• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of KONSEP ADIL BERPOLIGAMI DALAM KITAB BULUGHUL MARAM MIN ADILLATIL AHKAM KARYA IBNU HAJAR AL-ASQALANY

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of KONSEP ADIL BERPOLIGAMI DALAM KITAB BULUGHUL MARAM MIN ADILLATIL AHKAM KARYA IBNU HAJAR AL-ASQALANY"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP ADIL BERPOLIGAMI DALAM KITAB BULUGHUL MARAM MIN ADILLATIL AHKAM KARYA IBNU HAJAR AL-

ASQALANY

Muh. Yunan Putra dan Merry Lestania Institut Agama Islam (IAI) Muhammadiyah Bima

Jln. Anggrek Nomor 16 Ranggo Na’E Kota Bima

Corresponding Author : Muh. Yunan Putra, mohammed.elgehady@gmail.com

ABSTRAK

Poligami adalah seorang suami memiliki lebih dari seorang istri.

Kemudian setelah berkeluaga pria tersebut menikah lagi dengan istri keduanya tanpa menceraikan istri pertamanya hukum poligami secara garis besar dapat dibagi menajdi tiga kelompok, yaitu:

Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara mutlak, Kedua, mereka yang melarang poligami secara mutlak. Ketiga, mereka yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan kondisi-kondisi tertentu. Dengan poligami seorang suami akan terhindar dari perzinahan, namun ada hal-hal yang harus diperhatikan bahwa syarat poligami itu harus berlaku adil. Jenis penelitian ini adalah Library Research yaitu penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti pendapat sarjana, buku-buku, kitab-kitab, Al-Quran dan As-Sunnah.

Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer dan teknik pengumpulan data menggunakan Library/dokumen dan Content Analisys. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa adil yang dimaksud dalam Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam adalah poligami bukan hanya sekedar keadilan kuantitatif semacam pemberian materi atau waktu gilir antar istri tetapi juga mencakup keadilan kualitatif (kasih sayang yang merupakan fondasi dalam kehidupan rumah tangga).

Kata Kunci: Konsep, Adil, dan Poligami.

How to Cite : Yunan Putra, M. (2023). Konsep Adil Berpoligami Dalam Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam Karya Ibnu Hajar Al-Asqalany, SANGAJI:

Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum, 7(1), 49-68 DOI : 10.52266/sangaji.v7i1.1314

Journal Homepage : https://ejournal.iaimbima.ac.id/index.php/sangaji/article/view/1314 This is an open access article under the CC BY SA license

https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/

(2)

PENDAHULUAN

oligami merupakan suatu peristiwa kehidupan yang terjadi di sekitar kita. Istilah poligami sering kali terdengar namun tidak banyak masyarakat yang dapat menerima keadaan ini. Seperti seorang suami mungkin mempunyai dua istri atau lebih pada saat yang bersamaan. Sangat banyak wanita yang menolak poligami dalam keluarganya dengan berbagai alasan yang diyakininya. Namun terdapat beberapa pula wanita yang menerima konsep poligami dalam keluarganya. Terdapat beberapa contoh perilaku poligami yang didukung oleh istri, seperti memilihkan calon istri. Hal ini biasanya disebabkan karena kefahaman terhadap bahaya bertambahnya jumlah wanita yang menua namun belum menikah, serta dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap lingkungan masyarakat atau rasa tanggung jawab wanita, cintanya terhadap saudari-saudarinya dari kalangan perawan tua dan janda bahkan meningkatnya taraf ekonomi suami di antara perkara yang membuatnya tenang (Ardhian et al., 2015).

Sering terdengar orang mengatakan bahwa Agama Islam merupakan Agama yang mempelopori adanya poligami. Padahal poligami merupakan tradisi yang telah ada sebelum Islam ada. Tradisi masyarakat arab pra Islam adalah seorang suami memiliki istri banyak. Kemudian Islam membatasi poligami dengan hanya maksimal memiliki empat orang istri. Selain itu, poligami dalam Islam selain dibatasi dan diperketat dengan syarat adil diantara seluruh istri yang dimiliki. Juga Islam memberikan aturan yang di tengah- tengah umat beragama. Islam membolehkan poligami dengan dibatasi empat orang istri, artinya tidak dikekang secara ketat, tetapi juga tidak dibebaskan secara liar (Aziz, 2014).

Praktek poligami menjadi fenomena tersendiri yang sering kali dipersoalkan yang kemudian menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang pro memandang bahwa poligami tidak dilarang dalam agama karena dalilnya terdapat di dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Kelompok atau golongan tersebut memandang bahwa ada alasan-alasan realitas dibalik kebolehan poligami, yang salah satumya dengan melihat kenyataan bahwa kaum perempuan lebih banyak dibandingkan kaum laki-laki. Sementara kelompok yang kontra beranggapan bahwa poligami merupakan tindakan yang tidak adil terhadap hubungan suami dan istri, karena dengan begitu, dengan adanya praktek tersebut posisi istri akan berubah menjadi objek, padahal seharusnya

P

(3)

istri dijadikan subjek dalam sebuah keluarga yang diposisikan sama dengan memperoleh haknya dengan suami.

Islam membolehkan laki-laki melakukan poligami adalah sebagai alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab kebutuhan lain yang menganggu ketenangan hatinya agar tidak sampai jatuh kelembah perzinahan maupun pelajaran yang jelas- jelas diharamkam oleh agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat bisa berlaku adil (Arifah, 2016). Dalam Al-Quran yang menjelaskan kebolehan berpoligami dengan syarat adil terhadap istri, Allah berfirman dalam Qs. An-Nisa’ (4) ayat 3 :

ََُٰٗۡثَي ِءٓبَسُِّنٱ ٍَِّي ىُكَن َةبَط بَي ْإُحِكَٱَف ًََََٰٰٗتَٛۡنٱ ِٙف ْإُطِس ۡقُت الََّأ ۡىُتۡف ِخ ٌِۡإ َٔ

َثََٰهُث َٔ

الََّأ َََٰٓٗ ۡدَأ َكِنََٰر ۡۚۡىُكُُ ًَََٰۡٚأ ۡتَكَهَي بَي َۡٔأ ًحَذ ِح َََٰٕف ْإُنِذۡعَت الََّأ ۡىُتۡف ِخ ٌِۡإَف ََۖعََٰثُس َٔ

ْإُنُٕعَت

٣

Terjemahnya:

‚Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim ( bila mana kamu menikahinya), maka kawinilah wanita - wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih d ekat kepada tidak berbuat aniaya‛. (Departemen Agama Republik Indonesia, n.d.)

