• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH ERGONOMIKA LINGKUNGAN KERJA FISIK

N/A
N/A
Sadut

Academic year: 2024

Membagikan "MAKALAH ERGONOMIKA LINGKUNGAN KERJA FISIK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH ERGONOMIKA

LINGKUNGAN KERJA FISIK

“Makalah Ini di buat untuk menyelesaikan tugas besar mata kuliah Ergonomika”

Dosen Pengajar : Erik Nurhadi, S.T, M.T

KELAS TI 122W Di Susun Oleh :

1. Dede Rama Saputra – 22262011155 2. Ibnu Fadillah Ardian Syah – 22262011143

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI BANDUNG

2023

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ergonomi yang diberikan oleh dosen Pak Erik Nurhadi, S.T, M.T .

Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan materi-materi yang kami peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Lingkungan Kerja Fisik, serta informasi dari media massa yang berhubungan dengan Lingkungan Kerja Fisik. Tak lupa kami berterima kasih kepada pengajar mata kuliah Ergonomika dan arahan dalam penulisan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Saya berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Lingkungan Kerja Fisik.

Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat menebar manfaat bagi semua pihak.

Purwakarta, 31 Oktober 2023

Penulis:

Dede Rama Saputra Ibnu Fadillah Ardian Syah

(3)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB 1 ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 1

C. Batasan Masalah ... 2

D. Tujuan ... 2

BAB II ... 3

PEMBAHASAN ... 3

A. Definisi Lingkungan Kerja Fisik... 3

B. Jenis Dan Konsep Lingkungan Kerja ... 4

1. Jenis Lingkungan Kerja ... 4

2. Konsep Lingkungan Kerja ... 4

C. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja ... 4

1. Pencahayaan ... 4

2. Kebisingan ... 8

3. Getaran Mekanis ... 9

4. Iklim Kerja ... 9

BAB III ... 16

PENUTUP ... 16

A. Kesimpulan ... 16

B. Saran ... 16

DAFTAR PUSTAKA ... 17

(4)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Industrialisasi akan selalu diikuti oleh penerapan teknologi tinggi, penggunaan bahan dan peralatan yang semakin kompleks dan rumit. Penerapan teknologi tinggi dan penggunaan bahan dan peralatan yang beraneka ragam dan kompleks tersebut sering tidak diikuti oleh kesiapan SDM. Keterbatasan manusia sering menjadi faktor penentu terjadinya musibah seperti: kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran lingkungan dan timbulnya penyakit akibat kerja. Pada tempat kerja, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja menurut Suma'mur (1989) berpendapat bahwa faktor lain yang tidak kalah pentingnya yang mempengaruhi kelelahan kerja pekerja adalah faktor lingkungan kerja. Lingkungan kerja terdiri dari beberapa macam seperti Kebisingan (noise), pencahayaan (lighting), bau-bauan (odor), warna (color), kelembapan (humidity), desain tempat duduk, sirkulasi udara, getaran mekanis, tata ruang, dan suhu (temperature).

Semua faktor tersebut dapat menimbulkan gangguan terhadap suasana kerja dan berpengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Lingkungan kerja yang nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk dapat bekerja secara optimal dan produktif.

Lingkungan kerja adalah suasana dimana pekerja melakukan aktivitas setiap harinya. Terkait dengan pengertian lingkungan kerja fisik, Menurut Sedarmayanti (2001:21), “Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pekerja baik secara langsung maupun secara tidak langsung”.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan lingkungan kerja fisik?

2. Bagaimana jenis dan konsep lingkungan kerja?

3. Apap sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja?

(5)

2 C. Batasan Masalah

Lingkungan Kerja memiliki dua bagian yang bisa dipelajari. Oleh karena itu, pada pembelajaran ini penulis membatasi pembahasan diantaranya yaitu Lingkungan Kerja Fisik.

D. Tujuan

1. Mengetahui Definisi lingkungan kerja fisik.

2. Mengetahui jenis dan konsep ligkungan kerja fisik.

3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja fsik.

