KONSELING KELOMPOK MODEL KIPAS (KONSELING INTENSIF, PROGRESIF, ADAPTIF, TERSTRUKTUR) UNTUK MENINGKATKAN MINAT BERWIRAUSAHA SISWA SMK DI MASA PANDEMI COVID-19
Gudnanto1, Edris Zamroni2, Susilo Rahardjo3
1,2,3
Universitas Muria Kudus
Co-Author: [email protected] - 08112880165
Info Artikel
▪ Masuk : 21/01/2023
▪ Revisi : 26/02/2023
▪ Diterima : 26/02/2023
Alamat Jurnal
▪ https://ojs.uniska- bjm.ac.id/index.php/A N-NUR/index
Jurnal Mahasiswa BK An-Nur : Berbeda, Bermakna, Mulia disseminated below https://creativecommons.
org/licenses/by/4.0/
Abstract: Interest in entrepreneurship is an important thing that students must have in developing new entrepreneurs during this Pandemic. It is known that this pandemic period has had a significant impact on economic activity so that several sectors must be affected and reduce the opportunity to open job vacancies. Vocational students who usually rely on job vacancies should be encouraged to be interested in entrepreneurship. To increase interest in entrepreneurship, group counseling activities are needed that can help students identify, initiate, and be sure of the decisions that have been taken to become entrepreneurship. The KIPAS (Intensive, Progressive, Adaptive, Structured Counseling) counseling model is an alternative group counseling model that can provide discussion partners, innovations, and support for students who want to start a new business.
This study aims to determine the effectiveness of the KIPAS model group counseling in increasing the interest in entrepreneurship in vocational students. The study was designed with a single subject design involving ten students as group members. The instrument used is a student's entrepreneurship interest scale which consists of 24 items with six leading indicators that have been empirically validated. Furthermore, the study results were tested using the Wilcoxon test with the help of SPSS 22. The results of this study indicate that the KIPAS model group counseling effectively increases the entrepreneurial interest of SMK students. The problem of limiting activities experienced by the COVID-19 Pandemic can later be overcome with group counseling that is designed in a blended manner.
Keywords: KIPAS Model, Group Counseling, Entrepreneurial Interest, Pandemic COVID-19
PENDAHULUAN
Masalah ekonomi akibat pandemic COVID-19 menjadi salah satu isu besar dalam rencana rehabilitasi menyeluruh pasca pandemic (Ibn-Mohammed et al., 2021). Penyiapan sumberdaya manusia masa depan harus mampu mengatisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk seperti kondisi pandemic yang terjadi saat ini. Masalah ekonomi seperti yang terjadi saat ini sebenarnya telah diantaisipasi oleh pemerintah Indonesia dengan menerapkan kurikulum vokasional yang memungkinkan siswa memiliki keterampilan hidup terutama untuk bertahan secara ekonomi (Jaedun et al., 2014). Akan tetapi, muncul masalah baru karena 70% lulusan SMK justru mencari pekerjaan sehingga sangat tergantung pada ketersediaan lowongan kerja (Damayanti & Widyowati, 2018; Zamroni, Hanurawan, Muslihati, et al., 2020). Oleh karena itu, upaya untuk memasukkan konten kurikulum yang memasukkan substansi kewirausahaan terus dilakukan agar lulusan SMK tidak lagi tergantung pada ketersediaan lowongan kerja, tetapi juga berusaha membuka lowongan kerja (Hidayati & Setiani, 2018).
Karakteristik perkembangan siswa SMK dalam aspek karir adalah proses eksplorasi dimana siswa sedang menimbang kemungkinan terbaik dari berbagai alternative karir yang tersedia (Astuti & Edi Purwanta, 2019; Hidayat et al., 2019). Tahap perkembangan seperti ini adalah peluang untuk dimanfaatkan dalam memberikan informasi positif pada siswa agar memiliki ketertarikan memulai wirausaha. Minat berwirausaha ditumbuhkan dalam rangka mendorong siswa mencari tahu kepastian dan realitas yang dihadapi dalam memulai wirausaha (Amankwah-Amoah et al., 2018). Temuan-temuan mengenai kondisi paradox yang sering dihadapi dengan cita-cita dalam berwirausaha penting untuk diketahui oleh siswa dalam memulai wirausaha (Anderson & Warren, 2011; Etzkowitz, 2013). Meskipun begitu, dorongan untuk memulai wirausaha penting dilakukan agar siswa mampu menjadi agen perbaikan ekonomi secara structural sesuai dengan konteks social ekonomi yang ada di sekitar siswa (McMullen et al., 2021).