Jika ditinjau dari konteks turunnya ayat tersebut bahwa latar belakang historis diturunkannya ayat tersebut adalah turun setelah terjadinya perang Uhud, di mana banyak sekali pejuang muslim yang gugur, yang mengakibatkan banyak istri menjadi janda dan anak menjadi anak yatim.

Mereka yang mengurusi harta anak yatim diingatkan oleh Allah SWT, jika ingin menikahi anak asuhnya yang yatim maka hendaknya dengan i’tikad yang baik dan adil. Hal ini terutama kaitannya dengan pemberian mahar dan hak- hak lainnya terhadap perempuan yang dinikahinya.

Adil sangat mudah diucapakan, namun sangat berat diaplikasikan. Adil terhadap diri sendiri saja sangat sulit apalagi adil kepada lebih dari satu istri.

Ada sebagian orang yang mampu berlaku adil, namun ada pula yang tidak

(4)

anggota keluarganya, berarti telah memenuhi salah satu syarat melakukan poligami. Dinyatakan bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, di antaranya adalah syarat perlakuan yang adil.

Persyaratan adil dalam poligami adalah karena pada umumnya laki-laki telah mendapati istri muda, maka istri tuanya ditinggal begitu saja atau ditelantarkan. Hal ini adalah untuk mengingatkan setiap waktu kepada laki- laki yang melaksanakan poligami. Para ulama fiqih ataupun ulama tafsir berpendapat bahwa adil terhadap para istri itu dibuktikan dengan sikap adil dalam hal memberikan nafkah mereka, baik berupa makan, minum, selanjutnya mereka berpendapat bahwa adil yang menjadi syarat mutlak dalam berpoligami selain hal-hal mengenai di atas, juga meliputi adil dalam pembagian waktu dan menggilir istri-istri (Rini Masykuroh, 2011).

Sebagian besar ulama klasik memperbolehkan adanya praktek poligami, namun poligami boleh dilakukan jika memenuhi syarat-syarat poligami, syarat- syarat tersebut antara lain, laki-laki hanya diperbolehkan menikahi empat perempuan dan harus bisa berlaku adil. Dari kalangan Hanafiah mengatakan bahwa seseorang yang berpoligami harus berlaku adil diantara istri-istrinya.

Begitupun Imam Syafi’i memperbolehkan praktek poligami dengan catatan harus memenuhi persyaratannya, yaitu mampu berbuat adil kepada para istrinya dan batasnya empat perempuan. Menurut Iman Syafi’i yang dimaksud dengan bersikap adil yaitu adil secara materi (seperti pembagia malam, nafkah dan mewarisi) atau fisik. Sedangkan keadilan dalam hal hati (cinta) sulit dilakukan karena hanya Allah SWT yang mengetahuinya.

Dalam kitab Al-Muatta’ Imam Malik mengatakan bahwa orang yang melakukan poligami hanya diperbolehkan sebanyak empat istri dan ini berlaku bagi suami yang merdeka. Ahmad bin Hambal meyebutkan batas maksimal seorang laki-laki berpoligami hanyalah empat istri dan harus diikuti dengan sikap adil, seperti pembagian giliran terhadap istri-istri sehingga tidak diperbolehkan condong pada salah satu istri. Dengan mengutip QS An-Nisa’

ayat 29, Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa keadilan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah keadilan dalam hati, sehingga dalam ayat itu, Allah SWT menyatakan kemustahilannya kepada manusia untuk membagi hatinya secara adil (Yunus, 1995).

Dalam kitab Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam menjelaskan bahwa yang dimaksud adil dalam poligami itu bukan hanya dilihat dari sisi pembagian nafkah (makanan, pakaian atau kebutuhan sehari-hari) saja tetapi

(5)

lebih condong membahas adil ketika saat pembagian giliran. Salah satu dalam Hadist yang menjelaskan tentang pembagian giliran yaitu Hadist nomor 859 dalam kitab Bulughul Maram

َخَشِئبَع ٍَْع بََُْٓع ُ ا َاَللّ َٙ ِضَس -

, ُلِذْعََٛف , ُىِسْقَٚ صلى الله عليه وسلم ِ ا َاَللّ ُلُٕسَس ٌَبَك ( : ْتَنبَق -

َٔ ُكِهًَْت بًَِٛف ًُُِْٙهَت َلََف , ُكِهْيَأ بًَِٛف ًِْٙسَق اَزَْ اىُٓاهنَا : ُلُٕقَٚ َٔ

ُكِهْيَأ َلَّ

ُِّ٘زِي ْشِّتنَا َحاجَس ٍِْكَن َٔ , ُىِكبَحْنا َٔ ٌَباج ِح ٍُْثِا َُّحاحَص َٔ , ُخَعَث ْسَ ْلَْا ُِا ََٔس )

َّنبَس ْسِإ

Artinya:

’Aisyah Radiyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam selalu membagi giliran terhadap para istrinya dengan adil. Beliau bersabda: ‚Ya Allah, inilah pembagianku dengan sesuai yang aku miliki, maka janganlah Engkau mencela dengan apa yang Engkau miliki dan yang aku tidak milikinya.‛ (Riwayat Imam Empat, Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim).