(6)

3

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Lingkungan Kerja Fisik

Menurut Sedarmayati definisi lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok (Sedarmayati, 2009:21). Menurut Nitisemito dalam Nuraini lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar karyawan dan dapat mempengaruhi dalam menjalankan tugas yang diembankan kepadanya misalnya dengan adanya air conditioner (AC), penerangan yang memadai dan sebagainya (Nitisemito,2013:75).

Menurut Simanjuntak lingkungan kerja dapat diartikan sebagai keseluruhan alat perkakas yang dihadapi, lingkungan sekitarnya dimana seorang bekerja, metode kerjanya, sebagai pengaruh kerjanya baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok (Simanjuntak, 2014:39). Sihombing dalam Naibaho mengatakan

“lingkungan kerja adalah faktor-faktor di luar manusia baik fisik maupun non fisik dalam suatu organisasi. Faktor fisik mencakup peralatan kerja, suhu di tempat kerja, kesesakan dan kepadatan, kebisingan, luas ruang kerja sedangkan non fisik mencakup hubungan kerja yang terbentuk di perusahaan antara atasan dan bawahan serta antara sesama karyawan”.

Secara Umum Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pekerja baik secara langsung maupun scara tidak langsung. Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :

1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan pekerja (Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya)

2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya :temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain- lain.

Untuk dapat memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap pekerja, maka langkah pertama adalah harus mempelajari manusia, baik mengenai fisik dan

(7)

4

tingkah lakunya maupun mengenai fisiknya, kemudian digunakan sebagai dasar memikirkan lingkungan fisik yang sesuai.

B. Jenis Dan Konsep Lingkungan Kerja 1. Jenis Lingkungan Kerja

Secara garis besar terdapat 2 jenis lingkungan kerja menurut Sadarmayanti, yaitu (Sedarmayati, 2009:21):

a. Lingkungan kerja fisik Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung.

b. Lingkungan kerja non-fisik Lingkungan kerja non-fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan.

2. Konsep Lingkungan Kerja

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di luar perusahaan, tetapi mempunyai pengaruh atas pertumbuhan dan perkembangan perusahaan. Pada umumnya lingkungan tidak dapat dikuasai oleh peru sahaan sehingga perusahaan harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Syarat-syarat untuk dapat bekerja dengan perasaan tentram, aman dan nyaman mengandung dua faktor utama yaitu faktor fisik dan non fisik. Menurut Slamet Saksono berpendapat bahwa: “Segala sesuatu yang yang menyangkut faktor fisik yang menjadi menjadi kewajiban serta tanggung jawab perusahaan adalah tata ruangan kerja. Tata ruangan kerja yang baik adalah yang dapat mencegah timbulnya gangguan keamanan dan keselamatan bagi pekerja. Barang-barang yang diperlukan dalam ruang kerja harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat dihindarkan gangguan yang ditimbulkan terhadap pekerja” (Saksono, 1998:105).

C. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja, seperti yang dikemukakan Sedarmayanti (1996:5), yaitu:

1. Pencahayaan

Pencahayaan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan tenaga kerja dapat melihat objek - objek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya - upaya yang tidak perlu (Suma’mur, 1984). Salah satu faktor yang penting dari lingkungan kerja yang dapat memberikan semangat dalam bekerja adalah pencahayaan yang baik. Pekerja yang terlibat dalam pekerjaan sepanjang

(8)

5

hari rentan terhadap ketegangan mata yang disertai dengan keletihan mental, perasaan marah dan gangguan fisik lainnya. Dalam hal penerangan di sini tidak hanya terbatas pada penerangan listrik tetapi juga pencahayaan matahari.

Intensitas penerangan yang sesuai dengan jenis pekerjaannya jelas akan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Sanders & McCormick (1987) menyimpulkan dari hasil penelitian pada 15 perusahaan, di mana seluruh perusahaan yang diteliti menunjukkan kenaikan hasil kerja antara 4-35%.

Selanjutnya Armstrong (1992) menyatakan bahwa intensitas penerangan yang kurang dapat menyebabkan gangguan visibilitas dan eyestrain. Sebaliknya intensitas penerangan yang berlebihan juga dapat menyababkan glare, reflections, excessive shadows, visibility & eyestrain. Ciri-ciri pencahayaan yang baik menurut Sofyan Assauri (1993:31) adalah sebagai berikut:

a. Sinar cahaya yang cukup.

b. Sinarnya yang tidak berkilau dan menyilaukan.

c. Tidak terdapat kontras yang tajam.

d. Cahaya yang terang

e. Distribusi cahaya yang merata f. Warna yang sesuai.

