• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Imamah, Khilafah, Ahlul Halli wal Aqd, Wizarah, dan Dawlah dalam Pemerintahan Islam

N/A
N/A
Nz GAMERD

Academic year: 2024

Membagikan "Konsep Imamah, Khilafah, Ahlul Halli wal Aqd, Wizarah, dan Dawlah dalam Pemerintahan Islam"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Kelompok 2

KONSEP IMAMAH, KHILAFAH, AHLUL HALLI WAL AQDI, WIZARAH DAN DAWLAH

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Fikih Siyasah Kontemporer Dosen Pengampu : Dr. Surya Sukti, M.A.

Oleh

Muhammad Maulana Nazril 2212140001

Muhammad Noor Aini 2212140071

Ahmad Rusdie Nur Fadillah 2212140049

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA TAHUN

2024 M/1445 H

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan metode Library Research dan Internet Searching untuk menggali pemahaman tentang konsep-konsep penting dalam pemerintahan Islam, termasuk Imamah dan Khilafah, Ahlul Halli wal Aqd, Wizarah dengan pendekatan Tafwidh dan Tanfidz, serta konsep Dawlah. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang setiap konsep guna memberikan referensi bagi penulis dalam menyusun makalah. Melalui penelitian ini, diharapkan akan diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang konsep-konsep penting dalam pemerintahan Islam dan kontribusinya terhadap pemikiran politik dan sosial umat Muslim.

ABSTRACT

This research uses Library Research and Internet Searching methods to explore understanding of important concepts in Islamic government, including Imamah and Khilafah, Ahlul Halli wal Aqd, Wizarah with the Tafwidh and Tanfidz approaches, as well as the concept of Dawlah. The aim of the research is to gain a deeper understanding of each concept in order to provide references for writers in preparing papers. Through this research, it is hoped that a more comprehensive understanding will be gained about important concepts in Islamic governance and their contribution to the political and social thought of Muslims.

i

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang hanya kepadanya kita menyembah dan kepada-Nya pula kita memohon pertolongan, atas limpahan taufiq, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KONSEP IMAMAH, KHILAFAH, AHLUL HALLI WAL AQDI, WIZARAH DAN DAWLAH” dengan lancar. Shalawat serta salam semua selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu untuk menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan menjadi pendorong dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pengampu mata kuliah Fikih Siyasah bapak Dr. Surya Sukti, M.A. agar sekiranya meminta masukan demi perbaikan pembuatan makalah penulis di masa yang akan datang dan mengharapkan keritik dan saran dari para pembaca. Dan akhirnya, penulis mengucapkan banyak- banyak terima kasih, semoga Allah SWT. Senantiasa memberkahi kehidupan kita. Aamiin ya rabbal alamin .

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palangka Raya, 1 Februari 2024

Penulis,

ii

(4)

MOTTO

kesempatan tidak datang dua kali, namun kesempatan datang pada orang yang tidak pernah berhenti mencoba.

ةلواحملا نع نوفقوتي ل نيذلا صاخأشلل يتأت صرفلا نكلو ،نيترم يتأت ل صرفلا.

Opportunities don't come twice, but opportunities come to people who never stop trying

DAFTAR ISI

iii

(5)

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 1

C. Tujuan Masalah ... 2

D. Metode penulisan ... 2

BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Imamah dan Khilafah ………... 3

B. Konsep Ahlul Halli wal Aqd ... 8

C. Konsep Wizarah: Tafwidh dan Tanfidz ………..11

D. Konsep Dawlah ………..13

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ... 16

B. Saran ... 17 DAFTAR PUSTAKA

iv

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

kepemimpinan dalam Islam merupakan masalah penting dan menarik untuk terus dijadikan kajian, karena perselisihan terbesar yang paling awal di kalangan umat Islam, pasca wafatnya Nabi Muhammad, adalah terkait perebutan hak pengganti kepemimpinan umat Islam Nabi Muhammad.

Perselisihan masalah kepemimpinan ini telah mengakibatkan pertumpahan darah di kalangan umat muslim, yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Masing-masing pihak yang berseteru saat itu mengaku bahwasanya orang pilihan dari golongannya yang berhak menduduki kursi kepemimpinan umat Islam.

Dalam Islam, seorang pemimpin memiliki peran penting yaitu dia memerintah dan memutuskan segala sesuatu perkara di wilayahnya.

Kepemimpinan dalam Islam memiliki peran penting dalam mengatur kehidupan umat Muslim secara politik, sosial, dan spiritual. Konsep-konsep seperti Imamah, Khilafah, Ahlul Halli wal Aqd, Wizarah, dan Dawlah merupakan bagian integral dari sistem kepemimpinan dalam Islam yang memiliki pengaruh yang signifikan dalam sejarah dan perkembangan masyarakat Muslim.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Konsep Imamah dan Khilafah?

