Mendeskripsikan penilaian positif hukum terhadap praktik peradilan hakim agung mengenai pidana perampasan hak politik pelaku korupsi. Untuk mendeskripsikan tinjauan hukum Islam terhadap yurisprudensi hakim Mahkamah Agung tentang hukuman perampasan hak politik pelaku korupsi.
Metodelogi Penelitian
Jenis Penelitian dan Pendekatan
Tipologi penelitian ini adalah model penelitian kepustakaan yaitu dengan mempelajari dan mengkaji materi-materi yang berkaitan dengan permasalahan antara hukum positif dan hukum Islam dalam yurisprudensi hakim Mahkamah Agung tentang pidana perampasan hak politik, oleh karena itu metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Oleh karena itu, dari sudut pandang peneliti, peneliti ingin mengkaji undang-undang yang menggunakan pendekatan komparatif.12 Penggunaan pendekatan komparatif ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan menurut hukum positif dan Islam dalam menghukum perampasan hak politik bagi koruptor. orang.13 .
Pengumpulan Data
Sumber penelitian sekunder adalah sumber legal yang dipublikasikan dan tidak berupa dokumen resmi. Sumber penelitian sekunder dalam hal ini adalah buku, kamus, website internet, yang menunjang kelengkapan data yang dibutuhkan.
Analisis Data
Kajian Teoritik
Yurisprudensi Menurut Hukum Positif a. Pengertian Yurisprudensi
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk peradilan yang memuat peraturan atau ketentuan hukum yang mengikat pihak-pihak yang berkepentingan atau dipidana. Oleh karena itu, di Indonesia pada prinsipnya hakim tidak terikat pada “Preseden” atau keputusan hakim-hakim sebelumnya mengenai perkara atau permasalahan hukum yang serupa dengan apa yang akan diputuskannya.
Macam-Macam Hukuman dalam Hukum Positif
Pencabutan hak-hak tertentu adalah hak orang yang bersalah, yang dapat dicabut dengan penetapan hakim dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang, yang meliputi terlebih dahulu memangku semua jabatan pada jabatan-jabatan tertentu. Pembayaran ganti rugi yang sebesar-besarnya terhadap harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Pencabutan hak poltik
Berdasarkan jenis-jenis hukuman yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti akan membahas tentang hukuman bagi pencabutan hak politik. Tujuan dari pencabutan hak politik adalah untuk memberikan efek jera bagi oknum koruptor agar tidak kembali melakukan kejahatannya.
Yurisprudensi Menurut Hukum Islam
Ketahuilah Al-Qur'an dan Sunnah terlebih dahulu. Syarat pertama ini disepakati oleh seluruh ulama Ushul Fiqh. Ibnu al-Hummam, mengatakan bahwa ilmu Al-Qur'an dan as-Sunnah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Seorang mujtahid wajib menguasai bahasa Arab karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab sebagai sumber syariat.
Para ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid harus memahami secara mendalam ayat-ayat yang membahas hukum-hukum dalam Al-Qur'an yang kurang lebih berjumlah 500 ayat. Namun dalam menguasai ayat-ayat hukum tersebut, seorang mujtahid juga harus memahami apa yang tertulis dalam Al-Qur'an. Ijma' artinya kesepakatan, yaitu persetujuan para ulama dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang timbul.
Macam-macam Hukuman dalam Hukum Islam
Hukuman Qishash adalah hukuman dasar atas pelanggaran yang melibatkan perampasan jiwa atau bagian tubuh dengan sengaja, seperti dengan sengaja membunuh, melukai atau menghilangkan bagian tubuh. Hukuman Ta'zir adalah hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap Allah SWT dan hak-hak hamba yang tidak ditentukan dalam Al-Qur'an dan Hadits, yang memberikan pendidikan kepada terpidana sekaligus mencegahnya mengulangi perbuatan serupa. Hukuman pokok (Uqubah Ashliyah) adalah hukuman yang ditetapkan terhadap jari yang bersangkutan sebagai hukuman yang nyata, misalnya hukuman potong tangan untuk jari karena pencurian.
Hukuman pengganti (Uqubah Badaliyah) adalah hukuman yang menggantikan hukuman pokok jika hukuman utama tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash. Hukuman tambahan (Uqubah Taba’iyah) adalah hukuman yang mengikuti hukuman utama tanpa memerlukan keputusan khusus, seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarganya. Hukuman tambahan (Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok, dengan syarat ada keputusan hakim tersendiri dan syarat inilah yang membedakannya dengan hukuman tambahan.
