MAKALAH
“HAKIKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM”
Dosen Pengampu: Mintaraga Eman Surya, Lc. , M.A
Disusun oleh:
Gus Alfansyah Wiradinata (2406010082)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM
1446 H / 2025
A. Pendahuluan
Dalam pandangan Islam, manusia memiliki dua fungsi utama yang saling melengkapi, yaitu sebagai khalifah di bumi dan sebagai ‘abd (hamba) Allah SWT. Konsep ini tercermin dalam Al- Qur’an, di mana Allah SWT menegaskan penciptaan manusia untuk mengemban tugas sebagai khalifah, yang berarti pengelola dan pemimpin di muka bumi. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 30, Allah berfirman kepada para malaikat tentang penciptaan manusia sebagai khalifah, menandakan tanggung jawab besar yang diemban oleh setiap individu. Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Adz-Dzariyat/51:56, yang menekankan pentingnya ibadah sebagai tujuan utama penciptaan.
Kehidupan manusia di dunia ini dipandang sebagai ujian untuk membuktikan ketaatan dan keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah. Dalam konteks ini, setiap aktivitas yang dilakukan harus berorientasi pada nilai ibadah, mencakup tidak hanya ibadah ritual, tetapi juga interaksi sosial, pekerjaan, dan pencarian ilmu. Selain itu, manusia diharapkan untuk menjaga kesucian hati dan menjauhi perbuatan yang dapat menjauhkan diri dari rahmat Allah.
Konsep insan kamil, yang merujuk pada manusia yang mencapai kesempurnaan spiritual dan intelektual, menjadi penting dalam memahami peran manusia sebagai khalifah dan hamba. Insan Kamil bukan hanya individu yang saleh dalam ibadah, tetapi juga mampu merefleksikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pemahaman ini, manusia diharapkan dapat menjalankan amanah sebagai khalifah dengan baik, serta berkontribusi dalam membangun peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, pendahuluan ini akan membahas lebih dalam mengenai dua fungsi utama manusia dalam Islam dan konsep insan kamil sebagai model ideal dalam mencapai tujuan penciptaan.
A. Misi dan Fungsi Penciptaan Manusia
Manusia dalam Islam memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai khalifah di bumi dan sebagai
‘abd (hamba) Allah SWT. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 30, ketika Allah SWT berfirman kepada para malaikat tentang penciptaan manusia sebagai khalifah (Albina & Aziz, 2021, hlm.
737). Kata khalifah berasal dari kata kerja khalafa yang berarti mengganti atau melanjutkan. Dalam konteks ini, manusia memiliki peran sebagai penerus dalam mengelola bumi dan menjaga keseimbangan kehidupan di dalamnya.
Konsep hamba ('abd) dalam Islam menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah dengan cara menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Allah berfirman dalam QS.
Adz-Dzariyat/51:56:
نِوْدُبُعْيَلِ لَّااِ سَنْلَّااِوْ نَّجِلِاِ تُقْلَخَ امَوْ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."
(Shofiyah et al., 2023, hlm. 5)
Kehambaan dalam Islam bukan hanya sebatas ibadah ritual seperti shalat dan puasa, tetapi juga mencakup semua aspek kehidupan. Setiap aktivitas yang dilakukan manusia, seperti bekerja, menuntut ilmu, dan berinteraksi sosial, harus berorientasi kepada nilai ibadah kepada Allah (Shofiyah et al., 2023, hlm. 7). Kehidupan manusia di dunia hanyalah ujian, di mana mereka harus membuktikan ketaatan dan keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah.
Selain itu, manusia juga diperintahkan untuk memiliki kesucian hati dan menjauhi perbuatan yang dapat menjauhkannya dari rahmat Allah. Kehidupan dunia bersifat sementara, dan manusia dituntut untuk selalu menjaga orientasi hidupnya agar tetap sesuai dengan ajaran Islam (Shofiyah et al., 2023, hlm. 9).
