• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Model Konseptual Pendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan Landasan Filosofis: Konteks Sekolah Menengah di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of Model Konseptual Pendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan Landasan Filosofis: Konteks Sekolah Menengah di Indonesia"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Model Konseptual Pendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan Landasan Filosofis: Konteks Sekolah Menengah di Indonesia

Suriaman1, Sapriya2, T Heru Nurgiansah3, Ryan Prayogi4, Heny Mulyani5, Zindan Baynal Hubi6

Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Univeristas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat, Indonesia 1,2,3,4,5,6

Email: suriamanagus1990@upi.edu1 sapriya@upi.edu2 th3ru@upi.edu3, ryan.prayogi@upi.edu4, henymulyani31@upi.edu5, baynalzindan@upi.edu6

Abstrak

Artikel ini membahas tentang model pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah berlandaskan kepada dasar filosofisnya sehingga menjadi acuan dalam pengembangan disiplin keilmuan PKn. Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk membentuk warga negara yang bertanggung jawab, peduli terhadap masyarakat, memiliki pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, serta mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan demokratis. Model konseptual pendidikan kewarganegaraan yang dijelaskan dalam artikel ini didasarkan pada landasan filosofis yang kuat.

Landasan filosofis ini meliputi prinsip-prinsip moral, etika, dan nilai-nilai dasar yang diperlukan untuk membentuk warga negara yang baik. Model ini juga mencakup komponen-komponen seperti kurikulum, metode pengajaran, dan evaluasi pembelajaran. Dalam konteks sekolah menengah, pendidikan kewarganegaraan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang sistem politik, hukum, dan pemerintahan negara. Selain itu, pendidikan kewarganegaraan juga dapat membantu siswa memahami perbedaan budaya, agama, dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah juga dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial, seperti kerjasama, komunikasi, dan kepemimpinan. Melalui pendidikan kewarganegaraan, siswa diajarkan tentang pentingnya menghormati perbedaan, memahami perspektif orang lain, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat. Dalam artikel ini, model konseptual pendidikan kewarganegaraan berdasarkan landasan filosofis dijelaskan secara rinci dengan tujuan untuk memberikan panduan bagi pengembangan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang efektif di sekolah menengah.

Kata Kunci: Pendidikan Kewarganegaraan, Landasan Filosofis, Sekolah Menengah

Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.

PENDAHULUAN

Artikel ini bertujuan untuk mengursai model atau kerangka konseptual yang didasarkan pada landasan filosofis tertentu pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di jenjang sekolah menengah. Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan yang bertujuan untuk membentuk warga negara yang aktif, berpartisipasi, dan bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat (Marshall, 1950). Pada jenjang sekolah menengah, model Konseptual Pendidikan Kewarganegaraan memerlukan beberapa landasan dalam pengembangan disiplin ilmu. Salah satunya adalah landasan filosofis. Berdasarkan landasan filosofis mengacu pada model konseptual pendidikan kewarganegaraan terkini yang didasarkan pada landasan filosofis dalam konteks sekolah menengah (D. D. Aulia et al., 2022).

Model ini bertujuan untuk memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk pengajaran dan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, yang menekankan pentingnya prinsip- prinsip filosofis dalam membentuk pemahaman siswa tentang peran dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara (S. S. Aulia & Arpannudin, 2019). Model mutakhir ini mengakui pentingnya dasar-dasar filosofis dalam memandu pengembangan program pendidikan

(2)

kewarganegaraan. Model ini menyoroti perlunya memasukkan konsep-konsep filosofis seperti keadilan, kesetaraan, demokrasi, hak asasi manusia, dan tanggung jawab sosial ke dalam kurikulum (Wahab & Sapriya, 2023). Dengan demikian, siswa dapat secara kritis menganalisis dan merefleksikan isu-isu sosial, mengembangkan rasa identitas kewarganegaraan, dan secara aktif berpartisipasi dalam proses demokrasi (D. D. Aulia et al., 2022). Model ini juga menekankan pentingnya konteks, khususnya di sekolah menengah. Model ini mengakui bahwa pendidikan kewarganegaraan harus disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan khusus yang dihadapi oleh siswa sekolah menengah (Suparto & Farisi, 2007). Hal ini termasuk menangani isu-isu yang berkaitan dengan masa remaja, pembentukan identitas, dinamika sosial, dan keterkaitan global.

