• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN

N/A
N/A
Violet Predators

Academic year: 2023

Membagikan "LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN

MASKULINISASI IKAN

Disusun oleh:

Nama : Diva Oktaviani

NPM : 2120801035

Pj Asisten Praktikum : Syafira Adzjani Putri Pribadi

PROGRAM STUDI AKUAKULTUR FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TIDAR 2023

(2)

DAFTAR ISI

Cover ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II ... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Ikan Guppy ... 3

2.2 Ikan Cupang... 4

2.3 Maskulinisasi ... 6

2.4 Air Kelapa ... 7

2.5 Madu ... 7

BAB III... 9

METODE ... 9

3.1 Waktu dan Tempat ... 9

3.2 Alat dan Bahan ... 9

3.3 Langkah Kerja ... 11

3.3.1 Maskulinisasi menggunakan Madu ... 11

3.3.2 Maskulinisasi menggunakan Air Kelapa ... 11

BAB IV ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

4.1 Hasil ... 13

4.2 Pembahasan ... 14

(3)

BAB V ... 17

KESIMPULAN ... 17

5.1 Kesimpulan ... 17

5.2 Saran ... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 18

LAMPIRAN ... 21

(4)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan hias merupakan komoditas perikanan yang kian meningkat permintaannya dari tahun ke tahun. Ikan hias dikenal kalangan masyarakat karena memiliki nilai ekonomis dan sebagai komoditas ekspor di Indonesia. Ikan hias jantan dan betina tentu memiliki perbedaan ciri seksual sekunder, namun permintaan yang meningkat terhadap ikan hias jantan merupakan salah satu pendorong masyarakat untuk memproduksi ikan hias berjenis kelamin jantan. Perbedaan dari segi warna dan morfologi menjadikan ikan hias jantan lebih banyak digemari dan diperdagangkan di pasar lokal serta ekspor. Harga ikan hias jantan sendiri di pasar lokal cenderung berbeda dibandingkan harga ikan betina.

Ikan hias yang populer dibudidayakan di kalangan masyarakat karena tergolong sebagai ikan hias air tawar yang mudah dibudidaya, memiliki nilai tinggi, dan warnanya yang menarik yaitu ikan guppy dan ikan cupang. Dilihat dari segi morfologinya, ikan hias jantan lebih menarik dan memiliki nilai estetika bagi para penggemarnya. Keunggulan tersebut menjadikan masyarakat mengupayakan untuk melakukan usaha mendapatkan persentase populasi jantan lebih banyak dengan melakukan metode maskulinisasi.

Menurut Marpaung (2015), metode maskulinisasi atau sex reversal merupakan cara untuk mengarahkan kelamin ikan menjadi jantan pada masa diferensiasi kelamin agar dapat memproduksi ikan jantan lebih banyak dan memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan cara memanipulasi faktor lingkungan.

Maskulinisasi banyak dilakukan pada beberapa ikan hias, salah satunya yaitu penggunaan hormon sintetik seperti 7α- metiltestosteron dan estradiol-17β. Namun penggunaan hormon sintetik 7α- metiltestosteron sudah dilarang dalam kegiatan akuakultur karena berpotensi pada dampak negatif seperti sulit terdegradasi secara alami, bersifat karsinogenik dan mencemari lingkungan. Hormon sintetik sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian pada hewan uji (Rahmasari dkk.

2021). Sehingga perlu dilakukan alternatif pengganti hormon sintetik yang lebih aman dan ramah lingkungan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan.

(5)

2

Berbagai penelitian menggunakan bahan alami telah banyak dilakukan, salah satu alternatif potensi pengganti hormon yaitu penggunaan madu dan air kelapa.

Madu memiliki memiliki kandungan flavonoid chrysin yang mampu menghambat kerja enzim aromatase yang dapat menghambat konversi androgen menjadi estrogen. Penurunan konsentrasi estrogen oleh aromatase inhibitor mengakibatkan banyaknya hormon testosteron yang diproduksi sehingga mengarahkan kelamin ikan menjadi jantan. Selanjutnya pada air kelapa memiliki bahan aktif berupa kalium yang berperan dalam merubah kolesterol yang terdapat dalam semua jaringan tubuh larva ikan menjadi pregnenolone yang berpengaruh terhadap pembentukan testosteron (Masprawidinarta, 2015 dalam Dwinanti, dkk., 2018).