2. Bagaimana Konsep Ahlul Halli wal Aqd?

3. Bagaimana Konsep Wizarah: Tafwidh dan Tanfidz?

4. Bagaimana Konsep Dawlah?

v

(7)

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah disampaikan diatas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami Konsep Imamah dan Khilafah.

2. Untuk mengetahui dan memahami Konsep Ahlul Halli wal Aqd.

3. Untuk mengetahui dan memahami Konsep Wizarah: Tafwidh dan Tanfidz.

4. Untuk mengetahui dan memahami Konsep Dawlah.

D. Metode penulisan

Dalam penulisan makalah ini, kami menggunakan metode Library Research and Internet Searching yang berhubungan dengan tema makalah yang dibuat guna acuan bahan referensi bagi penulis.

vi

(8)

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Imamah dan Khilafah

Adapun istilah imamah dari asal katanya berasal dari bahasa arab amam yang artinya didepan, juga memilki arti yang diikuti, dari asal kata imam seperti imam dalam shalat lima waktu. Kata imamah merupakan bentuk masdar dari kosakata imam tadi. Dalam al-Qur‟an, istilah imam disebutkan dalam bentuk beberapa kali, baik terkait dengan imam dalam shalat maupun di luar shalat. Dalam shalat, istilah imam adalah mereka yang posisinya di depan jama‟ah, yang selalu di ikuti (ma‟mum) baik dalam gerakan maupun bacaanya.

Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata imamah berarti “kepemimpinan”

baik pemimpin yang baik maupun tidak, dan mereka tidak pernah menentukan baik bentuk negara maupun model kepemimpinan.Dalam tulisan ini, istilah imam terfokus pada kepemimpinan dalam sebuah negara atau imam dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan (negara) Islam, yang dalam perkembangannya istilah imamah lebih dikenal sebagai doktrin pokok ajaran Syi‟ah.1 Sementara itu, imamah berfungsi sebagai lembaga kepemimpinan.2

Imamah ialah “kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Rasulullah SAW.”

Menurut Al Taftazani sebagai dikutip oleh Rasyid Ridha yaitu “Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia yakni suatu khilafah yang diwarisi oleh Nabi. Sehingga pula pendapat Al-Mawardi mengenai “Imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna

1 Rasuki Rasuki, “Dinamika Konsep Kepemimpinan Dalam Islam: Dari Khilafah, Imamah Sampai Imarah,” Kariman: Jurnal Pendidikan Keislaman 7, no. 1 SE- (August 30, 2019): 83–84, https://jurnal.inkadha.ac.id/index.php/kariman/article/view/104.

2 Moch Fachrurozi, “Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap Konsep Khilafah, Imamah Dan Imarah,” Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies 4, no. 12 (2008): 298.

vii

(9)

memelihara agama dan mengatur dunia”.3 konsep imamah adalah konsep yang meyakini bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang ditunjuk oleh Allah.

konsep imamah adalah konsep yang meyakini bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang ditunjuk oleh Allah. Allamah Thabaththaba’i memiliki pandangan bahwa seorang imam telah ditunjuk oleh Allah SWT. sepeninggal Rasulullah SAW. Dengan tujuan untuk menegakkan budaya dan hukum- hukum agama dan membimbing umat di jalan kebenaran. Itulah sebabnya, konsep imamah lebih banyak ditemui dalam literatur Syi’ah. Dan, hal ini kemudian menyebabkan konsep imamah justru lebih banyak ditemui dalam wilayah kajian akidah, termasuk salah satu masalah Ilmu Kalam.

Dianggap demikian karena aliran-aliran Ilmu Kalam muncul dari masalah imamah ini. Sampai hari ini, Syi'ah masih memiliki ajaran tentang iman kepada imamah, yang merupakan bagian penting dari iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan Qadhaqadar. Pemikiran ini muncul dalam frasa "Islam sebagai al-dîn wa al-dawlah", yang berarti Islam adalah agama dan negara. Hal ini tentu sangat penting untuk memberikan penegasan kepada kaum sekuler yang berpandangan bahwa agama adalah agama dan negara adalah negara dan diantara keduanya tidak ada hubungan sama sekali.

Menghadapi kontroversi terhadap doktrin itu, Thabaththaba’i memberikan beberapa argumentasi penting. Pertama, secara logika dapat dipahami bahwa manusia senantiasa berubah dan Rasulullah pun menyadari hal itu. Sementara itu, manusia pun berganti generasi sesuai dengan zamannya masing-masing, namun proses bimbingan ke arah kebenaran itu tidak dapat berhenti begitu saja selepas wafatnya Rasulullah.

