41
SEJARAH DAN DINAMIKA BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI PULAU GESER KECAMATAN SERAM TIMUR KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR
Syahid H. Rumalean,1 Nur Aida Kubangun,2 Johan Pattiasina3
1,2,3 Prodi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Pattimura
Email: [email protected]1 [email protected] 2 [email protected] 3 DOI: https://doi.org/10.30598
Abstrak
Sejarah masuknya etnis Tionghoa ke Indonesia pada umumnya tidak dapat dipastikan begitupun dengan kedatangan mereka di Pulau Geser kalaupun ada sumber yang membuktikan kedatangan etnis Tionghoa kebanyakan dari cerita masyarakat setempat dan juga beberapa bukti peninggalan dari keturunan Tionghoa yang masih ada sampai sekarang malah sudah kawin mawin dengan penduduk asli Geser. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana proses masuknya masyarakat Tionghoa di Pulau Geser, 2) Bagaimana Dinamika masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lokal di Pulau Geser. Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan-permasalahan itu, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu Heuristik, Verifikasi, Interpretasi, dan Historiografi dengan menggunakan teori dan konsep ilmu sosial lainnya yang relevan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : Menjelaskan proses kedatangan masyarakat Tionghoa di Pulau Geser dan interaksi dengan masyarakat lokal secara baik. Hal ini dapat diketahui dari ketelibatan masyarakat Tionghoa dalam pelaksanaan adat serta budaya lokal yang diterapkan dalam kehidupan mereka. Hingga kini masyarakat Tionghoa memainkan peran penting dalam berbagai sektor kehidupan di Pulau Geser baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Hal ini tampak dari sebutan Cina Geser dari beberapa politisi keturunan Tionghoa bahkan anggota DPRD Kabupaten Seram Bagian Timur dan juga Penjabat Sekertaris Daerah Provinsi Maluku saat ini adalah keterunan Tionghoa.
Kata Kunci
Etnis Tionghoa, Pulau Geser
Pendahuluan
Sejarah masuknya etnis Tionghoa ke Indonesia pada umumnya tidak dapat dipastikan begitupun dengan kedatangan mereka di Pulau Geser kalaupun ada sumber yang membuktikan kedatangan etnis Tionghoa kebanyakan dari cerita masyarakat setempat dan juga dari beberapa bukti peninggalan dari keturunan Tionghoa yang masih berada sampai sekarang malah sudah kawin mawin dengan penduduk asli Geser. Etnis Tionghoa sejak lama telah menjadi bagian dari peradaban di Maluku secara umum dan di Pulau Geser secara khusus. Mereka turut andil dalam merubah perilaku masyarakat pribumi Maluku, terutama dalam hal perdagangan hasil bumi dan laut sejak dulu. Ketika bangsa Eropa fokus pada perdagangan rempah-rempah, beberapa data juga menyebut bahwa pedagang Tionghoa kemudian membeli tanah dari penguasa-penguasa setempat untuk melakukan berbagai usaha mereka di bidang ekonomi.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika keberadaan orang-orang Cina di berbagai tempat termasuk di kepulauan Maluku membuat masyarakat lokal menyebut mereka dengan sebutan seperti “China Saparua”,
“China Dobo”, “China Namlea”, “China Banda”, “China Kei”, “Cina Geser” dan lain sebagainya, sesuai dengan tempat tinggal dan aktifitas perdagangan mereka. Sama seperti saat ini, sejak dahulu orang Tionghoa di
Lani
Jurnal
Jurnal Lani: Kajian Ilmu Sejarah & Budaya Oktober 2022 Volume 3 Nomor 2 Page 41-48
2746-8054 Online-ISSN 2746-8046 Print-ISSN
42
Pulau Geser memainkan peran penting dalam perdagangan lokal dan antar pulau di dalam kawasan kecil lainnya yang ada di Pulau Geser. Hampir setiap desa, bahkan yang sulit dijangkau oleh transportasi laut sekalipun, dapat dijumpai adanya „Toko China‟. Mereka terlibat aktif dalam perdagangan berbagai hasil alam, hasil kebun, hasil laut, dan juga penjualan barang kelontongan seperti pakaian, nampan, piring, gelas, muk/cangkir, dan lain sebagainya. Bahkan sistem „papalele‟ juga adalah suatu model kerja baru yang turut dipengaruhi oleh gaya berdagang orang Tionghoa. Mereka juga memperkenalkan sistem jual-beli dengan menyertakan uang atau barang berharga, dan manajemen pasca panen dalam bentuk „simpan uang‟. Dalam kehidupan sosial keagamaan, orang-orang Tionghoa Maluku cenderung memilih agama Kristen sebagai agama yang dianut.
