• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH HUKUM PERDATA PERWALIAN ATAU VOOGDIJ

N/A
N/A
thamara riani

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH HUKUM PERDATA PERWALIAN ATAU VOOGDIJ"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH HUKUM PERDATA PERWALIAN ATAU VOOGDIJ

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata HALAMAN COVER

Disusun Oleh

Kelompok 8 _ HESy.5

Nahdia Isni Jauharani

Nurul Khasanah Rangkuti

Dosen Pengampuh: Fitri Mehdini Addieningrum M.Hum

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SAYRIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

2023

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER...1

DAFTAR ISI...2

BAB I PENDAHULUAN...3

1.1 Latar Belakang...3

1.2 Rumusan Masalah...3

1.3 Tujuan penulisan...3

(2)

BAB II PEMBAHASAN...5

2.1 Pengertian Perwalian (voogdij)...5

2.2 Macam-Macam Perwalian...8

2.3 Mulai Berlaku dan Berakhirnya Perwalian...9

BAB III PENUTUP...10

3.1 Kesimpulan...10

3.2 Saran...10

DAFTAR PUSTAKA...11

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 menganut tiga sistem hukum yaitu sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat, dimana Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik dan ciri khas masing- masing mengakibatkan terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya.

Hal ini menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di Indonesia. Dalam lapangan keperdataan misalnya, kita masih menggunakan sistem hukum Barat (BW) yang

notabenenya merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda, padahal sitem hukum Islam juga mengatur hal-hal keperdataan (muamalat). Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.

Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali-ibu (moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak- anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke Voogdij).

Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas

permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve voogdij). Tetapi ada juga kemungkinan, seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya (testamen) mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat (tertamentair voogdij).

Seseorang yang telah ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan tersebut, kecuali jika ia mempunyai alasan-alasan tertentu menurut undang-undang dibenarkan untuk dibebaskan dari pengangkatan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan perwalian, menurut beberapa ahli?

2. Ada berapa macamkah perwalian?

3. Kapan mulai berlaku dan berakhirnya perwalian?

1.3 Tujuan penulisan

Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata yang ada di pada Fakultas Hukum Untirta, yang kemudian penulisan makalah ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan serta dapat dan bisa memeberikan manfaat baik untuk almamater perguruan tinggi maupun bagi dunia ilmu pengetahuan pada umumnya.

(4)

Disamping itu secara khusus sesuai dengan rumusan permasalahan, tujuan penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari perwalian 2. Untuk mengetahui macam-macam perwalian

3. Untuk mengetahui dimulai dan berakhirnya perwalian

(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perwalian (voogdij)

Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur walian.1 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1994. Hal.

Perwalian menurut KUH Perdata yaitu pada Pasal 330 ayat (3) menyatakan:

"Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah. kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini".

Sedangkan menurut para ahli mendefinisikan perwalian itu ada beberapa pengertian diantaranya:

Menurut Prof. Subekti S.H mengatakan Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang.

Menurut Riduan Syahrani bahwa perwalian itu sama halnya seperti orang- orang yang belum dewasa dan orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) dalam melakukan perbuatan perbuatan hukum diwakili oleh orang. tuanya, kecuali atau pengampunya sedangkan penyelesain hutang - hutang piutang orang-orang yang

dinyatakan pailit dilakukan oleh balai harta peninggalan.

Sedangkan Abdul Kadir mengatakan, perwalian pada dasarnya adalah setiap orang dewasa adalah cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum karena memenuhi syarat umur menurut hukum. Akan tetapi, apabila orang dewasa itu dalam keadaan sakit ingatan atau gila, tidak mampu mengurus dirinya sendiri karena boros, dia disamakan dengan orang yang belum dewasa dan oleh hukum dinyatakan tidak cakap atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum diatur dalam hukum 330 KUH Perdata.2

https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian-menurut- kuhperdata-2/

Anak yang berada di bawah perwalian adalah:

a. Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua b. Anak sah yang orang tuanya sudah bercerai

c. Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijk kind)

Jika salah seorang tuanya meninggal, maka menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali dari anak-anaknya. Perwalian ini

disamakan perwalian menurut perwalian menurut undang- undang (wettelijke voogdij).

Seorang anak yang lahir di luar perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua

(6)

ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatannya (datieve voogdij). Ada pula kemungkinan, seorang ayah atau ibu di dalam surat wasiatnya (testament) mengangkat seorang wali untuk anaknya. Pengangkatan yang dimaksudkan akan berlaku, jika orang tua yang lainnya karena suatu sebab tidak menjadi wali. Perwalian semacam ini dinamakan perwalian menurut wasiat (testamentaire voogdij).3 Subekti, Op.cit, hal.

Pada umumnya dalam tiap perwalian, hanya ada seorang wali saja. Kecuali, apabila seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd.

Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali, harus menerima pengangkatan itu, kecuali jika ia seorang isteri yang kawin atau jika ia mempunyai alasan-alasan menurut undang-undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu.

