LAPORAN PRAKTIKUM BUDIDAYA PAKAN ALAMI
“Identifikasi Inokulum Plankton”
NAMA : DINI ISTIANI
NIM : 142011133080
KELAS : B
KELOMPOK : 08 ASISTEN : SANIYA LAILATUL QODRIYAH
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA 2022
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Plankton terdiri dari fitoplankton dan zooplankton. Keduanya dapat dimanfaatkaan sebagai pakan alami untuk ikan karena dalam rantai makan makanan, zooplankton berperan sebagai konsumer pertama yang memakan fitoplankton. Selanjutnya, zooplankton ini dimakan oleh organisme lain yang lebih tinggi tingkatannya seperti udang dan ikan (Adinugroho dkk., 2014).
Plankton yang akan digunakan sebagai pakan alami ikan umumnya akan dikultur secara bertahap dari skala laboratorium hingga skala massal. Proses tersebut terdapat beberapa tahapan yang perlu dilalui, mulai dari mengambil sampel plankton dari perairan, mengisolasi plankton untuk mendapatkan kultur monospesies, hingga mempersiapkan inokulum plankton dari isolat plankton tadi untuk diidentifikasi.
Identifikasi plankton dapat dilakukan di laboratorium sampai tingkat genus (Junaidi dkk., 2013).
Proses identifikasi plankton merupakan aspek penting yang harus dilakukan.
Identifikasi plankton bertujuan untuk mengetahui jenis atau spesies plankton sampel yang diamati. Identifikasi jenis plankton berdasar kepada morfologi yang diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran tertentu (Cahyono dan Mardani, 2020).
Dengan demikian, dapat diketahui spesies plankton pada inokulum sampel sehingga memudahkan proses kultur selanjutnya.
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengidentifikasi inokulum plankton yang telah diisolasi di media agar.
1.3. Waktu dan Tempat
Praktikum dilakukan pada Kamis, 2 Juni 2022 pukul 10.00–11.50 WIB di Laboratorium Mikrobiologi Gedung C Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga, Surabaya.
BAB II METODOLOGI 2.1. Alat dan Bahan
2.1.1. Alat
Jarum ose berfungsi untuk mengambil inokulan fitoplankton.
Cawan petri berfungsi sebagai wadah media agar untuk isolasi fitoplankton.
Bunsen berfungsi untuk menyeterilisasi jarum ose
Korek api berfungsi untuk menyalakan bunsen.
Objek glass berfungsi sebagai tempat inokulan fitoplankton yang akan diidentifikasi di bawah mikroskop.
Cover glass berfungsi sebagai penutup inokulan fitoplankton yang diletakkan di object glass.
Pipet berfungsi untuk mengambil dan memindahkan cairan (aquades).
Inkubator berfungsi untuk menyimpan dan memelihara hasil isolasi sebelum diidentifikasi.
Mikroskop berfungsi untuk mengamati fitoplankton.
2.1.2. Bahan
Isolat fitoplankton berfungsi sebagai objek yang diamati
Aquades berfungsi untuk mengencerkan isolat plankton pada object glass.
2.2. Cara Kerja Identifikasi Inokulum Fitoplankton
Mempersiapkan inokulum fitoplankton yang telah diisolasi pada media agar.
Menyeterilkan jarum ose diatas bunsen yang menyala hingga membara, lalu jarum ose dibiarkan sesaat hingga
dingin.
Mengambil inokulan fitoplankton yang telah diisolasi di cawan petri menggunakan jarum ose steril.
Menggoreskan inokulan fitoplankton ke object glass.
Meneteskan satu tetes aquades menggunakan pipet diatas object glas.
Menutup object glass dengan cover glass.
Menutup object glass dengan cover glass.
Mengamati preparat di bawah mikroskop perbesaran 40×
dan 100×.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil
3.1.1. Chlorophyta
Gambar 1. Chlorophyta (perbesaran 40×)
Gambar 2. Chlorophyta (perbesaran 100×) 3.1.2. Diatom
Gambar 3. Diatom (perbesaran 40×)
Gambar 4. Diatom (perbesaran 40×) 3.2. Pembahasan
3.2.1. Penyiapan Inokulum Plankton
Penyiapan inokulum plankton diawali dengan mempersiapkan isolat plankton pada media agar yang telah diinkubasi selama 48 jam. Isolat plankton diambil menggunakan jarum ose yang sebelumnya telah disterilkan diatas api bunsen. Kemudian, inokulum plankton digoreskan pada objek glass. Setelah itu, teteskan aquades di atas objek glass tersebut untuk melarutkan inokulum plankton. Hal serupa juga dilakukan pada penelitian Priambodo (2015), yakni meneteskan air diatas objek glass menggunakan pipet tetes dan menutup objek glass tersebut menggunakan cover glass. Selanjutnya, inokulum plankton diamati di bawah mikroskop binokuler. Menurut Handra dkk. (2019), untuk mengamati dan mengidentifikasi plankton dapat menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000×. Sementara itu, pada praktikum kali ini perbesaran mikroskop yang digunakan adalah perbesaran 40× dan 100× sehingga morfologi plankton belum dapat dilihat secara jelas.