Sehingga praktikum ini bertujuan untuk mengkaji bahan alternatif pengganti metiltestosteron dalam proses maskulinisasi menggunakan bahan yang sifatnya lebih alami serta mengetahui penggunaan dosis yang tepat.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari diadakannya praktikum pada acara maskulinisasi ikan adalah mahasiswa mampu mengetahui dan memahami teknik maskulinisasi pada ikan

1.3 Manfaat

Adapun manfaat dari diadakannya praktikum pada acara maskulinisasi ikan adalah dapat mengetahui dan memahami teknik maskulinisasi pada ikan

(6)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Guppy

Klasifikasi ikan guppy menurut Axelrod dan Schultz dalam Rismayani (2017) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub filum : Craniata Superkelas : Gnatastomata

Kelas : Osteichthyes

Sub kelas : Actinopterygii

Ordo : Cyprinodontoidei

Sub ordo : Poecilioidea

Family : Poecilidae

Genus : Poecilia

Spesies : Poecilia reticulata

Gambar 2.1 Ikan Guppy Jantan Sumber: Habibi, 2022

Gambar 2.2 Ikan Guppy Betina Sumber: Habibi, 2022

Ikan guppy merupakan spesies ikan hias air tawar anggota suku Poecilidae yang berukuran kecil dan sangat populer yang berasal dari daerah kepulauan Kalibria dan Amerika Selatan. Secara morfologi, ikan guppy jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk tubuh guppy jantan yang ramping dan corak indah, sedangkan pada guppy betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar (Hamonangan dkk., 2018).

Ikan guppy jantan lebih disukai karena memiliki sirip ekor yang lebar dengan corak warna yang beragam serta warna merah yang sangat menonjol dibandingkan ikan guppy betina sehingga dalam segi ekonomis ikan guppy jantan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dari pada ikan guppy betina.

(7)

4

Ikan guppy merupakan jenis ikan hias air tawar yang tersebar luas di daerah tropis dan mudah beradaptasi, yaitu dapat tumbuh dengan suhu berkisar antara 27°C -30°C dan pH air berkisar 6,5 –7,2. Ikan guppy juga memiliki toleransi tinggi terhadap rentang temperatur, salinitas, bahkan terhadap perairan tercemar. Habitat asli ikan guppy di perairan dangkal, seperti sungai, parit, dan danau (Aztisyah, 2021).

Ikan guppy merupakan ikan yang bersifat ovovivipar atau ikan yang bertelur dan melahirkan. Hal ini terjadi karena proses pembuahan guppy secara internal yaitu perkawinan terjadi pada saat organ gonopodium yang terletak pada sirip anal dimasukkan ke dalam organ telur ikan guppy betina. Setelah menetas, perkembangan gonopodium pada ikan guppy jantan akan terlihat dalam waktu 3 minggu dalam satu kali kawin ikan guppy melahirkan secara parsial sampai 3 kali dengan interval waktu 1 bulan (Rismayani, 2017).

2.2 Ikan Cupang

Menurut Kottelat (2013) dalam Fauzan dkk, (2018), ikan cupang diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Actinoptergii

Ordo : Perciformes

Family : Osphronemidae

Genus : Betta

Spesies : Betta splendens

Gambar 2.3 Ciri Sekunder Ikan Cupang (A = Jantan, B = Betina).

Sumber : Awaludin dkk., (2019) .

(8)

5

Ikan cupang (Betta sp) merupakan ikan hias air tawar yang banyak diminati di pasar domestik maupun internasional karena memiliki keindahan bentuk sirip dan warna, dan banyak ditemukan di perairan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Secara umum morfologi pada ikan cupang terdiri dari mata, mulut, bibir, operculum, sirip (dorsal, anal, caudal, pectoral, dan ventral) dan caudal penducale. Sirip anal terbagi menjadi dua yaitu bagian anterior yang lebih runcing dan bagian posterior yang lebih lunak. Sirip digunakan untuk mendorong air, membantu lokomosi ikan dan menjaga keseimbangan tubuhnya. Ikan cupang memiliki postur tubuh memanjang dengan bentuk tubuh pipih ke samping atau compressed, mempunyai kepala yang relatif besar, mulut kecil dengan bibir yang agak tebal dan rahang yang kuat. Ikan cupang juga memiliki labirin sebagai alat pernapasan tambahan yang berperan mengambil oksigen secara langsung di udara, sehingga ikan cupang sangat mudah ditempatkan pada wadah dengan air terbatas (Yustina, 2012 dalam Artika dkk., 2020).

Menurut Artika dkk., (2020) bahwa ikan cupang jantan dan betina dapat dibedakan dari ukuran tubuh, warna dan sirip. Ikan cupang jantan umumnya memiliki sirip punggung dan sirip ekor dengan ukuran lebih panjang dan lebih kecil dengan warna yang mencolok. Sedangkan pada ikan cupang betina berwarna kurang menarik, bentuk perut gemuk serta sirip ekor dan sirip anal yang pendek.

Warna tubuh ikan cupang bervariasi karena perbedaan kematangan gonad, faktor genetik, jenis kelamin dan faktor geografis.