Dari penjelasan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa Rasulullaah SAW melakukan pembagian giliran terhadap istri-istrinya, seperti 2 hari pada istri pertama dan 2 hari pula pada isri-istri yang lainnya. Tetapi beda hal pula perlakuan giliran pada istri yang janda dan istri yang masih perawan. Pada istri yang telah janda waktu gilirannya lebih singkat dibandingkan dengan istri yang masih perawan (contohnya 3 hari pada istri janda dan 5 sampai 6 hari pada istri yg perawan) hal ini dilakukan karena istri perawan masih belum mengenal mengenai hal pernikahan dan juga masih terdapat rasa canggung atau malu pada suaminya.

Terkait banyaknya pendapat tentang keadilan dalam berpoligami pada Mazhab Fiqih dan terperincinya pembahasan pologami pada kitab Bulughul Maram, maka penyusun merasa tertarik akan menganilis dan menjelaskan lebih terperinci tentang ‚Konsep Adil Berpoligami dalam Kitab Bulughul Maram Min Adillah Al-Ahkam Karya Ibnu Hajar Al-Asqalany (Kitab Nikah Bab VI tentang Pembagian Giliran)‛. Karna masih banyaknya masyarakat yang belum tahu sepenuhnya tentang keadilan dalam berpoligami.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang hendak di angkat ke atas permukaan, diantaranya: Bagaimana konsep adil berpoligami dalam Kitab Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam karya Ibnu Hajar (Kitab Nikah Bab VI tentang Pembagian Giliran)? Lalu seperti apa

(6)

sebenarnya makna keadilan itu sendiri terhadap kehidupan poligami dalam hukum Islam?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan melakukan analisis deskriptif. Sementara jenis penelitian adalah Library Research yaitu penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti pendapat sarjana, buku-buku, kitab-kitab, Al-Quran dan As-Sunnah.

Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer dan teknik pengumpulan data menggunakan Library/dokumen dan Content Analisys. Focus penelitian ini adalah konsep dan makna adil berpoligami dalam Kitab Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam karya Ibnu Hajar (Kitab Nikah Bab VI tentang Pembagian Giliran).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kata ‚poligami‛ terdiri dari dua kata yaitu ‚poli‛ dan ‚gami‛. Secara etimologi, ‚poli‛ artinya ‚banyak‛, ‚gami‛ artinya ‚istri‛. Jadi, poligami itu artinya beristri banyak. Sedangkan secara terminologi, poligami yaitu ‚seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri‛ atau ‚seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang‛. (Abdul Rahman Ghazaly, 2010) Dalam bahasa Arab, poligami disebut Ta’addud Al-Zawjat. Asal perkataan Ta’addada berarti bilangan, manakala perkataan Al-Zawjat diambil dari perkataan Al-zawjat yang berarti isteri. Dua perkataan tersebut apabila digabungkan membawa arti isteri yang banyak atau berbilang (Slamet &

Aminuddin, 1999). Maka dengan demikian, poligami dapat dimaksudkan sebagai menikahi perempuan lebih dari pada seorang yaitu lawan dari perkataan monogami yang berarti menikah dengan seorang wanita saja dan merupakan berlawanan dengan perkataan poliandri yaitu bersuami dengan lebih dari seorang dalam satu masa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan (Tim Redaksi, n.d.).

Sementara Dalam bahasa Inggris, adil sama halnya dengan akta justice dimana artinya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam hal ini adil tidak berarti sama, tetapi memberikan hak-hak yang di miliki seseorang sesuai dengan fungsi dan perannya. Lebih jauh dikatakan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia bahwa keadilan adalah sendi pokok dalam hukum. Berbeda

(7)

tingkat dan kedudukan sosial, perbedaan derajat dan keturunan, tidak boleh dijadikan alasan untuk membedakan hak seseorang di hadapan hukum, baik hukum Tuhan maupun hukum yang dibuat manusia (Rusdi, 2019).

Kata adil berasal dari Bahasa arab dari fi’il ‘adala-ya’dilu-‘adalla, secara Bahasa adil dalam Bahasa arab memiliki makna kebalikan dari Al-juuru yaitu zhalim, ia memiliki makna lebih dari satu. Adapun dengan merujuk kepada isim masdar maka kata adil memiliki beberapa makna, yaitu: yang berarti memberikan hak kepada yang berhak dan mengambil yang tidak berhak, serupa dan sama (menyamakan), balasan, dan tebusan. Sedangkan pengertian adil menurut jumhur ulama, adil adalah sifat lebih dari pada berislam, dengan senantiasa melakukan kewajiban syariat dan ha-hal yang dianjurkan, serta menjauhi ha-hal yang diharamkan dan dimakruhkan (Irawan, 2018).

Jadi bahwa adil tidak lepas dari sifat dan sikap yang menunjukan suatu kebaikan, kebajkan dan akhlak mulia yang memiliki kaidah tetap yang disepakati oleh semua umat dan di berlakukan kepada semua kalangan baik itu lemah ataupun kuat, kaya maupun miskin, hina maupun terhormat, tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu, loyalitas maupun keberpihakan tentunya yang sesuai dengan syariat islam yang berdasarkan wahyu ilahi yaitu Al- Quran dan sunah Rasulnya, karena tiada keadilan kecuali yang sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasul SAW (Irawan, 2018).

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam menunjukan praktek penegakan keadilan, menghargai dan mengangkat derajat orang-orang yang berbuat adil, serta melarang dan mencela tindak ketidakadilan. Al-Quran juga menempatkan keadilan sebagai asas yang harus dipegang oleh setiap manusia dalam seluruh aktivitas dalam kehidupannya. Adil merupakan kebajikan yang paling dekat dengan takwa karena keadilan merupakan refleksi dari ketakwaan. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT QS. Al-Maidah (5) ayat 8:

ََُش ۡىُكاَُي ِش ۡجَٚ َلَّ َٔ …..

