• Tidak ada hasil yang ditemukan

LIMITATIONS ON THE EXCLUSIVE RIGHTS OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHT HOLDERS (SOCIAL JUSTICE PERSPECTIVE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "LIMITATIONS ON THE EXCLUSIVE RIGHTS OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHT HOLDERS (SOCIAL JUSTICE PERSPECTIVE)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Pembatasan Hak Eksklusif Pemegang Hak Kekayaan Intelektual (Perspektif Keadilan Sosial)

Sigit Nugroho

Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Balun Ijuk, Kec. Merawang, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung 33172 Email: snugroho571@gmail.com

Submitted : 23 Desember 2022 Revised : 20 April 2023 Accepted : 09 Mei 2023 Published : 20 Juli 2023

Jurnal Al Adl by Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. (CC-BY)

Abstract

Social justice is the goal of the Indonesian state, which must be realized in all fields so that welfare is realized for all Indonesian people which also radiates in the field of intellectual property law, bearing in mind that the initial regulation of intellectual property came from developed countries which are industrial countries which are different from Indonesia. Social justice is the fundamental norm as well as the goal of the state, which is used as a reference in the formation of intellectual property law rules. Thus, arrangements regarding the distribution of intellectual property rights must pay attention to the public interest. Based on such arguments, the regulation regarding restrictions on the exclusive rights of intellectual property rights holders is realized in the public interest. At the implementation level, setting the exclusive rights of older intellectual property law protected without prejudice to the protection of community (general) rights as a form of limiting these rights for the common good. Restrictions on the exclusive rights of the holder of intellectual property law as a form of social justice have been regulated in the Indonesian legal system, although there are still deficiencies.

Keywords: Restrictions; Exclusive Rights; Social Justice.

Abstrak

Keadilan sosial merupakan tujuan negara Indonesia yang harus diwujudkan dalam segala bidang agar terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia yang terpancar juga dalam bidang hukum kekayaan intelektual, mengingat awal pengaturan kekayaan intelektual berasal dari negara maju yang merupakan negara industri yang berbeda dengan Indonesia. Keadilan sosial sebagai norma dasar sekaligus tujuan negara yang dijadikan acuan dalam pembentukan aturan hukum kekayaan intelektual. Sehingga, pengaturan mengenai distribusi hak kekayaan intelektual harus memperhatikan kepentingan umum. Dengan dasar argumen demikian, maka pengaturan mengenai pembatasan dalam hak eksklusif pemegang hak kekayaan intelektual diwujudkan demi kepentingan umum. Pada tataran implementasi, pengaturan hak eksklusif pemegang HKI dilindungi tanpa mengesampingkan perlindungan hak masyarakat (umum) sebagai wujud pembatasan atas hak tersebut demi kemaslahatan bersama. Pembatasan hak eksklusif pemegang HKI sebagai salah satu wujud keadilan sosial telah diatur dalam sistem hukum Indonesia walaupun masih terdapat kekurangan.

Kata kunci: Pembatasan; Hak Eksklusif; Keadilan Sosial.

PENDAHULUAN

(2)

Keadilan dalam segala bidang merupakan suatu keniscayaan agar terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan telah menjadi suatu tujuan yang harus diwujudkan oleh negara Indonesia oleh pemerintah sebagaimana termaktub dalam Alenia Keempat Pembukaan UUD 1945 yakni memajukan kesejahteraan umum.

Kesejahteraan yang menyangkut kepentingan umum ini juga masih banyak mencakup berbagai bidang dan bentuk-bentunya yang penting untuk diwujudkan. Dalam mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia tidak lepas dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Secara das sollen, pelaksanaan penegakan dan melindungi HAM harus dijamin, diatur, dan dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga sudah seyogyanya pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan perlindungan HAM harus didasarkan pada Pancasila sebagai dasar negara. Jika demikian, maka ukuran keadilan dalam perlindungan HAM di Indonesia adalah keadilan menurut Pancasila.

Sedangkan menurut das sein, urusan perlindungan HAM ini tidak semata-mata kepentingan bangsa dan negara Indonesia saja. Mengingat adanya keharusan dalam pergaulan dunia terutama melalui perdagangan, perlindungan HAM di Indonesia harus menghormati perlindungan HAM bangsa dan negara lain atau dengan kata lain, Indonesia harus mengakomodasi kepentingan HAM dari negara lain.

Salah satu perlindungan hak manusia yang harus dijunjung tinggi dan dihargai adalah hak milik (selain hak hidup dan hak kebebasan). Sehingga, aturan keadilan dapat dipaksakan bila menyangkut hal ini karena mempunyai nilai pada dirinya sendiri dan wajib dijunjung tinggi karena nilainya yang luhur.1 Salah satu hak milik yang dilindungi terkait dengan perdagangan global (antar negara-negara di dunia) yakni perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI). HKI ini telah diakui sebagai hak privat oleh negara-negara peserta TRIPs Agreement. HKI sebagai suatu hak milik harus dilindungi. Untuk itu, menuntut negara-negara yang berpartisipasi dalam perlindungan hak ini (terutama yang ikut dalam perjanjian internasional) harus melakukan standarisasi hukum. Standarisasi hukum bila tidak tepat akan berimplikasi pada penegakan hukum dalam segala bidang di suatu negara, baik disebabkan karena benturan kepentingan, ideologi, maupun budaya hukum.

Standarisasi hukum HKI di Indonesia yang sesuai dengan dasar negara tentunya sangat penting untuk dikaji mengingat bahwa konsep HKI sendiri bukan berasal dari Indonesia. Gagasan pengaturannya berasal dari barat (negara industri) yang ditujukan untuk

1 Sunarto. 2014. Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, Prenadamedia Group, Jakarta, halm. 78.

(3)

melindungi perdagangan produk-produk yang mereka buat. Sehingga, HKI ini sebagai suatu hak milik masih perlu adanya telaah lebih dalam terutama menyangkut praktik hukum masing-masing negara terutama negara berkembang seperti Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, terutama dalam pembatasan HKI.

