Dosen Pembimbing Pendidikan : Dr. Rika Nurhasanah, SST., M.Keb Dosen Pembimbing Lahan : Bdn. Kokom Komariah, S.Keb
Disusun Oleh :
Rita Dwi Susilawati : 2350351001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN FAKULTAS ILMU TEKNOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI 2023/2024
i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN
STASE KETERAMPILAN DASAR KEBIDANAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
Dosen Pembimbing Pendidikan : Dr. Rika Nurhasanah, SST., M.Keb Dosen Pembimbing Lahan : Bdn. Kokom Komariah, S.Keb
Cimahi, November 2023
Pembimbing Preceptor Mahasiswa
Dr. Rika Nurhasanah, SST., M.Keb Bdn. Kokom Komariah, S.Keb Rita Dwi Susilawati
ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah- Nya kepada kami, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Pendahuluan (LP) tentang Konstipasi.
Laporan Pendahuluan ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari beberapa pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan Laporan Pendahuluan (LP) ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan LP ini. Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki LP ini.
Akhir kata penulis berharap semoga LP tentang Konstipasi ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca
Cimahi, November 2023
Penulis
iii DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan ... 3
C. Manfaat ... 3
BAB II TINJAUAN TEORI ... 4
A. Konsep Dasar Konstipasi ... 4
1. Pengertian Konstipasi ... 4
2. Patofisiologi dan etiologic konstipasi ... 5
3. Penyebab Konstipasi ... 6
4. Tanda dan gejala konstipasi ... 10
5. Pencegahan Konstipasi ... 12
6. Penatalaksanaan konstipasi ... 18
7. Pathway... 20
DAFTAR PUSTAKA... 22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Gangguan gastrointestinal (GI) dapat termasuk diare, konstipasi, kolik, dan regurgitasi, kondisi ini sangat lazim terjadi dan tidak spesifik (Alshehri et al., 2022). Gangguan GI dapat diklasifikasikan menjadi gangguan organik (OGIDs) dan fungsional (FGIDs) menurut etiologinya. Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh darah balik (vena), sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan kesulitan untuk melakukan buang air besar (Barber, et al., 2020)
Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan seperti aspirin, antihistamin, diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi jika makan makananan yang kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut- turut (Barber, et al., 2020).
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut.
Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4% sampai 30%
2
pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata wanita lebih sering mengeluh konstipasi dibanding pria dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34% wanita dan pria 26%. Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria.
Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas (Riskedas, 2018).
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik (Bardosono, et al., 2020)
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami kesulitan
mengunyah, misalnya karena ompong, caranya haluskan sayur atau buah tersebut dengan diblender.
B. Tujuan
Laporan Pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui dasar teori Kebutuhan Dasar Kebidanan pada pasien Konstipasi
C. Manfaat
Diharapkan dapat menambah ilmu dan pengetahuan khususnya di bidang Kebutuhan Dasar Kebidanan.
4 BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Konstipasi 1. Pengertian Konstipasi
Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi defekasi, sensasi tidak puas atau tidak lampiasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yang keras. Proses defekasi dapat terjadi kurang dari 3 kali seminggu atau lebih dari 3 hari tidak defekasi. Penderita konstipasi biasanya juga perlu mengejan secara berlebihan sewaktu defekasi (Djojoningrat, 2018 dalam Sudoyo, dkk, 2006).
Konstipasi juga berarti pelannya pergerakan tinja melalui kolon.
Kondisi ini sering berhubungan dengan sejumlah besar tinja yang kering dan keras pada kolon desendens yang menumpuk karena penyerapan cairan berlangsung lama (Guyton & Hall, 2016). Konstipasi dalam konsep diagnosa keperawatan diartikan sebagai penurunan frekuensi defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2019).
Jenis konstipasi terdiri dari: konstipasi kolonik, konstipasi dirasakan/ persepsi (perceived constipation), dan konstipasi idiopatik.
