Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelatihan empati dalam meningkatkan perilaku prososial anak sekolah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara skor perilaku prososial anak sebelum dan sesudah mengikuti Pelatihan Empati (t=4,359; p=0,000). Dengan demikian, hipotesis penelitian diterima dan disimpulkan bahwa pelatihan empati efektif untuk meningkatkan perilaku prososial anak sekolah dasar.
Anak yang memiliki perilaku prososial yang rendah memiliki bullying yang tinggi terhadap temannya (Cahyaningrum, Handarini, & Simon, 2018; Hammond, Waugh, Satlof-Bedrick & Brownell, 2015). Perilaku prososial juga berdampak positif pada prestasi akademik dan preferensi sosial anak (Caprara, Barbaranelli & Zimbardo, 2000). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa perilaku prososial anak dapat dikembangkan melalui pelatihan, termasuk pelatihan empati.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah pelatihan empati dapat meningkatkan perilaku prososial anak usia sekolah dasar. Oleh karena itu, menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pelatihan empati terhadap perilaku prososial anak.
Identifikasi Masalah
Tujuan Penelitian
Perilaku Prososial
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek perilaku prososial adalah: berbagi, bekerja sama, membantu, dapat berteman, peduli, menerima pendapat orang lain, jujur dan memberi. Chernyak (2018) mengembangkan skala peringkat perilaku prososial untuk anak usia 8 hingga 12 tahun dengan tiga pilihan jawaban, dari “tidak pernah (1)” hingga “sering (3)”. Faktor lain yang dikatakan mempengaruhi perilaku prososial termasuk usia, pertimbangan moral dan non-moral, perkembangan kognitif, bahasa dan motorik, budaya (Hammond et al, 2015), keterampilan kognisi sosial (Spinrad et al, 2015), usia dan kognisi sosial (Knafo -Noam & Markovitch, 2015).
Knafo-Noam & Markovitch (2015) melanjutkan bahwa faktor genetik dan temperamen juga dapat berperan dalam proses pembentukan prososial, namun pada akhirnya perbedaan emosi orang tua akan mempengaruhi perilaku prososial anak. Menggunakan metode quasi-experimental, Schonert-Reichl et al (2012) menunjukkan pada anak kelas 4 sampai kelas 7 bahwa perilaku prososial anak dapat ditingkatkan melalui pelatihan.
Pelatihan Empati
Van Berkhout dan Malaouff (2015) menyimpulkan dari studi meta-analisis mereka bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami emosi orang lain, merasakan emosi atau perasaan yang sama dengan orang lain, dan mampu memberikan komentar yang akurat atas emosi yang dirasakan orang lain. Artikel tersebut juga membahas apakah empati merupakan respon satu dimensi (kasih sayang atau kognisi) atau konsep multidimensi. Namun, Berkhout dan Malaoff (2015) menyimpulkan dari studi meta-analisis bahwa empati merupakan konsep multidimensi yang terdiri dari dimensi afek, perilaku dan kognisi.
Affect muncul dari feeling atau perasaan, kognisi tercermin dari pemahaman atau pemahaman, dan dimensi behavioral muncul dari komentar yang akurat tentang perasaan orang lain. Dimensi yang dikemukakan oleh Berkhout dan Malaoff (2015) digunakan peneliti sebagai dasar untuk mengembangkan instrumen pengukuran empati. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ketika anak diberikan pelatihan empati maka kehangatan, kepedulian, kasih sayang dan kelembutan terhadap orang lain akan berkembang dalam diri anak (Ariansyah, dkk, 2018).
Empati memungkinkan orang untuk menerima emosi orang lain, membedakan antara emosi sendiri dan emosi orang lain, serta menempatkan diri sesuai dengan sudut pandang orang lain (Reiss, 2017). Saat anak merasakan emosi tersebut, saat berhadapan dengan orang lain, mereka akan menjadi lebih prososial dalam perilakunya.
Hipotesis
Pendekatan Penelitian
Subjek Penelitian
Dengan demikian, subjek penelitian ini adalah anak laki-laki dan perempuan berusia 10 hingga 12 tahun yang berjumlah 20 orang.
Alat Ukur
Skala Prososial
Skala Empati
Prosedur Penelitian
Dari seluruh siswa kelompok 5A, 20 orang tua memberikan izin kepada anaknya untuk mengikuti pelatihan empati. Persetujuan diberikan oleh orang tua dengan menandatangani formulir persetujuan setelah membaca formulir persetujuan yang diberikan oleh guru kelas. 4 Post-test 14 Maret 2020 Setelah selesai sesi 4 pelatihan dilanjutkan dengan skala penelitian untuk data post-test.