Ikan cupang terbagi menjadi dua jenis yaitu ikan cupang hias dan ikan cupang adu. Perbedaan ini terlihat jelas dari lebar sirip, warna dan ketebalan mulutnya. Ikan cupang hias jantan mempunyai sirip lebar dan panjang (4-5 cm), mulutnya tipis, berwarna tubuh terang dan berukuran 6-7 cm. Sedangkan pada ikan cupang adu mempunyai sirip pendek (1-15 cm), warna tubuh lebih gelap, tubuh berukuran 4-6 cm dan mulutnya tebal (Lucas, 1968 dalam Rahmasari dkk., 2021).

Ikan cupang (Betta sp.) hidup di daerah tropis, terutama di benua Asia sampai Afrika dengan habitat asal perairan dangkal berair jernih, seperti daerah persawahan atau anak sungai yang memiliki temperatur 24-27 C dengan kisaran pH 6,2-7,5 serta tingkat kandungan mineral terlarut dalam air atau kesadahan (hardnees) berkisar 512 dl. Pada umumnya ikan cupang sanggup bertahan hidup dan berkembang biak

(9)

6

dengan baik pada kisaran pH 6,5-7,2 dan hardnees berkisar 8,5 10 dH (Artika dkk., 2020).

Ikan cupang memiliki dua tipe cara berkembang biak yaitu mouth brooder dan bubble nest breed. Ikan cupang berkembang biak dengan membuat sarang busa sebelum melakukan pemijahan (Artika dkk., 2020). Menurut Satyani (2017), ikan cupang jantan mulai melakukan pemijahan pertama pada umur 3–4 bulan dengan ukuran panjang total ± 3,5 cm. Pemijahan ikan cupang tidak dapat dilakukan sepanjang tahun karena dialam ikan cupang memijah pada musim kemarau. Setiap ikan cupang dapat menghasilkan rata-rata telur sekitar 400-500 butir dalam satu kali proses pemijahan. Kemudian cupang jantan akan menjaga sarang, merawat telur, dan larva yang menetas sekitar dua hari kemudian.

2.3 Maskulinisasi

Menurut Selfiaty dkk., (2022), sex reversal merupakan suatu metode untuk memproduksi monosex atau pembalikan arah pengembangan kelamin menjadi berlawanan, dimana metode ini mempraktekkan rekayasa hormonal guna mengubah karakter seksual dari yang awalnya betina menjadi jantan (maskulinisasi), begitu pula sebaliknya yakni jantan berubah menjadi betina (feminisasi). Maskulinisasi dilakukan dengan pemberian hormon androgen pada fase diferensiasi gonad pada ikan. Proses ini telah banyak dilakukan pada beberapa spesies ikan hias dengan menggunakan bahan yang berbeda-beda. Tujuan utama penerapan maskulinisasi sendiri adalah untuk menghasilkan populasi monoseks (kelamin tunggal) dengan memperoleh populasi ikan unggul dalam pertumbuhannya (Yusuf dkk., 2023).

Menurut Dwinanti dkk., (2018) menyatakan bahwa maskulinisasi dilakukan pada gonad ikan yang belum terdiferensiasi secara jelas, dan berlanjut sampai diferensiasi kelamin terjadi. Penerapan maskulinisasi dengan cara melakukan manipulasi atau perubahan lingkungan yang diakibatkan pemberian hormon dari luar dapat menyebabkan rangsangan pada sistem saraf ikan dan memacu pelepasan hormon gonadotropin untuk pembentukan gonad jantan. Perubahan lingkungan tersebut diterima oleh indra yang kemudian disampaikan ke sistem syaraf pusat.

Setelah itu, informasi dikirim ke hipotalamus dan memerintahkan kelenjar hipofisa untuk mengeluarkan hormon gonadotropin. Hormon tersebut yang kemudian

(10)

7

dibawa oleh darah dan ditransportasikan menuju gonad sebagai petunjuk untuk memulai pembentukan gonad jantan (testis).

Metode maskulinisasi yang biasa dilakukan diantaranya dengan pemberian hormone 17α-metiltetosteron. Namun penggunaan hormon ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain dapat menimbulkan stress pada ikan, harganya cukup tinggi, sulit didapatkan karena peredarannya terbatas, bahan pencemar lingkungan dan bersifat karsinogenik pada manusia (Malik dkk., 2019). Sehingga penggunaan hormon ini sudah dilarang dalam kegiatan akuakultur.

2.4 Air Kelapa

Air kelapa merupakan salah satu bahan alternatif alami yang mempunyai potensi sebagai pengganti hormon sintesis. Air kelapa dianggap cukup efektif untuk diaplikasikan dalam teknik maskulinisasi, karena dapat ditemukan di sebagian besar wilayah Indonesia (Selfiaty dkk., 2022).

Kandungan air kelapa yang berperan dalam proses maskulinisasi yaitu kalium.