Defekasi yang tidak teratur yang abnormal, dan juga pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya sulit dan kadang menimbulkan nyeri disebut sebagai konstipasi kolonik. Konstipasi persepsi adalah masalah subjektif yang terjadi bila pola eliminasi usus seseorang tidak konsisten dengan apa yang dirasakan orang tersebut sebagai normal (Doughty &
Jackson, 1993, dalam Smeltzer & Bare, 2020). Konstipasi idiopatik terjadi apabila tidak didapatkan penyakit organik yang menimbulkan konstipasi (Simadibrata, 2006, dalam Sudoyo, dkk, 2022).
2. Patofisiologi dan etiologic konstipasi
Konstipasi fungsional berhubungan dengan kebiasaan menahan defekasi, kebiasaan manahan tinja yang berulang akan meregangkan rektu, dan kemudian kolon sigmoid yang menampung tinja berikutnya. Statis 20 tinja di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit yang menyebabkan proses pengeringan tinja yang berlebihan, membentuk skibala dan kegagalan untuk memulai reflek dari rektum, yang normalnya memicu evakuasi (Purnamasari, L., 2018)
Pengosogan rektum melalui evakuasi spontan tergantung pada reflek defekasi yang di cetuskan oleh reseptor otot-otot rektum. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit di keluarkan melalui kanal anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian menimbulkan retensi tinja selanjutnya. Dalam proses defekasi terjadi
6
tekanan yang berlebihn dalam usus besar. Tekanan tinggi ini dapat memaksa bagian dari dinding usus besar (kolon) keluar dari sekitar otot membentuk kantong kecil yang disebut divertikula. Hemoroid juga bisa sebagai akibat dari tekanan yang berlebihan saat defekasi.
Terdapat pengaruh makanan yang di konsumsi terhadap konstipasi, ketika serat cukup di konsumsi, kotoran/feses akan menjadi besar dan lunak karena serat-serat tumbuhan dapat menarik air, kemudian akan menstimulasi otot pencernaan dan akhirnya tekanan yang digunakan untuk pengeluaran feses menjadi berkurang. Ketika serat yang di konsumsi sedikit, kotoran akan menjadi kecil dan keras. Retensi tinja juga dapat disebabkan oleh lesi yang melibatkan otot-otot rektum, serabut-serabut aferen dan eferen dari tulang belakang bagian sakrum atau otot-otot perut dan dasar panggul (Sembiring, L. P. 2017).
Kelainan pada relaksasi sfingter anus bisa juga menyebabkan retensi tinja. Pengisian rektum yang tidak sempurna terjadi bila peristaltik kolon tidak efektif, misalnya pada kasus-kasus hipotirodisme atau pemakaian opium, dan bila ada obstruksi besar yang disebabkan oleh kelainan struktur atau karena penyakit Hirschprung.
3. Penyebab Konstipasi
a. Penyebab konstipasi pada ibu hamil
Menurut (Ana, 2019), pada usia kehamilan trimester I dan III akan mengalami kesulitan buang air besar yang disebabkan oleh tingginya
tingkat hormon yang ada dalam tubuh ibu hamil sehingga memperlambat kerja otot pada usus halus. Masalah konstipasi ini disinyalir akibat menurunnya peristaltik yang muncul karena relaksasi otot polos saat terjadi peningkatan progesterone pada usus besar. Selain itu, konstipasi juga dapat disebabkan oleh pembesaran uterus yang mengakibatkan terjadinya pergeseran dan tekanan pada usus. Kondisi tersebut berdampak pada saluran gastro intestinal, yaitu penurunan motilitas (Verney, dkk 2007).
Diperkirakan 11-38% wanita hamil pernah mengalami konstipasi.
Keluhan yang paling umum adalah mengedan terlalu kuat, tinja yang keras, dan rasa pengeluaran tinja yang tidak komplit. Resiko konstipasi pada wanita hamil semakin besar jika sudah mempunyai riwayat konstipasi sebelumnya dan riwayat konsumsi suplemen besi. Prevalensi konstipasi hampir sama antara trimester pertama, kedua dan ketiga selama kehamilan (Sembiring, 2017).