Selain sebagai hamba, manusia juga memiliki peran sebagai khalifah (pemimpin) di bumi. Dalam QS. Al-Baqarah/2:30, Allah berfirman:
ةًۗفَيَلَخَضِرْلَّااِ ىفِ لٌعِاجَ يْ%نْاِ ِةًۗكَ(ىِٕ*لَمَلَلِ كَ-بُّرْ لَاقَ ذْاِوْ
ةًۗ لٰۤ
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Shofiyah et al., 2023, hlm. 10)
Sebagai khalifah, manusia diberikan tugas untuk menjaga, mengelola, dan memakmurkan bumi dengan sebaik-baiknya. Peran ini mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti menjaga lingkungan, menegakkan keadilan sosial, serta membangun peradaban yang berbasis nilai-nilai Islam (Shofiyah et al., 2023, hlm. 12).
Dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar memiliki kekuasaan, tetapi juga bertanggung jawab untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi semua makhluk hidup.
Kepemimpinan yang baik harus dilandasi dengan sikap amanah, adil, serta memiliki tanggung jawab moral yang tinggi (Shofiyah et al., 2023, hlm. 17). Oleh karena itu, manusia harus selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas diri agar mampu menjalankan amanah sebagai khalifah di bumi dengan baik.
Dalam menjalankan fungsinya, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dengan potensi berupa akal dan fitrah. Dengan akalnya, manusia mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, sementara fitrah memberikan kecenderungan alami untuk berbuat baik. Islam menegaskan bahwa kehidupan manusia merupakan ujian untuk menentukan siapa yang paling baik amalnya, sehingga manusia harus terus belajar dan mengembangkan diri secara spiritual, intelektual, dan sosial agar dapat menjalankan misi penciptaannya secara maksimal (Albina & Aziz, 2021, hlm. 738).
B. Konsep insan kamil
Insan Kamil merupakan konsep yang merujuk pada manusia yang mencapai kesempurnaan spiritual dan intelektual. Konsep ini dikembangkan oleh berbagai ulama, termasuk Ibn Arabi dan Muhammad Iqbal (Mahmud, 2014, hlm. 3; Anwar, 2024, hlm. 5). Insan Kamil bukan sekadar individu yang saleh dalam ibadah, tetapi juga seseorang yang mampu merefleksikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari.
Ibnu Arabi memandang bahwa insan kamil merupakan wadah tajalli (penampakan) Tuhan yang paripurna. Dalam filsafatnya, ia menjelaskan bahwa realitas tunggal yang merupakan esensi murni Tuhan ber-tajalli pada alam semesta secara bertahap. Insan kamil adalah makhluk yang mampu menerima tajalli Tuhan dengan sempurna (Anwar, 2023, hlm. 7). Dalam hal ini, manusia
disebut sebagai mikrokosmos, karena dalam dirinya tercermin seluruh unsur yang ada dalam alam semesta, baik secara fisik maupun metafisik (Anwar, 2023, hlm. 7)
Munculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui dua sisi utama. Pertama, melalui tahap tajalli Tuhan pada alam sampai munculnya insan kamil. Kedua, melalui maqamat (peringkat-peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai mencapai kesadaran tertinggi yang terdapat pada insan kamil (Anwar, 2023, hlm. 37).
Tajalli Tuhan dalam pandangan Ibnu Arabi mengambil dua bentuk utama:
1. Tajalli Gaib (Tajalli Żati) → Merupakan penciptaan potensi yang hanya terjadi di dalam esensi Tuhan sendiri. Pada tahap ini, Tuhan masih dalam keadaan wujud mutlak yang belum dihubungkan dengan sifat apa pun dan tidak dikenal oleh siapa pun. Esensi Tuhan ini sering disebut sebagai al-‘ama’, yaitu kabut tipis yang membatasi "langit" ahadiyah dan
"bumi" makhluk (Anwar, 2023, hlm. 37)
2. Tajalli Syuhudi → Berbentuk penampakan Tuhan secara nyata dalam berbagai fenomena alam semesta. Ini terjadi ketika potensi-potensi dalam esensi Tuhan mengambil bentuk aktual dalam realitas yang tampak (Anwar, 2023, hlm. 37)
Pada tahapan tajalli żati, Tuhan masih berada dalam martabat ahadiyah, yang berarti Tuhan masih merupakan wujud tunggal dan mutlak tanpa dihubungkan dengan sifat apa pun.