ُةَش ۡقَأ َُْٕ ْإُنِذ ۡعٱ ْۡۚإُنِذ ۡعَت الََّأ ََٰٓٗهَع ٍو َٕۡق ٌُب

ٌَُٕهًَۡعَت بًَِث ُُۢشِٛجَخ َ اللّٱ اٌِإ َۡۚ اللّٱ ْإُقاتٱ َٔ ََٰٖۖ َٕۡقاتهِن

٨

Terjemahnya:

‚Berlaku adillah, karena itu lebih dekat dari pada takwa. Bertakwalah kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.‛

(8)

Konsep Keadilan Menurut Islam dan Konsep Adil Berpoligami dalam Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam

1. Keadilan dalam Poligami

Berbicara tentang keadilan dari kalangan Hanafi mangatakan bahwa seseorang yang berpoligami harus berlaku adil terhadap istri- istrinya. Keharusan tersebut berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 3 dan hadist dari Aisyah yang menceritakan tentang perlakuan yang adil dari Nabi kepa da istri-istrinya. Kemudian berbicara tentang hak dan kewajiban suami istri dari kalangan Hanafi juga mengatakan suami yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isti-istrinya (Rini Masykuroh, 2011).

Kalangan Syafi’i juga mensyaratkan keadilan diantara istri, dan menurutnya keadilan itu hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi isrti di malam atau di siang hari. Tuntutan Al-Quran terhadap sifat adil tersebut juga disebutkan dalam surat Ar-Rum ayat 30 dan surat Yunus ayat 69. Berdasarkan ayat-ayat tersebut seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang wajib membagi malam secara adil (satu-satu malam atau dua-dua atau tiga-tiga) seorang suami tidak boleh masuk kamar istri yang bukan gilirannya kecuali ada kepentingan. Kalau ada kepentingan boleh masuk dengan syarat tidak boleh bermesraan.

Bahkan jika ada diantara istri yang sedang sakit tetapi tidak pada saat gilirannya, suami hanya boleh menjenguknya hanya pada siang hari.

Kecuali kalau meninggal, maka boleh mengunjungi dimalam hari. Dengan catatan sisa malamnya tetap menjadi milik istri yang mendapat gilirannya.

Namun demikian jika terjadi pelanggaran, suami tidak dijatuhi hukuman kafarat. Giliran seorang istri yang sehat dan yang sakit adalah sama (kecuali sakit gila). Maksud giliran malam bukan berarti harus berhubungan badan bisa jadi hanya bercumbu. Karena itu, istri yang sedang haid tidak menjadi halangan untuk mendapat giliran malam. Begitulah contoh suami memberikan sandang dan pangan yang adil kepada istri-istrinya (Rini Masykuroh, 2011).

Imam Malik mengatakan bahwa orang yang melakukan poligami hanya diperbolehkan sebanyak empat istri dan ini berlaku bagi suami yang merdeka. Begitupun Ahmad bin Hambal menyebutkan batas maksimal seorang laki-laki berpoligami hanyalah empat istri dan harus diikuti dengan sikap adil, seperti pembagian giliran terhadap istri-istri sehingga tidak diperbolehkan condong pada salah satu istri. Dengan mengutip surat

(9)

An-Nisa’ ayat 129, Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa keadilan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah keadilan dalam hati, sehingga dalam ayat itu, Allah SWT menyatakan kemustahilannya kepada manusia untuk membagi hatinya secara adil (Yunus, 1995).

Berlaku tidak condong kepada salah satu diantara istri-istrinya yang tidak mengakibatkan terabaikannya (terkatumg-katung) yang lain, berarti sudah termaksud kelompok yang berbuat adil, sebagai syarat yang dikhendaki Al-Quran untuk berpoligami. Dari uraian tersebut di atas ada beberapa hal yang perlu dicatat dari empat imam mazhab tersebut hanya Iman Syafi’i yang menghubungkan surat An-Nisa’ ayat 3 dan 129 dimana ayat kedua menurut sebagian pemikir merupakan jawaban terhadap ayat pertama, meskipun Syafi’i tidak sejalan dengan pandangan tersebut sebagai tambahan bahwa meskipun Imam Syafi’i menghubungkan An-nisa’ ayat 3 dan 129 bukan dengan sejumlah ayat lain, tetapi tidak tampak dijadikan sebagai satu kesatuan pembahasan yang utuh dan menyatu. Dari pembahasan keempat mazhab fiqih tidak satupun yang mencatat sebab turunnya ayat. Demikian juga tidak ada diantaranya yang menghubungkan dengan pembahasan ayat sebelumnya, yaitu surat An-Nisa’ ayat 1 dan 2.

Dengan demikian para imam mazhab fiqih tersebut tampak literalis dan ahistoris (Yunus, 1995).

Dalam Bulughul Maram Kitab Nikah Bab II tentang Pergaulan dengan Istri hadist ke 36 No. 816 telah menjelaskan konsep adil dalam pembagian nafkah.

ِج َْٔص ُّقَح بَي ! ِ ا َاَللّ َلُٕسَس بَٚ : ُتْهُق ( : َلبَق ِِّٛثَأ ٍَْع , َخَِٚٔبَعُي ٍِْث ِىِٛكَح ٍَْعَٔ

َرِإ بًَُِٓعْطُت : َلبَق ? َِّْٛهَع بََِذَحَأ ِة ِشْضَت َلَّ َٔ , َتَْٛسَتْكِا اَرِإ بَُْٕسْكَت َٔ , َتْهَكَأ ا

) ِتَْٛجْنَا ِٙف الَِّإ ْشُجَْٓت َلَّ َٔ , ْحِّجَقُت َلَّ َٔ , َّْج َْٕنا , َد ُٔاَد ُٕثَأ َٔ , ُذًَْحَأ ُِا ََٔس

ٍُْثِا َُّحاحَص َٔ ،َُّضْعَث ُّ٘ ِسبَخُجْنَا َقاهَع َٔ ،َّْجبَي ٍُْثأَ , ُِّٙئبَساُنأَ

ُىِكبَحْنا َٔ , ٌَباج ِح

Artinya:

‚Hakim Ibnu Muawiyah, dari ayahnya Radiyallaahu ‘anhu berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah kewajiban seseorang dari kami terhadap istrinya? Beliau menjawab: ‚engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan menemani tidur kecuali di dalam rumah.‛ (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu majah.