Dalam artikel ini, akan dibahas landasan filosofis yang menjadi dasar dalam pengembangan model atau kerangka konseptual pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah. Pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah memiliki peranan penting dalam membentuk identitas nasional, memperkuat kesadaran berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan partisipasi aktif dalam kehidupan demokrasi. Oleh karena itu, pengembangan model atau kerangka konseptual pendidikan kewarganegaraan yang didasarkan pada landasan filosofis yang kuat sangatlah dibutuhkan dalam rangka pengembangan modelnya. Beberap hal akan disajikan dalam artikel ini sebagai tujuannya yaitu dasar kerangka konseptual pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah berdasarkan landasan filosofis, landasan filosofis yang menjadi pijakan untuk mengembangkan kerangka konseptual dalam pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah, implementasi kerangka konseptual berdasarkan landasan filosofis memengaruhi pemahaman dan partisipasi siswa dalam pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah, hasil dari penerapan kerangka konseptual pendidikan kewarganegaraan yang didasarkan pada landasan filosofis dapat diukur dan dievaluasi dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah.

METODE PENELITIAN

Artikel ilmiah ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam penulisannya (Creswell, 2015), dengan merumuskan asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan digunakan selama penelitian. Data dikumpulkan melalui penelitian terdahulu, kemudian ditafsirkan dan dianalisis dengan merujuk kepada berbagai jurnal dan buku, terutama yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan budaya bangsa. Selain itu, artikel ini juga menganalisis artikel-artikel ilmiah yang memiliki reputasi yang baik. Dalam penelitian kualitatif, penggunaan kajian pustaka harus konsisten dengan asumsi-asumsi metodologis, dan digunakan secara induktif untuk menjaga fleksibilitas dalam merumuskan pertanyaan penelitian (Moleong, 2002). Salah satu alasan utama untuk memilih metode penelitian kualitatif adalah untuk eksplorasi yang mendalam.

Penjelasan lebih rinci tentang metode penelitian ini akan ditemukan dalam bagian related literature (pustaka terkait) atau review of literature (kajian pustaka), yang akan membentuk dasar perumusan hipotesis dan pembandingan dengan hasil penelitian lain yang telah dilakukan (Ali & Limakrisna, 2013).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil

Pendidikan kewarganegaraan (PKn) pada jenjang sekolah menengah memiliki tujuan untuk membentuk warga negara yang memiliki pemahaman yang baik tentang hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat, serta memiliki kesadaran akan pentingnya partisipasi aktif dalam kehidupan demokratis. Untuk mencapai tujuan tersebut, model atau kerangka konseptual pendidikan kewarganegaraan pada jenjang sekolah menengah didasarkan pada

(3)

landasan filosofis tertentu. Berikut adalah beberapa landasan filosofis yang menjadi dasar dalam pengembangan model/kerangka konseptual pendidikan kewarganegaraan pada jenjang sekolah menengah:

a. Landasan Filosofis Pragmatisme

Pragmatisme, yang dikembangkan oleh John Dewey, menekankan pentingnya pengalaman dan refleksi dalam pembelajaran. Dewey berpendapat bahwa nilai-nilai moral dan normatif tidak dapat ditentukan secara a priori, tetapi harus dikembangkan melalui pengalaman dan diskusi yang melibatkan berbagai latar belakang (Dewey, 1915). Dalam konteks PKn, pendekatan pragmatis dapat menekankan pentingnya partisipasi aktif, diskusi, dan pengalaman nyata dalam membentuk sikap dan nilai-nilai kewarganegaraan. Filosofi ini menekankan pentingnya pengalaman praktis dan relevansi dalam pembelajaran. Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, pendekatan pragmatis dapat mendorong siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis, berpartisipasi aktif dalam masyarakat, dan memahami pentingnya dialog antargenerasi(Garratt & Piper, 2012).

Pendekatan pragmatis juga menekankan pentingnya pembelajaran melalui pengalaman dan interaksi dengan masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan kewarganegaraan tidak hanya menjadi simulasi, tetapi menjadi bagian dari kehidupan nyata. Dengan menggabungkan pendekatan filosofi untuk anak-anak dengan filosofi komunitas, pendidikan kewarganegaraan dapat menjadi lebih inklusif, partisipatif, dan relevan bagi siswa. Dalam implementasinya, landasan filosofis pragmatisme dalam mempengaruhi partisipasi siswa dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam kegiatan nyata yang berhubungan dengan isu-isu kewarganegaraan.

