• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Akhir Debat Taylor Swift dan Big Machine Records

N/A
N/A
Fuadi Farhatul Auliak

Academic year: 2025

Membagikan "Laporan Akhir Debat Taylor Swift dan Big Machine Records"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Nama Kelompok:

• Nanda Harisah Qolbi /211501022

• Navira Almanzani Asya Saputri / 211501031

• Muhammad Annafi Bakhri / 211501033

• Fuadi Farhatul Auliak / 211501050 Mata Kuliah : HKI dan etika profesi

Dosen Pengampu : Primastiti Wening Mumpuni, S. Sn., M. Sn.

___________________________________________________________________________

LAPORAN : Kasus antara Taylor Swift dan Big Machine Records mengenai hak kepemilikan atas master rekaman lagu-lagu dari 6 album Taylor Swift.

Latar Belakang.

Konflik dalam kasus Taylor Swift dan Big Machine Records berfokus pada kepemilikan master rekaman enam album pertama Swift. Setelah menandatangani kontrak dengan Big Machine Records pada usia 15 tahun, Swift merilis enam album di bawah label tersebut, yang memiliki hak penuh atas master rekaman dari album-album tersebut. Pada tahun 2018, Swift meninggalkan Big Machine Records dan menandatangani kontrak baru dengan Republic Records, bagian dari Universal Music Group, yang memberinya hak kepemilikan atas master rekaman semua musik yang ia buat mulai dari saat itu. Namun, pada tahun 2019, Big Machine Records dijual ke Ithaca Holdings, perusahaan milik Scooter Braun. Penjualan ini mencakup hak kepemilikan atas master rekaman enam album pertama Taylor Swift, yang memicu kemarahan Taylor Swift karena ia merasa tidak diberi kesempatan untuk membeli kembali master rekamannya. Selain itu, Taylor Swift mengungkapkan ketidaknyamanan dan keberatannya terhadap Scooter Braun, yang ia tuduh telah melakukan intimidasi terhadapnya di masa lalu. Konflik ini semakin memanas ketika Swift menyatakan bahwa penjualan tersebut dilakukan tanpa persetujuannya dan bahwa ia hanya mengetahui tentang penjualan itu ketika diumumkan kepada publik. Dalam upaya untuk mendapatkan kembali kontrol atas musiknya, Taylor Swift memutuskan untuk merekam ulang enam album pertamanya, memungkinkan ia memiliki dan mengendalikan versi baru dari lagu-lagu tersebut.

(2)

Poin Perdebatan.

Tuntutan 1. Pihak Taylor Swift tuntutan pelanggaran pada perusahaan rekaman big machine yang dimana Taylor tidak boleh membawakan lagu-lagunya di setiap pertunjukannya.

Membuat Taylor tidak dapat haknya sebagai pencipta dan pemilik lagu.

pasal 1 ayat (1) UU Hak Cipta menjelaskan bahwa hak cipta melekat secara otomatis pada karya musik dan Hak eksklusif melekat pula pada pencipta musik serta pemilik atas haknya tersebut. Hal tersebut membuat setiap orang tidak dapat memperbanyak dan mengeksploitasi hasil karya ciptaan tanpa seiijin penciptanya.

Sanggahan 1. Pengakuan dari pihak Big Machine Records menyatakan bahwa mereka tidak pernah sekalipun menyatakan menghalangi Taylor menyanyikan lagu di AMA atau untuk digunakan di tayangan di Netflix. dan kalau memang iya, kami memiliki hak untuk melarangnya karena (dijelaskan pada Pasal 89 ayat (1) huruf b UUHC) Pemegang hak cipta rekaman suara biasanya Pelaku Pertunjukan, Produser atau Recorder Company . Berdasarkan UUHC, hak eksklusif yang diberikan bagi pelaku pertunjukan, produser, dan recorder company berupa hak Terkait (Pasal 1 angka 5 UU HC). Hak eksklusif pada hak terkait meliputi hak moral dan hak ekonomi (Pasal 20 UU HC).

karena Big Machine merupakan media yang memproduksi lagu Taylor Swift sebagai penghasil rekaman final atas lagu Taylor Swift memegang hak cipta atas rekaman suara. dari tuduhan tersebut pihak BMR memiliki hak atas Rekaman, aransemen dan lain lain. di mana taylor swift hanya memiliki hak sebagai pencipta lagu (yang terdiri dari lirik lagu, rekaman awal, maupun vokal) jadi untuk aransemen rekaman suara dan final record haknya masih dimiliki oleh pihak BMR.

lalu pada pasal 8 ayat 1 tentang UUHC dijelaskan juga jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang hak cipta adalah pihak yang, untuk, dan dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan dengan tidak mengurangi hak pencipta sebagai pemilik hak cipta untuk memperluas sampai keluar dari hubungan dinas tersebut.

Tuntuan 2. Pihak Taylor Swift menuntut pihak BMR yang menjual album taylor tanpa izin Taylor Swift sendiri. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau

(3)

pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e dan/atau huruf g untuk penggunaan secara komersil dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah).

Selain itu dalam Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta juga dijelaskan bahwa "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan yang secara langsung atau tidak langsung melanggar hak eksklusif pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)." Pasal 72 ayat (1) UU Hak Cipta Indonesia memberikan dasar hukum bagi musisi untuk menggugat penjualan lagunya tanpa izin, dengan ancaman pidana penjara dan/atau denda bagi pelanggar hak cipta.