Kalium pada air kelapa merupakan salah satu ion anorganik tertinggi yang mencapai 312 mg/100 g dan berperan dalam biosintesis hormon steroid pada kelenjar adrenalin, testis dan ovari terutama dalam pembentukan pregnenolon dari kolesterol yang ada di dalam jaringan. Menurut Superyadi (2017) dalam Laheng dan Widyastuti (2019), kandungan kalium air kelapa berperan dalam proses seks reversal, yaitu mengatur regulasi testosterone dalam tubuh dan mengarahkan serta mengendalikan kerja androgen. Menurut Islama dkk., (2017) kandungan kalium berperan merubah lemak yang terdapat dalam semua jarigan tubuh anak ikan menjadi prenegnelon, dimana prenegnelon merupakan sumber dari biosintesis hormon-hormon steroid oleh kelenjar adrenal steroid tersebut berpengaruh terhadap pembentukan testosteron sehingga akan merubah estrogen (betina) diarahkan kelaminnya menjadi progesteron (jantan).

2.5 Madu

Madu merupakan zat alami kental yang dihasilkan oleh lebah madu dari nektar bunga dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan alternatif potensi pengganti hormon sintetik yang aman dan ekonomis. Bahan aktif yang terkandung dalam madu dan bersifat alami seperti chyrsin, merupakan jenis flavonoid sebagai penghambat enzim aromatase atau aromatase inhibitor yang dapat mengarahkan

(11)

8

kelamin. Aromatase inhibitor merupakan penghambat dari enzim agar tidak terjadi biosintesa esterogen sehingga muncul efek maskulinisasi. Penurunan kadar estrogen oleh aromatase inhibitor menyebabkan produksi testosteron dalam jumlah besar, sehingga mengubah ikan menjadi jantan (Sarida et al., 2010 dalam Siregar dkk, 2018).

Menurut Haq (2013) dalam Siregar dkk, (2018), proses maskulinisasi menggunakan madu menghasilkan ikan guppy jantan sebesar 56.6% dengan dosis 50 ml/L dan lama perendaman selama 15 jam. Sedangkan pada dosis 60 ml/L dengan lama perendaman selama 10 jam mampu menghasilkan ikan guppy jantan sebesar 56.68%. Persentase ikan guppi jantan paling tinggi dengan menggunakan madu dihasilkan oleh Priyono (2013) dalam Rosalina dan Amelisa (2020) yakni sebesar 76.66%, dengan dosis yang digunakan sebanyak 5 ml/L dan lama perendaman selama 12 jam. Maskulinisasi menggunakan madu alami dengan lama waktu perendaman yang berbeda dapat diterapkan pada ikan cupang, sehingga dapat meningkatkan persentase ikan jantan

(12)

9

BAB III METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Genetika dan Pemuliaan Ikan mengenai maskulinisasi ikan ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 4 Oktober 2023, di Laboratorium Terpadu (Fisiologi, Reproduksi dan Genetika Hewan) (Lantai 2) Universitas Tidar pukul 14.

20-15.20 WIB.

3.2 Alat dan Bahan Tabel 1. Alat yang digunakan

Nama Alat Fungsi Gambar

1 Akuarium Untuk tempat pemeliharaan ikan

2 Gelas Ukur Untuk menakar dosis madu

3 Seser Untuk menangkap ikan

4 Beaker glass Untuk menakar air dan dosis air kelapa yang digunakan

(13)

10 Tabel 2. Bahan yang digunakan

No Nama Bahan Fungsi Gambar

1 Larva Ikan Guppy Untuk bahan uji

2 Larva Ikan Cupang Untuk bahan uji

3 Air Kelapa Untuk bahan

campuran pada ikan uji

5 Spatula Untuk membantu pengadukan

6 Aerator Untuk mensuplai oksigen

7 Alat Tulis Untuk mencatat hasil pengamatan

8 Kamera Untuk mendokumentasi kegiatan

(14)

11

4 Madu Untuk bahan

campuran pada ikan uji

5 Air Untuk media

hidup ikan

3.3 Langkah Kerja

3.3.1 Maskulinisasi menggunakan Madu

1. Menyiapkan wadah perendaman berupa akuarium

2. Menyiapkan ikan berupa larva ikan cupang berumur 5-7 hari.

3. Memasukkan air dan madu yang telah dihomogenkan ke dalam wadah perendaman dengan dosis 4 ml/L, 5 ml/L, dan 6 ml/L dalam 10 ekor larva/ L air.

4. Merendam larva dengan larutan madu selama 18 jam

5. Mengganti air rendaman dengan air bersih lalu memeliharanya selama 10 hari.

6. Selama pemeliharaan, larva diberi pakan sehari sekali dengan artemia.

7. Mengamati jumlah larva yang berkelamin jantan.

3.3.2 Maskulinisasi menggunakan Air Kelapa

1. Menyediakan wadah perendaman berupa akuarium

2. Menyiapkan ikan berupa larva ikan guppy berumur 5-7 hari.

3. Memasukkan air dan air kelapa yang telah dihomogenkan ke dalam wadah perendaman dengan dosis 20%/ L, 30%/L, dan 40%/ L dalam 10 ekor larva/ L air.