Tantangan utama dalam pengembangan wirausaha baru adalah modal ekonomi dalam memulai wirausaha. Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas siswa dengan status ekonomi yang tinggi cenderung memiliki keinginan bisnis yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang berasal dari status social ekonomi rendah (Holm, 2021). Dominasi keluarga genetic dalam menghasilkan wirausaha baru perlu dilawan agar terjadi pemerataan pengembangan ekonomi yang akan meningkatkan kualitas hidup manusia. Meskipun efek gender (pengusaha wanita) sering dijadikan sebagai salah satu alasan untuk memulai atau tidak memulai sebuah usaha baru (Fis et al., 2019). Ini merupakan tantangan besar bagi dunia pendidikan untuk menghasilkan wirausaha baru karena di Indonesia beberapa sub kultur tertentu sering mempertentangkan peran wanita dalam aktifitas ekonomi (Vilathuvahna & Nugroho, 2015).
Sistem pendidikan di Indonesia mewajibkan kegiatan pengembangan diri melalui proses intrakurikuler maupun ekstrakurikuler (ABKIN, 2007). Pelaksana utamanya adalah layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Pengembangan kewirausahaan dilakukan melalui layanan bimbingan dan konseling dilakukan secara khusus oleh konselor sekolah sebagai bagian pelayanan pendidikan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Pelaksanaan pengembangan minat berwirausaha bisa dilakukan dengan kelompok terfokus yang memiliki potensi untuk mengembangkan wirausaha. Agar terfokus, kegiatan konseling kelompok adalah solusi terbaik (Natawidjaja, 2009; Wibowo, 2011) dalam membantu meningkatkan
ketertarikan untuk memulai wirausaha. Beberapa penelitian menunjukkan situasi kelompok dalam konseling lebih efektif untuk mencapai tujuan tertentu dalam layanan bimbingan dan konseling (Hollen et al., 2007; Maulana et al., 2014; Riyanta & Tadjri, 2015).
Konseling kelompok konvensional tidak cukup untuk mencapai tujuan layanan bimbingan dan konseling (Gudnanto et al., 2017; Habsy et al., 2019; Prayitno, 1997).
Diperlukan pendekatan, model dan teknik tertentu yang lebih kontekstual agar tujuan dapat tercapai secara optimal. Pendekatan, metode, atau model terapi di sekolah yang digunakan adalah pendekatan, teori, atau model konseling dari sekolah Barat. Konselor barat telah membangun dan memvalidasi pendekatan umum untuk konseling dan telah berhasil dilaksanakan. Kami harus percaya bahwa umpan balik dan rekomendasi kami (ilmu BK) akan menjadi pandangan yang lebih emic daripada pandangan etic dari sisi filosofis-ilmiah.
Itu berarti bahwa keilmuan BK harus difokuskan pada sudut pandang lokal, pandangan yang membumi dan bukan pandangan akademis yang ditetapkan di negara lain berdasarkan psikologi sekuler. Pemahaman tentang BK juga harus didasarkan pada sejarah budaya nusantara serta agama. Aliran intelektual sainsnya adalah postmodern, kritik- konstruksionisme (Mappiare-AT, 2017).
Berkaitan dengan hal tersebut, Mappiare-AT, (2017) menekankan bahwa konseling lebih merupakan profesi sosio-religius daripada psikologis dan oleh karena itu perlu didekati secara sosial, budaya, dan religius, tidak hanya secara psikologis, apalagi psikologi sekuler.
Dari perspektif praktis lapangan, khususnya konseling harus dilakukan secara selaras dengan pertimbangan sosial budaya-agama, penuh kekeluargaan, kolaborasi, fleksibilitas, dan kebebasan; dan terutama diisi dengan penerapan ajaran agama. Berdasarkan penelusuran sejumlah artikel yang secara khusus membahas masalah budaya dalam konseling ditemukan banyak artikel yang mengkaji tentang pentingnya budaya dalam konseling. Namun, sampai saat ini masih sedikit penelitian tentang konseling multikultural di Indonesia. Penelitian ini membahas filosofi (ontologi, epistemologi, dan aksiologi), esensi dan pribadi yang sehat, prosedur, tahapan dan langkah, serta strategi modifikasi yang dianggap sesuai dengan budaya Indonesia. Konseling Pancawaskita (Prayitno, 2007) barangkali merupakan model konseling eklektik pertama di Indonesia yang mampu merangkum seluruh elemen konseling budaya Indonesia secara ringkas dan jelas. Konseling di Indonesia masih belum ditemukan yang menggabungkan model konseling multi budaya yang memfasilitasi kerja intensif, progresif, dan adaptif (Mappiare-AT, 2013).
Cottone, (2012) memperkenalkan empat paradigma konseling, yaitu Organic Medical, psychological paradigm, Systemic-Relational, dan social constructivism paradigm. Dua paradigma konseling Cottone terakhir menyimpulkan bahwa masyarakat membentuk pandangan dunia klien. Paradigma Kontekstual didasarkan pada teori kritik sosial dan interaksi antara individu dan masyarakat, khususnya kritik terhadap feminisme. Secara khusus penjelasan dua paradigma terakhir (Systemic-Relational dan social constructivism) mendorong orientasi kajian konseling terhadap dimensi struktur atau sistem sosial budaya yang dilakukan (Mappiare-AT, 2013, 2017) sehingga lahir konseling multi budaya yaitu model konseling KIPAS.