(10)

Sebagian hadist itu diriwayatkan Bukhari secara mu’allaq dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim.) (Bassam Tarqiy, 2012)

Dalam hadits ini terdapat sebagian hak seorang suami istri atas yang lain, adapun suami maka wajib memberi nafkah dan tempat tinggal untuk istrinya demikian juga wajib atas suami untuk memberi istrinya pakaian. Hadits ini menunjukan kewajiban suami memberi nafkah, pakaian, dan tenpat tinggal kepada istrinya (Bassam, 2006).

Dari penjelasan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa suami wajib bersikap adil terhadap istri-istrinya. Baik itu berupa nafkah (makanan, pakaian dan tempat tinggal) untuk kebutuhan sehari-hari. Karna istri-isrinya membutuhkannya demi keberlangsungan kehidupannya.

2. Hadits-hadits tentang Konsep Adil Berpoligami dalam Kitab Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam

1) Kitab Nikah Bab VI tentang Pembagian Giliran hadist ke 80 No. 859

َخَشِئبَع ٍَْع بََُْٓع ُ ا َاَللّ َٙ ِضَس -

, ُلِذْعََٛف , ُىِسْقَٚ صلى الله عليه وسلم ِ ا َاَللّ ُلُٕسَس ٌَبَك ( : ْتَنبَق -

ًُُِْٙهَت َلََف , ُكِهْيَأ بًَِٛف ًِْٙسَق اَزَْ اىُٓاهنَا : ُلُٕقَٚ َٔ

) ُكِهْيَأ َلَّ َٔ ُكِهًَْت بًَِٛف ُِا ََٔس

َّنبَس ْسِإ ُِّ٘زِي ْشِّتنَا َحاجَس ٍِْكَنَٔ , ُىِكبَحْنأَ ٌَباج ِح ٍُْثِا َُّحاحَص َٔ , ُخَعَث ْسَ ْلَْا

Artinya:

‚’Aisyah Radiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam selalu menbagi giliran terhadap para istrinya dengan adil. Beliau bersabda:

‚Ya Allah, inilah pembagian ku sesuai dengan yang aku miliki, maka janganlah Engkau mencela dengan apa yang Engkau miliki dan aku tidak memilikinya.‛ (HR Empat Imam) Hadits Shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Tirmidzi lebih menilainya sebagai hadits mursal. (Bassam Tarqiy, 2012)

Asbabul Wurud

Dalam hadits ini telah jelas bahwa Rasulullah SAW berlaku adil terhadap semua istri-istrinya dan Rasulullah SAW telah berbuat dengan semampunya terhadap istri-istrinya dalam memberikan keadilan.

Beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa Allah telah memperbolehkan beliau untuk tidak melakukan pembagian giliran atau

(11)

melakukan pembagian giliran di antara para istrinya, bahkan beliau benar-benar menunda dari gilirannya terhadap siapa saja yang dia kehendaki dan boleh mengumpuli siapa saja yang dia kehendaki pada saat bukan gilirannya. Hal ini adalah di antara kekhususan-kekhususan Rasulullah SAW jika hal itu sudah tetap, maka Rasulullah SAW telah melakukan pembagian giliran di antara para istrinya, sehingga dia berlaku adil dan hadits ini menunjukan bahwa kecintaan dan kecenderungan hati itu adalah sesuatu yang tidak mampu dikuasai, tetapi hal itu adalah berasal dari Allah SWT (Faishal Alu Mubarak, 2018).

Penjelasan Hadits

Dalam hadits ini telah jelas bahwa Rasulullah SAW berlaku adil terhadap semua istri-istrinya dan Rasulullah SAW telah berbuat dengan semampunya terhadap istri-istrinya dalam memberikan keadilan.

Hadits tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya yang berarti mengurangi haknya, tapi tidak dilarang untuk lebih mencintai perempuan yang satu dari pada yang lain (Abu Bakar, n.d.).

2) Kitab Nikah Bab VI tentang Pembagian Giliran hadist ke 81 No. 860

, ٌِبَتَأَشْيِا َُّن ْتََبَك ٍَْي ( : َلبَق صلى الله عليه وسلم ِِّٙجاُنَا ٍَْع ُّع الله ٙضس َحَشَْٚشُْ ِٙثَأ ٍَْع َٔ

َٗنِإ َلبًََف ِئبَي ُُّّقِش َٔ ِخَيبَِٛقْنَا َو َْٕٚ َءبَج , بًَُْاَذْحِإ

) ٌم , ُخَعَث ْسَ ْلْا َٔ , ُذًَْحَأ ُِا ََٔس

حٛ ِحَص ُُِذََُس َٔ

ٌٌ

Artinya:

‚Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: ‚Barang siapa memiliki dua orang istri dan ia condong kepada salah satunya, ia akan datang pada hari kiamat dengan tubuh miring.‛ (HR. Riwayat Ahmad dan Imam Empat dan sanadnya Shahih)

Asbabul Wurud

Telah ada penjelasan bahwa pembagian waktu giliran tidak wajib hukumnya bagi Nabi di antara istri-istrinya. Berdasarkan firman

(12)

Allah SWT, ‚Kamu boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang kamu kehendaki di antara (istri-istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu.‛ (Qs. Al-Ahzaab (33): 51). Bersamaan dengan ini Nabi membagi nafkah, menginap dan berhubungan intim di antara para istrinya tersebut kemudian berkata, ‚Ya Allah SWT inilah pembagian yang aku miliki, maka janganlah engkau mencaciku terhadap sesuatu yang Engkau miliki sementara aku tidak memilikinya.‛ Mengisyaratkan kasih sayang beliau yang merata.

