• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBAGA ADAT 'TAU APPA' DAN MODAL SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "LEMBAGA ADAT 'TAU APPA' DAN MODAL SOSIAL"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

Pada tahap ini, 'Tau Appa' baik sebagai institusi maupun aktor identik dengan norma-norma sosial masyarakat Matajang yang didalamnya sudah melekat solidaritas sosial dan modal sosial. Oleh karena itu, pengkajian terhadap keberadaan lembaga adat 'Tau Appa' dan modal sosial menjadi mendesak untuk menjelaskan hubungan timbal balik tersebut.[*].

LINGKUNGAN ALAM MAIWA

Secara umum topografi wilayah Distrik Maiwa secara umum mempunyai topografi wilayah yang beragam berupa perbukitan, pegunungan, lembah dan sungai dengan ketinggian m diatas permukaan laut dan tidak terdapat wilayah pantai. Musim di Kabupaten Maiwa hampir sama dengan wilayah lain di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu musim hujan dan kemarau.

KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MAIWA

Setelah Ye' Parenje meninggal, ia digantikan oleh menantu perempuannya, Ye' Becce', seorang wanita. Setelah Ambo' Imang meninggal digantikan oleh Ye' Pangngajo, setelah Ye' Pangngajo meninggal digantikan oleh Ambo Lateng.

PERSPEKTIF MODAL SOSIAL

Modal sosial menjadi perekat setiap individu berupa norma, kepercayaan dan jaringan sehingga hal tersebut dapat terwujud. Kebersamaan, solidaritas, toleransi, semangat gotong royong, kemampuan berempati merupakan modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat.

FUNGSI SOSIAL LEMBAGA ADAT TAU APPA’

Fungsi Solidaritas Sosial

Masyarakat Matajang yang masih dapat dikatakan mempunyai ciri-ciri homogenitas karakter yang kuat, ternyata juga memerlukan adanya solidaritas sosial yang kuat. Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh aktivitas sehari-hari masyarakat Matajang merupakan cerminan dari solidaritas sosial tersebut. Padahal, yang memasak adalah tetangga yang turut membantu sebagai bentuk solidaritas sosial.

Solidaritas sosial lain yang penulis rasakan adalah ketika datang ke lokasi penelitian yang bertepatan dengan musim buah durian, rambutan dan langsat/duku. Penjelasan di atas menjelaskan bahwa wacana solidaritas sosial sangat bersifat kemanusiaan dan mengandung nilai-nilai luhur (mulia/tinggi) dan tidak mengherankan jika solidaritas tersebut merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kemudian pada bidang kehidupan tertentu, seiring dengan perkembangan kehidupan, masyarakat Matajang juga mengalami pergeseran ke arah solidaritas organik.

Berdasarkan fenomena tersebut, Durkheim menempatkan agama sebagai gejala yang dapat meningkatkan integrasi dan solidaritas sosial. Oleh karena itu, tindakan rasional (instrumental) belum dominan sehingga belum menjadi pedoman dalam tindakan sosial masyarakat Matajang. Jika rasionalitas (secara instrumental) menjadi prasyarat solidaritas organik, maka masyarakat Matajang dengan berbagai diferensiasi kerja yang mulai terlihat, belum bisa dikategorikan sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas organik.

Fungsi Kesejahteraan

Sejumlah hasil hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka antara lain: rotan, damar, penyadapan pohon enau untuk diambil getah/tuaknya yang diolah menjadi gula aren, durian, rambutan dan langsat/duku. Saat ini masyarakat Matajang lebih bergantung pada tanaman industri dibandingkan tanaman hutan seperti rotan dan damar untuk penghidupan mereka. Pasar kedua hasil hutan ini mulai menurun karena banyaknya produk substitusi dengan hasil yang jauh lebih baik.

Lambat laun masyarakat mulai meninggalkan kegiatan tersebut, kecuali penyadapan pohon enau yang hingga saat ini masih dikelola secara tradisional oleh masyarakat Matajang. Masyarakat Matajang saat ini lebih memilih mengembangkan tanaman buah-buahan seperti durian, rambutan dan langsat/duku. Nakua tutau, jama'-jama'na tu tau mmaio ma'darai, wa'dingngi di kua buda wa'ding napegau lako dara'. Ja ammai kamu papa mattungka dara'.

Perubahan tersebut menyebabkan pergeseran pola pikir masyarakat Matajang menjadi lebih terbuka karena informasi mulai masuk dan keluar dari daerahnya. Jalan raya ini baru dibangun sekitar 10 tahun yang lalu dan sejak itu banyak orang keluar masuk ke sini...". Mereka biasanya memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (disingkat HHBK) seperti rotan, damar, lateks, binatang buruan, buah-buahan, umbi-umbian, minyak, kulit pohon dan lain-lain (Ngakan, dkk., 2006).