Model KIPAS adalah konseling berbasis budaya Nusantara, budaya timur atau budaya Indonesia dan diciptakan oleh anak bangsa yang membutuhkan pembelajaran dan dukungan.
Nama KIPAS adalah singkatan dari " Konseling Intensif (dan) Progresif (yang) Adaptif (terhadap) Struktur”, Lima bidang utama yang digarap adalah “Karakter, Identitas, Pekerjaan,
Akademik, Sosial” (Mappiare-AT, 2017). Konseling Kelompok model KIPAS bertujuan untuk mengembangkan karakter secara intensif sebagai individu dalam memulai wirausaha, membangun identitas diri dalam berwirausaha, mendorong pemikiran progressif, adaptif terhadap perubahan kebutuhan masyarakat serta mampu membangun cara pikir yang terstruktur untuk melakukan problem solving. Penellitian ini bertujuan untuk mengupas tuntas bagaimana konseling model KIPAS dalam meningkatkan minat wirausaha siswa SMK di masa Pandemi COVID-19.
METODE Research Design
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas Model KIPAS dalam konseling kelompok untuk meningkatkan minat wira usaha siswa. Untuk itu penelitian ini dirancang menggunakan single subject desain untuk mengetahui perbedaan minat wirausaha siswa sebelum dan sesudah perlakuan (menggunakan model KIPAS dalam Konseling Kelompok).
Penelitian dilaksanakan pada Kelas X SMA Muhammadiyah Kudus, Jawa Tengah, Indonesia.
Peneliti memilih sampel dengan prosedur purposive sampling untuk mendapatkan siswa yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan (Creswell & Creswell, 2018). Efektifitas perlakuan dapat dilihat dengan membandingkan minat wirausaha siswa sebelum dilaksanakan konseling kelompok model KIPAS dan sesudah konseling kelompok model KIPAS (Heppner et al., 2008; Sugiyono, 2013). Karena pembatasan social yang ketat di masa pandemi COVID 19, jumlah subjek yang dilibatkan dalam penelitian dibatasi dengan tetap memperhatikan kemungkinan adanya gangguan validitas eksternal (Creswel, 2009).
Intervention Procedures
Kegiatan konseling kelompok diawali dengan memilih siswa sebagai anggota kelompok. Siswa yang dipilih adalah siswa yang memiliki minat wirausaha yang rendah.
Kegiatan keonseling kelompok dimulai dengan tahap "forming, storming, norming, performing, dan adjouring (Gladding & Crockett, 2019; Prayitno, 2007; Rusmana et al., 2020; Wibowo, 2011). Tahap pertama adalah tahap dependency atau forming. Pada tahap ini, anggota kelompok masih mencari identitas dirinya dalam kelompok. Tugas pemimpin kelompok adalah mengeksplorasi dan melakukan identifikasi sehingga anggota kelompok percaya dan nyaman berada dalam kelompok. Tahap kedua dalam grup konseling adalah
"konflik," atau storming. Ini mungkin terbuka atau terselubung. Jenis dan jumlah konflik yang telah dibuat berhubungan dengan berapa banyak berebut posisi terjadi di dalam kelompok. Tahap ketiga berfokus pada "kohesi," atau norming, yang dapat didefinisikan sebagai semangat "kami-an." Di dalamnya, para anggota menjadi lebih dekat secara psikologis dan lebih santai. Semua orang merasa termasuk dalam kelompok dan berbagi produktif mulai terjadi. Pada tahap keempat, performing, pekerjaan utama kelompok dimulai. Penerapan model KIPAS ditekankan pada peran konselor sebagai Kawan, Inovator, Pamong, Abdi dan Suporter (Mappiare-AT, 2017).
Kegiatan konseling kelompok dilaksanakan dalam 5 sesi. Masing-masing sesi berjalan selama 45-60 menit. Kegiatan konseling kelompok menekankan peran konselor dalam meunmbuhkan minat berwirausaha siswa mulai dengan emmerankan diri sebagai Kawan, Inovator, Pamong, Abdi dan Suporter. Langkah teknisnya dimulai dengan memberi kabar gembira, Integrasi data dan internalisasi, Perencanaan tindakan, Aktualisasi rencana
(tindakan) dan terakhir Selebrasi/sertifikat untuk konseli (Mappiare-AT, 2017). Dalam konsleing kelompok kegiatan juga dilaknsakan dengan focus menanamkan nilai-nilai keislaman sebagai dasar layanan konseling kelompok untuk meningkatkan minat berwirausaha siswa (Awlawi et al., 2020; Gudnanto et al., 2017; Mappiare-AT, 2013).
Instrument
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala minat wirausaha siswa.