Penyebab konstipasi pada ibu hamil diantaranya karena asupan cairan yang tidak adekuat, suplemen zat besi, peningkatan hormon progesterone, kebiasaan defekasi yang buruk, diet serat tidak cukup, dan jarang berolahraga. Menurut Bradley, C. S 2007, menemukan 24%
wanita hamil trimester pertama penderita konstipasi, 26% mengalami konstipasi selama trimester kedua, dan 26% mengalami konstipasi pada trimester ketiga (Mu’alimah, 2019). Pada masa kehamilan, peningkatan hormon progesteron menyebabkan relaksasi otot-otot usus sehingga
8
menurunkan motilitas usus. Selama kehamilan, tubuh cenderung menahan cairan dan absorbsi cairan di usus meningkat sehingga masa feses cenderung kering dan keras yang memudahkan terjadinya konstipasi. Uterus yang makin membesar seiring perkembangan janin juga memberi tekanan usus besar sehingga evakuasi feses terhambat (Kunci & Konstipasi, 2019).
b. Penyebab konstipasi pada anak dan bayi
Pada pasien anak, kelainan organik sebagai konstipasi jarang terjadi.
Walaupun demikian, tetap harus dipertimbangkan sebagai suatu kelainan yang mendasari kejadian konstipasi. Beberapa kelainan organik yang sering dilaporkan sebagai penyebab konstipasi pada anak antara lain kelainan neurologis (Penyakit Parkinson, multiple sclerosis, spinal cord lesions, distrofia muscular, neuropati), endokrin (hipotiroid, diabetes), psikologis (depresi, kesulitan makan), obat-obatan (narkotik, antikolinergik, antipsikosis, calcium channel blockers, anti-parkinson, antikonvulsan, tricyclic antidepressants, besi, calcium, aluminium antacid, sucralfate) dan metabolic (hiperkalsemia, hipokalemia). Selain itu, gangguan pada kolon dan dasar pelvis seperti kelainan struktur dan obstruksi juga perlu dipertimbangkan (Endyarni & Syarif, 2016).
Konstipasi ditemukan pada 3% anak usia prasekolah dan 1- 2% anak usia sekolah. Semasa usia prasekolah, angka kejadian konstipasi pada anak perempuan dan laki-laki seimbang. Namun pada usia sekolah,
konstipasi lebih sering ditemukan pada anak laki-laki (Endyarni &
Syarif, 2016).
Faktor penyebab konstipasi pada bayi adalah pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, dan informasi. Pemberian makanan pada bayi yang tidak sesuai dengan usia bayi dapat mengakibatkan perut bayi sulit mencerna makanan yang diberikan. Dampak dari pemberian makanan tersebut adalah dapat menyebabkan bayi mengalami konstipasi (Konstipasi et al., 2008).
c. Penyebab konstipasi pada lansia
Konstipasi juga dapat terjadi pada lansia. Beberapa penyebabnya diantaranya adalah kurangnya asupan serat, kurangnya asupan cairan, pengaruh obat yang dikonsumsi, pengaruh dari penyakit yang diderita, dan kurangnya aktifitas fisik (Brown, 2011). Menurut Pratiwi, et al.
(2013), sebagian besar lansia di Indonesia menghabiskan waktunya dengan melakukan kegiatan ringan seperti menonton TV dan bersantai dengan 26 keluarga. Sebagian lainnya melakukan aktivitas yang bersifat sedang seperti membersihkan rumah, pergi ke pasar, mengikuti perkumpulan lansia, dan sebagainya. Akan tetapi, hanya sekitar 10%
dari total lansia di Indonesia yang masih aktif dan rutin melakukan olahraga untuk menjaga kebugaran tubuh. Sedangkan beberapa lainnya hanya pernah melakukan sekali atau dua kali dalam sebulan, itupun karena ada kegiatan tertentu seperti acara jalan sehat (Kartika Sari &
Wirjatmadi, 2017).