Secara umum jenis penerangan atau pencahayaan dibedakan menjadi dua yaitu penerangan buatan (penerangan artifisial) dan penerangan alamiah (dari sinar matahari). Untuk mengurangi pemborosan energi disarankan untuk mengunakan penerangan alamiah, akan tetapi setiap tempat kerja harus pula disediakan penerangan buatan yang memadai. Hal ini untuk menanggulangi jika dalam keadaan mendung atau kerja di malam hari. Perlu diingat bahwa penggunaan penerangan buatan harus selalu diadakan perawatan yang baik oleh karena lampu yang kotor akan menurunkan intensitas penerangan sampai dengan 30%. Tingkat penerangan pada-tiap tiap pekerjaan berbeda tergantung sifat dan jenis pekerjaannya. Sebagai contoh gudang memerlukan intersitas penerangan yang lebih rendah dari tempat kerja administrasi, di mana diperlukan ketelitian yang lebih tinggi.

Menurut Grandjean (1993) penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dari penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan :

 Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan effisiensi kerja.

(9)

6

 Kelelahan mental.

 Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.

 Kerusakan indra mata dll.

Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan performansi kerja, termasuk:

 Kehilangan produktivitas.

 Kualitas kerja rendah.

 Banyak terjadi kesalahan.

 Kecelakan kerja meningkat.

a. Penggunaan warna di tempat kerja

Warna yang kita lihat muncul karena struktur molekul permukaan objek memantulkan hanya pada bagian cahaya yang jatuh padanya. Sebagai contoh, mesin dicat hijau akan menyerap seluruh cahaya kecuali warna hijau.

Penggunaan dan pemilihan warna di tempat kerja biasanya dimaksudkan untuk alasan keselamatan, karena warna mudah ditangkap oleh indra penglihatan. Sumber-sumber bahaya lebih mudah dikenali jika menggunakan warna yang menyolok. Di tempat kerja, warna juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi peralatan keselamatan dan benda-benda seperti pintu darurat. Jika warna yang sama selalu digunakan untuk mengindikasikan suatu bahaya khusus, maka reaksi yang tepat menjadi otomatis. Beberapa warna yang biasa digunakan sebagai kode keselamatan kerja adalah sebagai berikut:

 Merah untuk tanda bahaya; halte, tempat terlarang, dll. Merah juga sebagai tanda peringatan untuk kebakaran; alat pemadam api dan alat- alat lainnya.

 Kuning; biasanya kontras dengan hitam, bahaya tubrukan, look out, bahaya terpeleset. Kuning dan Hitam banyak digunakan sebagai peringatan di transportasi.

Hal yang perlu dicacat, bahwa sumber bahaya harus diidentifikasi lebih dari sekedar warna itu sendiri. Simbol, alarm, nyala lampu, dan sejenisnya harus juga digunakan dan seluruh pekerja harus dilatih untuk dapat mengenali tanda-tanda tersebut. Hal demikian karena warna yang terang dari suatu benda akan dapat berubah oleh karena jenis cahaya yang berbeda. Di samping untuk tujuan keselamatan, warna yang dipakai di tempat kerja juga dimaksudkan untuk tujuan lain, seperti:

(10)

7

1) Penciptaan kontras warna untuk maksud tangkapan mata, sehingga semakin sedikit kontras warna akan semakin baik.

2) Kerapian atau keteraturan dan sebagai alat bantu untuk identifikasi masalah pencahayaan di tempat kerja. Ruaangan-ruangan tertentu, lantai atau bagian dari pabrik dapat diberikan kode warna, untuk membantu menjaga keseluruhan kerja berjalan sesuai rencana. Warna-warna yang berbeda dapat digunakan untuk mengenalkan tingkat keteraturan atau kerapian tertentu dan untuk memfasilitasi suplai dan pelayanan.