Pelatihan Empati
1 Februari 22 2020 17 Ice-breaking, scaling, brainstorming tentang pengalaman, belajar tentang empati dari video, pembekalan (kelompok kecil). 2 29 Februari 2020 15 Mencairkan suasana, memberi timbangan, mengevaluasi pertemuan sebelumnya, belajar empati melalui emotikon, pembekalan emotikon yang digambar subjek (kelompok kecil). 3. 7. Maret 2020 18 Pemecahan masalah, pemberian timbangan, evaluasi pertemuan sebelumnya, pembelajaran emosi dari gambar dan video, pembekalan (kelompok kecil), pemberian pekerjaan rumah.
Beberapa anak ada yang tidak mengikuti semua sesi, ada yang tidak mengikuti pre-test atau tidak mengikuti post-test. Adanya beberapa kendala di lapangan (SIM yang panjang, bentrok dengan jadwal tes menengah, dan piknik) membatasi waktu untuk pelatihan empati, sehingga dari segi efisiensi waktu, pengumpulan data postes dilakukan secara bersama-sama setelah tanggal 4 sesi latihan selesai. Saat post test dipercepat, ada beberapa anak yang menyatakan kecewa dan mengatakan harus ada pertemuan lagi di minggu berikutnya karena sepertinya anak-anak menyukai latihan yang telah mereka ikuti berkali-kali.
Akselerasi posttest juga karena adanya pembatasan kebijakan belajar di rumah (akibat pandemi Covid 19). Kebijakan belajar di rumah ini juga menimbulkan masalah pada perencanaan penggunaan kelompok kontrol, khususnya pengumpulan data post-test.
Analisis Data
Hasil Penelitian
Analisis deskriptif
Dari analisis deskriptif data orang tua diperoleh data tentang pendidikan dan pekerjaan orang tua, baik ayah maupun ibu.
Analisis Inferensial
Pembahasan
Hammond et al (2015) menyatakan bahwa perkembangan perilaku prososial akan diawali dengan munculnya empati yaitu upaya seseorang untuk memperhatikan dan memahami perasaan tertekan orang lain dan upaya untuk mengurangi kesusahan yang dirasakan dari orang lain. Pendapat ini sejalan dengan Zahn-Waxler & Schoen (2015) bahwa perilaku prososial biasanya disebabkan oleh perasaan empati atau simpati dan keinginan untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan orang lain. Empati memungkinkan individu untuk berbagi pengalaman, kebutuhan, dan keinginan serta merupakan salah satu jembatan emosional yang akan mengantarkan individu pada perilaku prososial (Riess, 2017). Merujuk pada pendapat van Beckhout & Malaof, 2015), empati terdiri dari dimensi mengetahui, mencintai dan berperilaku.
Jika anak dapat berkomentar secara langsung dan relevan tentang emosi orang lain, hal ini akan mendorong anak untuk lebih spontan dalam melakukan berbagai perilaku prososial. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pelatihan empati dapat meningkatkan perilaku prososial, antara lain Arniansyah et al (2018), Bashori (2017), Berkhout & Malaoff (2015), Reiss (2017), dan Schonert-Reichl et al (2012). Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan pelatihan empati dalam meningkatkan perilaku prososial memerlukan proses waktu, keberhasilan tidak dapat dilihat secara langsung.
Namun, dengan perubahan kebijakan sekolah akibat pandemi Covid 19, data prososial anak dari orang tua baru bisa didapatkan sebelum pelatihan empati. Dibandingkan dengan skor pada skala perilaku prososial anak sebelum pelatihan, ada perbedaan yang signifikan antara pretest prososial anak dan prososial anak dari perspektif orang tua sebelum pelatihan (t=3,642; p=0,002). Rata-rata perilaku prososial anak dari sudut pandang orang tua (mean 10,53) lebih besar daripada rata-rata perilaku prososial dari sudut pandang anak (mean 8,78).
Namun, ketika rata-rata nilai prososial anak oleh orang tua sebelum pelatihan dibandingkan dengan nilai prososial anak setelah post-test, ditemukan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata di antara mereka (t=0,74; p=0,47 ). Rata-rata nilai prososial anak oleh orang tua sebesar 10,53 sama dengan rata-rata nilai prososial anak pada posttest sebesar 10,88, bahkan rata-rata anak pada posttest sedikit lebih tinggi dari pada orang tua pada pretest. tes. Hanya saja, belum ada data tentang perilaku prososial anak dari sudut pandang orang tua setelah anaknya sudah mengikuti pelatihan, atau apakah orang tua melihat anaknya tetap sama atau meningkat setelah mengikuti pelatihan empati.