10
Penyebab konstipasi pada lansia bukan hanya dari penurunan fungsi organ tubuh seperti sistem gastrointestinal, tetapi dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang tidak teratur, kurang olahraga, dan penggunaan obat-obatan. Selain itu, konstipasi juga dapat disebabkan oleh asupan serat, asupan cairan, aktivitas fisik, stress, konsumsi kopi, konsumsi minuman probiotik, dan posisi saat buang air besar. Asupan serat yang kurang dapat menimbulkan konstipasi. Semakin tercukupi asupan serat, maka frekuensi defekasi semakin normal yaitu diatas 3 kali dalam seminggu. Tetapi sebaliknya. Jika tidak tercukupi asupan serat, maka frekuensi defekasi akan semakin berkurang. Hasil riset Puslitbang Gizi Depkes RI tahun 2001, rata-rata asupan serat masyarakat Indonesia hanya 10,5 gram per hari. Hal itu menunjukkan bahwa asupan serat masyarakat Indonesia hanya sekitar 1/3 dari kebutuhan total (Masyarakat, 2016).
4. Tanda dan gejala konstipasi
Menurut Akmal, dkk (2019), ada beberapa tanda dan gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau terkadang beberapa penderita konstipasi sebagai berikut:
a. Perut terasa begah, penuh dan kaku.
b. Tubuh tidak fit, terasa tidak nyaman, lesu, cepat lelah sehingga malas mengerjakan sesuatu bahkan terkadang sering mengantuk.
c. Sering berdebar-debar sehingga memicu untuk cepat emosi, mengakibatkan stress, rentan sakit kepala bahkan demam
d. Aktivitas sehari-hari terganggu karena menjadi kurang percaya diri, tidak bersemangat, tubuh terasa terbebani, memicu penurunan kualitas, dan produktivitas kerja.
e. Feses lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, dan lebih sedikit daripada biasanya.
f. Feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, pada saat bersamaan tubuh berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan atupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan dan membuang feses (bahkan sampai mengalami ambeien/wasir).
g. Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai terganjal sesuatu disertai rasa sakit akibat bergesekan dengan feses M 30 yang kering dan keras atau karena mengalami wasir sehingga pada saat duduk tersa tidak nyaman.
h. Lebih sering buang angin yang berbau lebih busuk daripada biasanya.
i. Usus kurang elastis (biasanya karena mengalami kehamilan atau usia lanjut), ada bunyi saat air diserap usus, terasa seperti ada yang mengganjal, dan gerakannya lebih lambat daripada biasanya.
j. Terjadi penurunan frekuensi buang air besar.
Adapun untuk sembelit kronis (obstipasi), gejalanya tidak terlalu berbeda hanya sedikit lebih parah, diantaranya: (Salindri, 2018)
12
a. Perut terlihat seperti sedang hamil dan terasa sangat mulas.
b. Feses sangat keras dan berbentuk bulat-bulat kecil.
c. Frekuensi buang air besar dapat mencapai berminggu-minggu.
d. Tubuh sering terasa panas, lemas, dan berat.
e. Percaya diri turun dan terkadang ingin menyendiri.
f. Tetap merasa lapar, tetapi ketika makan akan lebih cepat kenyang (apalagi ketika hamil perut akan tersa mulas) karena ruang dalam perut berkurang dan mengalami mual bahkan muntah.
5. Pencegahan Konstipasi
a. Terapi air (Volume minimal 500 ml)
Air putih merupakan pilihan yang cocok untuk mengisi volume lambung karena derajat fluiditas kimus di lambung mempengaruhi pengosongan lambung. Selain itu air putih sudah berbentuk cair merata tanpa harus dicerna lagi sebelum disalurkan ke duodenum (Sherwood,2011).
Air secara kimiawi tidak mempengaruhi sekresi hormon oleh kelenjar endokrin disaluran pencernaan (Corvin,2009). Terapi air adalah system penyembuhan alami, menggunakan kebutuhan tubuh terhadap air, dan respons tubuh secara fisiologis terhadap air untuk mencegah, mengoreksi, dan meningkatkan rentang sehat manusia.