Hak sendiri merupakan kekuasaan atau kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum.2 Sehingga, bila subjek hukum menggunakan hak dengan tujuan untuk merugikan orang lain merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima. Hak bila tidak dibatasi dapat disalahgunakan. Menurut Rahmi Jened, penyalahgunaan hak terjadi bila seseorang menggunakan haknya dengan cara yang bertentangan dengan tujuan untuk mana hak itu diberikan.3 Dalam konteks Indonesia, hak tidak boleh bertentangan dengan tujuan negara. Salah satu hak yang dilindungi adalah hak milik. Penggunaan hak milik yang bertentangan dengan tujuan negara dapat dikatakan disalahgunakan, termasuk juga HKI yang telah diberikan oleh negara kepada pemegangnya dapat dikatakan disalahgunakan bila digunakan tidak sesuai peruntukannya.

Kajian ini dimaksudnya untuk menjelaskan sejauh mana kesesuaian pembatasan HKI dalam konteks keadilan sosial yang merupakan norma dasar sekaligus tujuan negara.

Sehingga, pembatasan HKI ini seyogianya dilakukan secara proporsional antara pemegang hak dan pengguna (masyarakat) atau sesuai dengan norma hukum secara hierarkhis. Hal tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan masing-masing pihak dan juga kepentingan nasional, serta penghormatan terhadap suatu perjanjian internasional yang terkait dengan pengaturan HKI yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia guna mewujudkan kesejahteraan umum sebagai suatu bentuk keadilan sosial.

RUMUSAN MASALAH

Adapun Permasalahan dalam pembahasan ini aialah Bagaimana Pembatasan Hak Eksklusif Pemegang Hak Kekayaan Intelektual (Perspektif Keadilan Sosial) untuk menjelaskan sejauh mana kesesuaian pembatasan HKI dalam konteks keadilan sosial yang merupakan norma dasar sekaligus tujuan negara?

2 M. Marwan dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya, halm. 230.

3 Rahmi Jened. 2013. Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan Usaha (Penyalahgunaan HKI), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, halm. 285.

(4)

METODE PENELITIAN

Penulisan ini dielaborasi secara deskriptif analitis dengan model kajian dogmatis atau yuridis preskriptif. Maksud dari penelitian deskriptif-analitis adalah guna mendeskripsikan dan menekuni masalah yang akan diteliti terkait tidak dipenuhinya hak pekerja magang sebagaimana yang diperjanjikan dalam perjanjian pemagangan menurut pandangan Undang- Undang Ketenagakerjaan. Serta bagaimana praktik unpaid internship mempengaruhi perlindungan hak pekerja magang.

PEMBAHASAN

Keadilan Sosial sebagai Norma Dasar Sekaligus Tujuan Negara

Kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia memiliki tujuan yang ingin dicapai bersama yaitu tujuan negara yang dirumuskan dalam filsafat yang menjadi sebuah ideologi bangsa dan negara Indonesia, baik negara hukum formal maupun material mendasarkan pada sila kelima Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Karena negara Indonesia didirikan, dipertahankan dan dikembangkan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia, menjamin dan melindungi setiap hak rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana termaktub dalam Alenia Keempat Pembukaan UUD 1945.

Dalam Alenia Keempat Pembukaan UUD 1945 ini terdapat dasar negara khususnya dasar kelima yakni Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi norma dasar sekaligus tujuan negara. Dasar kelima ini bila dilihat menurut pendapat Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm/Grundnorm). Sebagai Grundnorm, Pancasila pada dasarnya tidak berubah-ubah atau bersifat abadi,4 karena mengubah nilai-nilai dasar berarti membubarkan negara.5 Sedangkan menurut salah satu muridnya Kelsen yakni Hans Nawiasky disebut Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara).6 Pada tataran inilah, Pancasila khususnya sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar dari suatu negara.7 Dengan demikian, dasar keadilan sosial yang berkelindan dengan dasar-dasar lain (Pancasila) menjadi

4 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at. 2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal

& Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. halm. 170.

5 Moerdiono (ed. Oetojo Oesman dan Alfian). 1991. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka: Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Cetakan Kedua, BP-7 Pusat, Jakarta, halm. 407.

6 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Op.Cit., halm. 170

7 Ibid.

(5)

norma hukum tertinggi yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum yang lebih rendah (Pasal-pasal UUD 1945), yang begitu pun selanjutnya (pasal-pasal) UUD 1945 menjadi dasar dalam pembentukan norma dalam peraturan perundang-undangan khususnya yang mengatur mengenai HKI. Untuk itu, perlu ditelaah terlebih dahulu mengenai dasar keadilan sosial ini agar dapat dijabarkan melalui pasal-pasal dalam UUD 1945 guna memahami keterkaitan norma antara keduanya dalam penilaian koherensi norma hukum yang tercantum dalam pengaturan HKI khususnya mengenai pembatasan HKI dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Kata keadilan dalam „keadilan sosial‟ yang memiliki arti atau pengertian yang sangat beragam (tidak definitif) dapat dimaknai secara singkat sebagai berikut.

Keadilan dapat diartikan sebagai kebaikan, kebajikan dan kebenaran, yaitu suatu kewajiban moral yang mengikat antara anggota masyarakat yang satu dengan lainnya.

Keadilan sebagai nilai yaitu yang menjadi tujuan yang disepakati bersama oleh anggota masyarakat serta diusahakan pencapaiannya demi keadilan itu sendiri. Makna lain dari keadilan adalah sebagai hasil atau suatu keputusan yang diperoleh dari penerapan atau pelaksanaan hukum. Keadilan juga diartikan sebagai unsur ideal, yaitu sebagai suatu cita atau suatu ide yang terdapat dalam semua hukum.8

Nilai keadilan dalam konteks Indonesia dapat dikaitkan dengan nilai keadilan sosial.