Hukuman Ta’zir
Ta'zir berasal dari kata at-ta'zir (menurut bahasa) yang berarti membesarkan dan menolong. Artinya, hukuman tertinggi yaitu ta’zir juga bisa memberatkan pelakunya, seperti hukuman mati atau pengasingan. Perbuatan yang kami sebutkan di atas merupakan sebagian dari jarimahta'zir yang termasuk dalam ta'zirsyara' atau ditentukan oleh syara'.
Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi'i, hukuman ta'zir yang paling tinggi adalah yang paling rendah yang mereka terima. Menurut Imam Hanafi, ta’zir paling rendah adalah 40 kali jika penyebabnya adalah minum khamr. Menurut Imam Syafi'i dan Imam Hambali sebanyak 19 kali, sedangkan menurut Imam Malik hakim boleh melakukan ta'zir sebanyak yang mereka kira.
عْنَمْلا
Hukuman mati berarti penguasa dapat memutuskan hukuman mati bagi pelaku ta'zir; misalnya orang koruptor dihukum gantung. Pelaksanaan ta’zir menjadi kewenangan pemerintah (imam), karena pemerintahlah yang mempunyai kekuasaan atas umat Islam. Dalam Subul as-Salam disebutkan bahwa menjatuhkan hukuman ta'zir adalah hak Imam (pemerintah), dan bukan hak orang lain, kecuali tiga orang berikut: 69.
Seorang majikan boleh saja menjatuhkan sanksi ta'zir kepada budaknya karena kelalaiannya dalam memenuhi hak majikannya. Seorang suami dapat memberikan sanksi ta'zir kepada istrinya jika istrinya durhaka, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an. Dalam istilah fiqh, hikmah (احلََصا) ini disebut tahdzib (بی دَهت) dan ta'dib (بید اََت).
بيد اتلل دي زغتلا
Pencabutan Hak Politik Menurut Hukum Positif
- Teori Absolut atas Teori Pembalasan
- Teori Relatif atau Teori Tujuan
- Teori Gabungan
Oleh karena itu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mempunyai pola pemidanaan yang khusus terkait dengan persoalan tindak pidana korupsi, dan baru-baru ini putusan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa dalam putusannya terhadap pelaku tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung memperberat hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. koruptor yaitu dengan tambahan pidana perampasan hak bagi pelaku korupsi, putusan ini merupakan rumusan delik pidana pokok dari KUHP pada Pasal 18.75 UU Tindak Pidana Korupsi. pencucian uang dengan membeli dana atas nama orang lain.
Dengan demikian, dalam contoh kasus yang diuraikan di atas, Irjen Djoko Susilo divonis pencabutan hak politik berdasarkan KUHP pasal 10 huruf b dan UU Tipikor pasal 18, hukuman tersebut merupakan pidana tambahan. Menurut teori ini, hukuman dijatuhkan semata-mata karena seseorang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana dan setiap kejahatan harus disusul dengan hukuman, apapun yang terjadi, tanpa tawar-menawar. Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana mempunyai tujuan. Tujuan penjatuhan sanksi pidana sangat dipengaruhi oleh filosofi yang dijadikan dasar ancaman dan penjatuhan pidana. Ada dua, yaitu keadilan berdasarkan filosofi retribusi. (retributif). justice) dan keadilan yang berdasarkan pada falsafah pemulihan (restorative justice), sehingga KUHP menyesuaikan diri dengan falsafah keadilan yang lebih condong pada sanksi yang bersifat retributif (retributive justice).
Pencabutan Hak Politik Menurut Hukum Islam
Adapun sanksi hukum bagi pelaku risywah nampaknya tidak berbeda jauh dengan sanksi hukum bagi pelaku ghulul yaitu hukuman ta’zir, karena keduanya tidak termasuk dalam ranah qishas dan hudud. Dalam tinjauan hukum pidana Islam, pola pemidanaan UU Tipikor pada Pasal 18 dan Pasal 10 KUHP tentang pidana tambahan perampasan hak politik dikategorikan sebagai tindak pidana ta’zir. yang artinya hukuman yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan Hadits. Namun dalam hal sanksinya diserahkan kepada penguasa atau hakim yang tetap mengacu pada Maqashidusy Syariah, hakim harus mengacu pada tujuan syariat, situasi dan kondisi lingkungan, serta keadaan koruptor dalam menentukan. hukuman. Sanksi ta'zir ini sangat beragam atau berbeda-beda sesuai dengan kedudukan dan kondisi masyarakat, sesuai dengan tingkat pendidikan anggota masyarakat, dan kesemuanya itu menjadi kompetensi penguasa atau hakim setempat dalam memutus peradilan.92 .