Fungsi Keselamatan

Keyakinan tersebut berimplikasi pada munculnya institusi sosial lokal yang disebut Tau Appa sebagai wujud empat unsur tersebut. Keberadaan Tau Appa pada dasarnya erat kaitannya dengan sistem pengelolaan lingkungan berkelanjutan khususnya sistem pengelolaan hutan. Peran Tau Appa secara turun temurun adalah hutan tidak boleh dirusak, jika dirusak sama saja dengan merusak masyarakat itu sendiri.

Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa ungkapan Tau Appa yang menunjukkan pandangan mereka yang dipersonifikasikan secara ekologis terhadap lingkungan alam. Ajaran Tau Appa menjadi pedoman dalam segala hal yang akan dilakukan di kawasan masyarakat Matajang, khususnya dalam hal pengelolaan lingkungan hutan di sekitar masyarakat. Lembaga adat Tau Appa, baik mitos yang diturunkan secara turun temurun maupun lembaga yang mempunyai kekuatan sosial saat ini, telah menjadi sumber pengetahuan dan kepercayaan masyarakat Matajang.

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa Tau Appa selalu mempunyai fungsi sosial yang bertujuan secara makro untuk mengintegrasikan seluruh elemen sosial di wilayahnya. Apalagi dalam kehidupan masyarakat Matajang yang homogen dimana sebagian besar proses sosialnya adalah interaksi dengan lingkungan alam sebagai sarana hidup, Tau Appa hanya perlu menjaga hubungan baik dengan lingkungan alam. Tindakan sosial sehari-hari para pelaku Tau Appa, baik dalam konteks interaksi bertetangga maupun interaksi pertemanan, merupakan proses subjektif namun mengalami pengulangan pola.

MODAL SOSIAL: PENGUATAN DAN FUNGSI

Pada musim tanam padi, ikatan sosial masyarakat Matajang diwujudkan dalam bentuk kerjasama yang intens. Ritual ini menarik perhatian, tenaga dan waktu seluruh masyarakat Matajang, termasuk masyarakat yang tinggal di daerah lain. Norma-norma sosial yang terkonsolidasi dalam bentuk tradisi telah menjadi struktur objektif yang tertanam kuat dalam aspek kognitif dan afektif masyarakat Matajang.

Tau Appa' sebagai pranata sosial merupakan hasil obyektifikasi subjektivitas dan merupakan wujud kesadaran kolektif masyarakat Matajang. Rasa aman lahir dan batin yang utuh ini menandakan bahwa modal sosial sangat tertanam kuat dalam proses kehidupan masyarakat Matajang. Modal sosial sebagai kekuatan inilah yang berperan dan berkontribusi dalam menciptakan kondisi keseimbangan dan stabilitas masyarakat Matajang hingga saat ini.

Dari segi kekerabatan dan kekerabatan, ada semacam ikatan emosional yang hidup di kalangan masyarakat Matajang. Potensi lain yang dimiliki masyarakat Matajang yang dapat menjadi sumber modal sosial adalah lembaga keagamaan Islam yaitu masjid dan lembaga keluarga (pendidikan nonformal). Dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai dan ajaran agama Islam, masyarakat Matajang menetapkan masjid sebagai pusat kegiatannya.

EPILOG

Lembaga Adat Tau Appa dalam Realitas Sosial

Sistem sosial budaya masyarakat setempat dikondisikan oleh lingkungan alam dengan mitos Tomanurung yang diwujudkan dalam keberadaan lembaga 'Tau Appa'. Keyakinan akan hal tersebut berakar dari suatu kekuatan budaya bahwa yang menjadi pelaku dalam lembaga ini adalah orang-orang istimewa yang mempunyai kelebihan sebagai penjelmaan Tomanurung dibandingkan dengan yang lain, sehingga hanya keturunannya saja yang dapat menjadi penerusnya. Pernyataan tersebut semakin memperkuat habitus lembaga yang dikonstruksi secara sosial sejak masa kanak-kanak untuk mewarisi karakter dan ilmu pengetahuan dari orang tuanya.

Artinya, mereka yang dipilih secara adat untuk menjadi pemeran 'Tau Appa' memang telah melalui proses yang matang dan panjang secara sosial dan budaya serta telah dipersiapkan sejak kecil. Lingkungan sosial budaya dan alam yang homogen di Matajang juga menunjukkan bahwa ibu kota (perspektif Bourdieu) dan arena tidak jauh berbeda satu sama lain. Modal ekonomi dan modal sosio-politik tidak terlalu menonjol, namun tenggelam dalam dominasi modal budaya dan modal simbolik.