Istilah keadilan sosial menurut H. Pesch tak lain adalah istilah umum untuk kadilan umum.9 Dalam bunyi sila kelima sangat jelas dirumuskan dengan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan demikian keadilan yang ingin diwujudkan di Negara Indonesia adalah bagi seluruh rakyat atau lebih mengutamakan kepentingan umum (keadilan umum), namun demikian bukan berarti tidak mengakui kepentingan individu. Dengan bunyi rumusan sila “…bagi seluruh rakyat Indonesia”, berarti mencakup seluruh kepentingan masyarakat atau rakyat Indonesia. Kepentingan atau hak seluruh masyarakat ingin dipenuhi secara adil sesuai dengan proporsinya masing-masing atau secara fair.

Dengan memahami hakikat manusia yang bersifat monopluralis, maka dalam realisasi tujuan pembangunan Indonesia yaitu realisasi “manusia selengkapnya”.10 Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara dalam rangka mewujudkan tujuan negara Indonesia, maka harus senantiasa sesuai, mengarah dan mewujudkan hakikat manusia. Karena manusia adalah salah satu unsur terbentuknya sebuah negara. Sehingga keadilan yang ingin

8 Bahder Johan Nasution. 2014. “Kajian Filosofis tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran Klasik sampai Pemikiran Modern”, Jurnal Yustisia, 3.2 halm. 130.

9 Kaelan. 2018. Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, halm. 397.

10 Ibid., halm. 239

(6)

diwujudkan bukan hanya untuk bangsa Indonesia sendiri akan tetapi mencakup juga antar bangsa dan negara. Bangsa dan negara Indonesia sadar bahwa sebagai negara yang merdeka harus hidup berdampingan dengan negara lain secara damai dan saling membantu.

Keadilan sendiri pada dasarnya merupakan konsep yang relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, kapan seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya relevan dengan ketertiban umum di mana suatu skala keadilan diakui.11 Menurut Agus Santoso bahwa skala keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala didefinisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat tersebut.12 Dengan demikian, maka skala keadilan sosial yang dirumuskan dalam Pancasila dan dijabarkan kembali dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai sebuah tujuan negara sesuai dengan ketertiban umum dan budaya hukum masyarakat Indonesia. Bukti dari hal tersebut adalah bahwa Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara merupakan suatu hasil konsensus filsafat (Philosophical consensus) dan konsensus politik (political consensus)13, sehingga keadilan sosial yang ingin dicapai memiliki pengertian yang sesuai dengan skala ketertiban umum bangsa dan negara Indonesia.

Sampai saat ini, definisi maupun pengertian dari keadilan sosial masih belum definitif.

Akan tetapi beberapa ahli telah menjabarkan mengenai apa yang dimaksud dengan keadilan sosial. Penjabaran mengenai keadilan sosial menurut para ahli juga tidak terlepas dari makna keadilan yang telah disampaikan oleh para pemikir besar seperti misalnya Plato, Aristoteles, sampai pada pemikir-pemikir besar modern seperti John Rawls dan lain sebagainya.

Mengutib pemikiran yang disampaikan oleh Kaelan. Kaelan berpendapat bahwa keadilan sosial mengungkapkan berbagai segi dan fungsi baru keadilan umum dan keadilan membagi.14 Selanjutnya Kaelan menyatakan bahwa urusan keadilan sosial ialah apa yang diwajibkan untuk warga negara demi kesejahteraan umum dan apa yang menjadi hak warga negara dari kesejahteraan umum itu dan merupakan kewajiban masyarakat dan negara.15 Dalam ideologi Pancasila, tujuan keadilan sosial adalah struktur masyarakat/negara yang seimbang dan teratur yang melalui itu semua warganya mendapat kesempatan untuk

11 M. Agus Santoso. 2014. Hukum, Moral, dan Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, halm. 85.

12 Ibid.

13 Kaelan, Op.Cit., halm. 196.

14 Ibid., halm. 403.

15 Ibid.

(7)

membangun suatu kehidupan yang layak dan mereka yang lemah mendapat bantuan.16 Atau dengan kata lain menurut Kaelan bahwa tujuan keadilan sosial ialah menyusun suatu masyarakat yang seimbang dan teratur di mana semua warganya mendapat kesempatan untuk membangun suatu kehidupan yang layak dan mereka yang lemah kedudukannya mendapatkan bantuan seperlunya.17

Pendapat yang telah disampaikan oleh Kaelan ini sesuai dengan prinsip keadilan yang disampaikan oleh Aristoteles dan Jahn Rawls. Aristoteles menyatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.18 Aristoteles juga menuliskan dalam bukunya Nicomachean Ethics Book V bahwa “…awards should be „according to merit‟; for all men agree that what is just in distribution must be according to merit in some sense, though they do not all specify the same sort of merit…”.19 Menurutnya bahwa penghargaan harus sesuai dengan prestasi, karena semua orang setuju bahwa apa yang adil dalam distribusi harus sesuai dengan pahala dalam beberapa hal, meskipun mereka tidak semua menentukan jenis jasa yang sama. Selanjutnya Aristoteles menyatakan bahwa memperlakukan seseorang harus sesuai dengan proporsinya yang dalam bukunya ia menyatakan “This, then, is what the just is—the proportional; the unjust is what violates the proportion. Hence one term becomes too great, the other too small, as indeed happens in practice; for the man who acts unjustly has too much, and the man who is unjustly treated too little, of what is good.”20 Menurutnya, apa yang adil itu proporsional; ketidakadilan itulah yang melanggar proporsi. Karenanya satu istilah menjadi terlalu besar, yang lain terlalu kecil, seperti yang memang terjadi dalam praktik; karena orang yang bertindak tidak adil memiliki terlalu banyak, dan orang yang diperlakukan tidak adil terlalu sedikit, dari apa yang baik.

Dengan lain perkataan bahwa melanggar proporsi (ketidakadilan) adalah memiliki sesuatu secara berlebihan baik itu dalam ukuran banyak (besar) maupun sedikit (kecil). Terlalu banyak dan terlalu sedikit atau terlalu besar atau terlalu kecil menyebabkan tidak proporsional (tidak adil). Untuk itu, penghargaan terhadap seseorang harus proporsional atau sesuai dengan kebutuhannya (seperlunya) atau dapat juga sesuai dengan prestasinya.