Dengan minum 500 ml air putih Lower Maximum Volume (LMV) yaitu volume minimal yang dimasukkan ke dalam lambung yang mampu menyebabkan gerakan peristaltik pada lambung (Lunding et al.,2011),
maka rangsangan dari regangan lambung ini melalui saraf otonom ekstrinsik menjadi pemicu utama gerakan masa di kolon melalui reflex gastrokolik. Reflex gastrokolik mampu menstimulasi otot polos kolon sehingga meningkatkan motilitas kolon dan mencegah terjadinya konstipasi (Bassoti & Villanaci,2006).
b. Asupan Serat Makanan
Serat memiliki kemampuan mengikat air didalam usus besar yang membuat volume feses menjadi lebih besar dan merangsang syaraf rectum sehingga menimbulkan rasa ingin defekasi. Asupan serat yang rendah dapat menyebabkan masa feses berkurang dan sulit untuk buang air besar. Hal ini lah yang disebut dengan konstipasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah konstipasi adalah dengan mengkonsumsi serat sesuai dengan kebutuhan.
Sayur dan buah merupakan sumber serat pangan yang mudah ditemukan dalam makanan. Asupan serat makanan yang memenuhi kecukupan asupan serat perhari dapat mengurangi resiko konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal dan dikenal sebagai konstipasi idiopatik atau adanya tahanan feses, dimana konstipasi fungsional ini umumnya dengan perubahan kebiasaan diet dan kurangnya mengonsumsi makanan yang mengandung serat.
c. Teknik Swedish Massage dan Teknik Effleurage
14
Terapi komplementer yang dapat digunakan untuk mencegah konstipasi yaitu dengan melakukan abdominal massage. Mekanisme kerja abdominal massage adalah menurunkan kontraksi dan tegangan pada otot abdomen, meningkatkan motilitas pada system pencernaan, meningkatkan sekresi pada system intestinal serta memberikan efek pada relaksasi sfingter sehingga mekanisme kerja tersebut akan mempermudah dan memperlancar pengeluaran feses (Sinclair,2010).
Teknik abdominal massage yang sering digunakan adalah teknik Swedish massage. Teknik Swedish massages selama 15 menit terbukti efektif dalam pelaksanaan abdominal massage serta bermanfaat dalam mengatasi gangguan system gastrointestinal (Sinclair,2010).
Teknik yang berbeda dilakukan oleh Lamas et al.(2010) yang menggunakan teknik effleurage selama 7 menit, dilakukan satu kali sehari selama 5 hari pada pasien yang mengalami konstipasi dan distensi abdomen. Hasil menunjukkan bahwa abdominal massage dengan teknik effleurage selama 7 menit terbukti efektif mengatasi konstipasi dan distensi abdomen. Perbedaan teknik abdominal massage antara teknik Swedish massage dan teknik effleurage terletak pada lamanya waktu yang dibutuhkan dan gerakan massage yang dilakukan.
Teknik Swedish massage dengan melakukan pemijatan dari ujung kaki hingga kepala, dengan posisi awal telungkup kemudian telentang, sedangkan teknik effleurage dengan cara pengusapan dengan telapak tangan. Kedua teknik abdominal massage tersebut mempunyai manfaat
yang sama untuk mencegah konstipasi, namun demikian belum ada penelitian lanjutan yang menunjukkan teknik yang paling efektif diantara keduanya.
d. Massage Abdomen
Massase abdomen dilakukan untuk merangsang peristaltik usus melalui kegiatan menepuk dan memberi pijatan lembut pada abdomen searah jarum jam (Turan&Asti,2016). Massase abdomen berefek meningkatkan fungsi pencernaan dengan baik, tidak seperti penggunaan laksatif yang disertai efek samping negatif. Massase abdomen mengurangi keparahan gejala gastrointestinal (konstipasi, nyeri abdomen, bowel movement).
Abdominal massage yang diterapkan dalam pengelolaan sembelit pada orang tua adalah metode yang efektif karena tidak ada efek samping dari abdominal massage dan dapat meningkatkan kualitas hidup yang memainkan peran penting dalam asuhan keperawatan.
