Judul : Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah terhadap hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa rumah di Bumi Kodya Asri Jempong Baru
Latar Belakang Permasalahannya :
1. Ketidakjelasan Hak dan Kewajiban Para Pihak
Banyak perjanjian sewa-menyewa dilakukan secara lisan tanpa kontrak tertulis, sehingga hak dan kewajiban antara pemilik rumah dan penyewa tidak tercantum secara jelas. Hal ini sering memicu perselisihan, seperti sengketa tentang tanggung jawab perawatan rumah, pembayaran sewa, atau fasilitas yang dijanjikan.
2. Ketidakpatuhan pada Kesepakatan
Dalam beberapa kasus, penyewa sering kali terlambat membayar sewa, tidak menjaga rumah dengan baik, atau menggunakan rumah di luar kesepakatan awal, seperti menyewakannya kembali kepada pihak ketiga tanpa izin pemilik rumah. Sebaliknya, pemilik rumah juga terkadang tidak memenuhi janjinya untuk menyediakan rumah yang layak atau memelihara fasilitas yang rusak.
3. Pengaruh Kebiasaan Lokal
Di beberapa kasus, praktik sewa-menyewa di kawasan ini lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan lokal daripada panduan hukum syariah. Kebiasaan ini sering kali mengabaikan aspek keadilan dan transparansi, yang berpotensi merugikan salah satu pihak.
4. Kurangnya Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Ketika terjadi sengketa, para pihak sering kali tidak memiliki mekanisme penyelesaian yang efektif. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dokumen tertulis yang bisa dijadikan acuan dalam penyelesaian masalah, serta minimnya pemahaman tentang cara penyelesaian sengketa sesuai dengan prinsip hukum Islam.
Akad merupakan cara yang di ridhai Allah Swt yang harus ditegakkan dan bertanggung jawab pada hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai kesepakatan, sebagaimana ditegaskan dalam ayat al-Qur’an, surat al-Maidah (5):1
اهَيُّايُّ
نَيُّذِلَّا اوْٓنُمَا
اوْٓفُوْا دِۗ وْ قُ قُ وْا
"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu..."
Ayat ini menegaskan pentingnya menepati janji dan memenuhi setiap perjanjian atau akad yang telah disepakati, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dalam muamalah sesama manusia. Dalam Islam, akad mencakup segala bentuk perjanjian, seperti kontrak sewa, jual beli, pernikahan, dan lainnya. Ayat ini juga menjadi landasan kepatuhan dalam muamalah, di mana setiap transaksi harus dilakukan secara adil, memenuhi syarat sah akad, dan tidak melanggar hukum syariat.
Dalam konteks sewa-menyewa, pemilik rumah wajib memberikan hak penyewa sesuai dengan isi perjanjian, dan penyewa wajib memenuhi kewajibannya, seperti membayar sewa tepat waktu. Memenuhi akad juga mencerminkan keadilan dan kepercayaan dalam hubungan
sosial, dan ketidaktaatan terhadap akad dianggap sebagai pelanggaran hukum Allah serta dapat merusak hubungan di masyarakat. Oleh karena itu, ayat ini menjadi pedoman penting dalam fiqih muamalah, menekankan bahwa semua akad harus dipatuhi selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Rumusan masalah:
1. Bagaimana praktik hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa rumah di bumi kodya asri?
2. Bagaimana tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap praktik hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa rumah?
Telaah Pustaka
1. Nurhalimah, “Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Praktik Sewa Menyewa Tanah Berantai (Studi Kasus Di Desa Banyu Urip Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah)”, UIN Mataram ,Tahun 2022
Penulis bertujuan untuk mengetahui Tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap praktik sewa menyewa tanah berantai di Desa Banyu Urip. Praktik sewa menyewa tanah yang dilakukan di Desa Banyu Urip, dilakukan dengan perjanjian pinjam meminjam antara pemilik tanah dan penyewa yang sudah mengenal satu sama lain. Masyarakat di Desa Banyu Urip kurang memahami konsep sewa menyewa tanah yang sesuai dengan hukum ekonomi syariah atau hukum islam, transaksi sewa menyewa tanah berantai merupakan kebiasaan sebagaian masyarakat di Desa Banyu Urip, sebagian pelunasan hutang dan memperluas tempat bertani agar ada jalan buat cari uang. Kesimpulannya, penelitian di Desa Banyu Urip, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, praktik sewa-menyewa tanah dilakukan dengan dua cara. Pertama, pemilik tanah menyewakan tanahnya kepada penyewa pertama, namun penyewa pertama kemudian menyewakan kembali tanah tersebut kepada pihak kedua tanpa sepengetahuan dan izin pemilik tanah. Kedua, pemilik tanah menyewakan tanahnya kepada penyewa pertama, namun pada saat yang sama juga menyewakan tanah tersebut kepada pihak kedua tanpa sepengetahuan dan izin penyewa pertama. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah terhadap praktik sewa-menyewa tanah brantai ini menyatakan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan dalam hukum Islam jika tidak ada kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat. Menurut pandangan ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, pemilik tanah berhak memanfaatkan tanahnya, namun praktik yang melibatkan ketidaksepahaman atau tanpa izin pihak terkait bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
2. Del Vina Puspita Sari, “Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Pemutusan Akad Sewa Menyewa Secara Sepihak (Studi Kasus di Kosan Milik Hj. Dewi Kelurahan Korpri Jaya Kecamatan Sukarame Bandar Lampung)”, UIN Raden Intan Lampung, Tahun 2023
Perjanjian sewa menyewa rumah kos merupakan salah satu contoh perjanjian kontrak yang dilakukan dengan lisan dan dibuktikan dengan sebuah kwitansi pembayaran sewa kos. Masa sewa setiap kamar kos adalah 1 (satu) tahun, namun belum habis masa sewa
kos pemilik kos (Ibu Hj. Dewa) sudah 2 (dua) kali melakukan pengusiran pada penyewa. Di mana untuk pengusiran yang terjadi ini tidaklah sesuai dengan perjanjian.