Etnis Tionghoa yang berada di Pulau Geser seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa mereka sudah menjalin hubungan yang bukan saja sekedar antara individu yang satu dengan individu yang lain atau satu kelompok dengan kelompok yang lain tetapi hubungan mereka sudah lebih dari sekedar sebuah interaksi perdagangan sebab selama berada di Pulau Geser etnis Tionghoa sudah melakukan perkawinan dengan masyarakat setempat. Kehidupan sosial Etnis Tionghoa Pulau Geser agak berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya di daerah Maluku, di Pulau Geser pada umumnya hubungan antara masyarakat setempat dengan masyarakat Pulau Geser agak sedikit berbeda dalam kehidupan keseharian mereka, sebab nampak ada jarak sosial antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pulau Geser. Sejarah masuknya etnis Tionghoa di Pulau Geser diperkirakan sekitar tahun 1800an sampai dengan sekarang ini, maka terbentuklah etnis baru antara masyarakat Tionghoa dengan penduduk asli Geser.
Metode
Tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian sejarah. Dalam penelitian sejarah terdapat beberapa langkah atau tahapan-tahapan yang harus dilalui sebagaiamana penelitian ilmiah lainnya. Langka-langkah yang dikemukakan oleh Widya (1988: 18) dan Daliman (2012) meliputi : Heuristik, Kritik (verivikasi), Interpretasi, dan Historiografi.
1. Heuristik
Heuristik adalah langkah awal dalam penelitian sejarah yaitu dalam bentuk pengumpulan sumber- sumber. Sumber yang dikumpulkan bersifat primer, sekunder, berupa dokumen arsip resmi atau arsip perorangan, atau berupa buku.
2. Kritik Sumber atau Verivikasi
Setelah sumber-sumber sejarah dikumpulkan maka langkah berikutnya adalah melakukan verivikasi sumber yang diperoleh. Apakah sumber betul-betul yang diperlukan, apakah asli, atau ada kesangsian, maka perlu diuji kebenarannya untuk dijadikan sebagai fakta sejarah.
3. Interpretasi
43
Setelah data diuji kebenarannya baru tahap berikutnya membuat interpretasi atau membuat saling hubungan antar fakta. Interpretasi atau penafsiran atas fakta-fakta sejarah, terdiri dari (1) mentifact/
kejiwaan, (2) sociofact/ hubungan sosial, dan (3) artifact/ benda (Sartono Kartodirdjo, 1990 : 176).
Di sini dua hal yang harus dikerjakan peneliti yaitu analisis dan sintesis (Kuntowijoyo, 1995: 102).
4. Historiografi
Apakah historiografi itu? Secara etimologi Historiografi adalah pelukisan sejarah. Penulisan sejarah atau Historiografi adalah bagian akhir hasil penelitian sejarah yang diwujudkan dalam bentuk tulisan. Apa yang diperoleh oleh peneliti/penulis sejarawan berdasarkan data yang dihimpun dan diuji melalui metode sejarah kemudian menghasilkan fakta yang teruji kebenarannya baru ditulis dalam urutan waktu secara kronologis, sistematis, dan mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmiah.
Rangkaian fakta yang disusun secara kronologis tersebut kemudian dijelaskan hubungan antar faktanya sehingga menjadi suatu kisah sejarah.
Hasil Dan Pembahasan
1. Sejarah Masuknya Masyarakat Tionghoa di Pulau Geser
Hubungan antara Tiongkok dan Nusantara sudah terjalin berabad-abad lamanya, bahkan sebelum negara ini berdiri. Di masa kini etnis Tionghoa hidup berdampingan dengan etnis lainnya dengan damai selama berabad-abad dan mempengaruhi cara hidup masyarakat setempat. Keramik-keramik tertua Tionghoa yang tertua berasal dari Dinasti Song, ditemukan dalam jumlah besar hal ini merupakan bukti bahwa orang-orang Tionghoa telah datang sebelum abad ke 16-17 (Yerri Wirawan, 2002: 9). Selanjutnya dikatakan bahwa kemungkinan besar keramik yang tertua dibawah oleh para pedagang asing yang sedang menuju Maluku atau melalui perdagangan antara Makassar dan Filipina.