16 Surajiyo. 2018. “Keadilan dalam Sistem Hukum Pancasila”, Jurnal IKRAITH-humanira, 2.3 halm. 29.

17 Kaelan. Op.Cit., halm. 405.

18 Dominikus Rato. 2010. Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, Dan Memahami Hukum, LaksBang Yustisia, Surabaya, halm. 64 dalam Ferry Irawan Febriansyah. 2016. Keadilan Berdasarkan Pancasila (Dasar Filosofis dan Ideologis Bangsa), Deepublish, Yogyakarta, halm. 41.

19 Aristotle (Translated by W. D. Rose). 1999. Nicomachean Ethics, Batoche Books, Kitchener, halm.

76

20 Ibid.

(8)

Mewakili pemikiran modern mengenai prinsip keadilan, John Rawls telah menyampaikan pemikirannya mengenai teori keadilan. John Rawls sendiri telah merumuskan dua prinsip keadilan yang dapat dipakai dalam menguraikan mengenai keadilan sosial sebagai berikut.

First: each person is to have an equal right to the most extensive scheme of equal basic liberties compatible with a similar scheme of liberties for others.

Second: social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone's advantage, and (b) attached to positions and offices open to all.21

Dalam prinsip keadilan yang disampaikan John Rawls tersebut menjelaskan bahwa Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama atas skema paling luas dari kebebasan dasar yang setara yang kompatibel dengan skema kebebasan serupa untuk orang lain. Kedua, ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga keduanya (a) diharapkan secara wajar menguntungkan semua orang, dan (b) terikat pada posisi dan jabatan yang terbuka untuk semua.

Merujuk pada teori keadilan klasik sampai dengan teori keadilan kontemporer yang diwakili oleh Aristoteles dan John Rawls tersebut, Jimly Asshiddiqie menyampaikan pendapatnya terutama yang sesuai dengan teori keadilan John Rawls sebagai berikut.

Doktrin keadilan sosial memuat prinsip pokok bahwa (i) setiap orang dipandang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan dan menikmati totalitas sistem kebebasan dasar yang setara dan berlaku sama bagi semua orang; dan bahwa (ii) ketidaksamaan (inequalities), baik sosial maupun ekonomi, harus diatur agar keduanya (a) memberi manfaat terbesar bagi warga yang paling tidak beruntung dalam kehidupan bersama dan (b) membuka peluang yang sama untuk bekerja dan mendapatkan posisi-posisi yang terbuka dengan syarat-syarat kesamaan kesempatan yang adil bagi mereka.22 Pada uraian sebelumnya telah disampaikan oleh Kaelan bahwa keadilan sosial mengungkapkan berbagai segi dan fungsi baru keadilan umum dan keadilan membagi, maka telah jelas bahwa keadilan sosial terkait dengan pengertian keadilan distributif (membagi) yang berkenaan dengan pembagian manfaat sosial yang merata. Sesuai dengan pendapat Kaelan tersebut, Jimly Asshiddiqie mengemukakan 7 (tujuh) kemungkinan kriteria yang dapat dipakai dalam menentukan sejauh mana pembagian atau distribusi manfaat sosial dapat dikatakan adil, yaitu:

21 John Rawls. 1999. A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard University Press, Cambridge,

Massachusetts, h. 53.

22 Jimly Asshiddiqie. 2018. Konstitusi Keadilan Sosial, Kompas, Jakarta, halm. 92.

(9)

1. Distribusi dengan kesetaraan atau berkesamaan (equal, equality);

2. Distribusi menurut kebutuhan (according to needs);

3. Distribusi menurut kemampuan, prestasi, atau pencapaian (according to ability, merit, or achievements);

4. Distribusi menurut usaha atau ikhtiar dan pengorbanan (according to effort and sacrifices);

5. Distribusi menurut kontribusi produktif yang nyata (according to actual productive contribution);

6. Distribusi menurut persyaratan kebaikan umum, untuk kepentingan publik, untuk kesejahteraan harkat manusia, atau untuk kebaikan yang lebih besar dari jumlah yang lebih banyak (according to the requirements of common good, public interest, the welfare of mankind, or the greater good of a greater number); atau

7. Distribusi menurut penilaian atas pelayanan sosial dengan nilai kelangkaan antara persediaan dan kebutuhan berdasarkan dinamika kekauatan ekonomi pasar (according to a valuation of their socially useful services), yaitu berdasarkan kekuatan-kekuatan pasar (according to market forces).23

Untuk melihat kriteria yang dapat dipakai dalam menentukan sejauh mana pembagian atau distribusi manfaat sosial bagi masyarakat dapat dikatakan adil, harus dipahami dulu mengenai unsur-unsur keadilan sosial.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dapat dipahami bahwa hakikat adil itu sendiri adalah dipenuhinya segala sesuatu yang merupakan suatu hak di dalam hubungan hidup kemanusiaan sebagai suatu wajib.24 Menurut Kaelan, hak dan wajib adalah merupakan unsur-unsur keadilan sosial, karena pada hakikatnya unsur hak dan wajib merupakan unsur yang sangat menentukan terwujudnya keadilan sosial.25 Dengan demikian, agar terwujudnya keadilan sosial makan harus diwujudkan hubungan antara hak dan wajib dalam masyarakat pada setiap individu (manusia) secara bersama-sama. Disatu sisi ia melaksanakan yang wajib, disisi lain ia melaksanakan haknya.

Menurut Kaelan bahwa untuk keadaan waktu sekarang dalam pelaksanaannya lebih mengutamakan yang wajib, karena dengan terpenuhinya wajib justru merupakan jaminan terpenuhinya hak.26 Karena hak-hak asasi harus pula bergandengan dengan kewajiban asasi, yang dalam kehidupan kemasyarakatan kewajiban asasi harus didahulukan. Artinya memenuhi kewajiban terlebih dahulu, baru kemudian menuntut hak.27 Oleh karena itu, menurutnya, mengutamakan kepentingan bersama (kepentingan umum) tanpa meninggalkan

23 Ibid., halm. 93.

24 Kaelan, Op.Cit., halm. 419.

25 Ibid.

26 Ibid., halm. 424.

27 Dahlan Thaib. 1994. Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, Edisi Revisi, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, halm. 85.

