang untuk mengatasi pandemi ini. Dikutip dari data google per 26 Februari 2022, menunjukkan bahwa jumlah yang terkonfirmasi positif Covid di Indonesia mencapai 5,55 juta dengan jumlah panambahan 46.643 kasus dalam seharinya.

Sedangkan untuk angka kematian mencapai 147.844 (258 kasus dalam sehari), dan total sembuh mencapai 4,77 juta juta.

Pada awalnya, pemerintah Indonesia bersikeras tidak ada kasus pasien positif sepanjang Januari-Februari 2020. James Massola, kontributor media dalam artikel berjudul ‘The World’s Next Coronavirus Hotspot Is Emerging Next Door’, memaparkan perkembangan pandemi Covid- 19 di Indonesia disebut di bawah radar, karena hanya dalam delapan hari merekam lebih dari 1.000 kasus baru setiap hari. Massola mengutip data Worldometre yang menyebutkan Indonesia dalam kondisi mengkhawatirkan lantaran rasio tes Covid-19 rendah dan jumlah kematian tinggi. Status darurat Covid-19 di Indonesia terus diumumkan oleh sejumlah kepala daerah dari tingkat gubernur, bupati, dan walikota di seluruh Indonesia (Sitorus, 2021). Karena pertambahan kasus harian dan kematian yang cukup tinggi, serta dampak serius pada sektor lainnya, barulah pemerintah Indonesia menganggap serius penanganan virus ini.

Berstatus pandemi, isu Covid-19 tidak bisa dievaluasi hanya dalam kerangka kesehatan saja. Dampak yang muncul akibat penularannya tidak hanya berdampak pada kondisi kesehatan masyarakat. Pengetahuan

yang minim atas mutasi virus tersebut membuat pilihan-pilihan untuk menanggulanginya terbatas, keterbatasan ini harus dibayar mahal dengan mengorbankan banyak sektor dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dampak negatif diantaranya dalam bidang pendidikan, perdagangan, industri, pariwisata, ekonomi dan lainnya. Contohnya saja dalam bidang ekonomi, karena banyaknya kegiatan yang lumpuh maka berimbas pada perekonomian bahkan nilai tukar rupiah sempat merosot hingga tembus di atas 16.000 rupiah/Dollar U.S.A (Nurfurqon, 2020).

Pada tataran ekonomi global, pandemi Covid-19 memberikan dampak yang sangat signifikan pada perekonomian domestik negara-bangsa dan keberadaan UMKM.

Laporan Organisation for Economic Co- operation and Development (OECD) menyebutkan bahwa pandemi ini berimplikasi terhadap ancaman krisis ekonomi besar yang ditandai dengan terhentinya aktivitas produksi di banyak negara, jatuhnya tingkat konsumsi masyarakat, hilangnya kepercayaan konsumen, jatuhnya bursa saham yang pada akhirnya mengarah kepada ketidakpastian (Pakpahan, 2020). Kajian yang dibuat oleh Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 memberikan implikasi negatif bagi perekonomian domestik seperti penurunan konsumsi dan daya beli masyarakat, penurunan kinerja perusahaan, ancaman pada sektor perbankan dan keuangan, serta eksistensi UMKM (Santoso, 2022).

Sebagai langkah awal, pemerintah Indonesia sendiri telah merespon kejadian bencana non alam pandemi Covid-19 ini sejak pertengahan Maret 2020, melalui penerbitan berbagai kerangka regulasi yang ditujukan untuk percepatan penanganan Covid-19, dimulai dengan membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui Keppres 9/2020 jo. Keppres 7/2020, penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah 21/2020, penetapan Status Darurat Bencana Kesehatan melalui Keppres 11/2020, dan penerbitan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dalam Penanganan Covid-19, serta dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Nasional Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Hadi, 2020).

(3)

Bila dilihat dari tindakan yang dilakukan oleh pemerintah di awal pandemi ini, beberapa kebijakan pemerintah masih berfokus pada mencegah individu-individu berkontak langsung, meniadakan mobilisasi massa, menerapkan social distancing, lockdown dan mengampanyekan work from home (WFH).

Dalam hal ekonomi, pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk menyelematkan perekonomian di tengah pendemi Covid-19 dengan cara; Pertama, pemerintah memangkas rencana belanja yang bukan menjadi prioritas utama dalam APBN serta APBD untuk dialihkan pada percepatan penanganan Covid-19. Kedua, pemerintahan pusat dan juga pemerintahan daerah agar segera memberikan upaya untuk anggaran dana guna mempercepat pengentasan dampak Covid-19 terutama dari segi ekonomi serta menjamin ketersediaan bahan pokok terutama bagi masyarakat menengah kebawah seperti pedagang sektor informal. Ketiga, mempercepat implementasi kartu pra-kerja untuk mengantisipasi para prakerja yang terkena PHK dan kehilangan pekerjaan serta pengusaha kecil yang terkena imbasnya yakni kehilangan mangsa pasar beserta juga omsetnya (Febriyanti, 2022).

Tambahan anggaran Rp 405,1 triliun disiapkan pemerintah guna menahan dampak pendemi ke sektor ekonomi. Tambahan dana dalam APBN 2020 dialokasikan untuk empat sektor utama yang terpapar yaitu belanja bidang kesehatan Rp 75 triliun, perlindungan sosial Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR) Rp 70,1 triliun, dan pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun (Hidayati, 2022). Tentu keterbatasan tindakan dan kebijakan dalam menangani pandemi karena virus ini masih tergolong baru pada manusia, sehingga butuh waktu untuk mempelajarinya lebih jauh.

Namun dalam mengatasi pandemi ini, masih terlihat adanya tarik menarik kepentingan (spanning of interest) antara Pemerintah Pusat dan daerah. Ini terjadi akibat peraturan dan kebijakan yang sering berubah dan tumpang tindih. Menurut Pemerintah Pusat pandemi Covid-19 merupakan ancaman keamanan nasional sehingga menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Di lain pihak, Pemerintah Daerah (provinsi-kabupaten), menganggap Covid-19 menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat lokal sehingga

menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.

Akibatnya, hubungan dan komunikasi antara Pemerintah Pusat dan daerah menjadi kurang harmonis di mata publik, sehingga menimbulkan pola relasi pusat dan daerah yang silang sengkarut (Azis, dkk., 2021).

Kegamangan terjadi dalam menjawab kewenangan siapa urusan Covid-19 tersebut.

Seperti saat awal menghadapi pandemi ini, persoalan hubungan pusat dan daerah dimulai pada saat Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memilih Pulau Natuna sebagai tempat karantina bagi 238 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang dievakuasi dari Kota Wuhan, sebagai tempat penyebaran Covid-19. Dipilihnya Pulau Natuna sebagai tempat karantina telah menimbulkan aksi demonstrasi warga Natuna pada tanggal 1 Februari 2020. Sebagai bentuk protes, Pemerintah Kabupaten Natuna membuat Surat Edaran (SE) Sekda Natuna Nomor 8000/DISDIK/46/2000 tanggal 2 Februari 2020 mengenai kebijakan meliburkan kegiatan belajar mengajar di Kabupaten Natuna mulai tanggal 3 – 17 Februari 2020. SE ini akhirnya dicabut setelah keluarnya SE Dirjen Otonomi Daerah Nomor T.422.3/666/OTDA tentang Perintah Pencabutan Libur Sekolah bagi Siswa Pasca-Karantina WNI dari Wuhan (Chadijah, Suyadi & Tohadi, 2020). Tidak lama setelah kondisi ini, Presiden Jokowi kemudian mengumumkan dua WNI yang positif Covid-19 sebagai kasus pertama di Indonesia.