Misalnya, melibatkan mereka dalam proyek-proyek sosial di komunitas atau mengadakan diskusi dan debat mengenai isu-isu kontroversial dalam masyarakat (Levine & Higgins- D’Alessandro, 2010).

Implementasi konsep pragmatisme dalam pendidikan kewarganegaraan memerlukan perubahan struktural dan kebijakan yang ada. Definisi dan praktik pendidikan kewarganegaraan saat ini sering terkait dengan budaya performativitas yang mengutamakan pengetahuan kognitif dan hasil akademik. Untuk mewujudkan pendekatan pragmatis, perlu adanya perubahan dalam konsepsi pengetahuan dan epistemologi serta dukungan kepemimpinan yang kuat dari manajemen sekolah (Garratt & Piper, 2012).

Penerapan landasan pragmatisme dalam evaluasi pendidikan kewarganegaraan dapat memberikan hasil yang positif. Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam kegiatan nyata yang berhubungan dengan isu-isu kewarganegaraan, seperti proyek-proyek sosial di komunitas atau diskusi dan debat mengenai isu-isu kontroversial, siswa dapat mengalami pengalaman langsung dan refleksi yang mendalam (Tong et al., 2020).

Melalui pengalaman ini, siswa dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu kewarganegaraan dan bagaimana mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan kewarganegaraan. Mereka juga dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis, berkomunikasi, dan bekerja sama dengan orang lain dalam mencari solusi untuk masalah-masalah sosial (Veugelers & Groot, 2019). Selain itu, pendekatan pragmatisme juga menekankan pentingnya pengalaman dan refleksi dalam pembelajaran.

Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam kegiatan nyata, mereka dapat belajar melalui pengalaman langsung dan mengaitkannya dengan konsep-konsep yang dipelajari dalam kelas. Hal ini dapat meningkatkan pemahaman dan penerapan konsep-konsep kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari siswa (Bell, 2010). Dalam

(4)

evaluasi pendidikan kewarganegaraan yang menerapkan landasan pragmatisme, penting untuk melihat bukan hanya hasil akademik siswa, tetapi juga perkembangan mereka dalam berpikir kritis, berkomunikasi, dan berpartisipasi dalam kehidupan kewarganegaraan.

Evaluasi dapat dilakukan melalui observasi langsung, penilaian proyek atau presentasi siswa, dan refleksi siswa tentang pengalaman mereka dalam kegiatan kewarganegaraan b. Landasan Filosofis Utilitarianisme

Utilitarianisme adalah suatu konsep filosofis yang menekankan pada kepentingan dan kesejahteraan sebanyak mungkin orang. Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, landasan filosofis utilitarianisme dapat diterapkan dengan memprioritaskan manfaat yang diperoleh oleh masyarakat secara keseluruhan (Garratt & Piper, 2012). Utilitarianisme, yang merupakan bentuk konsekuensialisme, menilai tindakan atau institusi berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Dalam konteks PKn, pendekatan utilitarianisme dapat menekankan pentingnya investasi dalam pengembangan kewarganegaraan muda, karena hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Levine & Higgins-D’Alessandro, 2010). Dalam pendidikan kewarganegaraan, pendekatan utilitarianisme akan menekankan pada pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.

Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan warga negara yang dapat berkontribusi secara positif dalam masyarakat.

Pendidikan kewarganegaraan yang didasarkan pada utilitarianisme akan fokus pada pengembangan keterampilan sosial, pemahaman tentang isu-isu sosial, dan partisipasi aktif dalam kegiatan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan warga negara yang dapat berperan dalam memecahkan masalah sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Implementasi landasan filosofis utilitarianisme dalam mempengaruhi partisipasi siswa dapat dilakukan dengan menunjukkan kepada siswa bagaimana partisipasi aktif dalam kehidupan kewarganegaraan dapat memberikan manfaat bagi diri mereka sendiri dan masyarakat secara keseluruhan (Banks, 2008). Pendidikan kewarganegaraan yang didasarkan pada utilitarianisme akan fokus pada pengembangan keterampilan sosial, pemahaman tentang isu-isu sosial, dan partisipasi aktif dalam kegiatan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan warga negara yang dapat berperan dalam memecahkan masalah sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Garratt &

Piper, 2012). Dalam konteks utilitarianisme, pendidikan kewarganegaraan juga akan menekankan pada pengembangan nilai-nilai moral yang dapat membantu individu dalam membuat keputusan yang menguntungkan bagi masyarakat. Pendidikan ini akan mendorong individu untuk mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan mereka dan bertindak dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan (ICCS, 2016).