3) Pengadaan lingkungan psikologis yang optimal (efek psikologis lihat tabel 1.1)

Tabel 1.1 Reflektan Sebagai Presentase Cahaya

Komposisi warna yang ideal menurut Alex S Nitisemito (1996:1120), terdiri dari :

a. Warna primer (merah, biru, kuning). Kalau dijajarkan tanpa antara akan tampak keras dan tidak harmonis serta tidak bisa dijajarkan dengan yang lain sehingga tidak sedap dipandang.

b. Warna sekunder (oranye, hijau, violet). Kalau dijajarkan akan menimbulkan kesan yang harmonis, sedap dipandang mata.

c. Warna-warna primer jika dijajarkan dengan warna sekunder yang berada dihadapannya akan menimbulkan warna-warna komplementer yang sifatnya kontras dan baik sekali dipandang mata.

d. Warna-warna primer jika dijajarkan dengan warna sekunder yang terdapat disampingnya akan merusak salah satu dari warna tersebut dan akan terkesan suram.

(11)

8

Komposisi warna sangat berpengaruh terhadap kenyamanan kerja.

Bila komposisi warna kurang pas bisa menimbulkan rasa jenuh dan sumpek sehingga mengurangi kenyamanan dalam bekerja sehingga semangat kerja akan menurun yang dapat mengganggu produktivitas kerja.

2. Kebisingan

Pengertian kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang bersifat menggangu pendengaran dan bahkan dapat menurunkan daya dengar seseorang yang terpapar (WHS, 1993). Sedangkan definisi kebisingan menurut Kepmennaker (1999) adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

Suara atau bunyi dapat dirasakan oleh indra pendengaran akibat adanya rangsangan getaran yang datang melalui media yang berasal dari benda yang bergetar. Menurut Suma’mur (1984) dan WHS (1993) bahwa dari segi kualitas bunyi, terdapat dua hal yang menentukan yaitu frekuensi suara dan intensitas suara. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau Herz (Hz) yaitu jumlah getaran yang sampai ke telinga setiap detiknya. Sedangkan intensitas atau arus enegi lazimnya dinyatakan dalam desibel (dB) yaitu perbandingan antara kekuatan dasar bunyi (0,0002 dyne/cm2 ) dengan frekuensi (1.000 Hz) yang tepat dapat didengar oleh telinga normal. Mengingat desibel yang diterima oleh telinga merupakan skala logaritmis, maka tingkat kebisingan 3 dB di atas 60 dB pengaruhnya akan berbeda dengan 3 dB di atas 90 dB.

Menurut Sedarmayanti (1996:26) ada tiga aspek yang menentukan kualitas suara bunyi yang bisa menimbulkan tingkat gangguan terhadap manusia, yaitu:

a. Lama bunyi Lama waktu bunyi terdengar. Semakin lama telinga kita mendengar kebisingan maka semakin buruk akibatnya bagi pendengaran (tuli).

b. Intensitas kebisingan Intensitas biasanya diukur dengan satuan desibel (dB), yang menunjukan besarnya arus energi persatuan luas dan batas pendengaran manusia mencapai 70 desibel.

c. Frekuensi Frekuensi suara menunjukan jumlah dari gelombang-gelombang suara yang sampai de telinga kita setiap detik yang dinyatakan dalam jumlah getaran perdetik atau Hertz (HZ).

Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa telinga manusia memiliki batasan dalam pendengaran. Batas pendengaran manusia mencapai 70 desibel,

(12)

9

jika suara yang didengar manusia melebihi batas tersebut maka konsentasi manusia akan mudah kabur. Gangguan-gangguan seperti ini hendaknya dihindari agar semangat kerja tetap stabil dan produktivitas kerja menjadi optimal.

3. Getaran Mekanis

Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis, yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh karyawan dan dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Getaran mekanis pada umumnya sangat menggangu tubuh karena ketidak teraturannya, baik tidak teratur dalam intensitas maupun frekwensinya. Gangguan terbesar terhadap suatu alat dalam tubuh terdapat apabila frekuensi alam ini beresonansi dengan frekwensi dari getaran mekanis. Meningkatkan Kinerja Manajemen Sumber Daya Manusia (Konsep & Studi Kasus) 61 Secara umum getaran mekanis dapat mengganggu tubuh dalam hal:

1) Kosentrasi bekerja 2) Datangnya kelelahan

3) Timbulnya beberapa penyakit, diantaranya karena gangguan terhadap : mata, syaraf, peredaran darah, otot, tulang, dan lain,lain.