(15)

12

4. Merendam larva dengan larutan air kelapa selama 18 jam.

5. Mengganti air rendaman dengan air bersih lalu memeliharanya selama 10 hari.

6. Selama pemeliharaan, larva diberi pakan sehari sekali dengan artemia.

7. Mengamati jumlah larva yang berkelamin jantan.

(16)

13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 3. Data Nisbah Kelamin Jantan Ikan Guppy (Poecilia reticulata) Setiap Perlakuan

Perlakuan ∑ Ikan

Awal (ekor)

∑ Ikan Akhir (ekor)

∑ Ikan Jantan (ekor)

∑ Ikan Betina (ekor) Air kelapa 20%

(400 ml)

20 2 2 0

Air kelapa 30%

(600 ml)

20 13 9 4

Air kelapa 40%

(800 ml)

20 10 7 3

Tabel 4. Data Nisbah Kelamin Jantan Ikan Cupang (Betta sp.) Setiap Perlakuan

Perlakuan ∑ Ikan

Awal (ekor)

∑ Ikan Akhir (ekor)

∑ Ikan Jantan (ekor)

∑ Ikan Betina (ekor)

Madu 4 ml/L 10 10 7 3

Madu 5 ml/L 10 10 7 3

Madu 6 ml/L 10 10 7 3

Tabel 5. Survival rate

Perlakuan Survival rate Air kelapa 20% (400 ml) 10%

Air kelapa 30% (600 ml) 65%

Air kelapa 40% (800 ml) 50%

Madu 4 ml/L 100%

Madu 5 ml/L 100%

Madu 6 ml/L 100%

(17)

14 4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan keberhasilan pengarahan jenis kelamin jantan pada ikan guppy, menunjukkan pemanfaatan air kelapa pada konsentrasi 30% (600 ml/L) dengan lama perendaman 18 jam merupakan kondisi terbaik dan tingkat keberhasilannya lebih tinggi jumlah akhir ikan yang hidup 13 ekor dengan menghasilkan anakan jantan sebanyak 9 ekor lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan 20% dan 40%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Findayani dan Dina (2022) menyatakan perlakuan dengan perendaman selama 10 jam mampu mempengaruhi diferensiasi gonad dari betina ke jantan. Didapatkan nilai Survival rate perlakuan air kelapa tertinggi sebesar 65% pada perlakuan 30%, sedangkan terendah pada perlakuan 20%.

Perlakuan air kelapa yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva ikan guppy tertinggi terdapat pada perlakuan 30% dan terendah pada perlakuan 20%.

Rendahnya kelangsungan hidup larva dapat disebabkan oleh lamanya perendaman dan faktor eksternal lingkungan seperti kualitas air baik sebelum dan sesudah perendaman. Hal ini didukung beberapa faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan perendaman menurut pendapat Yusrina (2015) dalam Malik dkk., (2019) diantaranya meliputi ketepatan sebelum melewati fase diferensiasi dan dosis bahan yang sesuai, apabila penggunaan dosis yang rendah maka lama perlakuannya diperpanjang untuk menghasilkan sex reversal yang optimal.

Hal ini sesuai dengan perendaman larva ikan guppy menggunakan air kelapa muda pada penelitian Perdana dkk., (2022) selama 8 jam mendapatkan hasil kurang efektif untuk media hidup ikan guppy dan menyebabkan ikan menjadi stress karena dosis yang digunakan terlalu tinggi dan mengganggu sistem kerja metabolisme hingga berakibat kepada turunnya jumlah persentase kelulushidupan. Larva ikan guppy mulai terjadi kematian pada saat perendaman dan pemeliharaan dari hari pertama sampai hari ke tiga, disebabkan masih dalam masa adaptasi dan sangat rentan terhadap kematian. Selain karena pembusukan media air perendaman, seperti pada saat pemindahan dan penyesuaian lingkungan baru, larva ikan guppy sangat sensitif dan banyak melemah selama direndam ditambah apabila jika terjadinya stress pada ikan ketika penyiponan untuk pergantian air.