Bentuk kurangnya sinergitas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga dapat dilihat pada saat Pemerintah Daerah yang lebih dahulu mengambil langkah antisipasi dan penanganan Covid-19. Misalnya kebijakan lockdown lokal yang diambil Bupati Tegal sejak 23 Maret 2020 dengan cara menutup akses masuk kota dengan beton movable concrete barrier (MBC).

Kebijakan Gubernur Papua yang melakukan penutupan akses keluar-masuk dari pelabuhan, bandara, darat, termasuk Pos Lintas Batas Negara sejak 26 Maret 2020. Kebijakan Gubernur Bali sejak 27 Maret 2020, telah menegaskan kepada masyarakat untuk tidak berkumpul, bekerja, belajar dan beribadah dari rumah. Begitu pun dengan beberapa daerah lainnya, sedangkan Pemerintah Pusat baru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 pada tanggal 31 Maret

(4)

2020 (Chadijah, Suyadi & Tohadi, 2020).

Pemerintah memberlakukan PSBB ini setelah terjadi banyak kasus aktif diberbagai daerah di Indonesia dan semakin susah untuk dikendalikan.

Seringkali kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat harus dipatuhi oleh semua daerah yang tentunya kebutuhan daerah masing-masing berbeda. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 menyatakan bahwa dalam hal penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Pemerintah Daerah harus dengan persetujuan menteri dalam hal ini Menteri Kesehatan. Hal ini tentu menjadi polemik dikarenakan berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dalam hal kewenangan Pemerintah Daerah (Jospriady, 2020). Secara administratif, dalam UU No. 23 Tahun 2014, urusan kesehatan dan kebencanaan digolongkan sebagai urusan pemerintahan konkuren yang berarti Pemerintah Daerah juga memiliki kewenangan dalam mengurusi urusan tersebut. Namun perlu disadari bahwa bencana Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional melalui Keppres No. 12 Tahun 2020. Ini berimplikasi pada Pemerintah Pusat yang memiliki peran dominan dalam masa kedaruratan nasional. Hal ini menjadi diskursus publik karena kondisi pandemi ini menjadi tantangan sekaligus ujian bagi Indonesia yang menerapkan sistem desentralisasi.

Salah satu daerah yang mengalami disinkronisasi antara pusat dan daerah adalah wilayah DKI Jakarta. DKI Jakarta merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah kasus yang tinggi saat awal pandemi ini. Hal ini karena Jakarta yang berstatus sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi membuat tingkat mobilitas masyarakatnya sangat tinggi dibanding dengan daerah lainnya. Dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia, berdasarkan laporan dari Satgas Covid 19 per tanggal 20 November 2020 Provinsi DKI Jakarta memiliki jumlah kasus terbanyak di Indonesia dengan presentase sebesar 25,4% diikuti Jawa Timur dengan presentase sebesar 11,9%, dan Jawa Barat sebesar 9,6%. Tingginya kasus yang terjadi di DKI Jakarta, menjadikan DKI Jakarta sebagai provinsi penyumbang terbanyak atas kasus konfirmasi positif Covid 19 di Indonesia (Pangaribuan & Munandar, 2021). Atas dasar ini, Pemerintah DKI Jakarta dituntut untuk

sigap dan responsif dalam menanggapi pandemi ini.

Merespon banyaknya kasus yang terjadi di DKI Jakarta, Pemerintah DKI Jakarta melalui Gubernur Anies Baswedan membentuk beberapa kebijakan publik seperti penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan penetapan beberapa kebijakan lainnya seperti himbauan beraktivitas dari rumah, meniadakan shalat Jum’at atau ibadah lainnya, penundaan resepsi pernikahan, dan juga pelarangan warga ke luar Jakarta. Kebijakan- kebijakan yang telah ditetapkan diharapkan dapat menekan angka persebaran Covid 19 di Jakarta (Pangaribuan & Munandar, 2021). Pada saat itu, Anies Baswedan sebagai representatif Pemerintah DKI Jakarta merupakan pemimpin daerah pertama yang gencar menyuarakan serta aktif responsif terkait bahaya Covid-19 ini. Namun inisiatifnya kerap tidak sejalan dengan Pemerintah Pusat pada saat itu.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengkritisi cara Pemerintah Pusat dalam menangani pandemi virus corona. Mulai dari pengentesan virus corona sampai inkonsistensi kebijakan Pemerintah Pusat tekait pandemi.

Seluruh kritik tersebut disampaikan Anies dalam wawancara dengan The Sidney Morning Herald, sebuah media massa yang berbasis di Australia. Beritanya terbit pada 7 Mei 2020 dengan judul “Tak Diperbolehkan Melakukan Pengetesan: Gubernur Jakarta Melakukan Pelacakan Covid-19”. Anies mengaku telah berinisiatif melacak penyebaran virus corona lewat pengetesan massal di DKI Jakarta pada 6 Januari. Namun, kebijakan ini tak direstui Pemerintah Pusat. Walhasil pengidap Covid-19 di ibukota pun tak bisa diketahui saat itu.

Padahal klaimnya, angka penderita penyakit yang saat itu masih disebut sebagai pneumonia Wuhan di DKI Jakarta meningkat (Ridhoi, 2020).

Disinkronisasi antara Pemprov DKI dengan Pemerintah Pusat juga terlihat pada saat Pemerintah DKI mengajukan lockdown.

Pada pertengahan Maret, Anies mulai menyuarakan keinginan untuk melakukan lockdown. Namun, suara ini tak langsung disambut oleh Pemerintah Pusat. Akhirnya mengirimkan permintaan secara resmi ke Jokowi pada 30 Maret dan diterima sehari setelahnya. Alih-alih kebijakan tersebut diterima, Jokowi justru memilih melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

(5)

Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020 dan Keppres Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (Ridhoi, 2020). Oleh karena itu, kajian terkait hubungan hubungan pusat dan daerah dalam menangani pandemi tahun 2020-2021 perlu untuk diteliti lebih jauh, khususnya konflik kewenangan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta.

Hal ini menjadi penting karena Pemerintah Daerahlah yang mengetahui dengan pasti terkait kondisi di daerahnya. Sistem kordinasi antara pusat dan daerah juga sangat mempengaruhi data yang ada di tingkat nasional.

Penelitian tentang dinamika hubungan pusat dan daerah dalam penangan pandemi covid di Indonesia memiliki beberapa tujuan yaitu: Untuk menganalisis konflik kewenangaan dan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia tahun 2020- 2021,

METODE PENELITIAN

Dengan pemaparan di atas, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian deskripstif. Penelitian deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan yang ada pada masa sekarang dan akan datang berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Dengan menggunakan penelitian deskriptif ini nantinya penulis dapat menjawab sebuah atau beberapa objek atau subjek tertentu secara rinci (Nawawi, 2003).

Penelitian ini juga adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dengan metode ilmiah.

Bedasarkan tujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masalah, gejala, fakta, peristiwa, dan realita secara luas dan mendalam, maka pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu dengan menekankan analisanya pada sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif serta analisa pada fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan metode ilmiah (Bungin, 2007). Metode kualitatif ini memberikan informasi yang lengkap sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah (Nawawi, 2003).

Dalam mengumpulkan data penelitian, teknik pengumpulan data yang akan dilakukan oleh peneliti adalah pengumpulan data sekunder berupa teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka yaitu dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari sumber- sumber sekunder berupa literatur buku, jurnal lokal maupun internasional, serta bahan-bahan lain yang mendukung dan berkaitan dengan judul penelitian termasuk media massa seperti berita-berita yang bersumber dari internet, televisi, koran, majalah, serta dokumentasi lainnya yang berkaitan.

Berdasarkan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, maka teknik analisis data yang akan digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini meliputi pengumpulan data untuk menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subjek penelitian.