(10)

kepentingan individu adalah merupakan ciri khas atau kepribadian Indonesia.28 Dengan demikian, faktor penunjang nilai keadilan adalah masyarakat saling menghargai satu sama lain menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan kesadaran akan hak dan kewajiban dan yang terakhir gunakan musyawarah yang baik antar warga masyarakat.29

Bila dikaitkan dengan distribusi (pembagian) hak dan wajib (kewajiban) dalam penguasaan hak atas kekayaan intelektual, maka pemenuhan hak dan wajib harus mengutamakan kepentingan bersama (umum), agar dapat terpenuhinya hal tersebut harus diatur sedemikian rupa agar pengaturan distribusi tersebut memberi manfaat terbesar bagi masyarakat luas terutama bagi yang paling tidak beruntung dalam kehidupan bersama secara proporsional yang paling tidak dengan memperhatikan kriteria (i) menurut kemampuan, prestasi atau pencapaian, (ii) menurut usaha atau ikhtiar dan pengorbanan, dan (iii) menurut persyaratan kebaikan umum, untuk kepentingan publik, untuk kesejahteraan harkat manusia, atau untuk kebaikan yang lebih besar dari jumlah yang lebih banyak.

Berdasarkan paparan mengenai keadilan sosial sebagai tujuan negara Indonesia tersebut, dapat diambil ringkasan bahwa keadilan sosial merupakan norma dasar sekaligus tujuan negara Indonesia. Keadilan sosial sendiri memiliki tujuan untuk menyusun masyarakat yang seimbang dan teratur di mana semua warganya mendapatkan kesempatan untuk membangun suatu kehidupan yang layak dan mereka yang lemah kedudukannya mendapatkan bantuan sesuai dengan proporsi hak dan kewajibannya. Pemenuhan hak dan kewajiban atas keadilan sosial tersebut harus mengutamakan kepentingan bersama tanpa meninggalkan kepentingan individu yang dilakukan secara proporsional. Dan agar terjaminnya suatu pemenuhan hak, maka pelaksanaan sesuatu yang wajib menjadi sebuah prioritas bagi setiap pengembannya. Dengan demikian, untuk memenuhi rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka distribusi HKI harus memenuhi kriteria bahwa pemenuhan hak dan wajib harus mengutamakan kepentingan bersama (umum), agar dapat terpenuhinya hal tersebut harus diatur sedemikian rupa agar pengaturan distribusi tersebut memberi manfaat terbesar bagi masyarakat luas terutama bagi yang paling tidak beruntung dalam kehidupan bersama secara proporsional dengan memperhatikan (i) menurut kemampuan, prestasi atau pencapaian, (ii) menurut usaha atau ikhtiar dan pengorbanan, dan (iii) menurut persyaratan kebaikan umum, untuk kepentingan publik, untuk kesejahteraan harkat manusia, atau untuk kebaikan

28 Kaelan, Op.Cit., halm. 424

29 Suri Indriani dan Hadi Rianto. 2019. “Analisis nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Untuk Mengembangkan Sikap Keadilan di Desa Pusat Damai Kecamatan Parindu Kabupaten Sanggau”, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 3.2, halm. 173.

(11)

yang lebih besar dari jumlah yang lebih banyak, karena keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Untuk itu, guna mencapai perspektif keadilan dalam hukum nasional yang paling utama diperlukan pemahaman dan kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara, oleh karenanya sikap atau perbuatan untuk menempuh kebahagian dan kesejahteraan pada individulah perlu ditanamkan lebih dulu.30 Dengan demikian, nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan yaitu tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara lahiriah maupun batiniah.31

Pembatasan Hak Eksklusif Pemegang Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Indonesia merupakan negara hukum, hal tersebut telah ditetapkan dengan jelas dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya, segala sesuatunya harus diatur dengan hukum. Hukum sebagai panglima. Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.32 Pengakuan tersebut juga telah ditetapkan dalam konstitusi Indonesia dalam beberapa pasalnya.

Pengaturan mengenai hak asasi manusia tertuang dalam Pasal 28A sampai 28J UUD 1945 serta hak-hak lain yang diatur di luar pasal tersebut. Pasal dalam UUD 1945 yang dapat gunakan sebagai dasar pengaturan HKI diantaranya (i) Hak mengeluarkan pikiran baik tulisan maupun lisan yang diatur pada Pasal 28 UUD 1945; (ii) Hak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya yang diatur dalam Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945; (iii) Hak mendapatkan imbalan yang adil dan layak diatur dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945; (iv) Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan diatur dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945; (v) Hak atas hak milik pribadi diatur dalam Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945; dan (vi) Hak perlindungan dan pengembangan seni dan budaya Indonesia diatur dalam Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945. Pengaturan hak tersebut juga tidak terlepas dari pasal lain misalnya Pasal 31 Ayat (5) UUD 1945 yang mengatur mengenai kewajiban pemerintah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi diatur dalam dan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai pembangunan ekonomi yang

30 Ana Suheri. 2018. “Wujud Keadilan Dalam Masyarakat ditinjau dari Perspektif Hukum Nasional”, Jurnal Morality 4.1, halm. 67.

31 Riky Sembiring. 2018. “Keadilan Pancasila dalam Persepektif Teori Keadilan Aristoteles”, Jurnal Aktual Justice 3.2, halm. 154.

32 Dahlan Thaib, Op.Cit, halm. 87.

(12)

didasarkan atas asas kekeluargaan, karena penguasaan HKI ini terkait dengan pemerintah dan bidang ekonomi.