Kedua, oleh karena itu, untuk mencapai kesempurnaan manusia dalam memahami ajaran-ajaran Allah, diperlukan kepemimpinan yang menjalankan tugas ini secara terus-menerus. Imam harus ma’shûm, terpelihara dari kesalahan. Tidak mudah, karena tidak semua ulama shaleh memiliki derajat

3 Suyuthi Pulungan, FIQH SIYASAH AJARAN, SEJARAH DAN PEMIKIRAN, Ed.1.

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999).

viii

(10)

ini. Seorang imam berasal dari ahlul bait yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah, seperti dalam Surat Al-Ahzâb ayat 33. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang- orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Ayat ini menegaskan karakteristik imam sebagai ma’shûm. Namun, ada pandangan yang mengaitkan konsep imamah dengan politik, terutama terkait kekecewaan umat Islam terhadap tindakan beberapa sahabat. Meskipun demikian, konsep imamah lebih bersifat teologis dan doktrinal. Praktiknya, seorang imam juga berperan sebagai penguasa tertinggi pemerintahan dalam negara yang menganut pola kepemimpinan ini.4

Dalam perkembangannya Imamah ini sudah menjadi istilah khusus yang di gunakan di kalangan syi‟ah yang di kontekstualisasikan kedalam bentuk wilayah Al-faqih. Imamah adalah institusi yang dilantik secara ilahiyah, hanya Allah yang paling tau siapa yang memiliki kualitas-kualitas yang di perlukan untuk memenuhi tugas ini. Oleh karena itu hanya dia lah yang mampu menunjuk mereka. Syi‟ah menganggap imamah seperti kenabian, menjadi kepercayaaan yang fundamental, dan ketaatan kepada otoritas imam adalah sebuah kewajiban agama. Konsep politik syi‟ah yang berpusat pada imam si terjemahkan dalam periode modern dalam bentuk negara iran. Iran menjadi penjelmaan konsep politik syi‟ah setelah repolusi islam iran tahun 1979 yang di pimpin oleh imam Khomeini.5

Pada dasarnya teori Imamah lebih banyak berkembang di lingkungan Syi’ah dari pada lingkungan Sunni. Dalam lingkungan Syi’ah, Imamah menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan Imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah). Kalangan Syi’ah menganggap Imamah adalah kepemimpinan

4 Fachrurozi, “Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap Konsep Khilafah, Imamah Dan Imarah,” 299–300.

5 Edi Rahmat Hidayat, “KONSEP KHILAFAH DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH” (UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2022), 72.

ix

(11)

agama dan politik bagi komunitas muslim setelah wafatnya Nabi, yang jabatan ini dipegang oleh Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, dan mereka maksum. Istilah ini muncul pertama kali dalam pemikiran politik Islam tentang kenegaraan yaitu setelah Nabi Muhammadwafat pada tahun 632 M.

Konsep imamah ini kemudian berkembang menjadi pemimpin dalam shalat, dan setelah diperluas lingkupnya berarti pemimpin religio-politik (religious-political leadership) seluruh komunitas Muslim, dengan tugas yang diembankan Tuhan kepadanya, yaitu memimpin komunitas tersebut memenuhi perintah-perintah-Nya. Imamah tampak dalam sikap sempurna pada saat seseorang dipilih karena mampu menguasai massa dan menjaga mereka dalam stabilitas dan ketenangan, melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan bahaya, sesuai dengan asas dan peradaban ideologis, sosial dan keyakinan untuk menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal. Dalam pemikirannya mengenai Imamah dan Khilafah, Ali Syariati menganggap Khilafah cenderung ke arah politik dan jabatan, sedangkan Imamah cenderung mengarah ke sifat dan agama.6

Dalam literatur sejarah Islam, kata "khalifah" berasal dari kata arab

"khalf", yang berarti wakil, pengganti, dan penguasa. Dalam lisan al-Arab, Ibn Mandhur mendefinisikan khalifah dengan mengutip beberapa pendapat ulama al-Sulthan al-A’dham, khilafah ialah pemerintahan atau kekuasaan yang agung. kata khalifah dalam ayat 69 Al-Araf diartikan dengan pengganti, yakni generasi pengganti sesudahnya. Sedangkan kata khalifah, dari asal kata (fi‟il madhi) khalafa (pengganti). Dalam bentuk masdarnya adalah khilafah yang artinya mengganti, menempati tempatnya. Maka istilah khalifah adalah sebutan bagi orang yang dipercaya sebagai pengganti posisi sebelumnya, yakni Nabi Muhammad. Sebagai pengganti ia meneruskan apa saja yang pernah dipraktekkan para pendahulunya.7

6 Syafik Ubaidila and Binti Maunah, “Konsep Kepemimpinan Transformasional Perspektif Islam,” Asketik: Jurnal Agama Dan Perubahan Sosial 6, no. 1 (2022): 164–165.

7 Rasuki, “Dinamika Konsep Kepemimpinan Dalam Islam: Dari Khilafah, Imamah Sampai Imarah,” 82–83.

x

(12)

Khilafah berarti penggantian atau suksesi. Ini berarti mengambil alih kekuasaan setelah Nabi Muhammad Saw., bukan dalam kedudukannya sebagai Nabi, tetapi sebagai pemimpin umat. Orang yang menjabat khilafah disebut dengan khalifah. Namun demikian, kata khalifah kemudian lebih populer diartikan sebagai kepala negara dalam Islam sepeninggal Nabi Muhammad Saw.