Memasuki abad 18 dan 19, situasi ekonomi dan daratan Tiongkok mempengaruhi laju imigrasi warganya. Perekonomian mengalami stagnasi di akhir kekuasaan Dinasti Qing. Pada waktu yang sama Belanda yang sudah datang di Nusantara membuka tambang-tambang baru dan memerlukan banyak tenaga kerja. Dibukanya terusan Suez juga mempengaruhi imigrasi besar-besaran wanita Tiongkok, sehingga laki- laki Tionghoa yang sebelumnya kawin dengan perempuan setempat cenderung mengambil wanita yang sebangsa sebagai isteri.
Selama abad 19, warga Tionghoa di Batavia sendiri meningkat 5 kali lipat dari 100.000 warga menjadi 500.000 warga. Di masa ini mulai muncul masalah rasialisme Tionghoa. Belanda dengan politik „devide et impera‟nya yang bertujuan memecah belah dan menguasai, memerlukan cara untuk melanggengkan kekuasaannya di Indonesia. Saat itu penduduk Tionghoa sudah mempunyai jaringan perdagangan yang dirintis berabad-abad lamanya selama jalur sutera terjalin. Maka timbul persaingan antara VOC dan
44
padagang Tionghoa. Belanda pun memberlakukan Pass dan Zoning System, yaitu mengelompokkan golongan Tionghoa di daerah tententu. Maka munculah apa yang kini disebut pecinan. Orang-orang Tionghoa harus memakai surat jalan untuk keluar dari daerahnya, mereka hanya boleh bersekolah di sekolah khusus Tionghoa. Belanda juga membagi penduduk menjadi 3 golongan, yaitu apa yang disebut penduduk Belanda, penduduk Asia Timur (Tionghoa) dan penduduk pribumi.
Sejak abad ke-3 cengkeh sudah dikenal secara umum oleh msyarakat Terqa di Mesopotamia dan Syria, dan diperkenalkan oleh bangsa Cina dan pedagang-pedagang Arab. Di Mesopotamia, cengkeh hanya dikonsumsikan oleh kelompok menengah ke atas sebagai pengharum mulut jika akan menghadap raja.
Cengkeh menjadi simbol status sosial. Dalam beberapa dokumen sejarah diungkapkan bahwa pala dan cengkeh sudah dikenal dikalangan bangsa Syria, Pliny, sejarawan Romawi juga menyebut tentang keberadaan rempah-rempah berupa cengkeh dan pala sebagai barang dagang mewah dan mahal yang ditemukan di pasar Romawi kuno sejak abad ke-3, dan semakin populer di pasar Eropa sekitar abad ke-10 Maluku sudah tercatat dalam tambo dinasti Tang di negeri China (618-906) yang menyebut tentang „Miliku’, yaitu suatu daerah yang dipakai sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan Holing (Kalingga) yang ada di sebelah Barat .W. P. Groenveldt memperkirakan ‘Mi-li-ku’ ini sebagai Maluku artinya sekurang-kurangnya Maluku sudah dikenal di negeri China pada abad ke-7. J.C. Van Leur menyebut: „Sejak abad pertama Masehi, Indonesia sudah turut mengambil bagian dalam perdagangan Asia Purba dengan jalan niaga yang melalui Asia Tenggara dari China di Timur ke Laut Tengah di bagian barat. Pada waktu itu Indonesia terkenal sebagai pengekspor rempah-rempah, bahan obat-obatan, kayu berharga, hasil-hasil hutan, binatang dan burung yang indah. Cengkih adalah satu-satunya tanaman yang hanya terdapat di Maluku waktu itu.
Pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut China mengetahui Maluku sebagai penghasil cengkeh, akan tetapi mereka merahasiakan jalan pelayarannya. ”Dokumen China pada masa dinasti Ming (1368-1643) menceritakan tentang keberadaan Maluku yang terletak di laut Tenggara. Sebelum itu, dan sampai dengan 1421, peta navigasi China mengenai keberadaan pulau rempah-rempah disimpan sebagai dokumen rahasia, dan yang dipublikasi adalah peta yang sudah diubah sistem navigasinya. Disebutkan bahwa Maluku memiliki
„gunung dupa‟ (incense mountain), dan jika telah „turun hujan‟, maka dupa itu berjatuhan menutupi tanah sehingga penduduk tidak mampu menghimpunnya karena banyaknya. Tempat menyimpannya banyak dan kemudian dibawa ke perahu-perahu pedagang untuk dijual. ” Gavin Menzies bercerita panjang lebar tentang bagaimana ekspansi dagang dan armada laut China menerobosi lautan dan membuat peta pelayaran lalu untuk sekian waktu lamanya „menyembunyikan‟ Maluku sebagai pulau rempah-rempah, beberapa abad kemudian baru diketahui oleh orang-orang Eropa.
Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Tionghoa yang ada pada Kabupaten Seram Bagian Timur, yakni di Pulau Geser berasal dari daratan Tiongkok Hok Kian Cwan Ciu dan Kanton dengan marga To
45
dan yang di Indonesiakan menjadi Thomas dan Oei yang di Indonesiakan menjadi Rumuy yang masuk pertama kali di Pulau Geser. Salah seorang “Pe” yang datang langsung dari Cwan Ciu menuju Pulau Geser, sesampainya di Pulau Geser beliau di sambut baik oleh raja maupun masyarakat Geser pada waktu itu.
Setelah beberapa dekade, beliau kembali ke Cwan Ciu dan kembali lagi ke Pulau Geser dengan mengajak sekitar 5-6 orang anak beliau dan setelah itu mulai membuka usaha bersama anak-anak beliau dengan menjual Tabako Kuning (Yance Thomas : 16 Juli 2022).
Agama awal yang dianut oleh masyarakat Tionghoa di Pulau Geser adalah Konghucu, tetapi seiring berjalannya waktu kurang lebih 80% sudah berpindah ke agama Kristen Protestan dan sebagian kecil ke agama Kristen Katolik dan 20% ke agama Islam. Dan tidak lagi melaksanakan tradisi-tradisi Cina karena sudah berpindah agama menjadi Kristen dan juga Islam, tradisi-tardisi Cina tersebut dilakukan hanya pada zaman dahulu kala saja ketika masih menganut agama Konghucu.
Tempat ibadah pun juga tak lagi di pergunakan atau di fungsikan sejak tahun 1960 sampai saat ini, hanya ada beberapa orang saja yang meluangkan waktu untuk membersihkan dan juga merawatnya.
Organisasi pun tidak ada lagi dalam masyarakat Cina Geser, organisasi hanya ada pada zaman dahulu kala saja dan tidak ada alasan pasti yang menjadi dasar hilangnya organisasi tersebut, karena masyarakat Cina Geser dahulu sangat kuat dalam persatuan sehingga organisasi pada zaman dahulu kala bisa terbentuk, sedangkan Cina Geser saat ini banyak yang berbeda pendapat sehingga organisasi tak lagi ada (Yance Thomas : Sabtu 16 Juli 2022).
2. Dinamika Masyarakat Etnis Tionghoa Dengan Masyarakat Lokal Pulau Geser.
a. Agama
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Tionghoa yang ada di Pulau Geser, mereka tidak lagi memeluk agama asli mereka yaitu Konghucu yang merupakan agama yang dianut oleh nenek moyang mereka yang datang pertama kali ke Pulau Geser. Adapun alasan mengapa mereka memilih untuk mengalihkan agama mereka karena pada zaman orde baru keberadaan masyarakat Tionghoa diseluruh wilayah Indonesia termasuk di Pulau Geser sangatlah tidak aman, karena pada zaman itu masyarakat Tionghoa disebut sebagai pendatang dan tidak memiliki status kewarganegaran yang sah sehingga membuat masyarakat Tionghoa yang ada di Pulau Geser memilih untuk mengalihkan agama menjadi Kristen maupun Islam dan juga merubah nama serta marga mereka yang dulunya bernama dan bermarga Cina menjadi Indonesia seperti contoh Oei Ek Phang menjadi Simon Rumuy, So Eng Keng menjadi Alexander Pietersz. Menurut Max Weber tindakan sosial adalah perbuatan manusia yang dilakukan untuk mempengaruhi individu lain di dalam masyarakat. Dengan kata lain, tindakan sosial adalah tindakan yang penuh makna subjektif bagi pelakunya.
Masyarakat Tionghoa di Pulau Geser sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi antar umat
46
beragama yang ada di Pulau Geser, yang dapat dilihat dari peneliti adalah keterlibatan masyarakat Tionghoa dalam segala aktivitas keagamaan yang dipraktekkan oleh orang-orang Tionghoa, diantaranya:
tahlilan, proses pemakaman, perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. (Wawancara dengan Edison Rumuy: Sabtu 8 September 2022).
b. Politik
Bukan hanya mahir dalam bidang bisnis dan juga berdagang saja, ada beberapa masyarakat Tionghoa yang terjun dalam dunia politik dan menjadi anggota DPRD Kabupaten Seram Bagian Timur, ASN dalam hal ini adalah Penjabat Sekertaris Daerah Maluku, Akademisi, Guru, dan juga ada beberapa yang menjadi anggota TNI maupun Polri (Wawancara dengan Muhammad Ismail Tella: Sabtu 8 September 2022).
c. Ekonomi
Dari segi ekonomi, masyarakat Tionghoa yang ada di Pulau Geser telah banyak memberikan perubahan serta membantu masyarakat Pulau Geser dalam ketersediaan bahan sembako dan juga menyediakan jasa pengiriman serta peminjaman tunai maupun non tunai kepada masyarakat Geser.