Bahwa waktu pembagian giliran wajib hukumnya bagi seorang suami di antara dua orang istri atau beberapa istri dan haram hukumnya condong kepada salah satunya saja. Tidak wajib hukumnya bagi seorang suami membagi sesuatu, di mana ia tidak mampu melakukannya, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan hati, yaitu berupa rasa cinta dan kecenderungan hati, bukan hal-hal yang terkait dengan keinginan berhubungan intim hanya dengan satu istri saja, tidak pada yang lainnya (Bassam, 2006).

Keadilan dituntut dari seseorang di dalam seluruh tindakannya terhadap istri, anak-anak, kerabat, tetangga dan yang lainnya. Rasulullah SAW berhasil menyatukan hati untuk mencintainya, memurnikan jiwa untuk mencintainya serta menjauhkan dari tuduhan untuk condong kepada seorang istri saja.

Penjelasan Hadits

Tidak wajib hukumnya bagi seorang suami membagi sesuatu, di mana ia tidak mampu melakukannya, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan hati, yaitu berupa rasa cinta dan kecenderungan hati, bukan hal-hal yang terkait dengan keinginan berhubungan intim hanya dengan satu istri saja, tidak pada yang lainnya. Keadilan dituntut dari seseorang di dalam seluruh tindakannya terhadap istri, anak-anak, kerabat, tetangga dan yang lainnya (Bassam, 2006).

Kemudian Syaikh Saat Sa’di melanjutkan, ‚untuk masalah nafkah, pakaian, pembagian malam dan semacamnya, berdasarkan suami istri adil. Hal yang berbeda dengan kecintaan dan kenikmatan hubungan intim‛. Jika memang ingin berbuat poligami maka berbuat adillah. Jangan hanya memperturut nafsu sehingga cenderung untuk

(13)

tidak adil dan condong pada salah satu istri atau bahkan sampai melalaikan nafkah atau bahkan tidak mampu, namun siap untuk berpoligami (Muhammad Abduh Tuasikal, 2015).

3) Kitab Nikah Bab VI tentang Pembagian Giliran hadist ke 82 No. 861

ٍَِي ( : َلبَق ٍسَََأ ٍَْع َٔ

بََْذُِْع َوبَقَأ ِتِّٛاثنَا َٗهَع َشْكِجْنَا ُمُجاشنَا َج أَضَت اَرِإ ِخاُُّسنَا

) َىَسَق اىُث , بًث َلََث بََْذُِْع َوبَقَأ َتِّٛاثنَا َج أَضَت اَرِإ َٔ , َىَسَق اىُث , بًعْجَس , َِّْٛهَع ٌقَفاتُي

ّ٘ ِسبَخُجْهِن ُظْفاهنأَ

ٌِ

Artinya:

‚Anas Radiallahu ‘anhu berkata: Menurut Sunnah, apabila seseorang kawin lagi dengan seorang gadis hendaknya ia berdiam dengannya tujuh hari, kemudian membagi giliran dan apabila ia kawin lagi dengan seorang janda hendaknya ia berdiam dengannya tiga hari, kemudian membagi giliran.‛

(HR. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari) (Bassam Tarqiy, 2012)

Asbabul Wurud

Berlaku adil di antara para istri, wajib hukumnya. Sementara condong kepada salah satu istrinya saja merupakan kezhaliman. Oleh karena itu wajib hukumnya bagi seorang suami berlaku adil sesuai dengan kemampuannya. Adapun hal-hal yang diluar batas kemampuannya, maka hal tersebut tidak apa-apa. Pembagian waktu giliran yang wajib terdapat di dalam hadits ini, yaitu siapapun yang menikah sementara ia telah memiliki seorang istri atau lebih. Apabila istri yang baru masih perawan, maka hendaklah ia bermalam di sisinya selama tujuh malam kemudian berputar setelah itu kepada istri yang lainnya. Apabila seorang istri yang baru seorang janda, maka hendaklah ia bermalam di sisinya selama tiga malam lalu setelah itu berputar kepada istri yang lainnya.

Adapun perbedaan gadis dan janda sesuai dengan ukuran bermalamnya. Seorang gadis masih asing dengan suaminya dan masih asing untuk berpisah dengan suaminya. Ia membutuhkan waktu untuk menambah kejinakan dan menghilangkan kejinakan. Peringatan bagi memberi perhatian bagi orang yang datang dengan memuliakan kedatangannya. Bersikap lembut terhadap bersatunya pasangan ini

(14)

unsur bersikap lembut kepada seorang istri dengan ucapan yang halus, yaitu dengan ucapan Nabi SAW, ‚Tidak ada kelemahan bagimu atas diri suamimu.‛ Disunnahkan berterus terang dengan seorang yang bermuamalah. Seorang istri harus memberi tahu kepada suaminya mengenai hak yang menguntungkan dan merugikan suami agar menjadi jelas dan dapat diketahui bahwa apa yang engkau katakan adalah haknya dan apa yang telah disumpah atas nama Allah SWT menjadi haknya (Bassam, 2006).

Penjelasan hadits

Adapun perbedaan gadis dan janda sesuai dengan ukuran bermalamnya. Seorang gadis masih asing dengan suaminya dan masih asing untuk berpisah dengan suaminya. Ia membutuhkan waktu untuk menambah kejinakan dan menghilangkan kejinakan. Peringatan bagi memberi perhatian bagi orang yang datang dengan memuliakan kedatangannya. Bersikap lembut terhadap bersatunya pasangan ini serta bersikap santun di dalam pembicaraan. Di dalam hadits terdapat unsur bersikap lembut kepada seorang istri dengan ucapan yang halus,yaitu dengan ucapan Nabi SAW, ‚Tidak ada kelemahan bagimu atas diri suamimu.‛ Disunnahkan berterus terang dengan seorang yang bermuamalah. Seorang istri harus memberi tahu kepada suaminya mengenai hak yang menguntungkan dan merugikan suami agar menjadi jelas dan dapat diketahui bahwa apa yang engkau katakan adalah haknya dan apa yang telah disumpah atas nama Allah SWT menjadi haknya (Bassam, 2006).