Pemberian massase abdomen ini dapat menstimulkan aktivitas parasimpatis sehingga meningkatkan motilitas otot pencernaan, meningkatkan sekresi digestif dan merelaksasi spinkter saluran gastrointestinal. Tujuan dari manajemen pasien dengan sembelit tidak hanya untuk menghilangkan sembelit tetapi juga untuk membantu mengadopsi kebiasaan buang air besar yang sehat dan mencegah timbulnya kembali sembelit.
e. Ambulasi Dini
16
Ambulasi dini adalah suatu pergerakan dan posisi untuk melakukan suatu aktivitas atau kegiatan ke tahap mobilisasi sebelumnya untuk mencegah komplikasi pasca bedah. Ambulasi dini yang merupakan pengembalian secara berangsur-angsur ke tahap mobilisasi sebelumnya untuk mencegah komplikasi. Ambulasi juga diartikan sebagai peningkatan dari pemberian bantuan dengan cara berjalan untuk mempertahankan fungsi tubuh selama pasien dirawat dan selama fase penyembuhan. Seperti ambulasi dini pada ibu postpartum, masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran placenta dan berakhir ketika alat- alat 42 kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil (Prawirohardjo,2005).
Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6-8 minggu, untuk itu sangat diperlukan latihan-latihan ringan guna memfasilitasi penyembuhan otototot, terutama otot rahim yang telah meregang selama kehamilan. Asuhan pada ibu postpartum yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah konstipasi yaitu dengan cara menfasilitasi ibu untuk membicarakan masalah yang dihadapi pada ibu nifas dengan bersikap proaktif menanyakan pada ibu mengenai masalah yang terjadi termasuk biasanya kontrol defekasi. Hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi konstipasi adalah dengan sesegera mungkin melakukan mobilisasi dini setelah melahirkan Dengan latihan fisik sederhana secara bertahap dan terus-menerus akan mengantarkan ibu dalam proses pemulihan yang membantu memperoleh kembali kebugaran ibu
secara sempurna. Setelah persalinan ibu postpartum harus menghadapi berbagai masalah. Salah satunya masalah pencernaan yang harus dihadapi adalah kesulitan buang air besar atau konstipasi (Saleha,2009).
Karena terbaring yang terlalu lama mengakibatkan konstipasi (pola eliminasi), dan otot sangat lemah sehingga proses penyembuhan terganggu. Untuk membantu pencegahan adanya konstipasi saat pengeluaran BAB dapat dilakukan dengan ambulasi dini.
f. Mengonsumsi Minuman Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suatu mikroba yang berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan organism yang lain (World Gastroenterology Organisation, 2008). Probiotik dapat meningkatkan motilitas usus, hal ini berdampak pada waktu transit makanan di colon menjadi pendek sehingga mempermudah defekasi (Emmanuel,et al.,2009). Selain itu, mikroorganisme yang terkandung dalam probiotik berpotensi untuk merubah flora normal yang ada didalam system pencernaan sehingga dapat menjaga keseimbangan flora intestinal, dengan kondisi flora intestinal yang seimbang dapat mencegah terjadinya kostipasi (Oberoi, Agrawal, & Singh,2007;
Weichselbaum,2009). Probiotik sangat bermanfaat untuk menjaga flora normal di dalam usus, sehingga dapat digunakan untuk mengatasi atau mencegah masalah pada system pencernaan, salah satunya adalah konstipasi.
18
6. Penatalaksanaan konstipasi
a. Penatalaksanaan konstipasi pada ibu hamil Non Farmakologi
1) Meningkatkan asupan serat yang cukup (25-35 gram), dan aktifitas fisik
2) Hindari makanan porsi besar tetapi makanlah dengan porsi kecil tapi sering
3) Hindari ketegangan psikis seperti stress dan cemas
4) Jangan menahan rasa ingin buang air besar karena akan memperbesar resiko konstipasi
5) Pemberian prebiotic pada wanita hamil dianjurkan karena dapat memperbaiki keseimbangan flora kolon dan memperbaiki fungsi pencernaan (Sembiring, 2017)
Farmakologi Terapi farmakologi diberikan apabila terapi non farmakologi tidak tercapai. Penggunaan obat pencahar (Laksatif) sebagai terapi lini kedua diberikan hanya bila benar-benar diperlukan dan tidak untuk penggunaan jangka panjang. (Sembiring, 2017)
b. Penatalaksanaan konstipasi pada anak
Edukasi merupakan langkah awal terapi, konstipasi pada anak sering berlangsung lama, sehingga orang tua perlu memahami penyebab, gejala, program terapi, patofisiologi, dan prognosis, anak perlu dilibatkan dalam program terapi (Purnamasari, 2018). Prinsip terapi konstipasi fungsional, yaitu :
1) Terapi disimpaksi Impaksi berarti ada masa tinja besar di rectum.
