• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konseling Keluarga untuk Mencegah Perceraian - Jurnal IICET

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Konseling Keluarga untuk Mencegah Perceraian - Jurnal IICET"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 2 Nomor 1, April 2016, Hlm 1-7 Akses Online : http://jurnal.iicet.org

Dipublikasikan oleh : Indonesian Institute for Counseling, Education and Therapy (IICET)

Info Artikel:

Diterima: 24/02/2016 Direvisi: 01/04/2016 Dipublikasikan: 30/04/2016

Konseling Keluarga untuk Mencegah Perceraian

Alfina Sari

1

, Taufik

2

& Afrizal Sano

3

1 Universitas Negeri Padang

2 Universitas Negeri Padang

3 Universitas Negeri Padang

Abstrak

Perceraian dapat diartikan dengan putusnya hubungan perkawinan, sehingga menyebabkan hubungan suami isteri berakhir. Kondisi ini disebabkan munculnya konflik yang menyebabkan tidak tercapainya keharmonisan dan kebahagiaan keluarga. Perceraian diakibatkan beberapa faktor seperti pasangan yang bersifat egois, kurangnya komunikasi, ketidak siapan menikah, serta tidak tercapainya fungsi-fungsi dari pernikahan atau keluarga. Perceraian dapat menimbulkan dampak psikologis anak menjadi terganggu, ketidak stabilan perekonomian dan lain sebagainya. Untuk meminimalisir atau bahkan meniadakan kondisi perceraian dan menghindari dampaknya perlu pelayanan upaya bimbingan dan bahkan teraputik melalui berbagai pendekatan dan terapi termasuk pelayanan konseling. Pelayanan Konseling untuk melayani hubungan dalam rumahtangga dinamakan dengan konseling keluarga. Naskah ini mencoba untuk memaparkan lebih lanjut konsep perkawinan, perceraian dan upaya pelayanmemalui pelayanan konseling keluarga.

Kata Kunci: konseling keluarga, perceraian Copyright © 2015 IICET - All Rights Reserved

Indonesian Institute for Counseling, Education and Theraphy (IICET)

PENDAHULUAN

Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain, saling tolong- menolong dan memiliki hasrat untuk saling memberi. Manusia juga dikatakan sebagai makhluk biologis dan memiliki hasrat serta minat untuk mengembangkan keturunan sebagai tunas atau generasi penerus yang akan melanjutkan garis keturunannya (Al-Fatih Suryadilaga 2003: 4). Melanjutkan keturunan juga diwajibkan oleh Allah SWT. Bahkan Rasulullah saw sendiri menganjurkan umatnya untuk menikah dan memiliki keturunan. Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah SWT hidup secara berpasang-pasangan dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang diikat oleh sebuah perkawinan (Rahmat Hakim, 2007: 17).

Memiliki keturunan dapat ditempuh dengan melakukan suatu perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang besar dan penting dalam sejarah kehidupan seseorang, oleh karena itu biasanya mereka tidak melewatkan perkawinan begitu saja sebagaimana mereka menghadapi kehidupan sehari-hari. Menurut Undang- Undang Perkawinan yang dikenal dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan

“perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam

(2)

perkawinan adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri (Bimo Walgito, 2000: 12).

Berdasarkan pengertian perkawinan, maka jelas terlihat bahwa perkawinan merupakan suatu hal agung, sebab tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu, perkawinan bukanlah suatu permainan yang dapat dilakukan setiap saat dan kapan saja melainkan merupakan suatu tanggung jawab moral dari pasangan suami isteri serta merupakan suatu tantangan yang harus ditempuh untuk mewujudkan keluarga yang kekal abadi.

Keluarga sebagai suatu sistem sosial pada umumnya memiliki tugas dan fungsi agar sistem tersebut berjalan dengan baik. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga agar menuju keluarga yang sejahtera. Keluarga sejahtera merupakan dambaan dan harapan dari setiap keluarga. Untuk mencapai kondisi tersebut bukan suatu yang tidak mungkin terjadi apabila setiap keluarga menerapkan fungsi-fungsi yang seharusnya berjalan di dalam kehidupan keluarga. Fungsi keluarga diantaranya fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi, pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan (BKKBN, 2013: 3).