Sanggahan 2. Bantahan atas tuduhan terssebut. membantah atas tuduhan yang dilontarkan dari pihak taylor swift. kami memiliki barang bukti kalau pernyataan dan tuntutan dari pihak mereka tidak benar adanya.

karena agak aneh jika Taylor Swift mengaku tak tahu soal karya-karyanya yang hendak dibeli oleh Ithaca Holdings LLC., perusahaan media milik Scooter Braun.

Sebab, ayah kandung Taylor Swift, Scott Swift, merupakan salah satu pemegang saham di Big Machine Records. Sebelum menjual Big Machine, karena saya telah memberikan informasi tentang rencana penjualan label ke semua pemegang saham.

Para pemilik saham,saya jelaskan, telah menggelar rapat soal kesepakatan yang tertunda dengan Ithaca Holdings. Mereka memiliki waktu tiga hari untuk membahas semua rincian transaksi yang sudah lebih dulu diusulkan.

"Hasil rapat terakhir, Jumat 28 Juni, suara mayoritas berjumlah 92 persen dari total lima pemegang saham," tulis Borchetta di situs Big Machine Records.”

Oleh karena itu, BMR selaku pihak yang tergugat dengan tegas membantah tuduhan yang mengatakan kalau akuisisi tersebut terjadi tanpa sepengetahuan Swift. Borchetta juga mengaku sudah memberikan informasi langsung kepada taylor swift.

(4)

Borchetta menyebut dirinya mengirim pesan singkat ke Taylor Swift pada 29 Juni malam, sehari sebelum kabar pembelian Big Machine oleh Scooter Braun diumumkan.

Gambar 1. surat kontrak penjulan label ke Ithaca Holdings. Sumber : Instagram

@scott.borchetta Kesimpulan.

Kasus Taylor Swift dan Big Machine Records menyoroti masalah signifikan terkait kepemilikan master rekaman dalam industri musik. Taylor Swift, yang tidak diberi kesempatan untuk membeli kembali master rekamannya, menghadapi situasi di mana hak atas karya kreatifnya jatuh ke tangan Scooter Braun, seseorang yang ia tuduh telah mengintimidasinya.

Hal ini mencerminkan ketegangan antara kepentingan bisnis label rekaman dan hak serta kesejahteraan artis. Keputusan Taylor Swift untuk merekam ulang enam album pertamanya menunjukkan upayanya untuk mendapatkan kontrol atas musiknya dan membuka diskusi lebih luas mengenai hak-hak artis, transparansi kontrak, dan kontrol kreatif dalam industri musik.

Jalan keluar dari konflik ini meliputi beberapa langkah: pertama, rekam ulang musik memungkinkan Taylor Swift memiliki dan mengontrol versi baru dari lagu-lagunya, sekaligus mendorong artis lain untuk mempertimbangkan opsi serupa; kedua, reformasi kontrak musik untuk memastikan transparansi dan keadilan bagi artis, termasuk klausul pembelian kembali master rekaman; ketiga, membangun dialog terbuka dan menggunakan mediator independen untuk menyelesaikan perselisihan dan menemukan solusi yang saling menguntungkan; dan keempat, regulasi pemerintah dan dukungan asosiasi industri untuk melindungi hak-hak artis dan mempromosikan praktik kontrak yang adil. Dengan langkah-langkah ini, industri musik

(5)

dapat bergerak menuju ekosistem yang lebih adil dan transparan, di mana artis memiliki kontrol lebih besar atas karya kreatif mereka, dan konflik seperti yang dialami oleh Taylor Swift dapat diminimalkan.

Kasus Serupa.

• Prince dan Warner Bros. Records:

Konflik: Pada tahun 1993, Prince mengubah namanya menjadi simbol dan menulis kata "slave" di wajahnya sebagai protes terhadap Warner Bros. Records, yang memiliki hak atas master rekaman dari musiknya. Prince ingin kontrol penuh atas musiknya dan berjuang untuk mendapatkan kembali kepemilikan master rekaman.

• The Beatles dan EMI/Apple Corps:

The Beatles menghadapi masalah kepemilikan master rekaman dengan EMI dan kemudian dengan Apple Corps, perusahaan yang mereka dirikan. Konflik hukum ini berlangsung selama bertahun-tahun dan melibatkan berbagai masalah kepemilikan dan kontrol atas musik mereka.

Sumber.

• https://youtu.be/uljP3x7_42M?si=n61Fr3rNA5EGTc7s

• https://kumparan.com/kumparanhits/pemilik-label-musik-big-machine-angkat-bicara- soal-kasus-taylor-swift-1rOCvQdHOX9/full

• https://smartlegal.id/hki/hak-cipta/2022/05/12/karena-hak-cipta-taylor-swift- berseteru-dengan-perusahaan-rekaman/

• https://heylaw.id/blog/perjuangan-taylor-swift-atas-hak-kepemilikan-lagunya

• https://www.today.com/popculture/music/scooter-braun-taylor-swift-feud-rcna50205

• https://www.cosmopolitan.com/entertainment/celebs/a29807801/taylor-swift-scooter- braun-scott-borchetta-tyrannical-control-amas-netflix-doc/

• https://www.vogue.com/article/taylor-swift-scooter-braun-feud-amas-explained

Referensi

Dokumen terkait