Penelitian deskriptf kualitatif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi (Bungin, 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam Penanganan Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 resmi dinyatakan merambah Indonesia pada 2 Maret 2020 dengan dua kasus positif pertama. Kondisi ini dinyatakan sebagai bencana nasional non alam oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Covid-19. Dalam penetapan Keppres poin ketiga diatur bahwa Gubenur, Bupati, dan Walikota sebagai sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di daerah, dalam menetapkan kebijakan di daerah masing- masing harus memperhatikan kebijakan Pemerintah Pusat. Dengan ditetapkannya status bencana non nasional alam, Pemerintah Indonesia mengakui bahwa Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Dengan diunjuknya kepala daerah sebagai ketua penanganan Covid-19 di daerah, harusnya ini bisa menjadi landasan kewenangan bagi kepala daerah untuk

(6)

membuat inovasi dalam penanganan pandemi Covid-19 di daerah.

Setelah itu, Covid-19 dengan cepat menyebar ke seluruh Indonesia terutama daerah DKI Jakarta. Hal ini karena DKI yang berstatus sebagai ibukota negara Indonesia menjadikannya sebagai daerah dengan tingkat mobilitas yang tinggi. World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia merilis laporan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan laporan tersebut, WHO mengkategorikan DKI Jakarta sebagai wilayah dengan transmisi penyebaran Covid-19 tertinggi dibanding 33 provinsi lain di Indonesia. Pada grafik yang disajikan tersebut, DKI Jakarta mencatatkan transmisi sebanyak 73,8 per 100 ribu penduduk (Tribunnews.com, 2022). Untuk wilayah DKI Jakarta sendiri, membuat peraturan khusus yang bertujuan untuk dalam penanganan Covid-19 ini.

Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Desease 2019 yang juga dikenal sebagai Perda Covid-19.

Dalam Perda tersebut dimuat juga terkait sanksi pidana bagi warga yang melanggar protokol kesehatan, meskipun sanksi yang diberikan masih tergolong sanksi ringan. Perda ini lah yang menjadi landasan bagi pemerintah DKI Jakarta dalam menangani pandemi Covid- 19 di DKI Jakarta.

WHO mengkategorikan DKI Jakarta sebagai wilayah dengan transmisi penyebaran Covid-19 tertinggi dibanding dengan 33 provinsi lainnya. Pada grafik tersebut DKI Jakarta mencatatkan transmisi sebanyak 73,8 per 100 ribu peduduk. Angka tersebut berbeda jauh dengan provinsi lain seperti Banten sejumlah 12,8 per 100 ribu penduduk (posisi kedua) dan Bali tercatat 10,3 per 100 ribu penduduk (posisi ketiga). Adapun hasil tersebut berdasarkan transmisi penyebaran kasus pada 4-10 Juli 2022 (Tribunnews.com, 2022). Data tersebut jelas menunjukkan bahwa DKI Jakarta menjadi daerah dengan persebaran paling tinggi di Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada banyak sektor di Indonesia.

Dampak Covid-19 memaksa banyak perusahaan dan UMKM untuk merumahkan atau mem-PHK karyawannya untuk meminimalisir pengeluaran. Menurut Data per 20 April 2020 dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sudah lebih dari 2 juta orang pekerja di PHK atau dirumahkan dari 110 ribu perusahaan tempat mereka bekerja. Selain itu,

berdasarkan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertrans) DKI Jakarta mencatat terdapat 16.056 pekerja di Ibu kota yang terkena PHK (Pangaribuan & Munandar, 2021).

Sejak terdeteksi masuk ke wilayah DKI, Penyebaran Covid-19 sulit untuk dikendalikan.

Apalagi virus ini masih tergolong baru sehingga baik pemerintah maupun masyarakat masih kebingungan dalam merespon pandemi ini.

Kasus pertama Covid-19 berawal dari kegiatan yang berlangsung di Jakarta. Saat itu, pasien Kasus 01 berada di acara dansa di Klub Amigos, Jakarta Selatan, pada 14 Februari 2020. Ia melakukan kontak dengan warga negara Jepang domisili Malaysia dalam acara tersebut.

Rupanya, WN Jepang itu terjangkit Covid-19 dan menularkannya kepada pasien Kasus 01.

Pasien Kasus 01 kemudian menularkan Covid- 19 kepada ibunya, pasien Kasus 02. Mereka akhirnya diisolasi di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara (Kompas.com, 2020). Setelah hal ini dipastikan oleh pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, barulah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid- 19 di Indonesia itu pada 2 Maret 2020.

Namun dalam situs Pemerintah DKI Jakarta maupun dalam beberapa interview, Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta menyebutkan bahwa Pemprov DKI Jakarta sudah mendeteksi virus Corona di Indonesia sejak Januari 2021. Pemerintah DKI Jakarta sudah mulai memantau masyarakat Internasional maupun masyarakat domestik yang keluar masuk dari wilayah Jakarta. Namun yang menjadi kendala pada kondisi ini adalah pemerinth DKI Jakarta tidak mendapat data tersebut dari Pemerintah Pusat. Hal ini disampaikan oleh Anies Baswedan pada Podcast Deddy Corbuzier yang dipublikasikan pada tanggal 27 Maret 2020 (Corbuzier, 2020).

Pada tanggal 22-24 Januari 2020, Dinas Kesehatan DKI Jakarta meningkatkan kewaspadaan terhadap kemunculan virus baru Covid-2019 dan mempererat kerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Bentuk kerja sama antara lain penempatan thermal scanner di pintu masuk negara seperti bandara dan pelabuhan serta penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai standar. Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga merilis Surat Edaran Dinkes No. 21 Tahun 2020 berisi rekomendasi kewaspadaan meliputi

(7)

sosialisasi gejala sampai anjuran hidup higienis (Jakarta, 2020).

Untuk melihat trend persebaran kasus Covid-19 di Jakarta, ada beberapa istilah yang harus dipahami. Istilah yang dimaksud Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07I MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Istilah yang mengalami perubahan seperti “orang dalam pemantauan”

(ODP), “pasien dalam pengawasan” (PDP), dan

“orang tanpa gejala” (OTG), dengan perubahan istilah menjadi kasus “Suspek”, “Kontak Erat”

dan “Terkonfirmasi (bergejala ataupun tidak bergejala)”. terdapat istilah baru yaitu kasus

Probable” yaitu kasus suspek dengan gejala Covid-19 namun belum menunjukkan statusnya positif atau negatif Covid-19 (Chaerunisyah, 2021).

Pada aturan yang ditetapkan tersebut, terdapat dua kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu daerah melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yaitu pertama, jumlah kasus atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke berbagai wilayah.

Kedua, terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain (Chaerunisyah, 2021). Pemerintah Pusat melalui aturan tersebut memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk turut menangani Pandemi ini. Pemerintah Daerah sebagai daerah otonom dipimpin oleh kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas penanganan pandemi ini dengan asas otonomi daerah.

PSBB meskipun tidak seketat lockdown ataupun pembatasan sosial lain yang diterapkan di banyak negara ternyata dapat menekan angka mobilitas masyarakat di DKI Jakarta. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sayekti, bahkan menunjukkan bahwa PSBB efektif dalam menurunkan 60–70%

penyebaran kasus terkonfirmasi positif Covid- 19. Dampak langsung PSBB terhadap indikator kesehatan juga terlihat dari insiden dan positivity rate Covid-19 di DKI Jakarta. Angka kedua proksi tersebut fluktuatif mengikuti kebijakan PSBB yakni turun saat diterapkannya PSBB dan naik ketika PSBB dilonggarkan (PSBB Transisi) (Fathurrahman, 2022). Artinya, Kebijakan PSBB ini berpengaruh pada naik

turunnya persebaran angka Covid-19 di Jakarta.