Indikator minat berwirausaha adalah 1) kemauan keras untuk mencapai tujuan dan kebutuhan hidup; 2) keyakinan kuat atas kekuatan diri; 3) sikap jujur dan bertanggung jawab; 4) ketahanan fisik dan mental; 5) ketekunan dan keuletan dalam bekerja dan berusaha; 6) pemikiran yang kreatif (Begley & Tan, 2001; Schmitt et al., 2018; Teixeira & Davey, 2010).
Dari enam indicator ini disusun 24 item yang mewakili 6 indikator yang telah ditentukan.
Hasil seluruh item dalam instrument skala minat wirausaha siswa dinyatakan valid karena seluruh rhitung > rtabel (nilai rtabel untuk responden sebanyak 42 adalah 0,304 dengan taraf signifikansi 95% dan toleransi kesalahan 5%). Selanjutnya dilakukan uji reliabilitas (keajegan) dilakukan dengan Split-Half Technique ganjil genap. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan excel dan masilnya diperoleh 0,949 yang berarti instrument ini memiliki reliabilitas yang sangat baik. Dengan kata lain, instrument ini akan bersifat konsisten jika digunakan dengan karakteristik subjek dan kondisi berbeda dengan subjek uji coba yang telah diambil datanya.
Subject
Perlakuan dilakukan pada 10 siswa SMA Muhamamdiyah Kudus. Siswa tersebut dipilih berdasarkan kriteria yang ditentukan setelah melakukan penjaringan subjek pada seluruh siswa di SMA Muhammadiyah Kudus. Sebenarnya peneliti merancang dengan kelompok yang lebih besar, akan tetapi karena kendala perijinan yang diakibatkan pandmei COVID-19, peneliti hanya diijinkan melakukan perlakuan dengan subjek yang sangat terbatas (10 siswa). Secara detail, karakteristik demografis siswa dapat dilihat pada table 1.
Data Analysis
Untuk menghitung hasil skala minat wirausaha dilakukan menggunakan analisis statistik. Analisis yang digunakan untuk melihat signifikansi perubahan sebelum dan sesudah perlakuan (intervensi) menggunakan analisis non parametric yaitu Wilcoxon test. Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini berupa minat wirausaha siswa yang terjadi sebelum dan sesudah perlakuan (intervensi) peneliti menggunakan bantuan SPSS for windows. Wilcoxon test digunakan untuk membandingkan sampel yang sama untuk melihat signifikansi perbedaan minat wirausaha yang ditunjukkan oleh siswa sebelum diberikan perlakuan (intervensi) dan setelah diberikan perlakuan (intervensi).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Descriptive Data Analysis
Deskripsi hasil penelitian ini memuat kondisi demografis siswa yang meiputi usia, jenis kelamin, dan tingkat ketertarikan dalam berwirausaha sebelum dilakukan konseling kelompok menggunakan model KIPAS. Kondisi demografis dapat dilihat pada table 1.
Table 1. Demographic Info of Experimental Group Participants`s
Res Gender Age Level of Interest in Entrepreneurship
1 Male 16 52
2 Male 15 48
3 Male 16 51
4 Female 17 50
5 Male 15 48
6 Male 16 48
7 Female 16 50
8 Male 15 50
9 Male 17 50
10 Female 16 50
Average 15,9 49,7
Berdasarkan table 1 diketahui bahwa terdapat 3 siswi wanita dan 7 siswa pria yang ikut dalam konseling kelompok model KIPAS. Dilihat dari sisi usia, 3 anggota kelompok berusia 15 tahun, 5 anggota kelompok berusia 16 tahun dan 2 anggota kelompok. Dari sisi Level of Interest in Entrepreneurship sebaran skor berada pada rentang 48 sampai dengan 52. Secara umum rata-rata usia siswa adalah 15,9 tahun dan rata-rata level minat berwirausaha siswa adalah 49,7. Jenis kelamin pria dan wanita mempengaruhi aspirasi merena untuk mau atau tidak mau berwirausaha (Fis et al., 2019). Sedangkan usia siswa mempengaruhi motivasi dan minat siswa dalam memulai atau menginisiasi proses wirausaha yang akan dijalankan (Cardow & Smith, 2015; Gauthier et al., 2018). Selanjutnya pada gambar 1 akan diperlihatkan perkembangan minat belajar siswa sebelum konseling kelompok model KIPAS dan setelah konseling kelompok model KIPAS.
Figure 1. Progress of Student`s Interest in Entrepreneurship
52 48 51 50 48 48 50 50 50 50
62 70
59 61 64
59
68 68
52 62
0 10 20 30 40 50 60 70 80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Interest in Entrepreneurship
Pre Test Post Test
Berdasarkan table 1 diketahui bahwa seluruh siswa mengalami peningkatan minat berwirausaha. Peningkatan terbesar dialami oleh responden 2 dengan 22 poin peningkatan dan terendah repsonden 9 dengan 2 poin peningkatan. Secara umum diketahui bahwa seluruh siswa mengalami peningkatan skor dalam minat berwirausaha dan seluruh (10 siswa) yang naik menjadi klasifikasi tinggi. Pendekatan yang langsung menukik pada kondisi siswa memungkinkan konseling kelompok memberikan intervensi yang optimal dalam peningkatan minat berwirausaha. Dorongan utama untuk mengenal kondiai lapangan secara nyata dan factual adalah hal penting untuk membina kesadaran dan minat dalam diri siswa untuk berwirausaha (Clarke & Holt, 2010). Selain itu, siswa dalam kelompok juga didorong untuk terus menggali identitas dan cirikhas usaha yang sangat penting dalam mencapai kesuksesan dalam berwirausaha (Bell et al., 2019).
