• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP EKSISTENSI WARIA DALAM KORIDOR KARIER DI KOTA MALANG

N/A
N/A
NAURA DINI HARLIANDA

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP EKSISTENSI WARIA DALAM KORIDOR KARIER DI KOTA MALANG"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP EKSISTENSI WARIA DALAM KORIDOR KARIER DI KOTA MALANG

Disusun untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS)

Mata Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Kelas M yang dibina oleh:

Ibu Yenny Eta Widyanti, S.H., M.Hum.

Oleh:

Naura Dini Harlianda NIM: 205010100111116

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA

KOTA MALANG

TAHUN 2022

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Yang Maha Kuasa, Allah SWT karena atas kehendak-Nya penulis mampu merampungkan penelitian berjudul “Kajian Sosiologi Hukum terhadap Eksistensi Waria di Kota Malang”.

Tujuan dari pada penelitian ini adalah sebagai kontribusi pemikiran penulis terhadap perkembangan ilmu hukum, baik diperuntukkan kepada pengajar, mahasiswa, hingga seluruh masyarakat Indonesia terutama yang tertarik mengenai keberadaan waria dalam dunia pekerjaan.

Demikian penelitian ini disusun, dengan rendah hati penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan atau kata-kata yang tidak berkenan. Diharapkan penelitian ini memberi manfaat bagi pembaca dan perkembangan penelitian selanjutnya.

Malang, 1 Juni 2022

Naura Dini Harlianda.

(3)

DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar 1

Daftar Isi 2

BAB I: PENDAHULUAN 3

I.I Latar Belakang 3

I.II Rumusan Masalah 5

I.III Tujuan Penelitian 5

I.IV Manfaat Penelitian 5

I.V Metode Penelitian 6

BAB II: KAJIAN PUSTAKA 7

BAB III: HASIL DAN PEMBAHASAN 10

III.I Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Hambatan Waria dalam Koridor

Karier di Kota Malang 10

III.II Peluang Waria dalam Koridor Karier di Kota Malang Menurut Pasal 70

UU No. 39 Tahun 1999 12

BAB IV: PENUTUP 19

IV.I Kesimpulan 19

IV.II Saran 19

(4)

BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang

Negara Indonesia dengan bentuk rechtstaat menanamkan asas Equality before the law sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Berlakunya asas ini diharapkan untuk menghapuskan diskriminasi dan segregasi dalam bentuk apapun, sehingga setiap warga negara memiliki hak yang setara di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, golongan, dan jenis kelamin.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 (UU HAM) Pasal 1 ayat (3) menyebut “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. Yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau pengakuan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.

Dengan ditanamkannya asas ini beserta undang- undang yang memperjuangkan keadilan hak asasi manusia, sudah sepatutnya setiap baik rakyat sipil maupun badan hukum mampu dengan betul menegakkan ketidakadilan yang mengatasnamakan hak setiap warga negaranya.

Kendati kesetaraan dan larangan diskriminasi telah diregulasikan oleh kaidah-kaidah yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan, kasus sebaliknya tak sedikit kerap kali terjadi, terlebih terhadap orang-orang yang tidak sesuai stereotip masyarakat, contohnya adalah transgender atau waria. Menurut Kamanto, waria adalah laki-laki yang berperilaku mirip dengan perempuan, misalnya lemah lembut, bergaya seperti perempuan, dan menyukai mainan atau barang perempuan disebut sissy atau waria atau banci tanpa harus melakukan perubahan-perubahan yang mendasar pada kondisi fisiknya, termasuk melakukan operasi pada alat kelaminnya agar bisa menyerupai seorang perempuan. Perilaku menyimpang ini merupakan suatu bentuk perilaku yang dianggap tidak layak oleh kelompok sosial atau masyarakat.1

UU HAM Pasal 70 menyebutkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta

1 Kamanto Sunarto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, hal.

18.