Dalam bahasa aslinya, khalifah yang disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 adalah wakil Allah di bumi. Ini memiliki makna yang berbeda, terlebih jika dimaknai sebagai pengganti Allah. Dengan demikian, manusia sebagai wakil Allah dapat dipahami sebagai alat untuk mengelola bumi, yang berarti Allah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk menggunakan potensi mereka untuk menjaga dan memelihara bumi.

Sehingga, kekhalifahan ini menunjukkan bahwa manusia adalah "agent of God" di bumi, suatu tugas yang memungkinkan mereka untuk melakukan apa yang mereka pikirkan tentang misi Ilahi (misi divine).

Dengan demikian, manusia memiliki kemampuan untuk baik dan buruk.

Spekulasi pendapat tentang sistem politik pemerintahan Islam yang dipandang sebagai pengewantahan “teokrasi” yang memposisikan Tuhan sebagai “The Ultimate Law” melalui perantara manusia. Hal ini sebagaimana tertuang dalam gagasan berikut ini. (Khalifah, pemimpin resmi dalam masyarakat Muslim dan para pengganti Nabi Muhammad. Dibawah kekuasaan Muhammad, sistem negara Muslim yang diterapkan adalah teokrasi, dengan Syari’at Islam, prinsip dasar dalam Islam, sebagai hukum utama. Khalifah, para pengganti Muhammad merupakan pemimpin negara dan agama sekaligus.)

Dalam Al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama), Zainal Abidin mengulangi gagasan Al-Farabi tentang beberapa syarat kepemimpinan yang penting dalam khilafah. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sempurna anggota badannya.

2. Memiliki pengertian yang besar.

3. Memiliki tanggapan yang baik.

xi

(13)

4. Memiliki ingatan yang sempurna.

5. Cakap dan bijak dalam berbicara.

6. Mencintai ilmu dan pengetahuan.

7. Tidak hidup mewah dan berfoya-foya.

8. Tidak serakah dan menuruti hawa nafsu.

9. Mencintai kebenaran dan membenci kebohongan.

10. Mencintai keadilan dan membenci kezaliman.

11. Sanggup menegakkan keadilan.

12. Memiliki penghidupan yang layak.

Konsep khilafah dalam konteks sesungguhnya telah mengalami reduksi dari pengertian yang tertuang dalam Surat Al-Baqarah ayat 30. Sebab pada kenyataannya, manusia secara umum itulah yang dipercayai Allah untuk menjalankan amanah penjagaan bumi. Namun demikian, pendekatan pemahaman khilafah dalam politik kenegaraan bukan berarti penyempitan makna, melainkan lebih merupakan salah satu metodologi operasional terhadap tugas dalam mengemban amanah itu.8

B. Konsep Ahlul Halli wal Aqd

Ahlul Halli wal Aqdi terdiri dari kata-kata Ahlun, Halla, dan Aqdun.

Menurut Kamus Kontemporer Arab-Indonesia yang ditulis oleh Attabik Ali dan Zuhdi Muhdlor (1999), kata "ahlun" berarti keluarga atau ahli, "halla"

berarti pemecahan atau penguraian, dan "aqdun" berarti persetujuan, perjanjian, atau kontrak. Sehingga dapat ditarik pengertian secara bahasa bahwa Ahlul Halli wal Aqdi adalah perkumpulan orang yang memiliki keahlian tertentu untuk menguraikan atau memecahkan masalah yang sedang terjadi dengan melakukan kesepakatan kepada pihak yang bermasalah.

Ahlul Halli wal Aqdi merupakan lembaga perwakilan yang berfungsi untuk mengadakan sebuah kontrak politik antara rakyat dengan pemimpin negara (khalifah atau imam). Posisi dari lembaga ini yang menjadi wakil dari rakyat atau umat menjadikannya mempunyai kekuasaan yang diberikan

8 Fachrurozi, “Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap Konsep Khilafah, Imamah Dan Imarah,” 294–298.

xii

(14)

rakyat. Kedaulatan berada di tangan rakyat karena manusia (rakyat) menjadi wakil Tuhan (khalifah) di atas bumi. Dengan kekuasaan rakyat tersebut diwakilkan dalam Ahlul Halli wal Aqdi maka lembaga ini mempunyai tugas untuk memilih kepala negara (khalifah atau imam). Ditinjau dari namanya (Ahlul Halli wal Aqdi), para pemilih inilah yang melaksanakan kontrak (aqd) dengan khalifah atau imam (Ahl al-Imamah) melalui mekanisme baiat (bay’ah) Oleh karena itu, menempatkan lembaga permusyawaratan sebagai forum perwakilan dengan fungsi bai'at, konsultatif, dan legislatif tampaknya dapat menyelesaikan banyak masalah yang muncul dalam penerapan teori politik Islam.