Pelaksanaan PSBB telah diatur oleh Pemerintah DKI Jakarta melalui Ibukota (Pergub) Jakarta Nomor 33 Tahun 2020. Dalam Pergub tersebut mewajibkan warga Jakarta untuk menggunakan masker di luar rumah dan pembatasan aktivitas luar rumah. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan hasil survei tentang tingkat kepatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan di masa pandemi Covid 19, hasilnya menunjukan mayoritas tidak patuh terhadap protokol kesehatan dan aturan PSBB, sebanyak 55%

responden menyatakan tidak ada sanksi yang berat dan ketat, serta sebanya 33% responden tidak mematuhi karena menyulitkan pekerjaan mereka, dan 23% mengatakan harga masker, face shield, dan alat pelindung lainnya mahal.

Besarnya kasus pelanggaran terhadap kebijakan PSBB di Jakarta oleh warga DKI Jakarta sangat berpengaruh terhadap efektifnya kebijakan dan upaya yang telah diimplementasikan oleh Pemerintah DKI Jakarta (Chaerunisyah, 2021). Ketidakpatuhan masyarakat pada aturan ini tentu tidak bisa dijustifikasi sebagai kesalahan satu pihak saja.

Sebab masyarakat yang melanggar aturan ini kebanyakan karena dihadapkan dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan untuk bertahan hidup.

Selain itu, koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dianggap sebagai hambatan penanganan Covid-19. Sejak awal meningkatnya kasus Covid-19 di tanah air, penanganan pandemi virus Covid-19 di Indonesia ditandai dengan lemahnya koordinasi Pemerintah Pusat dan daerah. Hal tersebut seperti yang terjadi di awal Maret 2020 antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah provinsi (DKI Jakarta dan Jawa Barat), serta Pemerintah Pusat dengan pemerintah kabupaten/kota di pulau Jawa (Chaerunisyah, 2021). Kondisi inilah yang membuat penanganan Covid-19 di Indonesia lebih lamban.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta masih tumpang tindih dalam pengambilan keputusan, sedangkan pelaksanaan PSBB ini sangat memerlukan pilar yang kuat untuk mengokohkan beberapa sumber dukungan dari pihak-pihak stakeholder lainnya, dari segi pendanaan, teknis, tenaga, dan sumber lainnya

(8)

untuk keberhasilan implementasi. Pemerintah Pusat selaku pembuat keputusan kebijakan penanganan Covid-19, Pembatasan Sosial Berskala Besar dinilai lamban, terbukti keluarnya regulasi berupa Keppres, Perpu dan PP mengenai PSBB pada 31 Maret 2020, sedangkan pasien pertama di Indonesia yang dinyatakan positif Covid-19 sudah ada sejak 3 Maret 2020 dan kasusnya terus bertambah sejak itu. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta membentuk Tim Tanggap Covid-19 pada 2 Maret 2020 yang diketuai oleh Asisten Kesejahteraan Rakyat Setda Pemprov DKI, sedangkan Pemerintah Pusat baru membentuk Gugus Tugas Penanganan Covid pada 13 Maret 2020, yang pada akhirnya membuat Pemprov melakukan pelarasan Tim Tanggap Covid-19 menjadi Gugus Tugas Percepatan Covid-19 di Jakarta, yang sekarang diganti dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di bawah Komite Penanganan Covid-19 berdasarkan PP No. 82 Tahun 2020 (Fathurrahman, 2022).

Analisis Konflik Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam Penanganan Pandemi Covid-19

Konflik otonomi daerah adalah keseluruhan konflik yang terjadi dalam otonomi daerah meliputi konflik antardaerah otonom dan internal daerah otonom. Jika tidak ada solusinya, konflik dalam otonomi daerah akan berdampak negatif pada penyelenggaraan pemerintahan, yaitu memicu rusaknya hubungan antar pemerintahan daerah, menghambat koneksitas pembangunan, menyebabkan disharmonisasi kelembagaan, mengganggu pembangunan daerah dan pelayanan publik, ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan, dan dapat pula berdampak pada sinergitas bangsa (Irtanto, 2021). Konflik otonomi yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya terbatas pada konflik internal antardaerah, tetapi juga termasuk konflik vertikal dan horizontal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Termasuk pada konflik wewenang antara pusat dan daerah dalam suatu hal yang membutuhkan perhatian khusus.

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah j.o PP No. 33 Tahun 2018 tentang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) telah memperkuat peran Gubernur seperti melakukan korbinwas

(koordinasi, pembinaan, dan pengawasan), monitoring, evaluasi, pemberdayaan, dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayahnya. Dalam konteks penanganan pandemi, Perpres No. 82/2020 juga mengamanatkan Gubernur untuk membentuk Satgas Penanganan Covid-19 Daerah. Dengan kata lain, peran strategis GWPP sangat dibutuhkan untuk menekan lonjakan kasus pandemi di daerah. Namun saat ini, meningkatnya angka kasus aktif Covid-19 dapat berbicara banyak. Tidak hanya fasilitas kesehatan yang masih tertatih, sengkarut koordinasi pusat-daerah, kesenjangan data, dan rendahnya kepatuhan masyarakat pada protokol kesehatan adalah bising di balik jajaran angka (Detiknews, 2021).

Disharmonisasi yang paling terlihat adalah antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta. Hal ini terjadi karena Jakarta yang berlokasi sebagai ibukota negara Republik Indonesia, yang otomatis pusat pemerintahan Indonesia ada di sana. Namun di sisi lain, Jakarta juga memiliki pemerintahan daerah yang juga berwenang untuk mengatur, menata, maupun membuat kebijakan- kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan DKI Jakarta. Pemerintah Pusat tahun 2020-2021 dipimpin oleh Presiden Joko Widodo sebagai Presiden, dan Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan hingga Desember 2020, dan kemudian digantikan oleh Budi Gunadi Sadikin.

Sedangkan Pemerintahan DKI Jakarta dimpimpin oleh Anies Rasyid Baswedan.

Konflik kewenangan ini bisa terlihat dari beberapa hal berikut:

Konflik Hubungan Pemerintah Pusat dan DKI Jakarta dalam Melacak Kasus Covid-19

Pemerintah DKI Jakarta mengklaim sudah mulai memonitor dan melacak kasus- kasus potensial terkait Covid-19 di sejak Januari 2020, atau dua bulan sebelum kasus Covid pertama diumumkan oleh Presiden Joko Widodo. Saat kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan, 2 Maret 2020, beragam kebijakan untuk menghambat laju penyebaran Covid-19 diambil. Pemprov DKI Jakarta getol memberikan saran kepada Pemerintah Pusat untuk menerapkan beragam kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan penyebaran Covid-19. Salah satunya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengatakan sudah

(9)

mendeteksi Covid-19 sejak awal 2020. Anies mengatakan, Pemprov DKI Jakarta sudah mengantisipasi adanya Covid-19 yang saat itu masih disebut dengan pneumonia Wuhan. Saat itu terjadi silang pendapat antara Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI. Anies mengatakan bingung dengan langkah Pemerintah Pusat mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2 tersebut di awal pandemi Covid-19. Pasalnya, Pemprov DKI yang hendak melakukan inisiatif deteksi dini kasus Covid-19 sejak Januari 2020 tidak mendapat izin memeriksa sampel untuk memastikan pneumonia yang diderita pasien disebabkan oleh Covid-19 atau tidak. DKI Jakarta hanya diizinkan untuk mengirim sampel untuk diperiksa di laboratorium milik Pemerintah Pusat (Kompas, 2021).