Pemutusan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh Ibu Hj. Dewi kepada penyewa kos dinilai kurang manusiawi. Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis akan melakukan penelitian guna mengetahui dan menganalisis bagaimana praktek pemutusan akad sewa menyewa secara sepihak di kosan milik Ibu Hj. Dewi dan bagaimana perspektif hukum Islamnya. Kesimpulannya, pemutusan akad sewa- menyewa kos milik Ibu Hj. Dewi di Desa Korpri Jaya, Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung, yang terjadi karena Syifa membawa temannya (perempuan) untuk menginap meskipun sudah mendapat izin dari pemilik kos dan tersebarnya rumor negatif tentang kosan, merupakan akibat dari kesalahpahaman antara pemilik kos dan penyewa. Hal ini seharusnya dapat diselesaikan secara baik-baik melalui komunikasi yang jelas dan kepala dingin agar pemutusan sepihak tidak terjadi. Dalam perspektif hukum ekonomi syariah, pemutusan akad sewa-menyewa secara sepihak tidak diperbolehkan, terutama karena terdapat unsur yang tidak terpenuhi dalam rukun akad, yakni shighat. Selain itu, larangan untuk memutuskan hubungan antara sesama muslim juga ditekankan dalam hadis, sehingga tindakan ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.
3. Diana Umil Hakam, “Analisis Hukum Islam Dan KHES Pasal 310 Terhadap Praktik Sewa Menyewa Kamar Kost Putri Cantik Di Kota Malang”, UIN Sunan Ampel Surabaya, Tahun 2021
praktik sewa-menyewa kamar kost putri cantik ini belum sesuai dengan perjanjian yang disepakati, dikarnakan penyewa telah mimindah alih sewa kepada pihak ketiga tanpa seizin pemilik kost dengan harga lebih mahal dari harga sewanya. Sedangkan praktik sewa-menyewa kamar kost putri cantik di kota malang tidak sesuai dengan hukum islam. Karena dalam rukun ijarah yakni, sighat tidak sesuai perjanjian yang disepakati diawal perjanjian yaitu, perjanjian pemindah alih sewa kepada pihak ketiga tampah izin pemilik kost. Dan juga diperkuat dalam kompilasi hukum islam pasal 310 juga tidak diperbolehkan. Dalam hal ini mustajir memindah sewa kamar kost kepada pihak ketiga.
Kesimpulannya, praktik sewa-menyewa kamar kost "Putri Cantik" di Kota Malang dinyatakan tidak sah karena penyewa melanggar perjanjian awal dengan memindahalihkan sewa kamar kepada pihak ketiga tanpa izin pemilik kost, serta menetapkan harga sewa yang lebih tinggi. Berdasarkan analisis Hukum Islam dan Pasal 310 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), praktik ini tidak memenuhi rukun akad ijarah, khususnya pada aspek sighat (ijab dan qabul), karena mustajir memindahkan ma'jur kepada pihak lain tanpa sepengetahuan atau persetujuan pemilik kost. Penulis memiliki saran untuk pemilik kost supaya lebih hati-hati dalam menyewakan kamar kostnya agar tidak tejadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti masalah pemindah alih sewa kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuannya. Kemudian pemilik kost harus lebih tegas lagi kepada penyewa supaya lebih bisa patuh dan taat pada peraturan yang telah dibuat. Dan pemilik harus lebih sering mengontrol kos-kosan agar tidak ada lagi penyewa yang menyewakan kembali kamar kostnya. Dan juga untuk pihak penyewa petama maupun pihak ketiga selaku konsumen untuk menanyakan rician dari perjanjian atau peraturan lebih lanjut kepada pemilik kost, agar tidak terjadi masalah dikemudian hari.