Erat keterkaitannya politik ini karena lembaga Ahlul Halli wal Aqdi memiliki kuasa untuk menentukan khalifah yang akan memimpin umat.

Proses pemilihan inilah yang merupakan praktek politik dari Ahlul Halli wal Aqdi. Tidak hanya pada pemilihannya saja, lembaga ini memiliki hak untuk melakukan baiat kepada khalifah terpilih. Selain aspek hubungan lembaga ini dengan kepala negara sebagai aspek politik. Perlu diperhatikan bahwa dengan rakyat telah memberikan kekuasaannya kepada Ahlul Halli wal Aqdi maka hal ini merupakan salah satu wujud politik. Secara filosofis, terbentuknya Ahlul Halli wal Aqdi dalam memilih khalifah karena menentukan seorang pemimpin (khalifah) bukanlah perkara mudah yang bisa dilakukan oleh sembarang orang (rakyat). Sehingga keberadaan konsep Ahlul Halli wal Aqdi ini penting sebagai sebuah lembaga yang mewakili suara politik rakyat.9

Dalam uraian para ulama tentang Ahlul Halli wal Aqdi, ditemukan hal-hal berikut:

1. Ahlul Halli wal Aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan membaiat imam.

2. Ahlul Halli wal Aqdi mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.

9 Mazdan Maftukha Assyayuti, “Perbandingan Konsepsi Ahlul Halli Wal Aqdi Dalam Teori Kenegaraan Islam Dan Konsepsi Lembaga Perwakilan Dalam Teori Kenegaraan Modern”

(2018): 58–60.

xiii

(15)

3. Ahlul Halli wal Aqdi mempunyai wewenang membuat undang-undang yang mengikat kepada seluruh umat di dalam hal-hal yang tidak diatur secara tegas oleh Al Quran dan Sunnah.

4. Ahlul Halli wal Aqdi tempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.

5. Ahlul Halli wal Aqdi mengawasi jalannya pemerintahan.

Tentang bagaimana prosedural pengisian anggota Ahlul Halli wal Aqdi, hal ini masih menjadi perdebatan oleh para ahli. Pada kenyataannya memang terjadi dua kemungkinan untuk mengisi anggota Ahlul Halli wal Aqdi sebagai lembaga perwakilan. Kemungkinan tersebut adalah dengan cara penunjukkan (ta’yin) atau dengan pemilihan (intikhab).

Al Mawardi kemudian memberikan konsep terkait anggota Ahlul Halli wal Aqdi atau Ahlus Syura ini di dalam Ahkamush Shulthoniyah. Kriteria yang diberikan oleh Al Mawardi antara lain ialah :

1. bersifat adil (al-‘adalah) mencakup segala prinsip dan syaratnya.

2. punya ilmu untuk digunakan mempertimbangkan siapa yang berhak menjadi kepala negara dengan syarat-syaratnya.

3. punya pikiran dan kebijaksanaan untuk memilih orang yang lebih patut menjadi kepala negara dan lebih tepat mengurus kepentingan- kepentingan rakyat atau kemaslahatan umat.

Al Mawardi menyatakan juga bahwa Ahlul Halli wal Aqdi atau Ahlul Ikhtiyar adalah lembaga perwakilan. Lembaga perwakilan ini dapat dibentuk dan diatur sesuai dengan keadaan dan kondisi zaman.10

Beberapa ʿulama’ mencoba memasukkan ahlu al-halli wa al-aqdi dalam kategori orang tertentu. Mereka mendefinisikan mereka sebagai ʿulama’, pemimpin, bangsawan, tokoh ma syarakat namun mereka tidak menerangkan tentang siapa yang memi lih mereka dan bagaimana proses pemilihannya.

Padahal, dalam literatur ʿulama’ klasik tidak ditemukan referensi asal usul ide tentang ahlu al-halli wa al-aqdi, kecuali dalam narasi sejarah tentang cara pemilihan khalifah pertama dan ketiga. Dapat dikatakan bahwa ketidakjelasan

10 Ibid., 60–63.

xiv

(16)

konsep ini berasal dari ketergantungan pada beberapa peristiwa sejarah yang tidak konsisten yang hanya didasarkan pada penalaran manusia (ijtihad), dan upaya menjadikannya model untuk diikuti. Oleh karena itu, istilah dan konsep yang digunakan dalam literatur ʿulama klasik mungkin dibentuk dan dipe ngaruhi oleh pengalaman keempat khalifah awal dan berlanjut ke abad-abad berikutnya. Zaman awal ini pula, mungkin me mainkan peran penting dalam membentuk pandangan mereka tentang berbagai hal. Sebagian besar, istilah dan konsep yang bertalian dengan sejarah seperti itu sulit diterapkan di zaman modern, karena komunitas sekarang lebih berkembang secara masif.11

C. Konsep Wizarah (Tafwidh dan Tanfidz)

Wizarah (Kementerian) Secara bahasa Wizarah diambil dari kata al wazr atau al-tsqul, yang berarti berat. Ada pula yang mengatakan bahwa wizarah berasal dari kata al wizar, yang berarti beban. Al wazar yang berarti tempat kembali dan al azr yang berarti punggung. Pengertian dari wizarah didapat karena wizarah mengemban amanat yang berat dalam pemerintahan, yaitu sebagai pembantu khalifah atau imam dalam menjalankan pemerintahan.