Jika kondisinya seperti ini maka hukuman khususnya hukuman ta’zir bisa berbeda-beda sesuai dengan perbedaan pelakunya, karena diantara pelaku ada yang hanya perlu teguran, ada juga yang hanya perlu cambuk sedikit saja. , dan ada juga yang perlu diikat dengan beberapa helai bulu mata. Bentuk sanksi ta’zir lainnya adalah pemberhentian dari jabatan. Yang dimaksud dengan pemberhentian (al-azl) adalah melarang seseorang melakukan pekerjaan tertentu atau menurunkan atau memberhentikannya dari tugas atau jabatan tertentu. Sanksi Ta'zir berupa pemecatan dari dinas atau jabatan dapat diterapkan kepada setiap pegawai yang melakukan jihad, tidak peduli apakah hal itu berkaitan dengan hal lain.
Persamaan dan Perbedaan Pencabutan Hak Politik Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
- Persamaan Pencabutan Hak Politik Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
- Perbedaan Pencabutan Hak Politik menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
Adapun pola hukuman pencabutan hak politik dalam hukum Islam dapat dikaitkan dengan hukuman tambahan (Uqubah Tabaiyah) yang merupakan tambahan pada kalimat pokok. Hukuman tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila termasuk dalam kalimat pokok. Hukuman pencabutan hak politik dalam UU Tipikor dapat dilihat termasuk permintaan Maslahat berupa jalb al-masalih wa dar’ al-mafasid, karena hukuman ini bertujuan untuk merugikan keuangan negara atau perekonomian negara guna merusak keuangan negara atau perekonomian negara. menyelamatkan keuangan negara atau perekonomian negara. kesejahteraan rakyat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai persamaan hukuman pencabutan hak politik dalam hukum positif dan.
Dari segi pidana, pidana pencabutan hak politik dalam hukum positif dijelaskan secara jelas secara khusus pada Pasal 10 KUHP dan Pasal 18 UU Tipikor, sedangkan dalam hukum Islam pidana pencabutan hak politik termasuk dalam pidana. untuk ta'zir, namun dalam Hukum Islam tidak ada penjelasan khusus mengenai pencabutan hak politik atau dalam hal ini. Pidana pencabutan hak politik para koruptor menurut hukum positif dalam penjatuhan pidananya semata-mata untuk membalas dendam, membinasakan, membuat terpidana tidak berdaya dan memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana korupsi, bila dengan pidana tersebut akan menimbulkan akibat yang tidak dapat diterima oleh seseorang. lagi mempunyai akses terhadap jabatan publik. Mengenai ketentuan jangka waktu pidananya, pidana perampasan hak politik menurut hukum positif tidak mempunyai jangka waktu tertentu, tetapi tetap berlaku seumur hidup pelakunya.
KESIMPULAN
Sedangkan menurut hukum Islam, penerapan hukuman ta’zir yang dikaitkan dengan hukuman pengasingan mempunyai ketentuan keabsahannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, masa pengasingannya bisa lebih dari satu tahun, karena pengasingan disini merupakan hukuman ta’zir. Menurut hukum positif, pidana pencabutan hak politik bagi koruptor termasuk dalam pidana tambahan yang ditentukan dalam KUHP pasal 10 huruf (b), dan pasal 18 UU Tipikor.
Sanksi pencabutan hak politik dalam hukum positif tidak mempunyai batas waktu tertentu, namun pidana ini melekat dan berlaku sepanjang pelaku korupsi masih hidup, yang berakibat mendiskualifikasi secara permanen seseorang dari jabatan publik tidak dapat memegang jabatannya. . Sedangkan menurut hukum Islam, hukuman pencabutan hak politik termasuk dalam ta’zir, yang sanksinya berupa hukuman pengasingan (at-Taghrib Wa-ib’ad). Bedanya mengenai batasan sanksi pencabutan hak politik menurut hukum positif dan hukum Islam masing-masing mempunyai arti bahwa pidana pencabutan hak politik tidak mempunyai batasan waktu tertentu, sehingga pidana pencabutan hak politik adalah hak yang sah sepanjang hak politik tersebut masih berlaku. pelaku hidup.
SARAN
Sedangkan menurut Islam sanksi hukuman ta'zir yang dikaitkan dengan hukuman buang negeri mempunyai batas waktu tertentu yang menurut Imam mazhab Syafi'i dan Ahmad tidak boleh melebihi satu tahun, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan Imam. Masa pengasingan Malik boleh lebih dari satu tahun, sebab pengasingan di sini adalah hukuman ta'zir. 2004. Asas Hukum Islam, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Perundangan Islam di Indonesia.