(5)

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban, umum dalam suatu masyarakat demokrasi”. Sementara dalam pasal tersebut perlu digarisbawahi mengenai setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang, dalam hal ini dapat dikorelasikan terhadap kondisi waria untuk mencari pekerjaan. Kebanyakan waria berprofesi sebagai pengamen jalanan, yang mana terkadang mereka cukup menimbulkan ketidaknyamanan karena melewati batasan undang-undang tersebut dengan menggoda orang secara fisik maupun verbal. Namun, tidak sedikit juga waria yang semata-mata bekerja memang demi meneruskan hidup tanpa melanggar undang-undang, tetapi jarang terlihat mereka berada di koridor karier yang layak. Demi pekerjaannya tak jarang pula waria melawan diskriminasi dan penolakan hebat, bahkan kekerasan dari masyarakat. Pernyataan tersebut didukung pula oleh Pasal 73 UU HAM yang menyatakan “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepastian bangsa”. Bahwa perlakuan menghakimi yang sepihak kepada waria tidak dibenarkan, walaupun waria dinilai “tidak biasa” dalam tataran kemasyarakatan.

Apabila diamati dari norma dan patokan dasar bermasyarakat yang hanya dibedakan menjadi dua jenis kelamin, eksistensi waria dianggap tabu sebab pada dasarnya gender yang absah hanya ada dua, laki-laki dan perempuan. Tidak ada penyebutan gender secara spesifik terhadap waria, oleh sebab itu waria dituntut kembali ke kodrat semula ketimbang ditolak oleh komunitas sosialnya sekalipun waria tersebut tidak menimbulkan kerugian. Penolakan dari masyarakat tersebut merupakan pangkal dari kesulitan waria berkarier. Keberadaan waria di tempat-tempat umum kerap mengundang pusat perhatian sehubungan dengan penampilannya, yaitu laki-laki yang berpakaian, berdandan, serta berperilaku sebagaimana perempuan dimana pada umumnya masyarakat menolak fenomena yang dicap sebagai penyimpangan tersebut. Eksistensi mereka distigmakan sebagai sampah masyarakat yang identik dengan prostitusi pinggir jalan.

Walaupun keberadaannya sudah ada sejak dahulu, waria kerap menjadi korban kekerasan dan mendapatkan hukuman karena dianggap melangggar konsepsi peran gender yang dikontruksikan oleh mayoritas masyarakat. Kaum waria mengalami gejolak eksistensi pada dirinya yaitu dalam aspek kebebasan yaitu hak atas kehidupannya, serta aspek kecemasan yang beranjak dari kekhawatiran atas keputusan-keputusan yang berpotensi menimbulkan lebih besar risiko dan konflik daripada rasa aman dan nyaman. Tidak hanya demikian, kecondongan waria terhadap krisis identitas tidak digariskan dari segi psikologis belaka, melainkan dalam tindakan sosial pula. Konfrontasi-konfrontasi diri

(6)

tersebut banyak menyebabkan hambatan dalam mengintegrasikan dan mengaktualisasikan hubungan sosial ke dalam struktur masyarakat.

I.II Rumusan Masalah

1. Apabila dikaji secara sosiologi hukum, bagaimana bentuk hambatan waria dalam koridor karier di Kota Malang?

2. Apakah peluang waria dalam koridor kariernya telah sesuai dengan Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999?

I.III Tujuan Penelitian

Mengonfirmasi kebenaran di balik paradigma masyarakat terhadap keberadaan waria dalam berkarier apabila diamati dari kajian sosiologi hukum serta memaparkan kesesuaian dan harmonisasi atau sinkronisasi antara Pasal 70 UU No. 39 Tahun 1999 dengan peluang waria dalam koridor kariernya.

I.IV Manfaat Penelitian

Menyumbang pola pemikiran baru ke dalam tatanan sosial yang menolak presensi waria dengan maksud agar masyarakat selalu bersikap netral tanpa mendiskriminasi, serta memberikan kontribusi bagi peneliti lain yang mengkaji hal serupa.