Alasan-alasan itu antara lain jika ia, untuk kepentingan Negara harus berada di luar Negeri, jika ia adalah seorang anggota Tentara dalam dinas aktif, jika ia sudah berusia 60 tahun, jika ia sudah menjadi wali untuk seorang anak lain atau jika ia sudah mempunyai lima orang anak sah atau lebih.

Ada golongan orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu. ialah orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang di bawah curatele, orang yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, jika pengangkatan sebagai wali itu untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari itu, Kepala dan anggota- anggota Balai Harta Peninggalan (weeskamer) juga tak dapat diangkat menjadi wali, kecuali dari anak-anaknya sendiri.

Seorang wali diwajibkan mengurus kekayaan anak yang berada dibawah pengawasannya dengan sebaik-baiknya dan ia bertanggungjawab tentang kerugian- kerugian yang ditimbulkan karena pengurusan yang buruk. Dalam kekuasaannya, ia dibatasi oleh Pasal 393 B.W. yang melarang seorang wali meminjam uang untuk si anak. la tak diperkenankan pula menjual. menggadaikan benda-benda yang bergerak, surat-surat sero dan surat-surat penagihan dengan tidak mendapat izin lebih dahulu dari hakim. Selanjutnya seorang wali, diwajibkan, apabila tugasnya telah berakhir,

memberikan suatu. penutupan pertanggungjawaban ini dilakukan pada si anak, apabila ia telah menjadi dewasa atau pada warisnya jika anak itu telah meninggal.4 Ibid, hal.

Semua wali kecuali perkumpulan-perkumpulan yang diangkat oleh hakim (hakim berkuasa mengangkat suatu perkumpulan menjadi wali), jika dikehendaki oleh Weeskamer, diharuskan memberikan jaminan berupa borgtocht atau hipotik secukupnya menurut pendapat Weeskamer. Jika wali itu tidak suka memberikan tanggungan itu, Weeskamer dapat menuntutnya di depan hakim, dan meminta pada hakim supaya pengurusan kekayaan si anak serta diserahkan pada Weeskamer itu sendiri.

Dalam tiap perwalian di Indonesia Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) menurut undang-undang menjadi wali pengawas (toeziende voogd). Weeskamer itu

(7)

berada di Jakarta, Semarang. Surabaya, Medan dan Makasar, sedangkan ditempat- tempat lain ia mempunyai cabang (agen). Disamping tiap Weeskamer ada suatu "Dewan Perwalian" ("Voogdijraad") yang terdiri atas kepala dan anggota-anggota, Weeskamer itu ditambah dengan beberapa anggota lainnya.

Agar Weeskamer dapat melakukan tugasnya, tiap orang tua yang menjadi wali harus segera melaporkan tentang terjadinya perwalian pada Weeskamer. Begitu pula, apabila hakim mengangkat seorang wali, Panitera Pengadilan harus segera

memberitahukan hal itu pada Weeskamer.5 Ibid, hal.

Hukum positif tertulis, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah menikah, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali yang menyangkut pribadi anak tersebut maupun harta bendanya".

Dengan demikian, perwalian secara sempit adalah menyangkut tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dapat terjadi karena, misalnya, meninggalkan kedua orang tua dari anak yang belum dewasa.

Menurut hukum adat, perceraian maupun meninggalkan salah satu dari kedua orang tua, tidaklah menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena di dalam perceraian, anak-anak masih berada pada salah satu dari kedua orang tuanya. Demikian juga pada situasi meninggalkan salah satu dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, yang lebih memungkinkan terjadinya perwalian, adalah apabila kedua orang tua dan anak (anak) tersebut meninggalkan dunia, dan anak (anak) yang ditinggalkan itu belum dewasa.

Dengan meninggalkannya kedua orang tua, anak-anak menjadi yatim piatu dan mereka semuanya tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.6 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Hal. 257

Oleh karena dan sebagaimana telah dinyatakan dimuka bahwa dalam sistem kekeluargaan bilateral, pemeliharaan anak yang ditinggalkan itu dilakukan oleh salah satu dari keluarga pihak bapak atau pihak itu yang terdekat, (yaitu, misalnya, peranan atau bibik, nenek dan kakek dan di Indonesia lazim pemeliharaan anak itu diberikan kepada kakek dan neneknya, itupun bila orang tua dari suami-isteri itu masih hidup dan cukup mampu untuk melakukan pemeliharaan). Berdasarkan atas konsepsi di atas, maka yang menjadi wali adalah mereka yang melakukan pemeliharaan terhadap anak (anak) itu.

Pada masyarakat yang unitlateral matrilineal, maka yang memelihara anak (anak) bila kedua orang tuanya meninggal dunia adalah mereka yang berasal dari pihak ibu, sehingga perwalian juga berada di tangan mereka.