(18)

15

Selain itu, keberhasilan maskulinisasi ikan guppy dapat dipengaruhi kandungan hormon steroid (fitohormon) pada air kelapa yang secara langsung mempengaruhi pengarahan kelamin pada ikan. Hasil penelitian Jhonkennedy et al. (2014) dalam Laheng dan Widyastuti (2019), menyatakan produksi testosteron akan semakin tinggi karena air kelapa berperan menurunkan kadar prolaktin yang dipengaruhi oleh kadar folicle stimulating hormon, luteinizing hormon dan testosteron. Hormon prolaktin tersebut mempengaruhi peningkatan aktivitas metabolisme sehingga mempengaruhi respirasi, pertumbuhan dan perkembangan ikan. Semakin rendah prolaktin maka akan semakin tinggi pula testosteronnya. Sedangkan hormon yang terdapat pada air kelapa muda terdiri dari hormon auksin berperan sebagai pembentukan kelamin betina dan hormon gibberellin yang bekerja sebagai hormon jantan pada tanaman.

Menurut Sukrillah et al., (2013) dalam Puspita dkk., (2023) air kelapa juga terdapat kandungan K+ dominan yang berperan membantu pembentukan hormon steroid dari pregnonelon dan menyebabkan kolesterol pada semua jaringan larva menjadi pregnenolon. Steroid membantu pembentukan dari hormon androgen yaitu testosteron yang akan membantu proses perkembangan genital jantan atau proses maskulinisasi. Maskulinisasi melalui perendaman larva yang dilakukan dapat menyebabkan air kelapa masuk kedalam tubuh ikan dengan proses difusi. Sesuai dengan pernyataan Zairin (2002) dalam Ibrahim dkk., (2018) yang menyatakan metode perendaman merupakan alternatif metode pencampuran melalui pakan (oral), karena pada metode perendaman hormon dapat masuk kedalam tubuh ikan melalui proses difusi.

Berdasarkan hasil pengamatan maskulinisasi ikan cupang menggunakan madu, diperoleh pada semua perlakuan mendapatkan hasil yang sama., yaitu mendapatkan jumlah akhir larva yang hidup sebanyak 10 ekor dengan jumlah ekor jantan 7 ekor dan betina 3 ekor dengan survival rate yang diperoleh sebesar 100%. Hal ini didukung dengan penelitian Siregar dkk., (2018) bahwa hasil yang diperoleh menggunakan konsentrasi madu 5 ml berupa perlakuan P0 mendapatkan tingkat kelangsungan hidup larva ikan cupang tertinggi yaitu 98,8% tanpa melalui perendaman, diikuti perlakuan P1 dengan rendaman 12 jam berkisar 93,3% dengan tingkat kelangsungan hidup terendah pada perlakuan P4 dengan lama waktu

(19)

16

perendaman madu 24 jam yaitu 70%. Hal ini dapat disebabkan kelangsungan hidup larva ikan cupang yang dipengaruhi oleh cara pemeliharaan atau kualitas air selama pemeliharaan.

Dalam penelitian Afpriyaningrum et al. (2016) dan El-Sayed et al. (2017) dalam Tomasoa dkk., (2021) menjelaskan bahwa pengaruh perlakuan suhu yang digunakan dalam proses penentuan jenis kelamin terjadi secara bertahap selama masa labil penentuan jenis kelamin atau sepanjang masa sebelum bakal gonad berpengaruh terhadap terbentuknya testis atau ovarium. Suhu sangat mempengaruhi kedua proses utama dalam penentuan jenis kelamin pada ikan yaitu diferensiasi dan determinasi kelamin melalui dua cara yaitu mempengaruhi aktifitas hormonal dan proses perkembangan jaringan bakal gonad. Suhu lingkungan sebagai faktor eksternal berperan pada diferensiasi kelamin, sehingga semakin tinggi suhu makan rasio kelamin ikan jantan semakin tinggi.

Madu sebagai maskulinisasi ikan dikarenakan bersifat sebagai penghambat aromatase alami. Menurut Siregar dkk., (2018) dalam Tomasoa dkk., (2021) bahwa madu mengandung flavonoid chrysin dan juga mineral yang tinggi, semakin gelap warna madunya semakin tinggi kandungan mineral. Chrysin berperan dalam mencegah aktivitas aromatase yang berdampak pada banyaknya kandungan testosteron dari hormon estradiol di dalam tubuh ikan, sedangkan salah satu kandungan mineral yang penting dalam madu adalah kalium yang berfungsi untuk mengatur regulasi kandungan hormon testesteron yang ada pada tubuh serta mengarahkan dan mengontrol kerja androgen atau mengarahkan jenis kelamin jantan pada ikan (Heriyati, 2012 dalam Tomasoa dkk., 2021). Efektifitas penggunaan madu dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya konsentrasi dan waktu perendaman. Penggunaan madu telah menggunakan konsentrasi dari 1 ml/L hingga 60 ml/L memberikan pengaruh yang berbeda-beda untuk menghasilkan anakan jantan yang diinginkan.

(20)

17

BAB V KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari kegiatan praktikum maskulinisasi ikan yaitu pemanfaatan air kelapa pada konsentrasi 30% (600 ml/L) dengan lama perendaman 18 jam merupakan kondisi terbaik dan tingkat keberhasilannya lebih tinggi jumlah akhir ikan yang hidup 13 ekor dengan menghasilkan anakan jantan sebanyak 9 ekor lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan 20% dan 40%.