4. Iklim Kerja

Temperatur udara, kelembaban, dan panas yang teradiasi saling berhubungan satu sama lain sehingga cukup sulit untuk mengendalikan kondisi ketiga variabel tersebut (Tiffin, 1958 dalam Nilda, 2000). Kondisi optimum bagaimanapun bervariasi dan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan. Ada empat variabel lingkungan yang berhubungan secara khusus dengan kenyamanan dan performansi sehari-hari yaitu temperatur udara (kering dan basah), kelembaban nisbi, panas radiasi, dan kecepatan aliran udara (Suma’mur, 1984).

Untuk negara dengan empat musim, rekomendasi untuk zona kenyamanan termal pada musim dingin adalah dengan temperature ideal berkisar antara 19- 23o C dengan kecepatan udara antara 0,15- 0,4 m/det serta kelembaban antara 40-60% sepanjang tahun (WHS, 1992; Grantham, 1992 dan Grandjean, 1993).

Sedangkan untuk Negara dengan dua musim seperti Indonesia, rekomendasi tersebut perlu mendapat koreksi. Sedangkan kaitannya dengan suhu panas lingkungan kerja, Grandjean (1993) memberikan batas toleransi suhu tinggi sebesar 35-40o C; kecepatan udara 0,2 m/det; kelembaban udara antara 40-50%;

(13)

10

perbedaan suhu permukaan < 4o C. Aliran udara adalah hal terpenting dalam lingkungan yang hangat atau cukup panas karena membantu tubuh menukar panas dengan udara, dengan mempercepat proses konveksi dan evaporasi panas.

Tingkat temperatur yang nyaman bagi manusia bervariasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh musim, umur, jenis kelamin, dan lokasi geografis (Tiffin, 1958 dalam Nilda, 2000). Temperatur tubuh normal adalah berkisar antara 37o C.

Kelembaban berhubungan erat dengan suhu, bila kelembaban meningkat maka daerah comfort zone akan menurun, misalnya pada 80 % kelembaban, maka suhu yang ideal adalah antara 18,5 – 24o C. Kelembaban yang ideal adalah 50 %. Kondisi temperatur ideal yang disebut ‘zona nyaman’ untuk pekerjaan dominan mental (seperti pekerjaan kantor) di daerah tropik adalah 26o C – 27o C (Sastrowinoto, 1985). Kelembaban yang nyaman untuk ruangan yang panas seperi di daerah tropis adalah berkisar 40 % hingga 50 % (Grandjean, 1988).

Dengan demikian jelaslah bahwa iklim ruangan yang tidak dikendalikan dengan baik akan berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan pekerja dan gangguan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan beban kerja, mempercepat munculnya kelelahan dan keluhan subjektif serta menurunkan produktivitas kerja.

a. Lingkungan Kerja Panas

Pekerja di dalam lingkungan panas, seperti di sekitar furnaces, peleburan, boiler, oven, tungku pemanas atau bekerja di luar ruangan di bawah terik matahari dapat mengalami tekanan panas. Selama aktivitas pada lingkungan panas tersebut, tubuh secara otomatis akan memberikan reaksi untuk memelihara suatu kisaran panas lingkungan yang konstan dengan menyeimbangkan antara panas yang diterima dari luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Menurut Suma’mur (1984) dan Priatna (1990) bahwa suhu tubuh manusia dipertahankan hampir menetap (homoeotermis) oleh suatu pengaturan suhu (thermoregulatory system ).

Suhu menetap ini dapat dipertahankan akibat keseimbangan di antara panas yang dihasilkan dari metabolisme tubuh dan pertukaran panas di antara tubuh dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan produksi panas di dalam tubuh tergantung dari kegiatan fisik tubuh, makanan, gangguan sistem pengaturan panas seperti dalam kondisi demam dll. Selanjutnya faktor- faktor yang menyebabkan pertukaran panas di antara tubuh dengan

(14)

11

lingkungan sekitarnya adalah panas konduksi, panas konveksi, panas radiasi dan panas penguapan (VOHSC & VCAB, 1991 dan Bernard, 1996).