Sedangkan pada masyarakat yang unilateral patrilineal pemeliharaan anak yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya karena meninggal dunia, berada ditangan kerabat dari pihak ayah (laki-laki). Di Tapanuli misalnya, jika bapak yang meninggal dunia, maka di ibu meneruskan pemeliharaan anak-anaknya. Jika, si ibu (janda) tidak mau (menolak) kawin leviraat, dan ia berkeinginan untuk meninggalkan lingkungan

(8)

suaminya, maka ia dapat minta cerai kepada jabu asal suaminya, akan tetapi anak- anaknya tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga almarhum suaminya.

Menelaah keterangan di atas ini, maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan perwalian pada dasarnya ada pada keluarga dari pihak ayah dari anak-anak itu.

Telah menjadi kelaziman di dalam masyarakat, apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, sedangkan ada anak yang telah dewasa (dan telah kawin), maka kewajiban untuk memelihara adik-adiknya terletak di tangan kakaknya tersebut. Dengan demikian dapat pula dikatakan, bahwa anak yang telah dewasa (dan telah kawin) merupakan wali bagi adik-adiknya.7 Ibid, hal 258

Oleh karena menurut hasil penelitian tak ada orang tua yang dicabut

kekuasaannya sebagai orang tua, walaupun berupa buruknya perilaku orang tua itu, ataupun sangat melalaikan kewajiban terhadap anak, maka perwalian karena kedua hal tersebut di atas kiranya belum muncul di dalam masyarakat.

Mahkamah Agung mempunyai pendapat yang tidak berbeda, oleh karena di dalam keputusannya tertanggal 24 September 1958 Nomor 329K/Sip/1957 menyatakan bahwa menurut hukum adat di Tapanuli Selatan, maka seorang ibu yang menjadi wali daripada seorang anak yang masih di bawah umur. kewajiban untuk memelihara hak di anak sampai ia dewasa.8 Ibid, hal 259

2.2 Macam-Macam Perwalian Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:

a. Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal 354 KUHPerdata. Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.

b. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri.

Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa: "Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat

terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain" Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.

c. Perwalian yang diangkat oleh Hakim. Pasal 359 KUH Perdata menentukan: "Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan".9

RiduanSyahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT alumni, 2006. Hal.

(9)

2.3 Mulai Berlaku dan Berakhirnya Perwalian

Mulai berlakunya perwalian menurut kitab undang-undang hukum perdata pasal 331 a dan b menyatakan bahwa:

1. Bila oleh hakim di angkat seorang wali yang hadir, pada saat pengangkatan itu dilakukan, atau apabila pengangkatan itu dihadirinya, pada waktu pengangkatan diberitahukan kepadanya.

2. Bila seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua, pada saat

pengangkatan itu, karena meninggalnya pihak yang mengangkat, memperoleh kekuatan untuk berlaku dan pihak yang diangkat menyatakan kesanggupannya untuk menerima pengangkatan itu.

3. Bila seorang perempuan bersuami diangkat menjadi wali oleh hakim atau oleh salah seorang dari kedua orang tua, pada saat ia, dengan bantuan atau permintaan sendiri atau pernyataan bersedia, diangkat menjadi wali, pada saat menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu.

4. Bila suatu perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial, bukan atas permintaan sendiri atau pernyataan bersedia, diangkat menjadi wali, pada saat menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu.

Perwalian berakhir:

1. Perwalian berakhir: Bila anak belum dewasa, setelah berada dibawah perwalian, kembali kekuasaan orang tua, karena bapak atau ibunya mendapat kekuasaan kembali, pada saat penetapan sehubungan dengan itu diberitahukan kepada walinya.

2. Bila anak belum dewasa, setelah berada dibawah perwalian, kembali dibawah kekuasaan orang tua berdasarkan pasal 206 a atau 323a, pada saat berlangsungnya perkawinan.

3. Bila anak belum dewasa yang lahir diluar perkawinan diakui menurut undang-

undang, pada saat berlangsungnya perkawinan yang mengakibatkan sahnya si anak, atau pada saat pemberian surat pengesahan yang diatur dalam pasal 274.

4. Bila dalam hal yang diatur dalam pasal 453 orang yang dibawah. pengampuan memperoleh kembali kekuasaan orang tuanya, pada saat pengampuan itu berakhir.10 http://mustain-billah.blogspot.com/2013/10/normal-0-false-false-fulse-en-us-x- none.html

(10)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang.

Anak yang berada di bawah perwalian adalah:

a. Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua b. Anak sah yang orang tuanya sudah bercerai

c. Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijk kind)

Mulai berlakunya perwalian menurut kitab undang-undang hukum perdata diatur dalam Pasal 331 (a dan b) dan perwalian berakhir dalam Pasal 206 a atau 323a, 274 dan 453.

3.2 Saran

Demi kesempurnaan makalah ini kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan, agar makalah ini dapat menjadikan suatu pedoman untuk kalangan umum. Atas kritik, saran, dan perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian- menurut- kuhperdata-2/

http://mustain-billah.blogspot.com/2013/10/normal-0-false-false-false-en-us-x- none.html

RiduanSyahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT alumni, 2006

Soerjono Sockanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

Subekti, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1994.

Referensi

Dokumen terkait