Berdasarkan pengaturan hak dalam UUD 1945 tersebut, salah satunya yang terkait dengan pengakuan HKI sebagai hak privat sebagaimana disepakati dalam TRIPs Agreement yang diakui dan diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yakni Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Dan demi terwujudnya perlindungan hak asasi tersebut, negara (terutama pemerintah) bertanggung jawab dan menjamin dengan mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 28I Ayat (4) dan (5) UUD 1945). Bukan hanya tanggung jawab negara, jaminan perlindungan hak asasi tersebut juga tanggung jawab atau kewajiban setiap manusia (Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945).

Untuk itu, demi menjaga agar hak tersebut tidak digunakan dengan maksud atau dengan tidak sengaja merugikan orang lain, maka dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 telah ditetapkan dasar pengaturan pembatasan hak yang berbunyi:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Artinya, menurut pasal tersebut dapat dikatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan keadilan umum (tujuan negara), tetap ada porsi terhadap kepentingan umum dalam pengakuan dan penghormatan hak milik seseorang dengan berbagai pertimbangan di atas. Sehingga, berdasarkan pasal ini, seyogianya implementasi pembatasan HKI yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan HKI koheren dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28J Ayat (2) ini atau diderivasi dari pasal tersebut dan juga tetap menghormati TRIPs Agreement.

Secara das sollen dapat dikatakan bahwa perlindungan terhadap hak seseorang merupakan kewajiban setiap orang, masyarakat dan negara (pemerintah). Hak seseorang - khususnya hak milik - yang telah diakui dan dilindungi oleh negara tersebut harus dibatasi dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis melalui undang-undang guna menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan keadilan.

(13)

Artinya, perlindungan terhadap hak milik ini memiliki dua dimensi yang melekat yakni dimensi keadilan perorangan dan keadilan umum yang serasi, selaras dan seimbang (proporsional).

Secara konseptual pun dalam pengaturan hukum agraria menjelaskan bahwa hak milik merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh orang dengan tanpa melupakan bahwa setiap hak itu memiliki fungsi sosial33 walaupun masih sebatas pada benda berwujud. Sehingga, konsep ini juga dapat diterapkan pada benda tidak berwujud seperti HKI sesuai dengan jenis haknya masing-masing. Hal ini menandakan bahwa pembatasan terhadap penggunaan hak milik perorangan terhadap benda yang tidak berwujud agar tidak digunakan secara mutlak (tidak terbatas).

HKI atau Intellectual Property Right sendiri adalah salah satu hak yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.34 Atas kreasi tersebut, masyarakat beradab mengakui bahwa yang menciptakan boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkannya.35 Berdasarkan hukum nasional Indonesia, standarisasi hukum dalam lingkup kekayaan intelektual sendiri meliputi: Hak Cipta dan Hak terkait; Paten; Merek dan Indikasi Geografis; Desain Industri; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; Rahasia Dagang; dan Perlindungan Varietas Tanaman.

Pembatasan HKI dalam hukum nasional Indonesia dapat dicontohkan misalnya dalam pengaturan desain industri. Pembatasan desain industri dalam konvensi internasional tercantum dalam Article 26 (2) TRIPs telah implementasikan dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang- Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (selanjutnya disebut UU No. 31/2000).

Selain itu, berdasarkan keleluasaan kepada setiap negara anggota yang diberikan TRIPs untuk mengatur dalam memberikan pembatasan atau pengecualian atas hak eksklusif secara terbatas dengan ketentuan tidak bertentangan dengan eksploitasi normal hak tersebut, tidak merugikan kepentingan yang sah dari pemegang hak eksklusif, dan mempertimbangkan kepentingan yang sah dari pihak ketiga, maka pembatasan hak desain industri diberikan pembatasan tambahan sebagaimana Pasal 4 UU No. 31/2000 yang merupakan bukti keunikan Pancasila sebagai dasar negara (norma hukum tertinggi) yang sarat akan fungsi sosial terkait hak milik.

Akan tetapi, dalam konsideran UU No. 31/2000 tidak menyertakan dasar Pasal 28H Ayat (4) dan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 yang terkait dengan pengakuan hak milik secara langsung.

33 M. Marwan dan Jimmy P., Op.Cit., halm. 237.

34 Kholis Roisah. 2015. Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Malang: Setara Press, halm. 4.

35 Ibid., halm. 7.

(14)

Sehingga, hal ini dapat mengurangi makna bahwa pengutamaan kewajiban lebih diutamakan ketimbang hanya pemenuhan hak, terutama untuk kepentingan umum maupun orang lain, walaupun terdapat ketentuan Pasal 4 UU No. 31/2000.

Sehingga, secara prinsipil, pengaturan perlindungan HKI di Indonesia yang meliputi Hak Cipta dan Hak terkait; Paten; Merek dan Indikasi Geografis; Desain Industri; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; Rahasia Dagang; dan Perlindungan Varietas Tanaman secara norma hukum harus tetap diturunkan melalui norma yang lebih tinggi dengan tetap menghormati TRIPs Agreement. Bila norma hukum dalam perlindungan HKI pada tataran nilai instrumental yang hierarkhis (Undang-Undang), maka pembentukan norma hukum dalam Undang-Undang tersebut harus diturunkan dari norma hukum yang terkandung dalam nilai instrumental yang lebih tinggi (Pasal-pasal UUD 1945), dimana pasal-pasal UUD 1945 tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar (Pembukaan UUD 1945). Hal ini mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Moerdiono.

Nilai instrumental harus tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar yang dijabarkannya.

Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Penjabaran itu jelas tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dijabarkannya.36

Dengan tetap berdasarkan pada UUD 1945 dalam pembentukan norma hukum perlindungan HKI di Indonesia, maka dapat dikatakan bertujuan untuk kepentingan nasional atau dalam rangka memajukan kesejahteraan umum. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, landasan politik hukum dan pengaturan HKI di Indonesia yang berisi prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam pembentukan hukum yang adil sesuai dengan kondisi bangsa dan negara Indonesia, maka prinsip-prinsip tersebut dapat dijadikan acuan dalam pembangunan hukum kekayaan intelektual di Indonesia demi mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip yang dijadikan landasan politik hukum dan pengaturan HKI di Indonesia yang secara umum mengutamakan kepentingan umum (kepentingan bangsa dan negara Indonesia) dan juga pemenuhan serta menjaga keseimbangan hak bagi setiap masyarakat dalam kehidupan bersama secara wajar berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Pembatasan hak eksklusif pada pemegang HKI dilakukan dalam rangka mencegah adanya penyalahgunaan hak atau penggunaan hak yang melebihi batas agar tidak merugikan

36 Moerdiono (ed. Oetojo Oesman dan Alfian).1991. Pancasila Sebagai Ideoligi Terbuka: Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP-7 Pusat, halm. 408.