Kondisi pelacakan ini juga disampaikan Anies Baswedan pada saat wawancara dengan media asing. Dalam kesempatan wawancara bersama media Australia The Sydney Morning Herald dan The Age, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berani membuka tentang langkah yang telah ditempuh Pemprov DKI untuk melacak kasus Covid-19 dan pendapatnya yang berseberangan dengan Pemerintah Pusat (Kompas, 2021). Pada wawancara tersebut Anies mengatakan bahwa sudah mendeteksi Covid-19 sejak 6 Januari 2020 sejak saat kasus pertama terjadi di Wuhan.

"We already started to have meetings with all hospitals in Jakarta, informing them about [what] at that time we called 'pneumonia Wuhan' – there was no COVID yet" (Herald, 2020).

Bukan hanya pada wawancara tersebut, Anies juga mengatakan hal serupa pada podcast Deddy Corbuzier di kanal Youtube Deddy Corbuzier yang dipublikasikan pada 27 Maret 2020 lalu. Pada saat pelacakan Covid, Pemprov DKI Jakarta sudah meminta izin kepada Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan untuk melakukan pengetesan mandiri yang dilaksanakan di Laboratorium Pemprov DKI berdasarkan data sampel yang sudah diambil oleh tim kesehatan Pemprov DKI Jakarta. Namun hal ini tidak mendapatkan respon positif dari Kementerian Kesehatan karena pengecekan itu tidak diizinkan. Sampel dari Pemprov DKI harus diberikan kepada Pemerintah Pusat, dan hasilnya akan diberitahu setelah hasilnya keluar kemudian.

Hal ini tentu sangat tidak efektif, dan yang

terjadi adalah seringkali hasil testingnya keluar setelah pasiennya meninggal dunia. Seperti pernyataan Anies Baswedan pada Podcast Deddy Corbuzier ini:

“…Itu sebabnya kita dari awal minta, izinkan kami di Jakarta melakukan tes di laboratorium kita, suapaya kita bisa mengerjakannya cepat. Karena yang terjadi selama ini adalah kit ambil sampelnya, petugas kita, lalu dikirim ke pusat, di laboratorium kementerian, lalu dilakukan pengujian disana terus nanti kita dikabari hasilnya. Apa yang terjadi, seringkali pasiennya sudah meninggal baru dapat hasilnya.” (Corbuzier, 2020).

Namun berbeda dengan Pemerintah Pusat yang tidak begitu terlihat dalam menangani Covid-19 pada saat awal masuk ke Indonesia. Pemerintah Pusat melalui Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto membantah pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengenai sekitar seratus orang dalam pemantauan dan pengawasan terkait wabah corona. Menurut Terawan, semua pemeriksaan terhadap pasien yang diduga terinfeksi virus novel corona (Covid-19) menunjukkan hasil negatif (Republika.co.id, 2020). Terawan mengatakan bahwa semua pemeriksaan spesimen orang yang terduga terinfeksi virus ini menunjukkan hasil negatif, termasuk 188 warga negara Indonesia (WNI) anak buah kapal (ABK) World Dream. Ia juga membantah memantau orang dalam pengawasan karena hasilnya jelas-jelas negatif atau belum ada kasus.

Dalam hal melakukan pelacakan, hingga Selasa (18/2/2020), Kementerian Kesehatan lewat Balitbangkes telah melakukan pemeriksaan 112 spesimen orang yang diduga terinfeksi virus corona. Hasilnya, 110 spesimen negatif terinfeksi virus corona dan dua lainnya masih proses. Balitbangkes Kemenkes menerima spesimen dari 41 rumah sakit (RS) yang tersebar di 21 provinsi. Perinciannya, dia melanjutkan, DKI Jakarta 29 spesimen, Bali 16, Jawa Tengah 10, Kepri 10, Jabar delapan, Jatim 10, Banten lima, Sulawesi Utara enam, Yogyakarta tiga, Kalimantan Timur tiga, Sulawesi Selatan dua, Jambi satu, Papua Barat satu, NTB satu, Bengkulu satu, Kalimantan Barat satu, Kalimantan Tengah satu, Sulawesi Tenggara satu, Maluku satu, Sumatra Barat satu, dan Bangka Belitung satu (Republika.co.id, 2020). Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Ditjen Pencegahan dan Penyakit

(10)

Kemenkes Achmad Yurianto. Pernyataan dari Kemenkes ini bisa dikatakan sebagai sanggahan atas pernyataan Anies Baswedan yang mengatakan ada 115 orang dalam pemantauan dan 32 pasien dalam pengawasan di DKI Jakarta.

Pada 2 Februari 2020, pemerintah mengevakuasi 238 warga Indonesia dari Wuhan, Tiongkok dan mengarantina mereka di Natuna selama 14 hari. Pada 2 Februari 2020, Kemlu mengumumkan telah memutuskan untuk menutup akses ke dan dari Tiongkok mulai 5 Februari 2020. Pada 10 Februari 2020, Kemlu juga menaikkan peringatan perjalanan untuk Singapura, setelah negara itu mengumumkan peringatan oranye (satu tingkat di bawah peringatan teratas) untuk wabah virus korona. Pada 5 Februari 2020, Kemenkumham mengeluarkan peraturan menteri tentang penghentian sementara bebas visa untuk Tiongkok. Pada 7 Februari 2020, Kemnaker mengumumkan telah meminta perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia untuk berhenti menempatkan pekerja di Tiongkok daratan (Chairil, 2020).

Dari kondisi ini terlihat bahwa meskipun Pemerintah Pusat melalui Kemenkes sudah melakukan tindakan awal dalam melacak masuknya Covid di Indonesia dengan melakukan berbagai kegiatan, namun hal itu masih tidak sejalan dengan kebijakan dari Kementerian lain yang justru gencar mempromosikan sektor pariwisata dan penerbangan untuk meningkatkan pendapatan Indonesia. Akibatnya, disharmonisasi ini menyebabkan antisipasi terhadap pandemi ini tidak begitu maksimal. Pemerintah Pusat baru menjadikan isu Covid-19 ini sebagai isu yang serius pada awal bulan Maret. Berbeda dengan Pemerintahan DKI Jakarta yang sudah menganggap serius isu Pandemi Covid-19 ini sejak Januari 2020. Tetapi langkah yang dilakukan oleh Pemprov DKI harus terbatas karena berbenturan dengan prioritas dan kepentingan dari Pemerintah Pusat di saat yang bersamaan.

Bila dikaji dari teori tipologi Arthur Maas, disharmonisasi antara Pemerintah Pusat dan daerah khususnya Pemerintah DKI Jakarta dalam pelacakan virus corona di Indonesia masuk pada konflik desentralisasi yang bersifat vertikal. Kondisi ini karena disaat yang bersamaan, Pemerintah Pusat memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda dengan

Pemerintah DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta menginginkan isu Covid-19 menjadi suatu fokus yang patut untuk ditangani secara serius karena menyangkut kesehatan.

Sedangkan pemerintah pusat justru menginginkan promosi pariwisata dan sektor penerbangan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Hal ini sangat berdampak pada kurangnya kepercayaan publik pada pemerintah dalam menangani isu pandemi ini.

Hubungan pusat dan daerah yang terikat dalam arus birokrasi menjadikan Pemerintah Daerah tidak bisa leluasa dalam bertindak. Apalagi, langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah Daerah harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat lebih dulu yang membuat respon cepat tidak bisa dilakukan.