Sedangkan pada semua perlakuan madu mendapatkan hasil yang sama, yaitu mendapatkan jumlah akhir larva yang hidup sebanyak 10 ekor dengan jumlah ekor jantan 7 ekor dan betina 3 ekor. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh cara pemeliharaan atau kualitas air selama pemeliharaan.

5.2 Saran

Diperlukan analisis yang lebih rinci mengenai dosis optimal dan lama perendaman efektif yang digunakan pada maskulinisasi ikan cupang dan guppy

(21)

18

DAFTAR PUSTAKA

Afpriyaningrum, M.D., Soeslistyowati, D.T., Alimuddin., Zairin, Jr M., Setiawan, M., Herdiantho, D. 2016. Maskulinisasi ikan nila melalui perendaman larva pada suhu 36°c dan kadar residu 17α Metiltestosteron dalam tubuh ikan.

Omni-Akuatika 12 (3): 106-113.

Artika, D. N., Ayundari, S., & Ramadhani, F. (2022). Pengaruh Daun Ketepeng Dan Daun Sirih Terhadap Proses Fertilisasi Ikan Cupang (BettasplendensR.). Jurnal Riset Rumpun Ilmu Hewani (JURRIH), 1(2), 76- 90.

Aztisyah, D. (2021). Implementasi Logika Fuzzy Mamdani Pada pH Air dalam Sistem Otomatisasi Suhu dan pH Air Aquascape Ikan Guppy. INISTA (Journal of Informatics Information System Software Engineering and Applications), 4(1), 58-70.

Dwinanti, S. H., Muhamad, Y & Mochamad, S. 2018. Maskulinisasi Ikan Cupang Menggunakan Air Kelapa (Cocos nucifera) Melalui Perendaman Embrio.

Jurnal Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal. Hal: 18-19.

El-Sayed, G.K., Ali, S.A., Mohamed, W.E. 2017. Effect of water temperature on masculinization and growth of nile tilapia fish. Journal of Aquaculture. 8 (9): 2-5

Fauzan, M., Sugihartono, M., & Arifin, M. Y. (2018). Perbedaan Waktu Pemeliharaan Telur dan Larva Oleh Induk Jantan Terhadap Daya Tetas dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Cupang (Betta splendens). Jurnal Akuakultur Sungai dan Danau, 3(2), 76-81.

Findayani, N., dan Dina, M. (2022). Maskulinisasi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Menggunakan Air Kelapa Dengan Lama Perendaman Berbeda. Jurnal TROFISH, 1(2), 79-84.

Hamonangan, A.M., Basuki, F., dan Ristiawan, A.N. (2018). Pengaruh Lama Perendaman Induk Betina dalam Ekstrak Purwoceng (Pimpinela alpina) Terhadap Jantanisasi Ikan Guppy (Poecilia reticulata). Jurnal Perikanan.

Universitas Diponegoro. Semarang. Vol 7(1):10-17.

(22)

19

Ibrahim, Y., Hasanah, U., dan Erlita, E. (2018). Optimalisasi Konsentrasi Hormon 17αMetiltestosteron Terhadap Perubahan Nisbah Kelamin Jantan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp.). Jurnal Akuakultura, 2(1).

Islama, D., Nurhatijah., Nisa, R., & Juliawati. (2017). Pengaruh Penggunaan Air Kelapa dengan Konsentrasi Berbeda terhadap Jantanisasi dan Kelangsungan Hidup Ikan Platy Pedang (Xiphophorus helleri), 1-5.

Laheng, S., & Widyastuti, A. (2019). Pengaruh lama perendaman menggunakan air kelapa terhadap maskulisasi ikan lele masamo (Clarias sp). Acta Aquatica:

Aquatic Sciences Journal, 6(2), 58-63.

Malik, T., Syaifudin, M., & Amin, M. (2019). Maskulinisasi ikan guppy (Poecilia reticulata) melalui penggunaan air kelapa (Cocos nucifera) dengan konsentrasi berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 7(1), 13-24.

Marpaung Herry Daniel Laurent. 2015. Hubungan antara Perendaman Induk Betina Menggunakan Ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpina) Dengan Nisbah Kelamin Ikan Guppy (Poecilia reticulata). IPB. Bogor

Masprawidinarta D, Helmizuryani, Elfachmi. 2015. Pengaruh Penggunaan Air Kelapa Dengan Lama Perendaman yang Berbeda Terhadap Maskulinisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Fiseries, 4 (1), 13-16

Perdana, I. P., Johan, I., & Hasby, M. (2022). PENGARUH PENGGUNAAN AIR KELAPA HYBRIDA (Cocos nucifera) DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP MASKULINISASI LARVA IKAN GUPPY (Poecilia reticulata). DINAMIKA PERTANIAN, 38(3), 333-342

Puspitha, S. M. M. T. P., Prasetia, I. N. D., & Wulandari, D. (2023). Uji Evektifitas Perendaman Air Kelapa Dengan Konsentrasi Berbeda Terhadap Maskulinisasi Ikan Guppy (Poecilia reticulata). Juvenil: Jurnal Ilmiah Kelautan dan Perikanan, 4(3), 167-174.