Salah satu contoh implementasi ini adalah dengan mengajarkan siswa tentang pentingnya hak-hak dan tanggung jawab sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

Dengan memahami hak-hak dan tanggung jawab mereka, siswa dapat menyadari bahwa partisipasi aktif mereka dalam kehidupan kewarganegaraan dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan sejahtera. (Banks, 2008). Selain itu, program- program seperti proyek sosial atau kegiatan sukarela juga dapat diimplementasikan untuk mendorong partisipasi siswa dalam kehidupan kewarganegaraan. Dengan terlibat dalam proyek-proyek ini, siswa dapat melihat langsung dampak positif yang mereka hasilkan bagi masyarakat sekitar mereka. Hal ini dapat memberikan motivasi tambahan bagi siswa untuk terus berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan kewarganegaraan (Bell, 2010).

(5)

Penerapan landasan utilitarianisme dalam evaluasi pendidikan kewarganegaraan dapat memberikan hasil yang positif dalam meningkatkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan. Evaluasi pendidikan kewarganegaraan yang menerapkan landasan utilitarianisme akan melihat dampak dari program-program tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya individu siswa (Veugelers &

Groot, 2019). Dalam evaluasi ini, penting untuk melihat apakah program pendidikan kewarganegaraan berhasil meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam kehidupan kewarganegaraan, memperkuat nilai-nilai moral dan etika, serta mengembangkan keterampilan sosial dan kepemimpinan yang dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Selain itu, evaluasi juga dapat melihat apakah program pendidikan kewarganegaraan berhasil mengurangi kesenjangan partisipasi politik dan sosial antara kelompok-kelompok yang berbeda, serta meningkatkan kesetaraan akses terhadap hak-hak dan kesempatan dalam masyarakat. Dengan melihat dampak program pendidikan kewarganegaraan secara keseluruhan, evaluasi yang menerapkan landasan utilitarianisme dapat membantu dalam pengambilan keputusan terkait alokasi sumber daya dan pengembangan program yang lebih efektif dalam mencapai tujuan kesejahteraan sosial (Cohen, 2018).

c. Landasan Filosofis Kantianisme

Kantianisme, yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, menekankan pentingnya otonomi dan penghargaan terhadap martabat manusia. Dalam konteks PKn, pendekatan Kantianisme dapat menekankan pentingnya pengembangan otonomi dan pemikiran moral yang kritis pada peserta didik. Program PKn yang mendorong refleksi moral dan partisipasi aktif dapat dianggap sesuai dengan pendekatan ini (Levine & Higgins-D’Alessandro, 2010).

Implementasi landasan filosofis Kantianisme dalam mempengaruhi partisipasi siswa dapat dilakukan dengan memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, membentuk dan mempertahankan pendapat mereka sendiri, serta mengambil tindakan berdasarkan nilai- nilai moral yang mereka yakini. Dengan landasan ini, siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang penting dalam pendidikan kewarganegaraan. Selain itu, filosofi untuk anak-anak dapat membantu mengembangkan kebajikan yang terkait dengan demokrasi deliberatif melalui tiga tingkatan mulai dari pribadi, masyarakat, dan negara (Šimenc, 2014). Salah satu contoh implementasi ini adalah dengan mendorong siswa untuk terlibat dalam kegiatan organisasi siswa atau mengambil inisiatif dalam memecahkan masalah sosial di sekolah atau komunitas mereka. Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan bertanggung jawab atas tindakan mereka, hal ini dapat membantu mengembangkan otonomi dan kemampuan mereka untuk berpikir secara moral (Veugelers & Groot, 2019).