Tampaknya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai masalah ini, terutama untuk melihat seberapa konsisten orang tua dalam menilai perilaku prososial anaknya, apakah benar orang tua cenderung melebih-lebihkan anaknya sendiri. Tidak ada tindak lanjut, sehingga tidak ada data yang mendukung bahwa perilaku prososial anak akan berlanjut tanpa pelatihan empati. Pengukuran perilaku prososial anak dari sudut pandang orang tua hanya dilakukan sebelum pelatihan empati, tidak ada data setelah pelatihan empati.
Kesimpulan
Saran
Berdasarkan tinjauan teori, hipotesis yang diajukan adalah “Terdapat perbedaan hasil perilaku prososial pada anak sebelum dan sesudah pelatihan empati”. Chernyak, Harvey, Tarullo, Rocker, & Blake (2018) menyatakan bahwa perilaku prososial anak merupakan aspek perkembangan yang bersifat universal. Anak diharapkan memiliki perilaku prososial, namun faktanya masih ada anak usia sekolah dasar yang kurang atau belum memiliki perilaku prososial.
Bagaimana jika perilaku ini berlanjut sampai anak tumbuh dan menjadi dewasa?" Dengan demikian peneliti merasa perlu mengembangkan perilaku prososial pada anak usia sekolah dasar melalui pelatihan. Empati memungkinkan individu untuk berbagi pengalaman, kebutuhan, dan keinginan serta merupakan salah satu jembatan emosional yang akan mengantarkan individu pada perilaku prososial (Riess, 2017). Dengan demikian, rumusan masalah yang muncul adalah: “Apakah pelatihan empati efektif untuk meningkatkan perilaku prososial anak usia sekolah dasar?”.
Dalam penelitian Schonert-Reicchl dkk, Skala Perilaku Prososial diisi oleh teman dan guru, dengan peringkat dari 1 (tidak pernah) hingga 5 (sangat sering). Dengan kajian kualitatif, Matondang (2016) menyimpulkan bahwa perilaku prososial anak dapat dilihat dari aspek kerjasama, persahabatan, tolong menolong, berbagi dan kepedulian. Zahn-Waxler & Schoen (2015) menyatakan bahwa perilaku prososial terdiri dari perilaku berbagi, membantu, membuat orang lain nyaman, melindungi dan membela orang lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek perilaku prososial adalah berbagi, kerjasama, membantu, berteman, peduli termasuk pandangan orang lain, jujur dan memberi. Chernyak (2018) menyusun skala peringkat perilaku prososial untuk anak usia 8 hingga 12 tahun menggunakan tiga pilihan jawaban, dari “tidak pernah (1)” hingga. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku prososial anak antara lain jenis kelamin (Baillargeon et al, 2009), usia, pertimbangan moral dan non moral, perkembangan kognisi, bahasa dan keterampilan motorik, budaya (Hammond et al, 2015), keterampilan kognitif sosial (Spinrad et al., 2015), usia dan kognisi sosial (Knafo-Noam & Markovitch, 2015).
Schonert-Reichl et al (2012) telah membuktikan, dengan menggunakan metode eksperimen semu pada anak kelas 4 sampai 7, bahwa perilaku prososial anak dapat ditingkatkan melalui pelatihan empati. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan adalah: “Terdapat perbedaan skor perilaku prososial pada anak sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan empati, skala perilaku prososial anak diselesaikan tidak hanya oleh anak, tetapi juga oleh salah satu orang tua sebelum pelatihan dilakukan, namun tidak ada data dari orang tua setelah pelatihan karena kegiatan sekolah terhenti akibat pandemi covid.
Hasil perbandingan nilai rata-rata pada tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata perilaku prososial anak sebelum dan sesudah pelatihan empati (t=4,350; p=0,000). Dengan demikian, hipotesis penelitian yang berbunyi “Ada perbedaan rata-rata perilaku prososial pada anak sebelum dan sesudah diberikan pelatihan empati”, dapat diterima. Terdapat perbedaan perilaku prososial pada anak usia sekolah dasar sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan empati.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pelatihan empati dapat meningkatkan perilaku prososial anak usia sekolah dasar.