I.V Metode Penelitian A. Jenis dan Pendekatan

Tulisan ini menggunakan penelitian empiris yang dievaluasi dengan kajian sosiologi hukum. Metode ini dilakukan dengan menganalisis implikasi peraturan perundang-undangan Indonesia terhadap subjek hukum dalam penelitian ini.

Lebih lanjut lagi analisis dilaksanakan secara deskriptif menguji suatu teori melalui eksperimen atau observasi yang mampu menghasilkan kesimpulan pendukung dan penolak hipotesa peneliti. Observasi ini nantinya dibantu oleh ilmu-ilmu sosial untuk mengkorelasikan aspek yuridis terhadap pola pikir holistik.

B. Lokasi

Sebaran koresponden yang diambil pada penelitian ini berlokasi di Kota Malang, Jawa Timur. Kota Malang adalah kota terbesar kedua se-Jawa Timur yang merupakan salah satu pusat bermacam komunitas sosial yang cukup besar, sehingga beragam tipe individu bermukim di kota ini, tak terkecuali waria.

Walaupun sudah lumayan sulit ditemukan sebab mungkin sebagian besar telah dibantu dinas sosial, keberadaan waria tetap tak bisa dipungkiri berada di sekitar kita. Terlebih pengaruh maraknya LGBT yang mulai berani dikoarkan pendukungnya membuat waria semakin banyak menunjukkan jati dirinya, bahkan apabila itu teman-teman kita sendiri. Kota Malang dipilih peneliti sebagai lokasi penelitian sebab peneliti telah cukup lama tinggal di sini, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan mudah untuk mengkaji subjek yang dimaksud.

C. Jenis dan Sumber Data

(7)

Mengambil dari definisi oleh Lofland (dalam Moleong, 2013: 157)

“Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain”, maka subjek penelitian yang dimaksud adalah dari perilaku waria serta masyarakat yang hidup berdampingan dengan waria. Apabila memungkinkan, Dinas Sosial Kota Malang, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Malang, dan Polresta Malang Kota mampu berpasrtisipasi pula sebagai koresponden. Sedangkan data sekunder berupa data-data dari peraturan perundang-undanganan, artikel, jurnal, buku, putusan hakim, dan pendapat ahli untuk mendukung pernyataan daripada data primer.

D. Teknik Pengambilan Data

Data penelitian tercantum di atas diambil menggunakan beberapa teknik.

Metode yang paling baku atau utama adalah wawancara dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian ini secara tatap muka. Wawancara tersebut dilakukan bersama dengan waria. Wawancara juga berperan sebagai penguat keterangan yang telah diperoleh sebelumnya melalui peraturan perundang-undanganan, artikel, jurnal, buku, putusan hakim, dan pendapat ahli. Sebagai data kedua diambil dari kuesioner yang disebar kepada masyarakat yang hidup berdampingan dengan waria di Kota Malang.

(8)

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.I Karakter dan Perilaku Manusia

Karakter manusia mulanya berpijak pada bawaan genetik dan kemudian berkembang searah interaksi sosial dan faktor lingkungan selama pertumbuhannya. Sejumlah faktor yang mempengaruhi tumbuhnya karakter manusia antara lain adalah adat kebiasaan, keturunan, lingkungan, dan motivasi.

Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998) menyatakan, perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu (Ichwanudin, 1998).2

Adat kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam waktu lama oleh perorangan atau oleh kelompok masyarakat sehingga menjadi mudah mengerjakannya, disebut kebiasaan. Faktor keturunan mampu dipandang dari segi psikologis, bahwa karakteristik orang tua menurun kepada anak darah daging termasuk perilakunya. Lingkungan menurut Notoatmodjo (2003) memengaruhi suatu perilaku untuk dibentuk melalui suatu proses dalam interaksi manusia dengan lingkungan, yaitu segala sesuatu yang ada di sekitar subjek hukum. Karakter dan perilaku manusia secara psikologis sebagian besar dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat dan dengar, terlebih apabila subjek tersebut merupakan anak kecil yang stimulusnya masih kuat. Motivasi juga mencengkram kuat perkembangan karakter dan perilaku manusia ini, bahwa setiap subjek hukum pasti memiliki suatu keinginan yang disebut dengan motivasi, entah karena kepercayaannya akan sesuatu, ikut serta perilaku orang lain, atau mengagumi sesuatu.

Dalam konteks kehadiran waria yang dianggap tabu masyarakat ini, terdapat kemungkinan bahwa karakter waria tumbuh berkembang seiring benturan faktor-faktor pembangun yang kurang baik, sehingga terbentuk krisis identitas dalam tumbuh kembangnya.

II.II Konsep Waria

Waria (portmanteau dari wanita-pria) atau wadam (dari hawa-adam) adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan Waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun

2 Andy Meiriza & Welly Wirman. Konsep Diri dan Perilaku Komunikasi Waria di Pekanbaru

https://media.neliti.com/media/publications/31147-ID-konsep-diri-dan-perilaku-komunikasi -waria-di-pekanbaru.pdf

(9)

dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala Waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Seorang laki-laki memilih menjadi Waria dapat terkait dengan keadaan biologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksual), maupun akibat pengondisian lingkungan pergaulan. Sebutan bencong juga dikenakan terhadap Waria dan bersifat negatif.3

Secara sederhana konsep perilaku waria tidak berbeda jauh dengan kaum homoseksual. Namun, kaum homoseksual memiliki ciri khas tersendiri apabila kita melihatnya lebih jauh. Ciri khas secara fisik yang mereka miliki terlihat dari komunikasi yang mereka lakukan (Mutyawati, 2004). Komunikasi yang dilakukan oleh kaum homoseksual memiliki berbagai macam kekhasan. Dalam berkomunikasi mereka menggunakan komponen-komponen verbal dan nonverbal sehingga tidak dapat dipungkiri apabila mereka dapat membentuk dan mengembangkan suatu pola komunikasi secara verbal dan nonverbal dalam komunitasnya (Koeswinarno, 2004:61).4

Waria memiliki perspektif hidup tersendiri bahwa mereka menormalisasi penampilan dan gaya komunikasi menyerupai perempuan, padahal secara psikis dan fisik jelas bahwa berjenis kelamin laki-laki. Akan tetapi apabila ditautkan dengan hak asasi manusia, kaum waria mengharap diperlakukan sama layaknya individu biasa dalam bermasyarakat, akan tetapi perilaku waria sulit diterima oleh umum. Mulai dari tingkat pendidikan hingga pekerjaan, waria kerap kali menjadi sasaran bahan bercanda, bahkan diskriminasi.

II.III Asas-Asas yang Bersangkutan dengan Waria dalam Koridor Karier

Kesulitan waria dalam masuk ke tataran sosial tidak terkecuali dalam koridor karier membuat sebagian besar waria memiliki pekerjaan yang kurang layak. Walaupun dalam satu komunitas yang sama, individu berorientasi seksual penyuka sesama jenis lebih bebas dalam lintasan profesinya sebab ia bisa menyembunyikan orientasi seksualnya demi menghindari diskriminasi. Sedangkan waria yang notabenenya berpenampilan dan berperilaku layaknya perempuan lebih mengalami banyak kesulitan di dunia pekerjaan mulai dari diskriminasi, menjadi bahan olokan, direndahkan, dan lain-lain.