The Effectiveness of KIPAS Model Group Counseling to Increase Students' Interest in Entrepreneurship
Untuk mengetahui efektifitas hasil perlakuan dilakukan Wilcoxon test digunakan untuk membandingkan sampel yang sama untuk melihat signifikansi perbedaan minat wirasusaha yang ditunjukkan oleh siswa sebelum diberikan perlakuan (intervensi) dan setelah diberikan perlakuan (intervensi). Hasil uji wilcoxon dapat dilihat pada table 2.
Table 2. Hasil Uji Wilcoxon Test Statisticsb
Post tets-Pre test
Z -2.209a
Asymp. Sig. (2-tailed) .005
Berdasarkan table 2 tertulis bahwa hipotesis nol ditolak yang artinya secara otomatis hipotesis alternatif yang berbunyi konseling kelompok model KIPAS dapat meningkatkan minat berwirausaha siswa SMA Muhammadiyah Kudus didukung atau diterima. Kaidah yang digunakan adalah apabila probabilitas > 0.05 maka H0 diterima, apabila probabilitas < 0.05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Dari hasil di atas pada baris Asymp Sig terlihat bahwa nilai probabilitas 0.005. Maka keputusan yang diambil adalah H0. (0.005 < 0.05) yang artinya hipotesis nol yang berbunyi “konsleing kelompok model KIPAS tidak dapat meningkatkan minat berwiraushaha siswa SMA Muhammadiyah Kudus” ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) yang berbunyi “konseling kelompok model KIPAS dapat meningkatkan minat berwirausaha siswa SMA Muhammadiyah Kudus” diterima. Secara umum konseling kelompok model KIPAS terbukti dapat meningkatkan minat berwirausaha siswa SMA Muhammadiyah Kudus.
Pembahasan
Siswa telah memiliki jiwa dagang sebagai sebuah pekerjaan yang sesuai dengan pandangan KIPAS (Mappiare-AT, 2013, 2017) yaitu melalui langkah: (1) Kaji kondisi khusus kemampuan pribadi; (2) mengElaborasi fakta diri; (3) mampu meRamu padu peluang dan pengharapan orang yang berarti; (4) Jajak cocokkan fakta diri dengan tuntutan kerja saat
ini (5) mampu mengAntisipasi peluang dan kepuasan kerja. Dilakukan dengan penuh kesadaran dan percaya diri, kemandirian, kreatif, inovatif, control diri tanggungjawab sosial dengan pemahaman bahwa pekerjaan merupakan kewajiban sebagai perintah Alloh (QS. Al- Jum’ah:10; HR. al-Bukhari; HR. Al-Bazzar, yang dishahihkan oleh al-Hakim).
Pada komponen pekerjaan konseling KIPAS berupaya fokus mengasah siswa untuk membangkitkan aspirasi sekaligus inisiasi untuk memilih dan memilah kemungkinan- kemungkinan paling mudah mencapai keberhasilan dalam sebuah pekerjaan tertentu sesuai dengan identitas dirinya. Dalam pelaksanaan Konsleing Kelompok Model KIPAS juga dimasukkan konten filosofis masyarakat Kudus yaitu GusJiGang. Sejalan dengan hal itu filosofi daGang yang dikembangkan oleh Sunan Kusus secara universal mengangkat unsur sisi enterpreneurship dalam upaya manusia untuk mempertahankan eksistensi kehidupannya (Said, 2013, 2015). Melalui konseling dengan tema pekerjaan, siswa diajak untuk berpikir positif karena konselor memberikan kabar gembira mengenai adanya berjuta peluang pekerjaan yang bisa dipilih oleh siswa setelah lulus, tergantung bagaimana kemauan siswa untuk ulet dan tekun mengejar kesuksesan tersebut sehingga akan memotivasi siswa untuk berkembang dengan tidak hanya mengandalkan mendapatkan pekerjaan tetapi juga menciptakan pekerjaan. Spirit ini yang penting dalam pengembangan motivasi berwira usaha pasca siswa lulus dari pendidikan SMK (Damayanti & Widyowati, 2018).