3.2.2. Tetraselmis sp.
Gambar 5. Tetraselmis chuii (Borowitzka, 2018)
Klasifikasi Tetraselmis sp. menurut Butcher (1959) dalam Na’Imamah (2018), sebagai berikut:
Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales
Sub ordo : Chlamidomonaecea Genus : Tetraselmis
Spesies : Tetraselmis sp.
Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga yang mudah dibudidayakan dan memiliki nilai gizi tinggi yaitu, kandungan protein 74%, lemak 4%, dan karbohidrat sebanyak 21%. Tingginya kandungan protein tersebut menjadikan Tetraselmis sp. sebagai pakan alami yang potensial bagi larva ikan dan udang.
Tetraselmis sp. memiliki dinding sel yang tipis dan enzim autolysis sehingga mudah dicerna oleh larva ikan dan udang (Setyawati dkk., 2017).
Tetraselmis sp. adalah flagellata uniseluler dengan sel-sel elips atau hampir bulat, agak pipih dengan invaginasi di ujung anterior dari mana muncul 4 flagela yang sama dalam 2 pasangan yang berlawanan. Flagela ditutupi oleh sisik berbentuk bujur sangkar/berlian dalam 24 baris, dilapisi oleh 24 baris sisik ganda.
Dua baris sisik berbentuk rambut menonjol dari sisi yang berlawanan dari flagela (Borowitzka, 2018). Inti sel jelas dan kecil serta dinding sel yang mengandung bahan selulosa dan pentosa. Tetraselmis sp. memiliki klorofil sehingga berwarna hijau cerah yang terdapat pada kloroplas. Pigmen klorofilnya terdiri dari dua macam yaitu karoten dan xantofil. Tiap satu sel Tetraselmis sp. hanya memiliki satu kloplas yang mengandung pyrenoide. Reproduksi Tetraselmis sp. dengan cara membelah diri dan dapat berkembang secara vegetative dan generative.
Perkembangbiakan secara vegetative dilakukan dengan cara membelah diri.
Sementara itu, perkembangbiakan secara generative diawali dengan membentuk sel gamet (Setyawati dkk., 2017).
Tetraselmis sp. umumnya tumbuh pada kisaran pH 7-8 tetapi Tetraselmis sp. masih menunjukan pertumbuhan yang cukup baik pada nilai pH yang paling rendah mendekati 7 dan paling tinggi mendekati 11,3. Suhu dan intesitas cahaya optimum masing masing adalah 32-35°C dan 4500-8000 lux. Tetraselmis sp.
tumbuh dengan kondisi salinitas optimal antara 25-35 ppt (Setyawati dkk., 2017).
Tetraselmis sp. dapat dikultur dalam photobioreactor dan dipanen pada fase
pertumbuhan stasioner dimana mengandung protein 46,5g/100g berat kering dengan indeks asam amino esensial 0,9 (Qazi et al., 2021)
3.2.3. Porphyridium sp.
Gambar 6. Porphyridium cruentum (Prasetyo dkk., 2015)
Klasifikasi Porphyridium sp. menurut Vonshak. (1988) dalam Manurung.
(2019), sebagai berikut:
Divisi : Rhodophyta Sub kelas : Bangiophyceae Ordo : Porphyridiales Famili : Porphyriceae Genus : Porphyridium Spesies : Porphyridium sp.
Porphyridium sp. merupakan jenis mikroalga merah (Rhodophyta) yang memiliki kemampuan tumbuh dan memproduksi ekstraseluler polisakarida secara bersamaan. Biomassa dan ekstraseluler polisakarida Porphyridium sp. terkandung nilai nutrisi dan manfaat bagi kesehatan. Nutrisi yang terkandung pada biomassa misalnya asam lemak tak jenuh (PUFA), karotenoid, zeaxanthin, protein, vitamin serta mineral. Manfaat bagi kesehatan yang telah diteliti diantaranya, antikolesterol (Hypocholesterolemic), antioksidan, antihiperglikemik, imunomodulation dan antitumor, serta menjaga kesehatan kulit (Bayona et al., 2012).