Selain itu, pendidikan kewarganegaraan juga dapat mengajarkan siswa tentang pentingnya hak-hak dan tanggung jawab sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

Dengan memahami hak-hak dan tanggung jawab mereka, siswa dapat menyadari bahwa partisipasi aktif mereka dalam kehidupan kewarganegaraan merupakan bentuk penghargaan terhadap martabat manusia dan merupakan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai moral (ICCS, 2016). Penerapan landasan kantianisme dalam evaluasi pendidikan kewarganegaraan dapat memberikan hasil yang positif dalam meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam kehidupan kewarganegaraan dan mengembangkan nilai-nilai moral mereka. Evaluasi pendidikan kewarganegaraan yang menerapkan landasan kantianisme akan melihat apakah program-program tersebut berhasil meningkatkan otonomi siswa, membantu mereka mengembangkan dan mengejar tujuan-tujuan yang rasional, serta

(6)

memperkuat kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan bertindak secara moral. Dalam evaluasi ini, penting untuk melihat apakah program pendidikan kewarganegaraan berhasil membantu siswa dalam memahami hak-hak dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Evaluasi juga dapat melihat apakah program-program tersebut berhasil mengembangkan kemampuan siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan isu-isu kewarganegaraan, serta apakah mereka mampu mengambil tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang mereka yakini. Dalam evaluasi pendidikan kewarganegaraan yang menerapkan landasan kantianisme, penting untuk melihat bukan hanya hasil akademik siswa, tetapi juga perkembangan mereka dalam berpikir kritis, berkomunikasi, dan bertindak secara moral.

Evaluasi dapat dilakukan melalui observasi langsung, penilaian proyek atau presentasi siswa, serta refleksi siswa tentang pengalaman mereka dalam kegiatan kewarganegaraan (Cohen, 2018).

Pembahasan

Landasan filosofis dalam pendidikan diperlukan karena memiliki peran yang penting dalam membentuk dan mengarahkan tujuan, nilai, dan prinsip-prinsip pendidikan (Bailey, 2010). Filosofi pendidikan membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pendidikan, seperti tujuan pendidikan, hakikat pengetahuan, proses pembelajaran, peran guru dan siswa, serta hubungan antara pendidikan dengan masyarakat. Dalam kontek Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah menengah, pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air (Winataputra, 2015). Tentunya tujuan inilah yang harus diselaraskan dengan konteks Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan pandangan hidup bangsa yang dikonsepsikan, dimaknai, dan difungsikan sebagai entitas inti (core values) yang menjadi sumber rujukan filosofis pendidikan nasional.

Pertama, landasan filosofis dalam pendidikan membantu menentukan tujuan utama dari sistem pendidikan (Schofield, 2011). Filosofi pendidikan membahas pertanyaan tentang apa yang harus dicapai oleh pendidikan. Dalam konteks ini, landasan filosofi mempertimbangkan apakah tujuan utama pendidikan adalah untuk mengembangkan kecerdasan intelektual, karakter moral, atau keterampilan praktis? Tentunya, landasan filosofis yang kuat membantu memastikan bahwa tujuan-tujuan ini jelas dan terintegrasi dengan baik dalam kurikulum dan praktik pengajaran. Juga tentunya, pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah sebagai mata pelajaran dengan visi, misi, dam paradigma pendidikan yang baru sebaiknya didukung oleh dinamika akademis yang selama ini menjadi ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai suatu kajian keilmuan dalam ilmu pendidikan (Winataputra, 2012).

Selain itu, landasan filosofis juga membantu dalam menentukan nilai-nilai yang harus diterapkan dalam sistem pendidikan. Filosofi pendidikan mempertimbangkan pertanyaan tentang apa yang dianggap sebagai nilai-nilai yang penting untuk dipromosikan melalui proses pembelajaran (Moore, 2010). Misalnya, apakah keadilan sosial, kesetaraan gender, atau kebebasan individu merupakan nilai-nilai yang harus ditekankan dalam sistem pendidikan.

Dengan memiliki landasan filosofis yang jelas, sistem pendidikan dapat memastikan bahwa nilai-nilai ini tercermin dalam kurikulum dan praktik pengajaran (Levine & Higgins- D’Alessandro, 2010). Selanjutnya, landasan filosofis membantu dalam memahami hakikat pengetahuan dan proses pembelajaran. Filosofi pendidikan membahas pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang berharga dan bagaimana pengetahuan tersebut dapat diperoleh dan dikembangkan oleh siswa (Barrow & Woods, 2006). Dengan memiliki pemahaman yang baik tentang hakikat pengetahuan dan proses pembelajaran,

(7)

pendidik dapat merancang strategi pengajaran yang efektif dan relevan. Di Indonesia (Winataputra, 2015), sekolah menengah berisikan seluruh dimensi yang bertujuan mengembangkan potensi siswa sehingga mampu menampilkan karakter yang mencerminkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai dan moral Pancasila secara pribadi dan sosial.