Masalah yang dihadapi terkait dengan kondisi pandemic COVID-19 diantaranya adalah keterbatasan aktifitas yang membuat seluruh komponen harus menjaga jarak. Konseling kelompok bisa saja dilaksanakan secara blended dengan melaksanakan secara online dan offline secara bergantian (Zamroni, Muslihati, et al., 2020). Pelaksanaan secara blended tidak akan mengirangi nilai dan eksistensi spiritual manusia saatt berhubungan melalui konseling secara langsung maupun konseling kelompok dalam suasana online (Zamroni, Hanurawan, Hambali, et al., 2020). Dalam konteks pengembangan minat wirausaha, justru saat kondisi online, siswa dapaat diajak sekaligus menelusuri hal-hal yang dapat dimanfaatkan menjadi peluang untuk memulai wirausaha (Fis et al., 2019; Manning et al., 2020). Proses mentoring dan supporting yang berjalan dalan suasana konsleing kelompok Model KIPAS adalah cara yang efektif untuk mengontrol setiap keinginan sekaligus mendorong siswa untuk berani menjadi pengambil keputusan demi masa depannya (Levenburg & Schwarz, 2008; St-Jean &
Mathieu, 2015). Konsleing kelompok model KIPAs yang selalu memberikan inovasi dan kabar baik akan mengkonstruksi pemahaman kognitif social dalam berwirausaha sekaligus membentuk identitas menjadi calon wirausahawan (Bacq et al., 2017; Farmer et al., 2011).
PENUTUP
Penelitian ini menyimpulkan bahwa konseling kelompok model KIPAS dapat meningkatkan minat berwirausaha siswa SMK di masa pandemic COVID-19. Penggunaan model KIPA memungkinkan siswa mendapatkan kawan, innovator, mentor sekaligus supporter yang akan memberikan gambaran kondisi kehidupan nyata dalam berwirausaha, partner untuk berargumentasi, mendorong minat untuk melakukan inovasi sekaligus suprter yang selalu mendukung apapun langkah yang telah direncanakan. Penelitian ini juga menemukan bahwa konseli sering merasa ragu untuk berwirausaha karena tidak aada partner dan supporter yang mendorong sekaligus mengontrol kegiatan yang akan diinisiasi dalam berwirausaha. Temuan lain yang sangat penting adalah adanya minat siswa wanita yang jika
diberi peluang dan sedikit dukungan justru lebih kreatif dalam menyusun strategi usaha untuk mereka jalankan di masa depan.
Keterbatasan penelitian ini adalah adanya pembatasan aktifitas selama pandemic sehingga layanan yang direncanakan untuk format siswa yang lebih besar hanya dibatasi dengan 10 siswa. Meskipun begitu kegiatan bisa dilaksanakan dengan keseluruhan secara offline dengan berbagai pembatasan dan protocol kesehatan yang ketat. Penelitian berikutnya bisa mencoba pelaksanaan secara blended agar dapat dilakukan dengan jumlah kelompok yang lebih besar berikut kelompok control. Pelaksanaan secara blended juga memungkinkan siswa untuk langsung eksplorasi peluang usaha melalui media internet.
REFERENSI
ABKIN. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Amankwah-Amoah, J., Boso, N., & Antwi-Agyei, I. (2018). The Effects of Business Failure Experience on Successive Entrepreneurial Engagements: An Evolutionary Phase Model.
Group and Organization Management, 43(4), 648–682.
https://doi.org/10.1177/1059601116643447
Anderson, A. R., & Warren, L. (2011). The entrepreneur as hero and jester: Enacting the entrepreneurial discourse. International Small Business Journal, 29(6), 589–609.
https://doi.org/10.1177/0266242611416417
Astuti, B., & Edi Purwanta. (2019). Bimbingan Karier untuk meningkatkan Kesiapan karier.
UNY Press. https://books.google.co.id/books?id=IZe-
DwAAQBAJ&hl=id&source=gbs_slider_cls_metadata_7_mylibrary
Awlawi, A. H., Mappiare, A., Hidayah, N., & Muslihati, M. (2020). DIDONG ART AND MULTICULTURAL COUNSELING GROUP : META-ANALYSIS. Journal of Critical Reviews, 7(14), 825–829.
Bacq, S., Ofstein, L. F., Kickul, J. R., & Gundry, L. K. (2017). Perceived entrepreneurial munificence and entrepreneurial intentions: A social cognitive perspective. International Small Business Journal: Researching Entrepreneurship, 35(5), 639–659.
https://doi.org/10.1177/0266242616658943
Begley, T. M., & Tan, W. L. (2001). The Socio-Cultural Environment for Entrepreneurship:
A Comparison Between East Asian and Anglo-Saxon Countries. Journal of International Business Studies 2001 32:3, 32(3), 537–553.
https://doi.org/10.1057/PALGRAVE.JIBS.8490983
Bell, R., Liu, P., Zhan, H., Bozward, D., Fan, J., Watts, H., & Ma, X. (2019). Exploring entrepreneurial roles and identity in the United Kingdom and China. International Journal of Entrepreneurship and Innovation, 20(1), 39–49.
https://doi.org/10.1177/1465750318792510
Cardow, A., & Smith, R. (2015). Using Innovative Pedagogies in the Classroom: Re-Storying Gothic Tales as Entrepreneur Stories. Industry and Higher Education, 29(5), 361–374.
https://doi.org/10.5367/IHE.2015.0268
Clarke, J., & Holt, R. (2010). The mature entrepreneur: A narrative approach to entrepreneurial goals. Journal of Management Inquiry, 19(1), 69–83.
https://doi.org/10.1177/1056492609343030
Cottone, R. R. (2012). Paradigms of Counseling and Psychotherapy (Issue March).