Konflik Hubungan Pusat dan DKI Jakarta dalam Transparansi Data Covid-19

Pemerintah Pusat dan daerah tidak sejalan dalam menghadapi wabah virus Covid- 19. Sejak awal saat Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia 2 Maret 2020, langkah keduanya berada di jalur berbeda. Termasuk dalam hal keterbukaan informasi dan transparansi data yang disajikan. Informasi menjadi penting sebagai landasan dalam mengambil kebijakan terutama pada sektor publik yang melibatkan hajat hidup orang banyak. Sama halnya ketika menghadapi pandemi ini, transparansi data menjadi penting sebagai landasan bagi pemerintah unntuk mengambil keputusan dalam menangani pandemi Covid-19 ini.

Langkah antisipasi Pemprov DKI Jakarta justru berseberangan dengan sikap Pemerintah Pusat. Anies mengaku bingung dengan sikap Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, yang menyatakan belum ditemukan kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta pada periode Januari-Februari 2020.

Padahal, kala itu, Pemprov DKI telah memiliki data adanya kasus Covid-19 di Jakarta.

Walaupun memiliki perbedaan pandangan, Anies tetap meminta jajarannya untuk melaporkan perkembangan kasus Covid-19 yang mulai meningkat pada periode Januari hingga Februari 2020 (Kompas.com, 2021)

Pemprov DKI, membuat situs khusus peta penyebaran virus corona di Jakarta.

Melalui situs itu, Pemprov DKI menyajikan

data jumlah pasien yang masuk ke daftar

Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan

(11)

Pasien Dalam Pengawasan (PDP).

Termasuk menyajikan peta persebaran virus, mulai dari kawasan Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Jakarta Pusat. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan juga membuat situs yang menyajikan data-data pasien terjangkit corona. Beberapa hari berlalu, data yang disajikan Pemerintah Pusat dan daerah berbeda. Situs Kemenkes cenderung lamban menyajikan data terbaru. Berbeda dengan Pemprov DKI Jakarta yang terbilang cepat (The Conversation, 2020).

Pemerintah Pusat melalui juru bicara percepatan penanganan virus corona Covid-19, Achmad Yurianto membeberkan data pasien positif corona di Indonesia yang menjadi 7.135 kasus. Dari 7.135 kasus itu, terbanyak berada di DKI Jakarta, yakni 3.260 pasien. Data ini merupakan kumulatif hingga 21 April 2020 hingga pukul 12.00 WIB. Namun data yang dikeluarkan Pemerintah Pusat ini berbeda dengan data yang dilansir Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Pemprov DKI melalui website corona.jakarta.go.id menyebut pasien positif di DKI Jakarta mencapai 3.279 kasus.

Terdapat perbedaan 19 kasus. Data Pemprov DKI lebih banyak dibanding data yang dikeluarkan pusat (Media Indonesia, 2020).

Perbedaan lainnya adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan pemakaman dan pemulasaran jenazah menggunakan protokol Covid-19 selama periode 6-29 Maret 2020. Angka kematian di DKI 283, lebih tinggi dibanding dari data Pemerintah Pusat yang mengumumkan korban jiwa akibat korona baru sejumlah 122 orang (Francisca, 2015). Perbedaan data antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta ini bisa menjadi bukti bahwa masih kurangnya kordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa protokol informasi dari daerah ke pusat belum terbangun dengan baik.

Persoalan sinkronisasi data antara Pemerintah Pusat dan daerah ini diakui oleh Pemerintah Pusat. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengakui data Covid-19 yang dimiliki Pemerintah Pusat tidak sinkron dengan Pemerintah Daerah. Menurut Dante, masalah sinkronisasi itu terjadi karena data yang disampaikan Pemerintah Daerah ke

Pemerintah Pusat adalah kasus Covid-19 yang terjadi beberapa hari sebelumnya (Kompas.com, 2021). Berbeda dengan pemerintah DKI Jakarta yang selalu aktif memperbarui informasi terkait pandemi Covid- 19 ini.

Tumpang Tindih Kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 lalu telah banyak membawa perubahan hampir di semua sektor baik sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Menjalankan roda pemerintahan secara efektif dan efisien tentu menjadi tantangan baru bagi pemerintah sebab harus bisa beradaptasi cepat dengan kondisi yang ada. Pengetahuan yang masih terbatas terkait virus ini tentu membuat penanganan dan langkah-langkah untuk mengatasinya juga terbatas. Bahkan, virus ini sekaligus menjadi ujian bagaimana sistem pemerintahan negara itu dijalankan. Termasuk bagi Indonesia yang menerapkan sistem desentralisasi.

Berdasarkan pengalaman Indonesia menghadapi pandemi di tahun pertama, Fealy (2020) berargumen bahwa krisis akibat Covid-19 telah mengakselerasi tendensi otokratisasi dalam politik di Indonesia. Selain karena partisipasi sipil yang semakin dibatasi, tendensi tersebut terlihat dari pilihan pemerintah yang secara konsisten memprioritaskan agenda ekonomi ketimbang kesehatan publik ataupun hak-hak sipil.

Untuk itu, diperlukan sinkronisasi dan sinergi dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Dengan kata lain, perlu adanya penyesuaian antara fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom dan kewenangan yang dimiliki kementerian sektoral di pusat, terutama terkait kebijakan yang harus dikeluarkan untuk mengatasi Covid-19 yang melanda Indonesia (Azis, dkk., 2021).

Namun penanganan pandemi di Indonesia justru menunjukkan tidak sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah karena mempunyai pandangan sendiri atas kewenangan dari kebijakan yang diambil.

Kondisi ini mengakibatkan silang sengkarut kewenangan antara pusat dan daerah dan membuat masyarakat bingung. Pola relasi yang lebih bersifat top down membuat pemerintah daerah lebih berperan sebagai

(12)

agency pemerintah pusat. Sebagai agency, Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan kewenangan dalam menerapkan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 (Hendrawan, Kusmanto & Warjio, 2018). Sinkronisasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi hal yang diuji dalam penanganan pandemi Covid-19 ini. Pada kenyataannya, sinkronisasi, sinergi, dan koordinasi yang menjadi salah satu kunci penting otonomi daerah masih sulit dilakukan pusat dan daerah.

Seperti halnya sinkronisasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam penanganan pandemi Covid-19 tahun 2020- 20121.

Pemprov DKI Jakarta pada Februari 2020 telah memantau potensi kasus positif Covid-19 lebih dini. Namun, posisi Jakarta sebagai ibukota membuat Gubernur DKI Jakarta perlu berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat untuk menerapkan kebijakan strategis. Sistem kordinasi ini awalnya membuat penangan Covid menjadi lebih lambat dalam mengambil keputusan baik dalam tataran nasional dan juga daerah. Misalnya, Pemprov DKI Jakarta tidak diizinkan melakukan tes kepada warganya dan harus mengirim sampel ke pusat. Pandangan Pemprov DKI Jakarta seringkali bertentangan Pemerintah Pusat. Misalnya, Pemerintah Pusat pada bulan Februari 2020 bersikukuh memandang Indonesia aman dari Covid-19, sementara Anies selaku Gubernur DKI Jakarta telah melihat potensi adanya kasus positif di Jakarta (Azis, dkk., 2021). Hal ini yang membuat respon awal terhadap Covid-19 ini tidak begitu serius, bahkan tidak masuk menjadi agenda utama karena Pemerintah Pusat saat itu yang sedang menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan promosi sektor pariwisata dan transportasi. Disaat negara lain menutup akses masuk ke negaranya, Indonesia justrus memberikan diskon khusus bagi wisatawan asing yang ingin berkunjung ke Indonesia.

Setelah Covid-19 dinyatakan masuk oleh pemerintah Indonesia yang disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Barulah hal ini menjadi perhatian serius yang harus segera ditangani oleh Pemerintah Pusat.