Rahmasari, F., Deni, S.C.U & Siti, H. 2021. Efektivitas Ekstrak Cabe Jawa (Piperretrofactrum) untuk Maskulinisasi Ikan Cupang (Betta splendens).

Jurnal of Aquatropica Asia. Vol.6, No.1. Hal:26-33.

Rismayani, A, Putri. (2017). Pengaruh Pemberian Pakan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) terhadap Warna Pada Ikan Guppy. Departemen Biologi Fakultas

(23)

20

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hassanudin.

Makassar.

Rosalina, D., & Amelisa, D. (2020). Konsentrasi Madu Pelawan yang Berbeda Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Gapi (Poecilia reticulata) Concentration of Pelawan Honey with Different Gender Ratio Gapi Fish (Poecilia reticulata). Jurnal Airaha, 9(2).

Satyani, D. (2017). Pengaruh Umur Induk Ikan Cupang (Betta sprenden regan) dan Jenis Pakan Terhadap Fekunditas dan Produksi Larvanya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 9(4), 13-18.

Selfiaty, M., Cokrowati, N., & Diniarti, N. (2022). Maskulinisasi Ikan Cupang (Betta Sp.) Menggunakan Air Kelapa Melalui Metode Perendaman Embrio Dengan Lama Waktu Yang Berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 10(1), 100-112.

Siregar, A., Syaifudin, M., & Wijayanti, M. (2018). Maskulinisasi ikan cupang (Betta splendens) menggunakan madu alami melalui metode perendaman. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 6(2), 141-152.

Superyadi. 2017. Penggunaan Air Kelapa (Cocos nucifera) dengan Konsentrasi Berbeda untuk Maskulinisasi Ikan Cupang (Betta splendens). Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

Tomasoa, A. M., Azhari, D., Manangsang, C. A., Dansole, F. F., & Firmansyah, R.

(2021). Efektivitas Perendaman Madu Dengan Suhu Berbeda Terhadap Maskulinisasi Larva Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Ruaya:

Jurnal Penelitian dan Kajian Ilmu Perikanan dan Kelautan, 9(2).

Yusuf, N. S., Torang, I., & Nahwani, N. (2023). Maskulinisasi Ikan Cupang (Betta Sp) Melalui Perendaman Larva dengan Estrak Pasak Bumi, Propolis Madu dan 17α-Metyltestosterone. Jurnal Akuakultur Sungai dan Danau, 8(1), 28- 37.

(24)

21

LAMPIRAN

Gambar 1. Menyiapkan akuarium sebagai wadah pemeliharaan

Gambar 2. Menyiapkan air kelapa sesuai dengan konsentrasi tertentu.

Gambar 3. Menyiapkan air sebagai larutan campuran perlakuan air kelapa

Gambar 4.

Memasukkan air kelapa kedalam akuarium

Gambar 5. Memasukkan air kedalam akuarium lalu dihomogenkan

Gambar 6. Menangkap larva ikan

Gambar 7.

Memasukkan larva ikan kedalam akuarium untuk perendaman air kelapa

Gambar 8. Menyiapkan madu sesuai dengan konsentrasi yang ditentukan

Gambar 9. Menyiapkan air sebanyak

perbandingan dosis yang ditentukan

(25)

22 Gambar 10.

Memasukkan madu ke dalam akuarium

Gambar 11.

Memasukkan air kedalam akuarium

Gambar 12. Mengaduk larutan agar homogen

Gambar 13. Mengambil larva ikan

Gambar 14.

Memasukkan larva ikan kedalam akuarium untuk perendaman madu

Gambar 15. Hasil perlakuan perendaman ikan cupang dalam madu 4 ml

Gambar 16. Hasil perlakuan perendaman ikan guppy dalam air kelapa 20%

Gambar 17. Ikan cupang dalam perendaman madu

Gambar 18. Ikan guppy dalam perendaman air kelapa

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan perendaman menggunakan madu dan air kelapa tidak berdampak negatif pada embrio dan larva ikan cupang, sedangkan

8% SIMILARITY INDEX 5% INTERNET SOURCES 8% PUBLICATIONS 3% STUDENT PAPERS 1 2% 2 1% 3 1% 4 1% Analysis of Antidiabetic Activity of Squalene via In Silico and In Vivo Assay