Smashword.
Creswel, J. W. (2009). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Los Angeles: University of Nebraska–Lincoln.
Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches.
Damayanti, D., & Widyowati, A. (2018). Peningkatan Career Decison Making Self Efficacy (CDMSE) Melalui Pelatihan Perencanaan Karir pada Siswa SMK. Humanitas, 15(1), 35.
https://doi.org/10.26555/humanitas.v15i1.7409
Etzkowitz, H. (2013). StartX and the “Paradox of Success”: Filling the gap in Stanford’s entrepreneurial culture. Social Science Information, 52(4), 605–627.
https://doi.org/10.1177/0539018413498833
Farmer, S. M., Yao, X., & Kung-Mcintyre, K. (2011). The Behavioral Impact of Entrepreneur Identity Aspiration and Prior Entrepreneurial Experience.
Entrepreneurship: Theory and Practice, 35(2), 245–273. https://doi.org/10.1111/J.1540- 6520.2009.00358.X
Fis, A. M., Ozturkcan, S., & Gur, F. (2019). Being a Woman Entrepreneur in Turkey: Life Role Expectations and Entrepreneurial Self-Efficacy. SAGE Open, 9(2).
https://doi.org/10.1177/2158244019846192
Gauthier, C., Bastianutti, J., & Haggège, M. (2018). Managerial capabilities to address digital business models: The case of digital health. Strategic Change, 27(2), 173–180.
https://doi.org/10.1002/jsc.2192
Gladding, S. T., & Crockett, J. E. (2019). Religious and spiritual issues in counseling and therapy: Overcoming clinical barriers. Journal of Spirituality in Mental Health, 21(2), 152–161. https://doi.org/10.1080/19349637.2018.1476947
Gudnanto, Pravesti, C. A., Wahyuni, F., & Kiswantoro, A. (2017). Aksiologi Spiritualitas dalam Konseling. Jurnal Konseling GUSJIGANG, 3(1), 114–127.
https://doi.org/10.24176/jkg.v3i1.1724
Habsy, B. A., Hidayah, N., Lasan, B. B., Muslihati, & Fudholi, A. (2019). The development model of semar counselling to improve the self-esteem of vocational students with psychological distress. International Journal of Emerging Technologies in Learning, 14(10), 132–149. https://doi.org/10.3991/ijet.v14i10.10221
Heppner, P. P., Wampold, B. E., & Kivlighan Jr, D. M. (2008). Research Design in Counseling. Thomson Brooks/Cole.
Hidayat, D. R., Wening Cahyawulan, & Alfan, R. (2019). Karier: Teori dan Aplikasi dalam Bimbingan dan Konseling Komprehensif. Jejak Publisher.
https://books.google.co.id/books?id=6i_SDwAAQBAJ&hl=id&source=gbs_slider_cls_
metadata_7_mylibrary
Hidayati, D. R., & Setiani. (2018). Faktor Pembeda Implementasi Bisnis Berkelanjutan (Sustainable Business) Pada Wirausaha Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura.
Jurnal Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian, 7(2), 176–187.
https:http://journal.trunojoyo.ac.id/agriekonomika/article/view/1758
Hollen, P. J., Hobbie, W. L., Donnangelo, S. F., Shannon, S., & Erickson, J. (2007).
Substance use risk behaviors and decision-making skills among cancer-surviving adolescents. Journal of Pediatric Oncology Nursing, 24(5), 264–273.
https://doi.org/10.1177/1043454207304910
Holm, E. J. van. (2021). Making Entrepreneurs? Makerspaces and Entrepreneurial Intent Among High School Students. Journal of Entrepreneurship, 30(2), 249–266.
https://doi.org/10.1177/09713557211025652
Ibn-Mohammed, T., Mustapha, K. B., Godsell, J., Adamu, Z., Babatunde, K. A., Akintade, D.
D., Acquaye, A., Fujii, H., Ndiaye, M. M., Yamoah, F. A., & Koh, S. C. L. (2021). A critical review of the impacts of COVID-19 on the global economy and ecosystems and opportunities for circular economy strategies. Resources, Conservation and Recycling, 164(September 2020), 105169. https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2020.105169
Jaedun, A., Sutarto, & Ikhwanuddin. (2014). Model Pendidikan Karakter di SMK Melalui Program Pengembangan Diri dan Kultur Sekolah. Jurnal Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan, 22(2), 163–172. https://doi.org/10.21831/jptk.v22i2.8924
Levenburg, N. M., & Schwarz, T. V. (2008). Entrepreneurial Orientation among the Youth of India. The Journal of Entrepreneurship, 17(1), 15–35.
https://doi.org/10.1177/097135570701700102
Manning, P., Stokes, P., Tarba, S. Y., & Rodgers, P. (2020). Entrepreneurial stories, narratives and reading – Their role in building entrepreneurial being and behaviour.