Apabila fungsi keluarga tersebut tidak terjalankan, maka akan menjadi pemicu perceraian. Perceraian menurut Elida Prayitno dan Erlamsyah (2002: 75) “merupakan putusnya hubungan suami-isteri yang telah sepakat untuk menjalankan kehidupan secara bersama dalam bahagia pernikahan”. Berbeda dengan pendapat Hurlock (1980: 307) yang menyatakan “perceraian merupakan kulminasi dan penyesuaian perkawinan yang buruk, dan terjadi bila antara suami dan isteri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak”. Perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang membuahkan kebahagiaan tetapi diakhiri dengan perceraian karena perkawinan tersebut tidak didasari oleh pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan alasan lainnya. Tetapi banyak juga perkawinan yang diakhiri dengan perpisahan dan pembatalan baik secara hukum maupun dengan diam-diam dan juga salah satu (isteri/suami meninggalkan rumah).

Simpulannya bahwa perceraian adalah putusnya hubungan suami isteri dikarenakan beberapa penyebab yang tidak bisa dipertahankan lagi. Perceraian ini disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya kegagalan dalam mencapai tujuan perkawinan yang bahagia, kekal dan sejahtera serta tidak terjalankan fungsi keluarga. Tentunya perceraian menimbulkan dampak yang kompleks bagi pasangan yang bercerai maupun bagi anak keturunannya.

Meskipun perceraian di satu sisi dapat menyelesaikan suatu masalah rumahtangga yang tidak mungkin lagi diperbaiki, tetapi perceraian itu juga menimbulkan dampak negatif berkaitan dengan pembangunan ekonomi rumahtangga, hubungan individu dan sosial antar dua keluarga menjadi rusak, dan yang lebih berat adalah berkaitan dengan perkembangan psikis anak mereka yang pada suatu saat akan mempengaruhi perilakunya.

Landis (dalam T.O. Ihromi, 2004: 161) menyatakan bahwa “dampak dari perceraian adalah meningkatnya perasaan dekat anak dengan ibunya serta menurunnya jarak emosional anak dengan ayahnya serta anak menjadi inferior terhadap anak yang lain”. Melihat dampak perceraian baik bagi pasangan atau keluarga yang bercerai juga berakibat pada anak sebagai keturunannya. Bimbingan dan konseling sebenarnya sudah berusaha dalam menjadikan kelurga yang harmonis dan bahagia serta menghindari agar tidak terjadi perceraian juga agar tidak adanya hal-hal yang merugikan dalam kehidupan keluarga, namun kadang-kadang usaha itu belumlah begitu nampak. Maka dari itu konsleing keluarga sangat berperan penting untuk mencegah perceraian dan mewujudkan keluarga yang harmonis dan bahagia.

A. Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Keluarga juga merupakan kelompok orang yang mempunyai hubungan psikologis. Menurut Murdock (dalam Sri Lestari, 2013: 3) “keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi dan terjadi proses reproduksi”.

Keluarga menurut Dedi Junaedi (2002: 17) adalah “ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara seorang suami dan isteri uang hidup bersama-sama untuk mencapai hidup kekal dan abadi dengan rasa cinta, kasih dan sayang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan Brugess dan Liok (dalam Marwisni Hasan, 2012: 3) mendefenisikan keluarga dalam dua bentuk, yaitu:

a. Sekelompok orang yang terdiri dari suami-isteri yang hidup bersama dengan berbagi kasih sayang, perhatian, ide, kebahagiaan, maupun kesedihan dan pengalaman untuk tujuan bersama yaitu kebahagiaan,

(3)

b. keluarga adalah kelompok orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, hubungan darah atau adopsi yang membina rumah sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan cara saling menghormati dan menghargai.