Juga, siswa memiliki komitmen yang ditopang oleh pengetahuan yang utuh tentang UUD NRI tahun 1945, berpikir kritis, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupannya (Budimansyah, 2010).

Landasan filosofis juga membantu dalam menentukan peran guru dan siswa dalam proses pendidikan (Levine & Higgins-D’Alessandro, 2010). Filosofi pendidikan mempertimbangkan pertanyaan tentang apa yang diharapkan dari seorang guru, bagaimana hubungan antara guru dan siswa harus dibangun, serta bagaimana peran siswa dalam pembelajaran dapat ditingkatkan (Šimenc, 2014). Dengan memiliki landasan filosofis yang kuat, sistem pendidikan dapat memastikan bahwa peran guru Pendidikan Kewarganegaraan dan siswa dipahami dengan baik dan diimplementasikan secara efektif melalui konsep pembelajaran yang efektif berdasarkan tujuan filosofisnya. Terakhir, landasan filosofis membantu dalam memahami hubungan antara pendidikan dengan masyarakat. Filosofi pendidikan membahas pertanyaan tentang bagaimana pendidikan dapat berkontribusi pada kemajuan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Dengan memiliki landasan filosofis yang jelas, sistem pendidikan dapat mengintegrasikan tujuan-tujuan sosial dengan tujuan-tujuan akademik, sehingga menciptakan dampak positif yang lebih luas dalam masyarakat. Dengan diberikannya amanah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Indonesia, juga memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendidikan di sekolah menengah. PKn bertujuan untuk membentuk warga negara yang memiliki kesadaran, pemahaman, dan keterampilan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam konteks ini, landasan filosofis menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran PKn di sekolah menengah:

1. Mendasari Nilai-nilai Kewarganegaraan (Berlian & Dewi, 2021). Landasan filosofis pada mata pelajaran PKn dapat memberikan dasar-dasar nilai kewarganegaraan yang menjadi landasan bagi pembentukan karakter warga negara yang baik. Nilai-nilai seperti keadilan, demokrasi, persatuan, toleransi, kebebasan, dan tanggung jawab sosial dapat ditanamkan melalui pemahaman filosofis yang mendalam tentang konsep-konsep tersebut. Dengan memahami landasan filosofisnya, siswa akan lebih mampu menginternalisasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

2. Menumbuhkan Kesadaran Kritis (Gunawan, 2022). Landasan filosofis pada PKn juga dapat membantu menumbuhkan kesadaran kritis siswa terhadap berbagai persoalan sosial dan politik yang ada di masyarakat. Dengan mempelajari landasan filosofis, siswa diajak untuk berpikir secara kritis dan analitis dalam menelaah berbagai isu kewarganegaraan. Mereka diajarkan untuk tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis dan mencari solusi yang berdasarkan pemikiran yang rasional.

3. Memperkuat Identitas Kebangsaan (Ditjen Pothan Kemenhan, 2015). Landasan filosofis pada PKn juga dapat memperkuat identitas kebangsaan siswa. Melalui pemahaman tentang sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang ada dalam bangsa, siswa akan lebih mampu mengenali dan menghargai jati diri sebagai warga negara Indonesia. Landasan filosofis juga dapat membantu membentuk rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme yang kuat pada siswa.

4. Mengembangkan Keterampilan Berpikir Abstrak (Indrawijaya & Siregar, 2022).

Pemahaman landasan filosofis pada PKn juga dapat membantu mengembangkan keterampilan berpikir abstrak siswa. Konsep-konsep filosofis seringkali membutuhkan

(8)

pemikiran yang mendalam dan abstrak dalam memahaminya. Dengan mempelajari landasan filosofis, siswa akan terlatih dalam berpikir analitis, logis, dan kritis, serta mampu melakukan refleksi diri terhadap nilai-nilai yang ada dalam dirinya.