Kebanyakan dari masyarakat Tionghoa yang ada di Pulau Geser, secara keseluruhan, mereka melanjutkan usaha dari nenek moyang mereka yang pertama kali datang ke Pulau Geser yaitu menjual sembako. Seiring berjalannya waktu ada beberapa dari mereka yang memanfaatkan sektor perikanan Pulau Geser sebagai bisnis tambahan dan juga pada sektor pertanian yaitu cengkih, pala dan kopra yang diambil dari pengepul di pulau sebrang Geser atau dikenal dengan Geser Tanah Besar. (Wawancara dengan Edison Rumuy: Sabtu 8 September 2022).
d. Sosial
Komunikasi antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pulau Geser sudah terjalin baik sejak dahulu kala awal kedatangan mereka hingga sampai saat ini di Pulau Geser, komunikasi baik tersebut diwujudkan oleh generasi-generasi yang masih ada sampai saat ini di Pulau Geser dengan saling menghormati dan menghargai proses pelaksanaan acara keagamaan antara satu sama lain, yang dimana dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat Tionghoa dalam acara adat, tradisi, maupun tahlilan yang dilakukan oleh masyarakat Geser dan juga keterlibatan masyarakat Geser dalam proses keagamaaan yang dilakukan juga oleh masyarakat Tionghoa yakni dengan membantu masyarakat Tionghoa dalam membuat rumah ibadah dan juga berkunjung ke rumah orang-orang Tionghoa untuk bersilaturahim pada saat hari raya Natal. Masyarakat Tionghoa di Pulau Geser sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi antar umat beragama sebaliknya juga masyarakat Geser (Wawancara dengan Frans Rumuy : Sabtu 8 September 2022).
47 Simpulan
Melalui uraian pada hasil penelitian tentang Sejarah Dan Dinamika Budaya Etnis Tionghoa Di Pulau Geser Kecamatan Seram Timur Kabupaten Seram Bagian Timur Penulis mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Masyarakat Tionghoa yang ada di Pulau Geser berasal dari daratan Tiongkok tepatnya di daerah Hok Kian Cwan Ciu dan Kanton dengan marga To dan Oei yang datang awal ke Pulau Geser dengan berdagang Tabako Kuning.
2. Masyarakat Tionghoa di Pulau Geser sudah menjalin hubungan baik dan juga berbaur dengan masyarakat lokal sejak zaman dahulu hingga sampai dengan saat ini, hal tersebut dapat terlihat dari keterlibatan masyarakat Tionghoa dalam proses keagamaan masyarakat Geser diantaranya tahlilan, proses pemakaman, dan juga proses perayaan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha.
Daftar Pustaka
Agustan dan Sopian Tamrin. (2012). Merantau: Studi Tentang Faktor Pendorong Dan Dampak Sosial Ekonomi Terhadap Aktivitas Merantau Di Desa Sijelling Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone Oleh: Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makasar.
Eudoxia Binnendyk, dan Rina Pusparina. (2015). Dasar-Dasar Ilmu Sejarah. Ambon: Universitas Pattimura
Elly. M Setiadi. (2012). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana
Herimanto dan Winarno. (2009). IlmuSosial & Budaya Dasar. Jakarta: PT. Bumi Akasa Johan Pattiasina. (2017). Etnis Tionghoa Dalam Dinamika Masyarakat Kepulauan Kei.
Kaplan, D. (2002). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. (2019). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta Koentjaraningrat. (2000). Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Jambta.
Koentjaraningrat. (1981). Dasar-Dasar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Koengjaraninggrat. (1997). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Bandung: PT Djambatan Mulyadi. (1999). Psikologi Anak. Jakarta: Elex Media Kompetindo.
Nanang Martono. (2012). Sosiologi Perubahan Sosial, Prespektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Jakarta : Rajawali Pers
Supartono Widyosiswoyo. (2009). Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia
Tasmuji, Dkk. (2011). Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: IAIN Sunan
48
Ampel Press
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Wirawan.I.B. (2012). Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Penerbit Pranamedia Group.
Yerri Wirawan. (2013). Sejarah Etnik Tionghoa Makasar, Dari abad ke-7 Hingga ke-20. Jakarta: Penerbit PT.
Granmedia Jakarta