4) Kitab Nikah Bab VI tentang Pembagian Giliran hadist ke 83 No. 862

َخًََهَس ِّوُأ ٍَْع َٔ

بََُْٓع ُ ا َاَللّ َٙ ِضَس - -

اٌَأ ( بًث َلََث بََْذُِْع َوبَقَأ بََٓج أَضَت باًَن صلى الله عليه وسلم اِٙجاُنَا

ِكَن ُتْعاجَس ٌِْإ َٔ , ِكَن ُتْعاجَس ِتْئِش ٌِْإ , ٌٌا ََْٕ ِكِهَْْأ َٗهَع ِكِث َسَْٛن ُّاَِإ : َلبَق َٔ , ) ِٙئبَسُِِن ُتْعاجَس ىِهْسُي ُِا ََٔس

ٌٌ

Artinya:

‚Dari Ummu Salamah Radiallahu ‘anhu bahwa ketika Nabi Shallaalahu

‘alaihi wa Sallammenikahinya, beliau berdiam dengannya selam tiga hari, dan beliau bersabda. ‚Sesungguhnya engkau di depan suamimu bukanlah hina, jika engkau mau akuakan memberimu (giliran) tujuh hari, namun jika akumemberimu tujuh hari, akujuga harusmemberi tujuh hari kepada istri- istriku.‛ (Riwayat Muslim) (Bassam Tarqiy, 2012)

(15)

Asbabul Wurud

Suami merupakan keluarga bagi istri dan istri adalah keluarga bagi suami. Kehinaan, kerendahan dan kelemahan. Maksudnya engkau sama sekali tidak hina disisi ku. Ini adalah pendahuluan karena udzur, di mana Nabi hanya dapat bermalam selama tiga hari. Ini adalah hal yang sangat baik sekali ketika berbicara kepada sesuatu yang secara tradisi seseorang belum terbiasa. Maksudnya apabila engkau mengkhendaki, maka aku akan bermalam disismu selama tujuh malam, yaitu aku akan berada disismu selama tujuh malam lalu aku akan bermalam juga tujuh hari untuk istri-istriku yang lain (Bassam, 2006).

Hadits ini menunjukan bahwa hak istri yang janda adalah tiga hari.

Pada sebuah riwayat, Muslim menambahkan, ‚Rasulullhah SAW masuk kepadanya. ketika beliau hendak keluar, maka Ummu Salamah memegang bajunya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika kamu mengkhendaki, aku akan menambah untukmu dan aku akan menghitungnya untukmu. Untuk gadis adalah tujuh hari dan untuk janda adalah tiga hari’.‛ (Faishal Alu Mubarak, 2018)

Sesungguhnya seorang suami yang menikahi istri barunya seorang janda, maka bermulanya tiga hari, apabila istrinya mengkhendaki, maka ia dapat bermalam di sisinya tujuh hari lagi, lalu ia bermalam di setiap istri lainnya juga tujuh hari. Apabila istri barunya merasa cukup dengan tiga hari saja, maka seorang suami cukup memutari masing-masing istrimya satu malam saja.

Adapun perbedaan antara gadis dan janda sesuai dengan ukuran bermalamnya. Seorang gadis masih asing dengan suaminya dan masih asing untuk berpisah dengan suaminya. Ia membutuhkan waktu untuk menambah kejinakan dan menghilangkan keliaran. Di dalam hadits terdapat unsur bersikap lembut kepada seorang istri dengan ucapan yang halus, yaitu dengan ucapan Nabi SAW, ‚Tidak ada kelemahan bagimu atas diri suamimu‛. Bahwa hak memilih tiga atau tujuh malam adalah milik istrinya yang janda, bukan hak suami. Di sunnahkan terus terang dengan seorang yang bermuamalah. Seorang istri harus memberi tahu kepada suaminya mengenai hak yang menguntungkan dan merugikan suami agar menjadi jelas dan dapat

(16)

yang telah disumpah atas nama Allah juga menjadi haknya. (Bassam, 2006)

Penjelasan Hadits

Sesungguhnya di dalam hadits terdapat pengantar terhadap apa yang dilakukan oleh seseorang atau apa yang dikatakan kepada pemiliknya, karena dikhawatirkan seseorang akan ketakutan atau tidak menyukainya. Bahwa hak memilih tiga atau tujuh malam adalah milik istrinya yang janda, bukan hak suami. (Bassam, 2006)

5) Kitab Nikah Bab VI tentang Pembagian Giliran hadist ke 84 No. 863

َخَشِئبَع ٍَْع َٔ

بََُْٓع ُ ا َاَللّ َٙ ِضَس - , َخَشِئبَعِن بََٓي َْٕٚ ْتَجَْ َٔ َخَعْيَص َتُِْث َحَد َْٕس اٌَأ ( -

) َحَد َْٕس َو َْٕٚ َٔ بََٓي َْٕٚ َخَشِئبَعِن ُىِسْقَٚ صلى الله عليه وسلم ُِّٙجاُنَا ٌَبَك َٔ

َّْٛهَع ٌقَفاتُي

Artinya:

‚Dari ‘Aisyah Radiyallaahu ‘anhu bahwa Saudah binti Zam’ah pernah menberikan hari gilirannya kepada ‘Aisyah. Maka Nabi Shallalaahu ‘alaihi waSallam memberi giliran kepada ‘Aisyah. Maka Nabi Shallalaahu ‘alaihi wa Sallam memberi filiran kepada ‘Aisyah pada harinya dan kepada hari Saudah.‛ (HR. Muttafaq Alaihi) (Bassam Tarqiy, 2012)

Asbabul Wurud

Saudah binti Zam’ah Al-Quraisyiah Al-Amiriah adalah istri kedua Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menikah dengannya setelah Khadijah wafat. Saudah sudah berusia lanjut di sisi Rasulullah SAW dan ia sudah merasa berat dan takut diceraikan oleh Rasulullah SAW.