Di samping itu pekerja di lingkungan panas juga dapat beraklimatisasi untuk mengurangi reaksi tubuh terhadap panas (heat strain).

Pada proses aklimatisasi menyebabkan denyut jantung lebih rendah dan laju pengeluaran keringat meningkat. Khusus untuk pekerja yang baru di lingkungan panas diperlukan waktu aklimatisasi selama 1-2 minggu. Jadi, Aklimatisasi terhadap lingkungan panas sangat diperlukan pada seseorang yang belum terbiasa dengan kondisi tersebut. Aklimatisasi tubuh terhadap panas memerlukan sedikit liquid tetapi lebih sering minum. Tablet garam juga diperlukan dalam proses aklimatisasi. Seorang tenaga kerja dalam proses aklimatisasi hanya boleh terpapar 50% waktu kerja pada tahap awal, kemudian dapat ditingkatkan 10% setiap hari (Grantham, 1992).

b. Pengaruh Fisiologis Akibat Tekanan Panas

Tekanan panas memerlukan upaya tambahan pada anggota tubuh untuk memelihara keseimbangan panas. Menurut Pulat (1992) bahwa reaksi fisiologis tubuh (Heat Strain) oleh karena peningkatan temperatur udara di luar comfort zone adalah sebagai berikut:

1) Vasodilatasi b) Denyut jantung meningkat 2) Temparatur kulit meningkat

3) Suhu inti tubuh pada awalnya turun kemudian meningkat dll.

Selanjutnya apabila pemaparan terhadap tekanan panas terus berlanjut, maka resiko terjadi gangguan kesehatan juga akan meningkat.

Menurut Grantham (1992) dan Bernard (1996) reaksi fisiologis akibat pemaparan panas yang berlebihan dapat dimulai dari gangguan fisiologis yang sangat sederhana sampai dengan terjadinya penyakit yang sangat serius. Pemaparan terhadap tekanan panas juga menyebabkan penurunan berat badan. Menurut hasil penelitian Priatna (1990) bahwa pekerja yang bekerja selama 8 jam/hari berturut-turut selama 6 minggu, pada ruangan dengan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) antara 32,02-33,01oC menyebabkan kehilangan berat badan sebesar 4,23%.

Secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat pemaparan suhu lingkungan panas yang berlebihan dapat di jelaskan sebagai berikut:

(15)

12

1. Gangguan perilaku dan performansi kerja seperti, terjadinya kelelahan, sering melakukan istirahat curian dll.

2. Dehidrasi. Dehidrasi adalah suatu kehilangan cairan tubuh yang berlebihan yang disebabkan baik oleh penggantian cairan yang tidak cukup maupun karena gangguan kesehatan. Pada kehilangan cairan tubuh

3. Heat Rash. Keadaan seperti biang keringat atau keringat buntat, gatal kulit akibat kondisi kulit terus basah. Pada kondisi demikian pekerja perlu beristirahat pada tempat yang lebih sejuk dan menggunakan bedak penghilang keringat

4. Heat Cramps. Merupakan kejang-kejang otot tubuh (tangan dan kaki) akibat keluarnya keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari tubuh yang kemungkinan besar disebabkan karena minum terlalu banyak dengan sedikit garam natrium.

5. Heat Syncope atau Fainting. Keadaan ini disebabkan karena aliran darah ke otak tidak cukup karena sebagian besar aliran darah di bawa kepermukaan kulit atau perifer yang disebabkan karena pemaparan suhu tinggi.