Namun, dalam keinginannya untuk dikenal, Tuhan kemudian menampakkan diri-Nya secara bertahap dalam tingkatan-tingkatan yang lebih rendah hingga mencapai martabat wahīdiyah , yaitu ketika Tuhan mulai dikenal melalui sifat dan nama-Nya (Anwar, 2023, hlm. 37) Untuk mencapai insan kamil, seorang sufi harus melewati enam tingkat fana’ (kepunahan diri) , yaitu:
1. Fana’ ‘an al-Mukhalafat (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi memandang bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan juga. Dengan demikian, ia mulai mengarah kepada wujud
tunggal yang menjadi sumber segala-galanya. Dalam tahap ini sufi berada dalamhadrah an- nur al-mahd (hadirat cahaya murni). Jika seseorang masih memandang
tindakannya sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada
hadrah az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).
2. Fana’ ‘an af’al al-‘ibad (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya
“satu agen mutlak” dalam alam ini, yakni Tuhan.
3. Fana’ ‘an sifat al-makhluqin (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, sufi menghayati segala sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.
4. Fana’ ‘an kull az-zat (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini sufi menyadari non-eksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik dirinya ialah zat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.
5. Fana’ ‘an kull al-‘alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benar-benar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.
6. Fana’ ‘an kull ma siwa ‘l-lah (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.
Menurut Muhammad Iqbal, Insan Kamil adalah manusia yang memiliki keseimbangan antara akal, spiritualitas, dan tindakan (Anwar, 2024, hlm. 7). Ia mendefinisikan Insan Kamil sebagai manusia yang:
Beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
Memiliki pemikiran kritis dan mendalam.
Memadukan ilmu dan iman dalam kehidupannya.
Menjadi pemimpin yang membawa perubahan bagi masyarakat (Anwar, 2024, hlm. 10).
Muhammad Iqbal menekankan bahwa Insan Kamil bukan hanya konsep spiritual, tetapi juga memiliki implikasi sosial. Insan Kamil dalam perspektifnya adalah manusia yang dinamis, inovatif, dan selalu berusaha untuk memperbaiki kondisi umat Islam (Anwar, 2024, hlm. 12).
Dalam Islam, konsep Insan Kamil dapat dijadikan sebagai model dalam membangun peradaban.
Seorang Insan Kamil harus memiliki keseimbangan antara spiritualitas dan intelektualitas agar dapat memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi (Anwar, 2024, hlm. 14).
A. Kesimpulan
Manusia memiliki dua fungsi utama sebagai khalifah di bumi dan sebagai hamba Allah SWT.
Sebagai khalifah, manusia bertanggung jawab untuk mengelola dan memakmurkan bumi dengan menjaga lingkungan, menegakkan keadilan sosial, dan membangun peradaban yang berbasis nilai- nilai Islam. Sebagai hamba, manusia diharapkan untuk mengabdi kepada Allah dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, di mana setiap aktivitas kehidupan harus berorientasi pada nilai ibadah.
Konsep Insan Kamil merujuk pada manusia yang mencapai kesempurnaan spiritual dan intelektual, yang tidak hanya saleh dalam ibadah tetapi juga mampu merefleksikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Insan Kamil, menurut Ibnu Arabi, adalah makhluk yang mampu menerima tajalli Tuhan dengan sempurna, sementara Muhammad Iqbal menekankan pentingnya keseimbangan antara akal, spiritualitas, dan tindakan dalam mencapai status ini.
Dengan demikian, Insan Kamil menjadi model ideal dalam membangun peradaban yang seimbang antara spiritualitas dan intelektualitas, serta berkontribusi positif dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.
DAFTAR PUSAKA
Albina, Meyniar, & Aziz, Mursal. (2021). Hakikat Manusia dalam Al-Quran dan Filsafat Pendidikan Islam. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 10(2), 737-739.
Shofiyah, N., Sumedi, T., Hidayat, I. (2023). Tujuan Penciptaan Manusia Dalam Kajian Al- Quran. ZAD Al-Mufassirin, Vol. 5 No. 1.
Mahmud, A. (2014). Insan Kamil Perspektif Ibnu Arabi. Sulesana, Volume 9 Nomor 2.
Anwar, Z. (2024). Konsep Insan Kamil dalam Perspektif Muhammad Iqbal dan Relevansinya terhadap Problematika Modernitas. UIN Raden Intan Lampung.