Terdapat perbedaan antara wizarah dan wazir. Wizarah merupakan lembaganya, yaitu Kementerian, sedangkan wazir adalah orangnya, yaitu Menteri.

Imam Al Mawardi membagi wazir menjadi dua, wazir tafwidh dan wazir tanfizh. Wazir tafwidh merupakan wazir yang diberikan kewenangan yang begitu luas oleh khalifah. Seorang wazir tafwidh tidak hanya melakukan perintah dari khalifah, tetapi juga bisa bertindak berdasarkan ijtihad dan pendapatnya sendiri. Seorang wazir tafwidh merupakakan orang kepercayaan khalifah. Sehingga bisa dikatakan bahwa seorang wazir tafwidh merupakan tangan kanan khalifah. Kewenangan yang diberikan oleh khalifah kepada wazir tafwidh begitu luas, maka seorang wazir tafwidh memiliki syarat yang ketat, karena berkaitan dengan tanggung jawab yang ia emban.12

11 Hamzah Kamma et al., FIQH SIYASAH (Simpul Politik Islam Dalam Membentuk Negara Madani), 2023, 115.

xv

(17)

Tidak semua orang bisa menjadi wazir tafwid. Diperlukan kemampuan yang baik bagi seseorang yang akan menduduki jabatan wazir tafwid. Seorang wazir tafwid harus memiliki kemampuan yang setara dengan khalifah, kecuali dalam hal nasab keturunan. Syarat yang demikian diperlukan karena wazir tafwidh merupakan orang kepercayaan khalifah dan mengemban amanat yang besar. Calon Wazir tafwid harus memiliki kemampuan ijtihad yang baik, memiliki kemampuan memimpin perang dan sebagainya.

Kewenangan besar yang dimiliki oleh wazir tafwidh memiliki batasan yang membedakan dirinya dengan Khalifah. Batasan antara keduanya merupakan pembeda. Imam Al Mawardi memberikan pandangan tentang tiga hal yang membedakan seorang wazir tafwidh dengan khalifah.

Pertama, khalifah berhak mengawasi kinerja wazir tafwidh terkait dengan kebijakan yang diambilnya. Kedua, khalifah berhak mengawasi tindakan- tindakan wazir tafwidh dan caranya dalam menangani berbagai persoalan. Hal ini dilakukan khalifah supaya jika wazir tafwidh melalkukan hal benar Ia bisa mendukungnya. Namun jika wazir tafwidh melakakukan kesalahan maka khalifah dapat meluruskan tindakannya. Ketiga, khalifah bisa memberhentikan wazir tafwidh, sedangkan wazir tafwidh tidak bisa memberhentikan khalifah.

Konsep wazir kedua menurut pandangan Imam Al Mawardi yaitu wazir tanfidz. Wazir tanfidz merupakan wazir pelaksana. Wazir tanfidz hanya melakukan apa yang telah diperintahkan oleh khalifah. Ia tidak bisa bertindak sesuai dengan ijtihadnya sendiri. Seorang wazir tanfidz hanya bertugas di bidang administrasi yang menyebabkan kewenangan dari wazir tanfidz sangat terbatas. Hal ini berbeda dengan kewenangan wazir tafwidh yang luas, karena kewenangan wazir tanfizh terbatas tidak memiliki syarat seketat wazir tafwidh.

Adapun syarat yang harus ada pada diri seorang wazir tanfidz seperti, Amanah, benar ucapannya, sehingga orang lain mempercayai informasi yang datang darinya. Zuhud, yaitu hanya memilki keinginan sedikit soal dunia.

Sehingga ia tidak termakan oleh suap dalam menjalankan tugasnya. Menjaga

12 Isa Anshori Al Haq and Siti Ngainnur Rohmah, “Korelasi Konsep Kementerian (Wizarah) Menurut Imam Al-Mawardi Dan Implementasinya Di Kementerian Indonesia,” Mizan:

Journal of Islamic Law 5, no. 2 (2021): 263–264.

xvi

(18)

pergaulan dengan sesama manusia, sehingga ia tidak memilki musuh, karena dengan tidak adanya musuh maka ia akan bisa berlaku adil terhadap semua orang. Memiliki kecerdasan, sehingga ia mampu melihat semua persoalan dengan jelas dan menyelesaikannya. Dan juga Mampu menahan hawa nafsu.13

1. Wazir Tafwidh.

Wazir tafwidh merupakan Menteri yang di tunjuk khalifah dengan kewenangan yang luas. Seorang wazir tafwidh bisa berijtihad menurut kemampuannya sendiri tanpa harus berkonsultasi dengan Khalifah. Oleh karena kewenangan wazir tafwidh yang begitu luas, Imam Al Mawardi memberikan kriteria berdasarkan surat Rasulullah Saw. Bahwa wazir tafwidh harus memiliki kolaborasi antara keahlian pena dan pedang. Dalam hal ini adalah keahlian administrasi dan juga berperang. Karena keduanya merupakan kekuatan negara.