Dilakukan dengan pemeriksaan perut bagian bawah. Bila ada impaksi tinja, dilakukan 56 terapi evakuasi tinja (disimpaksi), terapi pemeliharaan secara oral ataupun rektal. Dosisnya (1-1,5 g/kg/hari max 6 hari).
2) Terapi pemeliharaan Terapi ini berfungsi untuk mencegah penumpukan tinja kembali dan mempertahankan pergerakan usus regular. Terapi ini dilakukan melalui modifikasi diet, toilet training, dan pencahar.
3) Terapi penyapihan (weaning) Weaning dipertimbangkan saat gejala stabil dalam terapi pemeliharaan, dalam arti anak defekasi rutin lebih dari 3 kali/minggu dan tidak memenuhi lagi kriteria Rome III.
Tergantung beratnya gejala, efek terapi dievaluasi 1-2 minggu setelah pengobatan dan dilanjutkan hingga minimal 2 bulan, dan gejala sembelit harus hilang 1 bulan sebelum mulai weaning.
20
7. Pathway
Konstipasi Penyebab
Ibu hamil Anak/Bayi
Lansia
Kurang
cairan Suplemen
zat besi Peningkatan Progesteron Jarang
olahraga
Relaksasi otot-otot
usus
Menurunkan motilitas usus
Kelainan Neurologis
Kelainan endrokin Obat- obatan Kelainan metabolic
Gangguan kolon
Kurang asupan serat
Kurang asupan cairan
Kurang aktivitas fisik
Obat- obatan
penyakit
• Terapi air (500 ml)
• Serat
• Teknik Swedish Massage dan Teknik Effleurage
• Minum pribiotik
Pathway Patofisiologi Konstipasi
DAFTAR PUSTAKA
Barber TM, Kabisch S, Pfei AFH, Weickert MO. Nutrients-12-03209.Pdf.
Nutrients. 2020;12(3209):1–17.
Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar 2018. Kementrian Kesehat Republik Indones.
2018;
Bardosono S, Handoko IS, Alexander RA, Sunardi D, Devina A, Korespondensi A.
Asupan Serat Pangan dan Hubungannya dengan Keluhan Konstipasi pada Kelompok Dewasa Muda di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt.
2020;47(10):773–7.
Sugiyanto VRP, Rahfiludin MZ, Suyatno S. Hubungan Asupan Serat, Lemak, dan Posisi Buang Air Besar Dengan Kejadian Konstipasi Pada Lansi. J Kesehat Masy. 2017;3(3):257–65.
Purnamasari, L. (2018). Tanda Bahaya , Evaluasi , Dan Tatalaksana Sembelit Pada Anak. 45(12), 902–907.
Sembiring, L. P. (2017). Konstipasi Pada Kehamilan. Jurnal Ilmu Kedokteran, 9(1), 7. Https://Doi.Org/10.26891/Jik.V9i1.2015.7-10 Teknik Swedish Massage.
(2017).
Priscilla LeMone, Karen M. Burke, Gerene Bauldoff: alih bahasa, Bhetsy Angelina .[et al,]. 2016.Buku ajar keperawatan medical bedah: gangguan gastrointestinal Ed. 5. Jakarta: EGC
Kunci, K., & Konstipasi, P. (2019). Analisis Penyebab Konstipasi Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Payung Sekaki Pekanbaru.
Mu’alimah, M. (2019). Hubungan Antara Asupan Cairan Dan Konsumsi Tabletfe Dengan Kejadian Konstipasi Pada Ibu Hamil Trimester Iii Di Puskesmas Tanjunganom Kabupaten Nganjuk Tahun 2018. JHESTECH (Journal Of Health Educational Science And Technology), 2(1), 25.
https://doi.org/10.25139/htc.v2i1.1502
Mirna. (2018), Skripsi : Hubungan Konsumsi Air Putih dengan Kejadian Konstipasi pada Lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas. Madiun, STIKes Bhakti Husada Mulia Madiun