International Journal of Entrepreneurship and Innovation, 21(3), 178–190.
https://doi.org/10.1177/1465750319889234
Mappiare-AT, A. (2013). Tipe-tipe metode riset kualitatif untuk eksplanasi sosial budaya dan bimbingan konseling. Elang Mas.
Mappiare-AT, A. (2017). Meramu Model Konseling Berbasis Budaya Nusantara: KIPAS (Konseling Intensif Progresif Adaptif Struktur). Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Budaya Konseling Pada Fakultas Ilmu Pendidikan.
Disampaikan Pada Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang Pada Tanggal 28 Februari 2017.
Maulana, M. A., Wibowo, M. E., & Tadjri, I. (2014). Model Bimbingan Kelompok Berbasis Budaya Jawa Dengan Teknik Permainan Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Smp Kota Semarang. Jurnal Bimbingan Konseling, 3(2).
McMullen, J. S., Brownell, K. M., & Adams, J. (2021). What Makes an Entrepreneurship Study Entrepreneurial? Toward A Unified Theory of Entrepreneurial Agency.
Entrepreneurship: Theory and Practice, 45(5), 1197–1238.
https://doi.org/10.1177/1042258720922460
Natawidjaja, R. (2009). Konseling Kelompok, Konsep Dasar dan Pendekatan. Rizqi Press.
Prayitno. (1997). Konseling Pancawaskita. Universitas Negeri Padang.
Prayitno. (2007). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Rineka Cipta.
Riyanta, K. B., & Tadjri, I. (2015). Model Bimbingan Kelompok Berbasis Nilai-Nilai Budaya Yogyakarta (‘Nibuyo’) Untuk Meningkatkan Hubungan Interpersonal. Jurnal Bimbingan Konseling, 4(2), 79–84.
Rusmana, N., Suryana, D., Kurniasih, H. S., & Almigo, N. (2020). The Development of Speaking Skill ’ s Instrument in Elementary School with Rasch Model Analysis.
Universal Journal of Educational Research, 8(7), 2758–2765.
https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080702
Said, N. (2013). Gusjigang dan Kesinambungan Budaya Sunan Kudus: Relevansinya Bagi Pendidikan Islam Berbasis Local Genius. Jurnal EMPIRIK, 6(2).
Said, N. (2015). Pendidikan akhlak Muslimat Melalui sya’ir: analisis Gender atas ajaran Syi’ir Muslimat karya nyai Wanifah kudus. PALASTREN, 8(2).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/palastren.v8i2.970
Schmitt, A., Rosing, K., Zhang, S. X., & Leatherbee, M. (2018). A dynamic model of entrepreneurial uncertainty and business opportunity identification: Exploration as a mediator and entrepreneurial self-efficacy as a moderator. Entrepreneurship: Theory and Practice, 42(6), 835–859. https://doi.org/10.1177/1042258717721482
St-Jean, É., & Mathieu, C. (2015). Developing Attitudes Toward an Entrepreneurial Career Through Mentoring: The Mediating Role of Entrepreneurial Self-Efficacy. Journal of Career Development, 42(4), 325–338. https://doi.org/10.1177/0894845314568190 Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta.
Teixeira, A. A. C., & Davey, T. (2010). Attitudes of Higher Education Students to New Venture Creation: The Relevance of Competencies and Contextual Factors. Industry and Higher Education, 24(5), 323–341. https://doi.org/10.5367/IHE.2010.0005
Vilathuvahna, A. A., & Nugroho, T. R. D. A. (2015). Intensi Kewirausahaan Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura. Agriekonomika, 4, 107–119.
Wibowo, M. E. (2011). Konseling Kelompok Perkembangan. UNNES Press.
Zamroni, E., Hanurawan, F., Hambali, I. M., Hidayah, N., & Triyono. (2020). Existential Counseling Framework From A Spiritual Perspective : A Meta-Analysis. Journal of Critical Reviews ISSN-, 7(9), 520–524. https://doi.org/10.31838/jcr.07.09.103
Zamroni, E., Hanurawan, F., Muslihati, Hambali, I. M., & Hidayah, N. (2020). Android- based decision support system for career decision making of junior high school students in specialization program preparation. Test Engineering and Management, 82(14811), 14811–14817.
Zamroni, E., Muslihati, Lasan, B. B., & Hidayah, N. (2020). Blended Learning based on Problem Based Learning to Improve Critical Thinking Ability of Prospective Counselors. Journal of Physics: Conference Series, 1539(1).
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1539/1/012039