2. Wazir Tanfizh

Berbeda halnya dengan wazir tafwidh yang memiliki kewenangan yang luas. Wazir tanfizh hanya memiliki kewenangan yang terbatas. Seorang wazir tanfizh hanya bisa bertindak sesuai dengan perintah khalifah. Ia tidak berhak berijtihad layaknya wazir tafwidh. Wazir tanfidz juga bisa di ibaratkan sebagai penyambung lidah khalifah dengan rakyatnya. Syarat menjadi wazir tanfizh pun tidak seketat menjadi wazir tafwidh.14

D. Konsep Dawlah

Istilah dawlah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar, dan berputar. Olaf Schumann berpendapat bahwa dawlah sama dengan dinasti atau bangsa. Ini menunjukkan sistem kekuasaan yang dipimpin oleh seorang individu dan didukung oleh keluarga atau klannya. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini, istilah tersebut dapat berarti negara. Selain itu, konsep ini terkait dengan istilah dar al-Islam, yang berarti penguasa Muslim yang menerapkan hukum Islam sebagai hukum utama di wilayahnya.

13 Ibid., 264–265.

14 Ibid., 268–269.

xvii

(19)

Konsep dawlah dalam Islam ini bisa muncul dalam tiga sumber. Pertama, dari teori khilafah yang dipraktikkan sesudah Rasulullah wafat, terutama dirujuk pada masa khulafa al-rasyidin. Kedua, bersumber pada teori imamah dalam paham Syiah. Ketiga, bersumber pada teori imarah atau pemerintahan.15

Dari ketiga sumber tersebut, yang dirujuk oleh kalangan islamis adalah teori kekhilafahan yang dipraktikkan setelah Nabi wafat yang dijalankan oleh khalifah dari khulafa alrasyidin. Muaranya adalah pola pengaturan masyarakat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah yang oleh satu kalangan dianggap sebagai sebuah bentuk negara. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Piagam Madinah yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai sebuah konstitusi negara. H. A. R. Gibb menyatakan bahwa Piagam Madinah adalah hasil pemikiran yang cerdas dan inisiatif Nabi Muhammad dan bukanlah wahyu sehingga mempunyai sifat konstitusi yang dapat diubah dan diamandemen. Namun, Abdus Salam Arief mengingatkan bahwa dalam Piagam Madinah tersebut tidak menyebut agama negara.

Dengan demikian, akan ada banyak penafsiran terhadap praktik sosial politik yang dilakukan oleh Nabi di Madinah. Kemudian, praktik dawlah yang ada di masa Khulafa al-rasyidin dan juga pada kekhilafahan Islam hingga berakhir pada masa Turki Utsmani pun menjadi konsep ideal. Hal inilah yang kemudian dijadikan sebagai semangat untuk mendirikan dawlah islamiyah.16

Istilah Daulah Islamiyah tersusun dari dua kata. Istilah daulah bermakna negara, adapun Islamiyyah artinya Islam. Jadi, secara sederhana, istilah Daulah Islamiyah berarti negara Islam, atau negara yang berasaskan kepada prinsip prinsip dan nilai hukum Islam. Istilah Daulah Islamiyah di sini memiliki esensi yang sama dengan makna dar Islam. Hanya saja, dalam mendefinisikan Daulah Islamiyah, para ahli hukum Islam cenderung berbeda- beda. Menurut Wahbah Al-Zuhaili, dar Islam atau Daulah Islamiyah yaitu

15 M Si, IIyyan Muhsin, and S HI, “FUNDAMENTALISME DAN RADIKALISME DI KAMPUS NEGERI” (IAIN SALATIGA, 2022), 147.

16 Ibid., 148.

xviii

(20)

suatu negara kesatuan yang menyatukan setiap orang yang memenuhi seruan Islam dan beriman pada Nabi Muhammad Saw dengan berlandaskan kepada asas bahwa hukum atau syariat Islam adalah yang berlaku di dalamnya dan bawah kekuasaan dan personalitas di dalamnya membentang mencakup kawasankawasan Islam. Dalam kajian ini, pengertian Daulah Islamiyah adalah negara yang sistem pemerintahan merujuk kepada kaidah dan prinsip hukum Islam.17