(15)

kepentingan orang lain ataupun kepentingan umum. Sehingga hak tersebut dapat digunakan pemegangnya secara wajar untuk kepentingan (keuntungan) dirinya tanpa merugikan orang lain.

Pembatasan Hak Eksklusif Pemegang HKI sebagai Wujud Keadilan Sosial

Menurut Rahmi Jened, penyalahgunaan hak terjadi bila seseorang menggunakan haknya dengan cara yang bertentangan dengan tujuan untuk mana hak itu diberikan atau dengan perkataan lain bertentangan dengan tujuan kemasyarakatannya.37 Selanjutnya Rahmi Jened menyatakan bahwa tiap-tiap penggunaan hak pribadi yang bersifat anti sosial harus dicela, termasuk jika penggunaan hak dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan aturan hukum yang tidak tertulis. Selain itu, Rahmi juga memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa indikasi penyalahgunaan hak juga dapat dilihat apabila seseorang menggunakan haknya semata-mata dengan maksud hendak merugikan orang lain.38

Lebih lanjut Rahmi Jened menyatakan mengenai penyalahgunaan hak sebagai berikut.

Prinsip penyalahgunaan hak bahwa seseorang bertanggung gugat dari kerugian yang ditimbulkannya, jika haknya dilaksanakan dengan tujuan atau motif utama untuk menimbulkan kerugian; atau haknya dilaksanakan tanpa adanya suatu kepentingan yang serius dan sah yang diberikan berdasarkan perlindungan hukum; atau tindakannya bertentangan dengan moral, iktikad baik dan kejujuran; atau tindakannya untuk tujuan lain selain tujuan hukum atas perlindungan haknya.39

Dari berbagai pengertian penyalahgunaan hak di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemakaian hak oleh pemegang hak diberikan pembatasan, pembatasan tersebut terdapat dalam aturan hukum tertulis maupun tidak tertulis, pembatasan tersebut dimaksudkan agar dalam penggunaan hak tidak disalahgunakan yang berakibat merugikan orang lain, serta untuk perlindungan hak masyarakat atau orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa penyalahgunaan hak atau penggunaan hak yang melebihi batas dilarang, karena dapat merugikan orang lain atau pihak lain bahkan kepentingan umum. Bila melihat tujuan negara Indonesia yang termaktub dalam tujuan keadilan sosial yakni menyusun suatu masyarakat yang seimbang dan teratur di mana semua warganya mendapat kesempatan untuk membangun suatu kehidupan yang layak dan mereka yang lemah kedudukannya mendapatkan bantuan seperlunya, maka pembatasan hak eksklusif bagi pemegang HKI dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan yang mana

37 Rahmi Jened. Op.Cit., halm. 285.

38 Ibid., halm. 285- 286.

39 Ibid., halm. 286

(16)

masyarakat yang tidak memiliki kelebihan dalam kreasi intelektual tetap dapat terpacu untuk berkreasi dengan adanya kreasi intelektual orang lain ataupun menikmati kreasi intelektual hasil dari orang lain secara wajar atau dibatasi dan sebaliknya pemegang hak atas kreasi intelektual (pemegang hak eksklusif atas HKI) juga dapat menggunakan haknya secara wajar tanpa merugikan hak orang lain.

Bila dilihat dari sudut pandang Civil Law System titik tolak padangannya berawal dari Pencipta (pemegang hak) bahwa hak eksklusif Pencipta ada batasannya, sedangkan dari sudut pandang Common Law System bertitik tolak dari Ciptaannya, sehingga masyarakat diberi akses penggunaan yang wajar (fair dealing) suatu Ciptaan.40 Berdasarkan kedua sudut pandang tersebut, keduanya saling melengkapi, keduanya memiliki substansi bahwa adanya keseimbangan perlindungan hak bagi kedua belah pihak yakni pencipta (pemegang hak eksklusif atas kekayaan intelektual) dan masyarakat atau orang lain, sehingga terjadi keseimbangan antara hak individu dan hak masyarakat (kepentingan umum). Sehingga HKI akan dapat memberikan kemaslahatan bagi manusia, khususnya rakyat Indonesia untuk dapat meningkatkan kesejahteraan bersama.

Pemberian hak atas kekayaan intelektual tersebut juga diimbangi dengan kewajiban, karena antara hak dan kewajiban seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, sehingga bila didasarkan atas argumen bahwa jaminan atas hak adalah pemenuhan kewajiban, maka jelaslah bahwa pengutamaan pemenuhan kewajiban bagi pemegang hak eksklusif atas HKI merupakan jaminan atas perlindungan hak bagi orang atau pihak lain ataupun kepentingan umum.

Pembatasan hak eksklusif pemegang HKI sebagai wujud keadilan sosial harus dibuktikan dalam pembagian hak dan wajib secara proporsional. Pembagian hak dan wajib antara para pihak pada pengaturan HKI telah mengutamakan kepentingan bersama (umum) walaupun belum secara jelas sebagaimana dicontohkan dalam pembahasan sub bab sebelumnya. Hal tersebut diatur dalam undang-undang kekayaan intelektual, dimana pemegang hak eksklusif atas HKI mendapatkan haknya yang didasarkan atas kemampuan, prestasi, atau pencapaiannya serta usaha atau ikhtiar dan pengorbanan, maka ia dapat memiliki hak yang lebih dibanding dengan pihak lain yang tidak memiliki hak tersebut.