Sedangkan di sisi lain, Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan pernyataan Jakarta dalam keadaan genting serta mengeluarkan prosedur tindakan yang harus dilakukan masyarakat dalam hal terindikasi terinfeksi

Covid-19 (Detiknews, 2021). Situasi yang dinilai kurang sigapnya Pemerintah Pusat dalam merespons Covid-19 yang sudah masuk ke Indonesia, yang ditandai dengan munculnya banyak berita simpang siur, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, telah menimbulkan berbagai aksi negatif di masyarakat. Aksi memborong barang di supermarket, menimbun dan memborong masker, memborong cairan disinfektan, merupakan peristiwa yang harus segera direspons oleh pemerintah (Chadijah, Suyadi &

Tohadi, 2020). Perbedaan kesiapan baik Pemerintah Pusat maupun pemprov DKI Jakarta dalam merespon ini membuat sikap keduanya juga berbeda.

Dalam aspek komunikasi dalam pengambilan keputusan penanganan Covid-19, khususnya pada kebijakan PSBB, Pemerintah Pusat masih mendominasi ditandai dengan alur penetapan pemberlakuan PSBB yang panjang dan harus didasari oleh keputusan dari Kementerian Kesehatan sesuai dengan Permenkes No. 9 Tahun 2020. Bahwa wilayah yang ingin memberlakukan PSBB harus menyerahkan data sebagai bukti peningkatan jumlah kasus dan peta penyebarannya menunjukkan kurva yang meningkat, daerah juga harus mampu dalam hal pemenuhan segala kebutuhan masyarakat termasuk juga anggaran dan ketersediaan sarana dan prasarana yang menunjang untuk pelaksanaan PSBB. Setelah pengajuan permohonan oleh kepala daerah disertai dengan data administrasi, Menkes akan melakukan kajian epidemiologis yang mencakup politik, ekonomi, sosial dan budaya, agama, dan pertahanan dan keamanan. Dari hasil kajian tersebut Menteri Kesehatan yang akan memutuskan apakah menerima atau menolak permohonan kepala daerah untuk menetapkan PSBB di wilayahnya (Putri Khasanah & Purwaningsih, 2021). Pada bagian ini tumpang tindih kebijakan penanganan bisa terjadi karena perbedaan data antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemenkes.

Oleh karena itu, aturan hukum dan pedoman pelaksanaan dari Permenkes No.9 Tahun 2020 menjadi kontroversi, karena disebut memperlambat aksi daerah dalam penanganan Covid-19 karena tahapan yang panjang dan kendala data yang mungkin terjadi di suatu daerah. Pada pelaksanaan PSBB di DKI Jakarta pada tanggal 10 April 2020, kasus

(13)

Covid-19 yang banyak dan meningkat membuat Menkes menyetujui penerapan PSBB, yang sebenarnya terkesan sebagai uji coba kebijakan baru dan imbasnya pada daerah lain yang juga perlu diterapkan PSBB.

Pada konteks penanganan Covid-19 yang berkaitan dengan kesehatan dan sosial, dimana pelaksanaannya berdasarkan pendekatan top down. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta masih tumpang tindih dalam pengambilan keputusan, sedangkan pelaksanaan PSBB maupun kebijakan penanganan Covid ini sangat memerlukan pilar yang kuat untuk mengokohkan beberapa sumber dukungan dari pihak-pihak stakeholder lainnya, dari segi pendanaan, teknis, tenaga, dan sumber lainnya untuk keberhasilan implementasi (Putri Khasanah & Purwaningsih, 2021). Keselarasan antar lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah sangat diperlukan guna mengatasi pandemi ini.

Pemerintah Pusat selaku pembuat keputusan kebijakan penanganan Covid-19, Pembatasan Sosial Berskala Besar dinilai lamban, terbukti keluarnya regulasi berupa Keppres, Perpu dan PP mengenai PSBB pada 31 Maret 2020, sedangkan pasien pertama di Indonesia yang dinyatakan positif Covid-19 sudah ada sejak 3 Maret 2020 dan kasusnya terus bertambah sejak itu. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta justru terbilang lebih tanggap, dengan membentuk Tim Tanggap Covid-19 pada 2 Maret 2020 yang diketuai oleh Asisten Kesejahteraan Rakyat Setda Pemprov DKI, sedangkan Pemerintah Pusat baru membentuk Gugus Tugas Penanganan Covid pada 13 Maret 2020, yang pada akhirnya membuat Pemprov melakukan pelarasan Tim Tanggap Covid-19 menjadi Gugus Tugas Percepatan Covid-19 di Jakarta, yang sekarang diganti dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di bawah Komite Penanganan Covid- 19 berdasarkan PP No. 82 Tahun 2020 (Putri Khasanah & Purwaningsih, 2021).

Dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020 disebutkan pula bahwa Pemerintah Daerah yang mempertimbangkan untuk melakukan PSBB harus melakukan permohonan terlebih dahulu terhadap Menteri Kesehatan dengan menginformasikan kesiapan daerah pada aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat terkait anggaran, sarana prasarana kesehatan, dan operasionalisasi sosial kepada Kemenkes, yang

membuat pemberlakuan PSBB menjadi rumit untuk beberapa wilayah. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa Pemerintah Pusat seperti melempar tanggung jawabnya dalam urusan wajibnya kepada daerah yang harus bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat saat melaksanakan PSBB maupun kebijakan lainnya dalam penanganan pandemi Covid-19 (Putri Khasanah & Purwaningsih, 2021).

Contoh lain, pemerintah pusat memutuskan secara sepihak untuk mengganti model proses belajar mengajar, padahal tidak seluruh siswa di segala tingkat pendidikan dapat mengikutinya. Dinas pendidikan di tingkat daerah tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerahnya. Meski dilegalkan dalam kondisi darurat, kekang pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah di atas berlawanan dengan semangat otonomi daerah yang sudah lama diperjuangkan sejak reformasi. Otonomi daerah adalah salah satu prinsip dasar yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak boleh dilanggar (The Conversation, 2020).

Tumpang tindih kebijakan antar lembaga pemerintah juga bisa dilihat dari beberapa kebijakan yang diterapkan. Semisal Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Penanganan Covid-19 yang melarang ojek mengangkut penumpang. Tapi Peraturan Menteri Perhubungan No.18 tahun 2020 justru memperbolehkannya. Belum lagi Surat Edaran Menteri Perindustrian No. 7 tahun 2020 tentang Izin Kegiatan Usaha selama PSBB yang bertentangan dengan Pergub DKI No.33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB untuk Pencegahan Penularan Covid-19 di Jakarta.

Pergub mengatur hanya memperbolehkan 11 sektor usaha yang boleh beroperasi selama PSBB. Sementara, SE Menperin justru memperbolehkan seluruh jenis usaha beroperasi (Media Indonesia, 2020). Kondisi ini membuat penanganan Covid-19 di DkI Jakarta tidak bisa berjalan dengan baik mengingat posisi DKI Jakarta sebagai daerah yang memiliki struktur pemerintahan sendiri, dan kondisi DKI Jakarta sebagai Ibukota negara dan tempat bagi Pemerintah Pusat. Jakarta juga sebagai pusat politik dan ekonomi nasional.

(14)

SIMPULAN

Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi hal yang penting dalam mengatasi pandemi ini. Pemerintah Pusat tentu berkewajiban dalam menetapkan kebijakan dan memutuskan sesuatu yang dianggap perlu demi terciptanya penanganan yang baik. Tetapi seringkali kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat harus dipatuhi oleh semua daerah yang tentunya kebutuhan daerah masing-masing berbeda.

Karena pada awalnya banyak kepala daerah justru menerapkan berbagai inisiatif lokal tanpa menunggu instruksi dan melakukan koordinasi ke pusat. Langkah tersebut dipilih karena bencana Covid-19 menuntut upaya penanganan yang tepat dan cepat.