Jadi dapat disimpulkan keluarga merupakan suatu kelompok sosial terdiri dari suami dan isteri yang dibentuk atas dasar hubungan cinta kasih antara keduanya dan memutuskan untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Tujuan Keluarga

Tujuan hidup berkeluarga adalah untuk saling memenuhi kebutuhan seperti kebutuhan psikologis, biologis dan sosial ekonomi serta memberi ketentuan hak dan kewajiban terhadap pasangan.

Menurut Marwisni Hasan (2012: 33-34) tujuan membentuk keluarga adalah:

(a) Memberi ketentuan hak dan kewajiban kepada pasangan yang terjalin dalam perkawinan, (b) mengatur dan memberikan ketentuan hak dan kewajiban perlindungan serta pembinaan anak- anaknya, (b) saling memenuhi kebutuhan psikologis, (d) saling memenuhi kebutuhan akan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan, (e) saling memnuhi kebutuhan biologis (seksual), (f) saling memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabatnya.

Keluarga sehat adalah keluarga yang hubungan antara anggota keluarganya berfungsi sepenuhnya dan dapat menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik sehingga keluarga itu dapat dikatakan keluarga bahagia dan keluarga yang sehat secara psikologis. Sebaliknya jika keluarga tidak dapat menjalankan fungsi dan tujuannya dalam keluarga akan dapat menimbulkan krisis keluarga. Menurut Sofyan S. Willis (2011: 13) krisis keluarga bisa membawa kepada perceraian suami isteri. Krisis keluarga seperti kehidupan keluarga yang kacau, tidak teratur dan terarah. Dengan kata lain krisis keluarga merupakan suatu kondisi yang sangat labil dikeluarga, komunikasi dua arah dalam kondisi demokrasi sudah tidak ada sehingga sering timbul perselisihan yang menjadi penyebab seringnya timbul pertengkaran antara pasangan suami isteri.

Berbagai tujuan perkawinan yang hendak dicapai oleh setiap pasangan memiliki dua tujuan utama manusia melangsungkan perkawinan, yaitu memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama. Untuk mencapai tujuan tersebut bimbingan dan konseling membantu melalui bimbingan dan konseling keluarga dan bimbingan dan konseling perkawinan (Yendi, F. M., Ardi, Z., & Ifdil, I, 2013).

Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan membentuk keluarga adalah untuk dapat menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami isteri serta saling dapat memenuhi kebutuhan baik kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Apabila semua kebutuhan tersebut tidak dipenuhi oleh suami istri maka akan menyebabkan krisis di dalam keluarga sehingga nantinya akan menyebabkan perceraian.

3. Fungsi Keluarga

Setelah sebuah keluarga terbentuk maka selanjutnya anggota keluarga di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Keluarga menjalankan fungsi penting bagi keberlangsungan masyarakat dari generasi ke generasi.

Fungsi keluarga yaitu sistem dimana setiap anggota keluarga mampu menjalankan tugas dan kedudukannya di dalam keluarga.

Menurut Bern (dalam Sri Lestari, 2013: 22) menyatakan keluarga memiliki lima fungsi dasar yaitu:

(1) reproduksi dimana keluarga memiliki lima tugas untuk mempertahankan populasi yang ada di dalam masyarakat, (2) sosialisasi/edukasi dimana keluarga menjadi sarana untuk tranmisi nilai, keyakinan, sikap, pengertahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda, (3) penugasan peran sosial dimana keluarga memberikan identitas pada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi dan peran gender, (4) dukungan ekonomi dimana keluarga menyediakan tempat berlindung, makan dan jaminan kehidupan, (5) dukungan emosi/pemeliharaan di mana keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi

(4)

anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.

Menurut Syamsu Yusuf (2006: 38) fungsi keluarga dilihat dari sudut pandang sosiologis, fungsi kedua orangtua dapat dilihat ke dalam beberapa fungsi, diantaranya: (a) Fungsi biologis, (b) fungsi ekonomis, (c) fungsi pendidikan, (d) fungsi sosialisasi, (e) fungsi perlindungan, (f) fungsi rekreatif, (g) fungsi agama

Sejalan dengan itu, BKKBN (2013: 3) membagi fungsi keluarga menjadi 8 fungsi, diantaranya: “(a) Fungsi agama, (b) fungsi sosial budaya, (c) fungsi cinta kasih, (d) fungsi perlindungan, (e) fungsi reproduksi, (f) fungsi sosialisasi pendidikan, (g) ekonomi, (h) fungsi lingkungan”.