5. Menyediakan Dasar bagi Pemahaman Sistem Politik (Pratiwi et al., 2020). Landasan filosofis pada PKn juga penting dalam menyediakan dasar bagi pemahaman siswa tentang sistem politik yang berlaku di negara mereka. Melalui pemahaman filosofis tentang konsep demokrasi, kekuasaan, dan partisipasi politik, siswa akan lebih mampu memahami bagaimana sistem politik bekerja dan bagaimana mereka dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi (Fatma Sjoraida & Ruchiat Nugraha, 2023).

6. Membantu Menghadapi Tantangan Global (Khairunisa & Damayanti, 2023). Pendidikan kewarganegaraan tidak hanya berkaitan dengan konteks nasional, tetapi juga penting dalam menghadapi tantangan global. Landasan filosofis pada PKn dapat membantu siswa memahami isu-isu global seperti radikalisasi, hak asasi manusia, perdamaian dunia, lingkungan hidup, dan kesetaraan gender. Dengan memahami landasan filosofisnya, siswa akan lebih mampu berpartisipasi dalam upaya meningkatkan kondisi sosial dan lingkungan di tingkat global (Putra & Suriaman, 2022).

KESIMPULAN

Dari ketiga landasan filosofis tersebut di atas, mulai dari landasan filosofis pragmatism, landasan filosofis utilitarianisme, dan landasan filosofis Kantianisme, sama-sama fokus bagaimana meningkatkan partisipasi warga negara. Namun, beberapa hal yang berbeda adalah hak, kewajiban, dan nilai-nilai moralitas yang menjadi titik fokus sesuai dengan kondisi di masing-masing negara. Ketiga landasan filosofis yang dapat dijadikan pijakan atau landasan dalam menerapkan pendidikan kewarganegaraan di tingkat sekolah menengah dalam konteks ke-Indonesia-an lebih condong kepada landasan filosofis Kantianisme. Karena landasan filosofis ini penting untuk melihat bukan hanya hasil akademik siswa, tetapi juga perkembangan mereka dalam berpikir kritis, berkomunikasi, dan bertindak secara moral.

Dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah menengah, landasan filosofis memiliki peranan penting dalam membentuk karakter warga negara yang baik. Melalui pemahaman landasan filosofisnya, siswa dapat mengembangkan nilai-nilai kewarganegaraan yang kuat, meningkatkan kesadaran kritis, memperkuat identitas kebangsaan, mengembangkan keterampilan berpikir abstrak, memahami sistem politik, dan menghadapi tantangan global dengan pemahaman yang lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H., & Limakrisna, N. (2013). Metodologi Penelitian (Petunjuk Praktis untuk Pemecahan Masalah Bisnis, Penyusunan Skripsi, Tesis dan Disertasi. Deepublish.

Aulia, D. D., Parida, R., Marjohan, M., Hidayat, S., & Dewi, R. S. (2022). Landasan Filosofos Pendidikan. Journal on Education, 05(01), 432–441.

Aulia, S. S., & Arpannudin, I. (2019). Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Lingkup Sosio- Kultural Pendidikan Non Formal. Jurnal Civic Education, 3(1), 1–12.

http://ejournal.unima.ac.id/index.php/jce/article/viewFile/902/820

Bailey, R. (2010). The Philosophy of Education: An Introduction (R. Bailey (ed.)). Bloomsbury Academic.

Banks, J. A. (2008). Diversity, Group Identity, and Citizenship Education in a Global Age.

Educational Researcher, 37(3), 129–139. https://doi.org/10.3102/0013189x08317501 Barrow, R., & Woods, R. (2006). An Introduction to Philosophy In Education. In Routledge (4th

Editio). Routledge. https://doi.org/10.5840/idstudies199222365

(9)

Bell, S. (2010). Project-Based Learning for the 21st Century: Skills for the Future. The Clearing House: A Journal of Educational Strategies, Issues and Ideas, 83(2), 39–43.

https://doi.org/10.1080/00098650903505415

Berlian, R. K., & Dewi, D. A. (2021). Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Membentuk Negara Demokratis dan Mewujudkan Hak Asasi Manusia. Jurnal Pendidikan

Kewarganegaraan Undiksha, 9(2), 486–498.

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP

Budimansyah, D. (2010). Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa. Widya Aksara Press.

Cohen, A. I. (2018). Pilosophy and Public Policy (A. I. Cohen (ed.)). Rowman & Littlefield.