Porphyridium sp. adalah mikroalga yang dapat hidup bebas dan berkoloni yang terikat dalam mucilago. Senyawa mucilago dieksresikan secara konstan oleh sel membentuk sebuah kapsul yang mengelilingi sel. Mucilago merupakan polisakarida sulfat yang bersifat larut dalam air. Sel Porphyridium sp. berbentuk bulat dengan diameter 4-9µm. Struktur selnya terdiri dari sebuah nukleus, kloroplas, badan golgi, mitokondira, lendir, pati dan vesikel. Porphyridium
memiliki kandungan pigmen fikoeritrin yang merupakan pigmen utama penghasil warna merah pada struktur tubuhnya (Manurung, 2019).
Porphyridium sp. dapat hidup diberbagai habitat. Mikroalga ini dapat ditemukan di air laut, air tawar, hingga pada permukaan tanah yang lembab.
Umumnya, Porphyridium ditemukan membentuk lapisan kemerah-merahan.
Porphyridium diduga berasal dari laut karena dapat hidup dengan baik pada media cair maupun media padat air laut (Manurung, 2019).
BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan
Penyiapan inokulum plankton sebelum proses identifikasi plankton merupakan hal yang penting. Tahap awal persiapan inokulum adalah mempersiapkan isolat plankton.
Selanjutnya, mengambil isolat menggunakan jarum ose steril dan menggoreskannya pada object glass, lalu ditetesi satu tetes aquades sebagai pelarut. Proses identifikasi plankton menggunakan mikroskop. Spesies yang ditemukan antara lain Tetraselmis sp.
(Chlorophyta) dan Porphyriridum sp. (Diatom).
4.2. Saran
Sebaiknya pada proses identifikasi plankton dapat menggunakan mikroskop perbesaran 1000× agar morfologi plankton terlihat lebih jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho, M. I., Subiyanto, dan Haeruddin. 2014. Komposisi dan distribusi plankton di perairan Teluk Semarang. Saintifika, 16(2): 39-48.
Bayona, K.C.D., Navarro, S.M.G., Lara, A.D.E., Colorado, J.R., Atehortúa, L.G., & Martínez M. 2012. Activity of sulfated polysaccharides from microalgae Porphyridium cruentum over degenerative mechanisms of the skin. International Journal of Science and Advanced Technology, 2(8): 85-92
Borowitzka, M. A. 2018. Biology of microalgae. In Microalgae in health and disease prevention (pp. 23-72). Academic Press.
Cahyono, E., & Mardani, I. 2020. Identifikasi Asam Amino Ikan Layang (Decapterus russelli) Pada Lokasi Penangkapan Berbeda. Jurnal Pengolahan Pangan, 5(1): 1-6.
Handra, I., Syafrizayanti, S., & Chaidir, Z. 2019. Isolasi dan Identifikasi Mikroalga Sebagai Sumber Antioksidan dari Perairan Tirtasari Sonsang, Agam, Sumatera Barat. Chimica et Natura Acta, 7(1): 7-13.
Junaidi, E., Hanapiah, Z., & Agustina, S. 2013. Komunitas Plankton di Perairan Sungai Ogan Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Prosiding SEMIRATA 2013, 1(1): 265-273.
Manurung, P. 2019. Efek Pemberian Supernatan Mikroalga Porphyridium cruentum terhadap Perkembangan Embrio Ikan Zebra (Danio rerio). Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Brawijaya. Malang.
Na’Imamah. 2018. Optimalisasi Limbah Cair Tahu dalam Media Kultur terhadap Pertumbuhan Tetraselmis sp. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Pertanian. Universitas Muhammadiyah Makassar. Makassar.
Prasetyo, H., Setyaningsih, I., & Agungpriyono, D. R. 2015. Growth and Extracelluler Polysaccaride Production of Porphyridium cruentum In Various Photoperiod. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 18(2): 219-229.
Priambodo, A. B. 2015. Kelimpahan jenis fitoplankton di Inlet dan Outlet Waduk Bening sebagai bahan penyusun media pembelajaran berbentuk poster. Florea: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya, 2(1): 36-40.
Setyawati, F., Satyantini, W. H., & Arief, M. 2018. Teknik Kultur Tetraselmis chuii dalam Skala Laboratorium di PT. Central Pertiwi bahari, Rembang, Jawa Tengah. Journal of Aquaculture and Fish Health, 7(2): 63-69.
Qazi, W. M., Ballance, S., Uhlen, A. K., Kousoulaki, K., Haugen, J. E., & Rieder, A. 2021.
Protein enrichment of wheat bread with the marine green microalgae Tetraselmis chuii–Impact on dough rheology and bread quality. LWT, 143: 111115.
LAMPIRAN A. Hasil Pengamatan
Chlorophyta
Chlorophyta (perbesaran 40×)
Chlorophyta (perbesaran 100×)
Diatom
Diatom (perbesaran 40×)
Diatom (perbesaran 100×)
B. Kegiatan Praktikum