Apabila di dalam keluarga dapat menjalankan semua fungsi keluarga, maka keluarga akan menjadi keluarga yang harmonis, namun jika dalam keluarga tidak mampu menjalankan fungsi keluarga tersebut mengalami permasalahan dalam keluarga yang akan menghancurkan keluarga yang akan mengakibatkan perceraian.

B. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Sebuah keluarga dikatakan tidak harmonis apabila dalam keluarga tersebut sering terjadi konflik, ketegangan, merasa tidak puas, merasa tidak bahagia, sering merasakan kekecewaan, tidak saling pengertian, tidak saling memberikan kasih sayang dan juga tidak mendapatkan kebahagiaan, hal ini dapat mengakibatkan perceraian. Menurut Prawirohamidjojo & Pohan (1995: 135) “perceraian adalah salah satu cara pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu melalui keputusan hakim yang didaftarkannya pada catatan sipil”.

Senada dengan itu menurut Elida Prayitno (2002: 75) “perceraian adalah putusnya hubungan suami isteri yang telah sepakat untuk menjalankan kehidupan secara bersama dalam mahligai perkawinan”.

Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan sehingga pasangan suami isteri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Sebuah keluarga yang bercerai biasanya diawali dari sebuah konflik.

Selanjutnya menurut Menurut Hurlock (1999: 307) “perceraian merupakan dari penyelesaian perkawinan yang buruk dan yang terjadi bila antara suami isteri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak”. Perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian. Hal ini karena perkawinan tersebut dilandasi dengan pertimbangan-pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi, dan alasan lainnya.

Maka dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan karena keinginan kedua belah pihak, sehingga menyebabkan hubungan suami isteri berakhir. Perceraian diakibatkan karena adanya konflik antara suami isteri juga dikarenakan tidak tercapainya tujuan perkawinan yang harmonis, kekal dan bahagia.

2. Faktor Penyebab Perceraian

Perceraian itu terjadi karena faktor-faktor tertentu yang mendorong suami istri untuk bercerai George Levinger (T.O. Ihromi, 1999: 153-155). Faktor-faktor dimaksud antara pasangan suami istri yang satu dengan yang lain saling berbeda. Sulistyawati (dalam Putri Novita Wijaya, 2008: 28).

menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian adalah: “(a) kurangnya kesiapan mental, (b) permasalahan ekonomi, (c) kurangnya komunikasi antar pasangan, (d) campur tangan keluarga pasangan, (e) perselingkuhan”.

Titik puncak dari pengumpulan berbagai permasalahan yang menumpuk beberapa waktu sebelumnya dan jalan terakhir yang harus ditempuh ketika hubungan perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga pasangan suami isteri lebih memilih untuk bercerai (Agoes Dariyo 2003:160).

Faktor Penyebab Perceraian diantaranya: ”(1) ketidaksetiaan salah satu pasangan hidup, (2) tekanan kebutuhan ekonomi keluarga, (3) tidak mempunyai keturunan, (4) perbedaan prinsip hidup dan agama”.

3. Dampak Perceraian

Pada dasarnya perceraian itu menimbulkan dampak yang kompleks bagi pasangan yang bercerai maupun bagi anak keturunannya. Meskipun perceraian di satu sisi dapat menyelesaikan suatu

(5)

masalah rumah tangga yang tidak mungkin lagi dikompromikan, tetapi perceraian itu juga menimbulkan dampak negatif berkaitan dengan pembangunan ekonomi rumah tangga, hubungan individu dan sosial antar dua keluarga menjadi rusak, dan yang lebih berat adalah berkaitan dengan perkembangan psikis anak mereka, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilakunya.