17 Soraya Bunga Karmila, “Relevansi Pendapat Ali Al-Shallabi Tentang Pemisahan Kekuasaan Dalam Daulah Al-Islamiyah Dengan Konsep Triaspolitika Di Negara Republik Indonesia” (UIN Ar-Raniry, 2023), 15.

xix

(21)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Mengenai dari semua konsep yang kami tulis menyimpulkan bahwa;

konsep Imamah dan Khilafah. Dua konsep ini menggambarkan dua bentuk kepemimpinan dalam Islam, dengan Imamah menekankan pemimpin yang ditunjuk oleh Allah, terutama dalam tradisi Syiah, sementara Khilafah menyoroti kepemimpinan politik yang dilakukan oleh khalifah atau imam setelah Nabi Muhammad. Kedua konsep ini memiliki implikasi teologis dan politik yang besar dalam sejarah dan pemikiran Islam.

Konsep Ahlul Halli wal Aqd, konsep ini mencerminkan peran perwakilan umat dalam mengatur jalannya pemerintahan Islam, di mana mereka memiliki peran penting dalam memilih dan mengatur kepala negara. Ini adalah konsep demokrasi dalam konteks Islam yang menempatkan kedaulatan pada rakyat, dengan lembaga Ahlul Halli wal Aqd sebagai wadah bagi partisipasi politik umat.

Konsep Wizarah (Kementerian) dan wazir (Menteri) menurut Imam Al Mawardi terbagi menjadi dua. Pertama, wazir tafwidh dan yang kedua, wazir tanfidz. Kedua wazir ini memiliki kewenangan yang berberda.

Kewenangan yang dimiliki wazir tafwidh hampir setara dengan khalifah kecuali dalam hal pengangkatan putra mahkota. Sedangkan kewenangan yang dimiliki wazir tanfidz terbatas. Kewenangannya hanya menjadi penyambung dari khalifah kepada rakyat.

Konsep Dawlah. Dawlah merujuk pada negara dalam konteks Islam, dengan berbagai interpretasi dan implementasi yang muncul dari sejarah Islam, terutama dari masa Khulafa al- Rasyidin. Ini mencakup gagasan tentang sistem kekuasaan, penerapan hukum Islam, dan hubungan antara pemerintah dan umat.

xx

(22)

B. Saran

Menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah makalah ini jauh dari kata sempurna, kedepannya pemakalah akan lebih fokus dan lebih detail dalam menjelaskan makalah ini dengan sumber-sumbernya yang lebih rinci dan pada isi pembahsan dapat dipertanggungjawabkan. Pada pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan pembaca dapat menyampaikan kritik dan sarannya terhadap hasil penulisan makalah ini.

xxi

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Assyayuti, Mazdan Maftukha. “Perbandingan Konsepsi Ahlul Halli Wal Aqdi Dalam Teori Kenegaraan Islam Dan Konsepsi Lembaga Perwakilan Dalam Teori Kenegaraan Modern” (2018).

Fachrurozi, Moch. “Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap Konsep Khilafah, Imamah Dan Imarah.” Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies 4, no. 12 (2008): 289–304.

Al Haq, Isa Anshori, and Siti Ngainnur Rohmah. “Korelasi Konsep Kementerian (Wizarah) Menurut Imam Al-Mawardi Dan Implementasinya Di Kementerian Indonesia.” Mizan: Journal of Islamic Law 5, no. 2 (2021):

261–272.

Hidayat, Edi Rahmat. “KONSEP KHILAFAH DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH.” UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2022.

Kamma, Hamzah, Mahrida, Moh Rohman, Mohammad Musthofa, Muhammadong, M Aris Rofiqi, Fauzi, et al. FIQH SIYASAH (Simpul Politik Islam Dalam Membentuk Negara Madani), 2023.

Karmila, Soraya Bunga. “Relevansi Pendapat Ali Al-Shallabi Tentang Pemisahan Kekuasaan Dalam Daulah Al-Islamiyah Dengan Konsep Triaspolitika Di Negara Republik Indonesia.” UIN Ar-Raniry, 2023.

Pulungan, Suyuthi. FIQH SIYASAH AJARAN, SEJARAH DAN PEMIKIRAN.

Ed.1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999.

Rasuki, Rasuki. “Dinamika Konsep Kepemimpinan Dalam Islam: Dari Khilafah, Imamah Sampai Imarah.” Kariman: Jurnal Pendidikan Keislaman 7, no. 1

SE- (August 30, 2019): 81–96.

https://jurnal.inkadha.ac.id/index.php/kariman/article/view/104.

Si, M, IIyyan Muhsin, and S HI. “FUNDAMENTALISME DAN RADIKALISME DI KAMPUS NEGERI.” IAIN SALATIGA, 2022.

Ubaidila, Syafik, and Binti Maunah. “Konsep Kepemimpinan Transformasional xxii

(24)

Perspektif Islam.” Asketik: Jurnal Agama Dan Perubahan Sosial 6, no. 1 (2022): 153–171.

xxiii

Referensi

Dokumen terkait