6. Heat Exhaustion. Keadaan ini terjadi apabila tubuh kehilangan terlalu banyak cairan dan atau kehilangan garam. Gejalanya mulut kering, sangat haus, lemah, dan sangat lelah. Gangguan ini biasanya banyak dialami oleh pekerja yang belum beraklimatisasi terhadap suhu udara panas.

c. Penilaian Lingkungan Kerja Panas

Metode terbaik untuk menentukan apakah tekanan panas di tempat kerja menyebakan gangguan kesehatan adalah dengan mengukur suhu inti tubuh pekerja yang bersangkutan. Normal suhu inti tubuh adalah 37 oC, mungkin mudah dilampaui dengan akumulasi panas dari konveksi, konduksi, radiasi dan panas metabolisme. Apabila rerata suhu inti tubuh pekerja > 38 oC, diduga terdapat pemaparan suhu lingkungan panas yang dapat meningkatkan suhu tubuh tersebut. Selanjutnya harus dilakukan pengukuran suhu lingkungan kerja.

(16)

13

Salah satu parameter pengukuran suhu lingkungan panas adalah dengan menilai Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang terdiri dari parameter suhu udara kering, suhu udara basah dan suhu panas radiasi. Contoh peralatan sederhana yang digunakan untuk mengukur parameter ISBB tersebut dapat dilihat pada gambar 4.1.

Kemudian secara manual ISBB dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

a) Pekerjaan dilakukan di bawah paparan sinar matahari (Outdoor): ISBB = (0,7 x suhu basah) + (0,2 x suhu radiasi) + (0,1 x suhu kering)

b) Pekerjaan dilakukan di dalam ruangan (Indoor) : ISBB = (0,7 x suhu basah) + (0,3 x suhu radiasi)

Selain alat tersebut, terdapat alat ukur ISBB yang lebih moderen seperti Questtemp Heat Stress Monitor (gambar 4.2). Di mana alat tersebut dioperasikan secara digital yang meliputi parameter suhu basah, suhu kering, suhu radiasi dan ISBB yang hasilnya tinggal membaca pada alat dengan menekan tombol operasional dalam satuan oC atau oF. Pada waktu pengukuran alat ditempatkan disekitar sumber panas di mana pekerja melakukan pekerjaannya. Dari hasil pengukuran ISBB tersebut selanjutnya

disesuaikan dengan beban kerja yang diterima oleh pekerja, selanjutnya dilakukan pengaturan waktu kerja-waktu istirahat yang tepat sehingga pekerja tetap dapat bekerja dengan aman dan sehat. Dalam pengaturan

Gambar 4.1 A. Termometer Bola, B. Sling Psyhrometer (Suhu Basah Dan Suhu Kering), C. Kata

Termometer

Gambar 4.2 Questmp010 Digital - Area Heat Stress

(17)

14 waktu kerja-waktu istirahat tersebut dapat menggunakan metode seperti diilustrasikan pada gambar 4.3.

(NIOSH, 1986 dan ACGIH, 1995).

d. Pengendalian Lingkungan Kerja Panas Untuk mengendalikan pengaruh pemaparan tekanan panas terhadap tenaga kerja perlu dilakukan koreksi tempat kerja, sumber-sumber panas lingkungan dan

aktivitas kerja yang dilakukan. Koreksi tersebut dimaksudkan untuk menilai secara cermat faktor-faktor tekanan panas dan mengukur ISBB pada masing-masing pekerjaan sehingga dapat dilakukan langkah pengendalian secara benar. Di samping itu koreksi tersebut juga dimaksudkan untuk menilai efektifitas dari sistem pengendalian yang telah dilakukan di masing- masing tempat kerja. Secara ringkas teknik pengendalian terhadap pemaparan tekanan panas di perusahaan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Mengurangi faktor beban kerja dengan mekanisasi 2. Mengurangi beban panas radian dengan cara:

Menurunkan temperatur udara dari proses kerja yang menghasilkan panas

Relokasi proses kerja yang menghasilkan panas

Penggunaan tameng panas dan alat pelindung yang dapat memantulkan panas

3. Mengurangi temperatur dan kelembaban. Cara ini dapat dilakukan melalui ventilasi pengenceran (dilution ventilation) atau pendinginan secara mekanis (mechanical cooling). Cara ini telah terbukti secara dramatis dapat menghemat biaya dan meningkatkan kenyamanan (Bernard, 1996).