Landis (T.OIhromi, 2004:161) menyatakan bahwa “dampak dari perceraian adalah meningkatnya perasaan dekat anak dengan ibunya serta menurunnya jarak emosional anak dengan ayahnya, di samping itu anak juga akan menjadi inferior terhadap anak yang lain”.

Pada kasus perceraian, anak pada umumnya merasakan dampak psikologis, ekonomis dan koparental yang kurang menguntungkan dari orangtuanya. Kepribadian anak menjadi terbelah karena harus memilih salah satu orangtuanya. Memilih berpihak kepada ibunya berarti menolak ayahnya, begitu juga sebaliknya. Menurut Agoes Dariyo (2008: 168) dampak negatif perceraian yang biasanya dirasakan adalah:

a. Pengalaman traumatis pada salah satu pasangan hidup (laki-laki ataupun perempuan) b. ketidak stabilan dalam pekerjaan.

Menurut Wiran dan Sudarto (dalam Bety Wiyaswiyanti, 2008: 37-38), dampak yang ditimbulkan dengan adanya perceraian antara lain:

a. Adanya perasaan tersingkir dan kesepian,

b. perasaan tertekan karena harus menyesuaikan diri dengan status baru sebagai janda/duda, c. permasalahan hak asuh anak, dan

d. adanya masalah ekonomi, yaitu penurunan perekonomian secara drastis.

Perceraian sangat memberikan banyak dampak negatif bagi pasangan suami isteri, maka dari itu peneliti ingin mengetahui faktor yang menyebabkan perceraian agar perceraian tersebut tidak terjadi dalam hubungan keluarga, dengan begitu pasangan suami isteri akan menjadi keluarga yang bahagia.

C. Konseling Keluarga Untuk Mencegah Perceraian

Konseling keluarga merupakan salah satu sarana untuk mencegah terjadinya perceraian. Menurut Sofyan S, Willis (2011: 89) “Family counseling atau konseling keluarga adalah upaya bantuan yang diberikan kepada individu anggota keluarga melalui sistem keluarga (pembenahan komunikasi keluarga) agar potensinya berkembang seoptimal mungkin dan masalahnya dapat diatasi atas dasar kemauan membantu dari semua anggota keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga”.

Tujuan konseling keluarga dikemukakan secara umum dan khusus oleh Sofyan S, Willis (2009: 89) yaitu:

1. Tujuan Umum

a. Membantu anggota-anggota keluarga belajar dan menghargai secara emosional bahwa dinamika keluarga adalah saling kait mengaitkan diantara anggota keluarganya,

b. untuk membantu anggota keluarga agar menyadari tentang fakta jika satu anggota keluarga bermasalah, maka akan mempengaruhi kepada persepsi, ekspasi, dan interaksi kepada anggota-anggota lainnya, c. agar tercapainya keseimbangan yang akan membuat pertumbuhan dan peningkatan setiap anggota, d. untuk mengembangkan penghargaan penuh penuh sebagai pengaruh dari hubungan parental.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk meningkatkan toleransi dan dorongan anggota-anggota keluarga terhadap cara-cara yang istimewa (idiocynratic ways),

b. mengembangkan toleransi terhadap anggota-anggota keluarga yang mengalami frustasi/kecewa, konflik, dan rasa sedih yang tejadi karena faktor sistem keluarga,

c. mengembangkan motif dan potensi-potensi, setiap anggota keluarga dengan cara mendorong (men- support), memberi semangat, dan meningkatkan anggota tersebut,

d. mengembangkan keberhasilan persepsi diri orangtua secara realistic dan sesuai dengan anggota- anggota lainnya.