Saudah sudah meneliti kedudukan dan nikmat yang besar ini., karena keberadaannya sebagai salah seorang istri Nabi. Oleh karena itu kemudian ia menyerahkan waktu siang dan malamnya untuk Aisyah, dengan harapan ia tetap menjadi istri Rasulullah. Rasulullah SAW menerima hal itu. Saat Rasulullah wafat ia masih menjadi istri Rasulullah SAW sebagai salah satu ummul mukminin. (Faishal Alu Mubarak, 2018)

Hadits di atas menunjukan kebolehan berdamai diantara suami istri. Hal tersebut di saat seorang istri merasa suaminya sudah mulai menjauh atau berpaling sekaligus ia takut untuk diceraikan. Di saat demikian seorang istri boleh menggugurkan haknya atau sebagian pembiayaan, pakaian atau tempat tinggal serta hak lainnya. Seorang

(17)

suami harus menerima hal tersebut. Tidak ada dosa bagi istri memberikan hak tersebut kepada suaminya dan tidak ada dosa bagi suami dalam menerima hak tersebut.

Para ulama berkata apabila seorang istri telah memberikan waktu siang dan malamnya untuk madunya, maka suami tidak harus melaksanakannya. Seorang suami harus tetap memasuki kediaman istri yang telah memberikan haknya dan suami tidak boleh menerima lalu menjauhkan istri yang memberi waktu tadi. Akan tetapi apabila suaminya mengkhendaki, maka hal tersebut boleh. (Faishal Alu Mubarak, 2018)

Penjelasan Hadits

Para ulama berkata apabila seorang istri memberikan waktu siang dan malamnya untuk madunya, makasuaimitidak harus melaksanakannya. Seorang suami harus tetap memasuki kediaman istri yang telah memberikan haknya dan suami tidak boleh menerima dan lalu menjauhkan istri yang memberi waktu tadi. Ustri yang memberinya giliran boleh menariknya kembali dari ssuaminyakapan saja ia mengkhendaki, karena pemberian boleh ditarik kembali, yaitu waktu yang belum diambil. Sementara waktu pembagian yang akan dating masih belum diambil. (Bassam, 2006)

Dan masih banyak hadits-hadits lain dalam kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam yang tidak bisa disebutkan.

SIMPULAN

Berdasarkan paparan dan penelitian yang dilakukan oleh penyusun pada bab-bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sesuai dengan rumusan maslaah yang ada sebagai berikut:

1. Konsep adil poligami dalam kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam karya Ibnu Hajar dalam bab pembagian giliran

a) Adil ditentukan oleh suami dengan persetujuan istri-istrinya. Dalam hal ini suami hanya berlaku adil sesuai dengan kadar dan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan istri-istrinya.

b) Dalam hal pembagian giliran antar istri uang masih gadis dan janda itu berbeda, yaitu gadis 7 hari sedangkan istri janda 3 hari, hal ini disebabkan karna istri yang masih gadis belum bisa beradaptasi dengan

(18)

suaminya beda hal hal dengan istri yang janda, ia cenderung berpengalaman dan agresif

c) Suami tetap menggilir ustri-istrinya di waktu setelah shalat asar atau Dzuhur tanpa behubungan biologis dengan istri-istrinya.

d) Konsep adil dalam poligami salah satu hal yang paling penting adalah tidak boleh condong kepada salahsatu istrinya karna hali itu menyebabkan kecemburuan terhadap istri-istri yang lain dan Allah SWT melarangnya.

2. Makna adil dalam perkawinan poligami, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat poligami dalam perkawinan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Hal ini menjadikan lebih mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu lembaga yang bisa dijalankan. Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan pada hal-hal yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang, maka poligami itu sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin dilaksanakan. Dalam hal ini juga suami wajib memberikan waktu giliran sesuai dengan kemampuan suami dan keadaan istri-istrinya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly. (2010). Fiqih Munakahat. Kencana.

Abu Bakar, T. (n.d.). Kifayat Al-Akhyar fi Halli Ghayat Al-Ikhtishar, Dar Al-Khair, Cet. I. Dar Al-Khair.

Ardhian, R. F., Anugrah, S., & Bima, S. (2015). Poligami dalam hukum islam dan hukum positif indonesia serta urgensi pemberian izin poligam di pengadilan agama. Privat Law, 3(2), 164461.

Arifah, A. N. (2016). Poligami Kiai: Praktek Poligami Kiai di Kota Jember dalam Pandangan Khi dan Gender. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 7(1), 120–145.

Aziz, A. (2014). FIQIH MUNAKAHAT. IAIN Press.

Bassam, A. bin A. Al. (2006). Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka Azzam.

Bassam Tarqiy, A. F. (2012). Terjemehan Bulughul Maram. Syauqi Press.

Departemen Agama Republik Indonesia. (n.d.). Terjemahan Al-Quran Alhidayah.

PT. Kalim.

Faishal Alu Mubarak, S. (2018). Syarah Bulughul Maram dan Penjelasannya.

Ummul Qura.

Irawan, R. (2018). Analisis Kata Adil Dalam Al-Qur’an. Rayah Al-Islam, 2(02), 232–247.

Muhammad Abduh Tuasikal. (2015). Poligami, Bisakah Adil? Rumaisho.Com.

(19)

https://rumaysho.com/10426-poligami-bisakah-adil.html Rini Masykuroh, Y. W. (2011). Poligami dan keadilan. Asas.

Rusdi, K. (2019). Fiqih Munakahat 1: Dalam Kajian Hukum Islam dan Keberadaannya dalam Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia. PT. RagaGrafindo Persada.

Slamet, A., & Aminuddin. (1999). Fiqih Munakahat I. CV. Pustaka Setia.

Tim Redaksi. (n.d.). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka.

Yunus, M. (1995). Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki; PT. Hidakarya Agung.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil peneitian ini sependapat dengan penelitian dari Rustiarini (2013) yang menyatakan opini audit tidak berpengaruh terhadap audit delay. Auditor memiliki tujuan untuk