Bukan hanya itu, pemegang hak eksklusif atas HKI, demi kepentingan bersama (umum) telah diberikan pembatasan oleh undang-undang agar tidak disalahgunakan untuk merugikan orang lain atau dapat merugikan orang lain. Selain itu demi kepentingan umum (keadilan sosial)

40 Ibid., halm. 137.

(17)

masyarakat juga diberikan hak untuk menggunakan hasil kreasi atau karya manusia yang haknya telah dimiliki oleh penciptanya tersebut dalam lingkup tertentu secara wajar dan tidak merugikan kepentingan pemegang hak. Pengaturan distribusi hak dan wajib (kewajiban) dalam penguasaan HKI telah diatur secara seimbang dan teratur di mana semua warganya mendapat kesempatan untuk membangun suatu kehidupan yang layak dan mereka yang lemah kedudukannya (yang tidak memiliki hak eksklusif HKI) mendapatkan hak secara wajar, walaupun belum secara jelas. Tentunya pemberian hak tersebut juga didasarkan atas kepentingan umum. Sehingga dalam pengaturan distribusi hak dan kewajiban dalam penguasaan HKI telah memenuhi tujuan negara Indonesia yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang pengaturan HKI lebih mengutamakan kepentingan bersama (umum) walaupun masih belum jelas seberapa batasan kepentingan umum (keadilan sosial) yang harus dilindungi, karena perwujudan keadilan dan keadilan sosial dalam Negara hukum Indonesia merupakan unsur utama, mendasar, sekaligus unsur yang paling rumit dan luas dimensinya.41

PENUTUP

Hak kekayaan intelektual digolongkan sebagai hak milik perorangan yang tidak berwujud. Konsepsi ini menjadikan pemilik/pemegang HKI dapat melaksanakan haknya dan mengecualikan orang lain untuk menikmati, kecuali atas izin pemilik HKI tersebut.42 Akan tetapi, HKI yang telah dimiliki pemegangnya ini ada batasnya. Pembatasan atas hak eksklusif pemegang HKI dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dalam bidang HKI.

Pembatasan tersebut sesuai dengan Rechtidee (cita hukum) negara Indonesia. Negara Indonesia sebagai negara hukum memiliki sumber hukum tersendiri yakni Pancasila.

Sehingga pembentukan seluruh aturan hukum harus menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Karena pembangunan hukum harus menjadikan Pancasila sebagai titik anjak normatif yang dipakai dalam sistem hukum di Indonesia.

Pembangunan hukum harus mengutamakan kepentingan umum (menjaga keseimbangan hak individu dan hak masyarakat). Khususnya mengenai pembatasan atas hak eksklusif HKI di Indonesia lebih pada mengutamakan kepentingan umum demi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut terwujud dalam pengaturan kekayaan intelektual, dimana hak eksklusif pemegang HKI (hak individu) dilindungi tanpa mengesampingkan

41 Purwanto.2017. “Perwujudan Keadilan dan Keadilan Sosial dalam Negara Hukum Indonesia:

Perjuangan yang Tidak Mudah Dioperasionalkan”, Jurnal Hukum Media Bhakti 1.1, halm. 17.

42 Rahmi Jened, Op.Cit., halm.136.

(18)

perlindungan hak masyarakat atas karya intelektual yang dihasilkannya. Dapat dikatakan bahwa pembatasan hak eksklusif pemegang HKI sebagai salah satu wujud keadilan sosial walaupun masih terdapat kekurangan dalam pengaturannya.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Aristotle (Translated by W. D. Rose). 1999. Nicomachean Ethics, Batoche Books, Kitchener.

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa‟at. 2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2018. Konstitusi Keadilan Sosial, Kompas, Jakarta.

Jened, Rahmi .2013. Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan Usaha (Penyalahgunaan HKI), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Kaelan. 2018. Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta.

Marwan, M. dan Jimmy P.,. 2009. Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya.

Moerdiono (ed. Oetojo Oesman dan Alfian). 1991. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka:

Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Cetakan Kedua, BP-7 Pusat, Jakarta.

Rato, Dominikus. 2016. Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, Dan Memahami Hukum, LaksBang Yustisia, Surabaya, 2010, dalam Ferry Irawan Febriansyah, Keadilan Berdasarkan Pancasila (Dasar Filosofis dan Ideologis Bangsa), Deepublish, Yogyakarta.

Rawls, John. 1999. A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts.

Roisah, Kholis. 2015. Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Setara Press, Malang.

Santoso, M. Agus. 2014. Hukum, Moral, dan Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Sunarto. 2014. Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, Prenadamedia Group, Jakarta.

Thaib, Dahlan. 1994. Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, Edisi Revisi, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

(19)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

Jurnal

Indriani, Suri dan Hadi Rianto, Analisis nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Untuk Mengembangkan Sikap Keadilan di Desa Pusat Damai Kecamatan Parindu Kabupaten Sanggau, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2019.

Nasution, Bahder Johan. Kajian Filosofis tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran Klasik sampai Pemikiran Modern, Jurnal Yustisia, Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2014.

Purwanto, Perwujudan Keadilan dan Keadilan Sosial dalam Negara Hukum Indonesia:

Perjuangan yang Tidak Mudah Dioperasionalkan, Jurnal Hukum Media Bhakti, Volume 1, Nomor 1, 2017.

Sembiring, Riky. Keadilan Pancasila dalam Persepektif Teori Keadilan Aristoteles, Jurnal Aktual Justice, Volume 3, Nomor 2, Desember 2018.

Suheri, Ana. Wujud Keadilan Dalam Masyarakat ditinjau dari Perspektif Hukum Nasional, Jurnal Morality, Volume 4 Nomor 1, Juni 2018.

Surajiyo, Keadilan dalam Sistem Hukum Pancasila, Jurnal IKRAITH-humanira, Volume 2, Nomor 3, 2018.

Referensi

Dokumen terkait

We employ a variant of this new approach dubbed zero-one inflated beta regression.6 We find that accentedness is a statistically significant predictor of trust and is strongly