(6)

Tujuan adanya konseling keluarga ini adalah untuk mencegah terjadinya pertengkaran, konflik serta ketidak harmonisan yang terkadang dapat menyebabkan terjadinya perceraian di dalam rumah tangga. Selain itu konseling keluarga juga bertujuan untuk menjadikan keluarga yang harmonis, bahagia, sakinah, mawaddah dan warahmah.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Setiap tahun perceraian semakin meningkat, hal ini disebabkan karena keluarga tidak menjalankan fungsinya sebagai keluarga dan ketidak siapan menikah antara pasangan suami dan isteri, namun apabila fungsi dalam keluarga terjalankan dengan baik maka pertengkaran yang berakibat perceraian dalam keluarga tidak akan terjadi, begitu pula sebaliknya apabila fungsi keluarga terjalankan dengan baik maka keluarga tersebut akan menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia. Beberapa faktor penyebab perceraian diantaranya adalah permasalahan ekonomi, pasangan yang bersifat egois, pasangan yang tidak saling menghargai, kurangnya komunikasi kurang toleransi dan masih banyak lagi faktor lainnya.

Saran

Melihat banyaknya perceraian yang terjadi karena beberapa faktor, maka dari itu sangat diperlukan konseling keluarga untuk pasangan suami isteri dalam keluarga. Konsling keluarga ini fungsinya adalah untuk mencegah terjadinya pertengkaran, konflik serta ketidak harmonisan yang terkadang dapat menyebabkan terjadinya perceraian di dalam rumah tangga. Selain itu konseling keluarga juga bertujuan untuk menjadikan keluarga yang harmonis, bahagia, sakinah, mawaddah dan warahmah. Maka dari itu konseling keluarga ini sangat penting untuk di terapkan pada pasangan suami isteri dalam keluarga.

DAFTAR RUJUKAN

Agoes Dariyo. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Grasindo.

Al-Fatih Suryadilaga. (2003). Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras.

Bety Wiyaswiyanti. (2008). Dampak Psikologis Perceraian Pada Wanita. Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi.

Universitas Katolik Soegijapranata: tidak diterbitkan.

Bimo Walgito. (2000). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.

BKKBN. (2013). Buku Pengantar Kader BKR Tentang Delapan Fungsi Keluarga. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana nasional Direktorat Bina Ketahanan Remaja.

Dedi Junaedi. (2002). Bimbingan Perkawinan (membina keluarga Sakinah Menurut Al-Quran dan As-Sunnah) edisi pertama. Jakarta: Akademika Pressindo.

Elida Prayitno dan Erlamsyah. (2002). Bahan Ajar Psikologi Keluarga. Padang: FIP UNP.

Elida Prayitno. (2002). Buku Ajar Perkembangan Psikologi Remaja. Padang: Angkasa Raya.

Hurlock, B. E. (1980). Psikologi Perkembangan “Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan”

(Penerjemah: Istiwidayanti dan Soedjarwi). Jakarta: Erlangga.

Hurlock, B. E. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Ed.5. Jakarta:

Erlangga.

(7)

Indonesia. Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974. LN No.1 Tahun 1974, TLN No. 3019.

Marwisni Hasan. (2012). Bahan Ajar Bimbingan dan Konseling Keluarga. Padang: BK FIP UNP.

Prawirohamidjojo, R. S. & Pohan. (1995). Hukum Orang dan Keluarga. Surabaya: Air langga University Press.

Putri Novita Wijaya. (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perceraian dalam Perkawinan. Skripsi.

Semarang: Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang: Tidak diterbitkan.

Rahmat Hakim. (2007). Hukum Pernikahan Islam: Bandung: Pustaka Setia.

Sofyan, S. Willis. (2011). Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta.

Sri Lestari. (2013). Psikologi Keluarga. Penanaman Nilai Penanganan Konflik Dalam Keluarga. Jakarta:

Kencana.

Syamsu Yusuf LN. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

T.O. Ihromi. (2004). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Yendi, F. M., Ardi, Z., & Ifdil, I. (2013). Pelayanan Konseling untuk Remaja Putri Usia Pernikahan. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 1(2), 109-114.

Referensi

Dokumen terkait

Economic Inequality, Regional Development, and Internal Migration in Indonesia Irfan Teguh Primaa, and Khoirunurrofikb,∗ aMinistry of Finance, Jakarta bDepartment of Economics,

polymerization model would be expected to only result in partial conversion of the poly-1- hexenyl.49 The possibility of a Zr-allyl species as intermediate has been put forward by