Perbedaan persepsi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjadi awal mula kurangnya kordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Pemerintah pusat megeluarkan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Covid-19 sebagai Bencana Nasional, sehingga Covid-19 menjadi isu nasional dan harus ditangani oleh Pemerintah Pusat. Tetapi dalam UU No. 23 Tahun 2014, urusan kesehatan dan kebencanaan digolongkan sebagai urusan pemerintahan konkuren yang berarti Pemerintah Daerah juga memiliki kewenangan dalam mengurusi urusan tersebut.

Dalam mengatasi pandemi ini, masih terlihat adanya tarik menarik kepentingan antara Pemerintah Pusat dan daerah, dalam hal ini pemerintah DKI jakarta. Ini terjadi akibat peraturan dan kebijakan yang sering berubah dan tumpang tindih. Perbedaan penanganan ini disebabkaan karena perbedaan orientasi antara pemerintah pusat dan pemerinah DKI Jakarta. Perbedaan orientasi ini menjadikan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta menjadi tidak sejalan dalam menangani pandemi Covid-19. Masih terjadinya tumpang tindih kebijakan, perbedaan kebijakan penanganan, serta perbedaan tujuan penanganan.

Perbedaan tujuan ini sejalan dengan pemikiran Kondalkar yang mengartikan konflik kewenangan sebagai bentuk ketidaksetujuan antara dua atau lebih individu atau kelompok yang mana masing-masing individu atau kelompok tersebut mencoba untuk bisa

diterima pandangannya atau tujuannya oleh individu atau kelompok lain.

DAFTAR PUSTAKA

Azis, N.L.L. dkk. (2021). ‘Pola Relasi Pusat dan Daerah Era Pandemi Covid-19’, Jurnal Penelitian Politik, 18(1).

Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Putra Grafika.

Chadijah, S., Suyadi, A. & Tohadi, T. (2020). ‘Tarik Menarik Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Penanganan Pandemi Covid-19’, Rechtsregel: Jurnal Ilmu Hukum, 3(2). Available at:

https://doi.org/10.32493/rjih.v3i2.8091.

Chaerunisyah, A. (2021). ‘Implementasi Kebijakan Good Governance Pemerintah DKI Jakarta Dalam Menangani Pandemi Covid-19’, JURNAL EKONOMI, MANAJEMEN, BISNIS, DAN SOSIAL (EMBISS), 2(1), pp. 117–125.

Chairil, T. (2020). Respon Pemerintah Indonesia terhadap Pandemi Covid-19: Desekuritas di Awal, Sekuritas yang Terhambat, ir.binus.ac.id.

Corbuzier, D. (2020). Kenapa Cuma Loe yg Berani Ngomong?! Jakarta sudah Gawat Darurat, Youtube.com.

Detiknews. (2021). Pemerintah Daerah dan Inovasi Penanganan Pandemi, Detik.com.

Fathurrahman, S. (2022). Gaya Kepemimpinan Anies Baswedan Dalam Upaya Penanganan Banjir dan Pandemi Covid-19 di DKI Jakarta.

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Febriyanti, A. (2022). Analisis Pengaruh Dampak Covid-19 dan Kebijakan Pemerintah Terhadap Perekonomian Pedagang Sektor Informal di Indonesia. Universitas PGRI Adibuana.

Francisca, L.M. (2015). ‘Peran Satpol PP dalam Melakukan Komunikasi Interpersonal Untuk Penertiban Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus PKL di Jalan Gajah Mada Kota Samarinda)’, Journal Ilmu Komunikasi, 3(1).

Hadi, S. (2020). ‘Implementasi Nilai Pancasila dalam Perencanaan Percepatan Penanganan dan Pemulihan Terdampak Pandemi Covid-19’, Majalah Media Perencana, 1(1), pp. 22–32.

Hendrawan, A.I., Kusmanto, H. & Warjio. (2018).

‘Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Publik di Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah Kota Medan’, Jurnal Administrasi Publik: Public Administration, 8(1), pp. 65–84.

Herald, T.S.M. (2020). Not Allowed to Do Testing:

Governor Jakarta Says Jakarta Was Tracking Covid-19 Case in January, www.smh.com.au.

Hidayati, L. (2022). Analisis Pengaruh Kebijakan Stimulus Fiskal Covid-19 Terhadap

(15)

Perekonomian Negara. Universitas PGRI Adibuana.

Irtanto. (2021). ‘Konflik dalam Otonomi Daerah dan Dampaknya Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan’, Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Politik dan Pemerintahan [Preprint]. Jakarta: Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Jakarta, L.D.C. (2020). Linimasa Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 di Jakarta, Jakarta.go.id.

Jospriady, A. (2020). ‘Kewenangan Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat dalam Menangani Pandemi Covid-19’, Procceding National Conference for Law Studies, 2(1), p.

1207.

Keppres 11/2020.

Kompas. (2021). Kilas Balik Silang Pendapat Pemprov DKI dan Pusat Soal Penanganan Covid-19 di Awal Pandemi, Megapolitan.kompas.com.

Kompas.com. (2020). Perjalanan Pandemi Corona di Jakarta, Bermula dari Club Dansa, Kompas.com.

Kompas.com. (2021). Transparansi Data Covid-19 di Indonesia Masih Jadi Persoalan, Kompas.com.

Media Indonesia. (2020). Regulasi Tumpang Tindih dan Bertentangan Persulit Penegakan hukum, Mediaindonesia.com.

Nawawi, H. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis yang Kompetitif. 7th edn. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurfurqon, A. (2020). ‘Analisis Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Penanganan Covid-19: Perspektif Hukum Administrasi Negara’, JURNAL YUSTIKA: MEDIA HUKUM DAN KEADILAN, 23(01). Available at:

https://doi.org/10.24123/yustika.v23i01.28 Pakpahan, A.K. (2020). ‘COVID-19 dan Implikasi 64.

Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah’,

Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, pp. 59–

64.

Pangaribuan, M.T. & Munandar, A.I. (2021).

‘Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta Menangani Pandemi COVID-19’, Governement: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 14(1).

Perppu No. 1 Tahun 2020.

Putri Khasanah, R. & Purwaningsih, T. (2021).

‘ANALISIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PSBB PADA PENANGANAN PANDEMI COVID-19 DI DKI JAKARTA TAHUN 2020’, Jurnal Pemerintahan dan Kebijakan (JPK), 2(3).

Available at:

https://doi.org/10.18196/jpk.v2i3.12792.

Republika.co.id. (2020). Menkes Bantah Anies Soal 115 Orang Dipantau Terkait Corona, Republika.co.id.

Ridhoi, M.A. (2020). Anies dan Pemerintah Pusat Selisih Tangani Corona, Dampaknya ke Publik, Katadata.co.id.

Santoso, Y.I. (2022). Menghitung dampak Covid19 terhadap dunia usaha hingga UMKM, Kontan.co.id.

Sitorus, A.A. (2021). ‘DISINKRONISASI KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENANGANAN COVID-19’, Jurnal Renaissance, 6(1). Available at:

https://doi.org/10.53878/jr.v6i1.137.

The Conversation. (2020). Pemerintah Pusat dan Daerah Tidak Kompak dalam Menangani Pandemi, Akibatnya Penanganan Menjadi Lambat, Theconversation.com.

Tribunnews.com. (2022). WHO Rilis Laporan Penyebaran Covid-19 di Indonesia, DKI Jakarta Masuk Kategori Level 3, Tribunnews.com.

UU No. 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dalam Penanganan Covid-19.

Referensi

Dokumen terkait

“THE EFFECT OF LEARNING STYLE ON STUDENTS’ READING COMPREHENSION ACHIEVEMENT Nita.” Unila Journal of English Teaching vol 4, no 2015.. Pashler, Harold, Mark Mcdaniel, Doug Rohrer, and