Gambar 4.3

Nilai Ambang Batas Terhadap Pemaparan Panas Yang Diperbolehkan Berdasarkan Penilaian ISBB dan Beban Kerja

(18)

15

4. Meningkatkan pergerakan udara. Peningkatan pergerakan udara melalui ventilasi buatan dimaksudkan untuk memperluas pendinginan evaporasi, tetapi tidak boleh melebihi 0,2 m/det. Sehingga perlu dipertimbangkan bahwa menambah pergerakan udara pada temperatur yang tinggi (> 40oC) dapat berakibat kepada peningkatan tekanan panas. e) Pembatasan terhadap waktu pemaparan panas dengan cara:

 Melakukan pekerjaan pada tempat panas pada pagi dan sore hari

 Penyediaan tempat sejuk yang terpisah dengan proses kerja untuk pemulihan

 Mengatur waktu kerja-istirahat secara tepat berdasarkan beban kerja dan nilai ISBB.

Dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam setiap desain atau redesain sistem ventilasi adalah adanya sirkulasi udara pada tempat kerja yang baik, sehingga terjadi pergantian udara dalam ruangan dengan udara segar dari luar secara terus menerus. Di samping itu faktor pakaian dan pemberian minum harus juga dipertimbangkan dalam mengatasi masalah panas lingkungan.

(19)

16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan salah satu faktor eksternal yang sangat berpengaruh dalam menunjang hasil kerja yang maksimal dalam setiap pekerjaan. Faktor-faktonya antara lain yaitu Pencahayaan, Kebisingan (Lama bunyi, Intensitas kebisingan, Frekuensi), Getaran Mekanis, Dan Iklim Kerja. Apabila lingkungan kerja kurang kondusif maka akan menyebabkan kinerja tenaga kerja yang akan menurun ini disebabkan kurangnya motivasi kerja yang muncul dari dalam diri tenaga kerja untuk bekerja dengan baik.

Lingkungan kerja yang baik dan bersih, cahaya yang cukup, bebas dari kebisingan dan gangguan diharapkan akan memberi semangat tersendiri bagi pekerja dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Tetapi lingkungan kerja yang buruk, gelap dan lembab akan menimbulkan cepat lelah dan menurunkan semangat dan produktivitas dalam bekerja

B. Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan makalah ini adalah mata kuliah ergonomi perlu dipelajari dengan baik dan mendapat perhatian khusus untuk mempelajari teori lingkungan kerja. Karena dari teori ini kita sebagai mahasiswa Teknik Industri akan mengerti tentang bagaimana merancang ruang kerja yang optimal yang diperlukan oleh industri berdasarkan standar yang telah di tetapkan oleh para ahli untuk kenyamanan para pekerjanya.

(20)

17

DAFTAR PUSTAKA

American Conference of Govermental Industrial Hygienists (ACGIH), 1995. Threshold Limit Values and Biological Exposure Indices. Cincinnati. USA.

Armstrong, R. 1992. Lighting at Work. Occupational Health & Safety Authority. Melbourne.

Australia:4-11.

Bernard, T.E. 1996. Occupational Heat Stress. Dalam: Battacharya, A. & McGlothlin, J.D. eds.

Occupational Ergonomic. Marcel Dekker Inc USA: 195- 216.

Grandjean, E. 1993. Fitting the Task to the Man, 4th edt. Taylor & Francis Inc. London.

Grantham, D. 1992. Occupational Health & Safety. Guidebook for the WHSO.

Merino Lithographics Moorooka Queensland. Australia.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja, No.51: 1999. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.

Jakarta.

National Institute for Occupational Health and Safety (NIOSH), 1986. Criteria for a Recommended Standard-Occupational Exposure to Hot Environments. Washington, DC.

Pulat, B.M. 1992. Fundamentals of Industrial Ergonomics. Hall International. Englewood Cliffs. New Jersey. USA.

Khaeruman, ST., MM., CHRA., dkk. Meningkatkan Kinerja Manajemen Sumber Daya Manusia.

CV. AA RIZKY. Tanggerang, Indonesia.

URL https://books.google.com/books/about/Ergonomi_Industri.html?hl=id&id=iU HBEAAAQBAJ#v=onepage&q&f=false

URL https://id.scribd.com/document/333167108/Makalah-Lingkungan-Fisik-Kerja

Referensi

Dokumen terkait