Creswell, J. W. (2015). Riset Pendidikan: Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi Riset Kualitatif

& Kuantitatif (Kelima). Pustaka Pelajar.

Dewey, J. (1915). Democracy and Education: Introduction to philosophy of education. In K.

Kumar (Ed.), Aakar Books. Aakar Books. https://doi.org/10.1007/BF00368029

Ditjen Pothan Kemenhan. (2015). Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia yang Bersumber dari Empat Konsensus Dasar Bangsa. Ditjen Pothan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.

https://pothan.kemhan.go.id/wp-content/uploads/2020/01/11penyuluhan- masyarakat-tentang-nilai-nilai-kebangsaan-indonesia_MpkpWaBW.pdf

Fatma Sjoraida, D., & Ruchiat Nugraha, A. (2023). Upaya Peningkatan Pengetahuan Politik Melalui Sosialisasi Pendidikan Politik Bagi Generasi Z. Jurnal Pengabdian Kolaborasi Dan Inovasi IPTEKS, 1(2), 104–111. https://doi.org/10.59407/jpki2.v1i2.20

Garratt, D., & Piper, H. (2012). Citizenship education and philosophical enquiry: Putting thinking back into practice. Education, Citizenship and Social Justice, 7(1), 71–84.

https://doi.org/10.1177/1746197911432592

Gunawan, H. (2022). Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. Alfabeta.

ICCS, I. (2016). Civic and Citizenship Framework. In Assessment Framework.

Indrawijaya, S., & Siregar, A. P. (2022). Peningkatan Kreatrivitas melalui Penerapan Pembelajaran Team Based Project pada Mata Kuliah Desain Komunikasi Visual. Jurnal Ilmiah Dikdaya, 12(1), 268–273. https://doi.org/10.33087/dikdaya.v12i1.

Khairunisa, W., & Damayanti, S. (2023). Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan bagi Suatu Negara pada Generasi Milenial Abad-21. Ideas: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya, 9(1), 35. https://doi.org/10.32884/ideas.v9i1.1209

Levine, P., & Higgins-D’Alessandro, A. (2010). The Philosophical Foundations of Civic Education.

Philosophy & Public Policy Quarterly, 30(3/4), 21. https://doi.org/10.13021/g8jg6p Marshall, T. H. (1950). Citizenship and Social Class. The Syndics of The Cambridge University

Press.

Moleong, L. J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya.

Moore, T. W. (2010). Philosophy of Education: An Introduction. In Routledge. Routledge.

https://doi.org/10.4324/9780203639061-9

Pratiwi, I., Rahayu, S., & Triyanto, T. (2020). Peran Partai Politik dalam Pendidikan Politik Bagi

Generasi Muda. Jurnal PPKn, 8(2), 130–138.

https://doi.org/https://doi.org/10.2019/jppkn.v8i2.79

Putra, Z., & Suriaman, S. (2022). Menanamkan Nilai-Nilai Pancasila Dikalangan Generasi Muda Guna Menghadapi Ancaman Radikalisme di Era Globalisasi. Jurnal Pengabdian Masyarakat Formosa (JPMF), 1(2), 93–100.

Schofield, H. (2011). The Philosophy of Education: An Introduction. Taylor & Francis Group.

Šimenc, M. (2014). Citizenship education, philosophy for children and the issue of participation.

Journal of Moral Education.

(10)

Suparto, S. A., & Farisi, M. I. (2007). Jati diri disiplin ilmu pendidikan. Unesa University Press.

Tong, Y., Kinshuk, & Wei, X. (2020). Teaching design and practice of a project-based blended learning model. International Journal of Mobile and Blended Learning, 12(1), 33–50.

https://doi.org/10.4018/IJMBL.2020010103

Veugelers, W., & Groot, I. De. (2019). Theory and Practice of Citizenship Education. In Education for Democratic Intercultural Citizenship. https://doi.org/10.1163/9789004411944 Wahab, A. A., & Sapriya, S. (2023). Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan (D. Baihaqi

(ed.)). Remaja Rosdakarya.

Winataputra, U. S. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: Gagasan, Instrumentasi, dan Praksis. Widya Aksara Press.

Winataputra, U. S. (2015). Pendidikan Kewarganegaraan: Refleksi Historis-Epistemologis dan Rekonstruksi untuk Masa Depan. Universitas Terbuka.

Referensi

Dokumen terkait