Homogenitas sosial budaya di Matajang yang kemudian mengkondisikan tindakan para aktornya di berbagai arena sosial budaya juga tidak berbeda. Di sisi lain, sistem sosial budaya di Matajang yang didominasi oleh solidaritas sosial mekanis menyebabkan penulis mengkondisikan hal di atas. Hasil penelitian mengenai kekuatan dominan 'modal budaya' pada aktor 'Tau Appa' ini membenarkan gambaran Werter (2003) tentang modal budaya sebagai modal yang paling kompleks dalam menjelaskan modal simbolik dan kekuatan simbolik.

Modal Sosial Dalam Lembaga Adat Tau Appa

Penafsiran terhadap pola tindakan memberikan gambaran bahwa tindakan tersebut mengandung “nilai-nilai” yang tidak ditolak oleh orang lain. Berdasarkan contoh-contoh yang diuraikan dalam penelitian ini, Institut 'Tau Appa' selalu tampil dengan kekuatan simbolisnya. Penelitian yang dilakukan Manda pada tahun 2007 tentang “Masyarakat Adat Karampuang di Sinjai (Analisis Antropologi Agama)”.

Kajian Yusuf Akib (2003) tentang “Potret Manusia Kajang” yang menggambarkan tentang ritual kepercayaan Patuntung pada masyarakat Kajang. Pada tahun 2006, Hayat mempelajari “Kepribadian Masyarakat, Kajian Antropologi Psikologi”, yang dalam penelitiannya menguraikan tentang adanya praktik ritual patuntung dalam masyarakat ini. Berdasarkan tabel identifikasi arena berdasarkan referensi penelitian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) setiap masyarakat adat mempunyai sejarah. mitos” yang menjadi sumber kepercayaan masyarakat.

Berdasarkan referensi di atas terlihat bahwa masyarakat adat mempunyai proses keterkaitan antar komponen makrokosmos yang sama, seperti: kesamaan mitos, adanya keterwakilan Tuhan di muka bumi oleh umat pilihan, adanya pranata sosial sebagai manifestasinya. mitos, adanya norma sosial, adanya ritual, sebagai representasi hubungan Tuhan dengan manusia dan makhluk ciptaan lainnya. Uraian yang dijelaskan di atas juga menyimpang secara umum dari tradisi dari perspektif struktural, yang lebih mengutamakan norma-norma sosial sebagai kekuatan pengikat masyarakat adat. Mengingat hal tersebut maka pranata sosial Tau Appa pada masyarakat Matajang tidak hanya dilihat dari segi struktural saja, namun juga dilihat dari segi aktor (mikro), sehingga pendekatan yang digunakan adalah “Struktur-Aktor” atau “Objektivitas-Subjektivitas” dalam kajian tersebut. hubungan antar komponen sosial masyarakat Matajang.[*].

DAFTAR PUSTAKA

Conceptual Framework and Empirical Evidence An Annotated Bibliography World Bank Family Environmental and Social Sustainable Development Network. Biodiversity and Traditional Knowledge: Rice Varieties among the Leppo' Ke of Apau Ping," dalam Social Science Research and Conservation Management in the Interior of Borneo, C.

CURRICULUM VITAE

Prosiding Nasional Universitas Bosowa “Iptek Bagi Masyarakat 13. Usaha Dodol Nangka di Desa Batu Mila Kecamatan. Darurat Masyarakat di Desa Labuku Kecamatan. Seminar Sehari dengan topik 1. Pengembangan Sumber Daya Manusia Sektor Pariwisata di Era Otonomi Daerah, 2004, Akper Makassar, Peserta Seminar Nasional “Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan”, 2. Pertemuan Kelompok Pakar “Optimalisasi Diplomasi Maritim 3. Indonesia: Tantangan dan Arah Masa Depan”, 2009, Kementerian Luar Negeri RI, peserta Seminar Internasional “Terorisme dan Konflik di Asia Tenggara”, 5. Seminar Internasional “Inovasi dalam Pendidikan Bisnis Modern”.

Seminar nasional “Bahaya radiasi frekuensi elektromagnetik 7. Dialog Publik dengan tema “Perlindungan dasar bagi pengguna 8. Moda transportasi dan pengguna jalan lainnya, 2010, Univ. Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara (10. HIMAN) dengan tema “Peran Pemuda dalam Pembangunan Bangsa”, 2011, Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara (HIMAN) Univ.

Gambar

Gambar 7.1. Tiga momentum dalam pemikiran Berger (Riyanto,  2009)

Referensi

Dokumen terkait

Yes Yes Yes Yes Yes Yes Investigators accounted for unintended concurrent exposures that were differentially experienced by study groups and might bias results.. Yes Yes Yes Yes Yes