Hukum ketenagakerjaan adalah salah satu cabang hukum yang mampu menopang kondisi waria secara yuridis. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan hukum ketenagakerjaan sebagai pengaturan atas segala hal emngenai tenaga kerja saat sebelum, selama, dan sesudah kerja. Menurut pendapat Mr. M,G. Levenbach hukum ketenagakerjaan

4Suanto. 2017. Perilaku Waria (Studi Kasus di Desa Binturu Kecamatan Larompong Kabupaten Luwu) https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/826-Full_Text.pdf

3Suanto. 2017. Perilaku Waria (Studi Kasus di Desa Binturu Kecamatan Larompong Kabupaten Luwu) https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/826-Full_Text.pdf

(10)

meliputi hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.

Hadirnya hukum ketenagakerjaan tentu mengadakan asas-asas hukum yang meliputinya. Dari asas-asas hukum ini mampu ditinjau kedudukan waria dalam koridor kariernya, antara lain:

a) Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan

Mematok perilaku gotong royong dan kekeluargaan demi tercapainya aspirasi dan tujuan bersama. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

b) Asas Demokrasi

yaitu berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang politik,sosial ekonomi.

Penyelesaian masalah-masalah nasional ditempuh dengan jalan musyawarah untuk mufakat

c) Asas Kesadaran Hukum

hukum; setiap warganegara harus taat dan sadar kepada hukum dan mewajibkan Negara menegakkan hukum.

d) Asas Perikehidupan dan Keseimbangan

kesehimbangan antara kepentingan-kepentingan yaitu antara kepentingan duniawi dan akhirat,material dan spirittual, jiwa dan raga, individu, dan masyarakat dan lain-lain.

(11)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

III.I Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Hambatan Waria dalam Koridor Karier di Kota Malang

Keberadaan waria di Kota Malang berdampingan dan berhubungan langsung dengan masyarakat yang menyebabkan sejumlah bentrokan karena umumnya waria dinilai tidak biasa dalam struktur sosial masyarakat Indonesia.

bentrokan-bentrokan tersebut terjadi dalam beberapa aspek, antara lain kebebasan, kenyamanan, dan kehidupan. Ditarik dari aspek kebebasan berarti waria memiliki hak pribadi terhadap kehidupannya seperti halnya subjek hukum lain tanpa terbatas oleh gender, seperti yang dilindungi oleh Undang-Undang No.

39 Tahun 1999 atau UU HAM. Walaupun kebebasan waria telah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang absah, keputusan untuk bertindak sebagai waria tetap menjadi keputusan yang banyak risiko yang mengganggu kenyamanan waria untuk bersosialisasi. Waria perlu usaha-usaha tertentu demi mempertahankan hidupnya sekadar sebagai manusia. Untuk itu, di Kota Malang sebagai kota pendidikan yang identik dengan masyarakat yang intelek terdapat suatu lembaga swadaya masyarakat bernama Ikatan Waria Malang Raya atau IWAMA.

Berdasarkan wawancara dengan Mbak SC, salah satu pengurus IWAMA, ikatan yang menaungi para waria Malang Raya ini lahir pada 23 Juli 1991 di Kota Malang. Berdirinya IWAMA ialah sebagai media aktualisasi diri oleh komunitas orang dengan perilaku seksual yang sama, yaitu waria itu sendiri. Ikatan tersebut tidak semata-mata perkumpulan biasa, tetapi terdapat komitmen dan tujuan tertentu yang perlu dicapai di dalamnya. Komitmen utama IWAMA ialah berjuang demi pengakuan eksistensi kaum mereka bahwa waria tidak seburuk yang masyarakat stereotipkan. Ada beberapa kegiatan kemasyarakatan yang mereka programkan untuk membantu masyarakat baik dalam maupun luar Malang Raya seperti penggalangan dana untuk korban erupsi Gunung Semeru pada Desember 2021 lalu, serta beberapa kali berkontribusi kepada sejumlah event seperti menjadi Duta Hiv dan Duta Anti Narkoba Se-Malang Raya. Capaian dari kegiatan-kegiatan IWAMA ini merefleksikan bahwa walaupun waria tidak sesuai dengan konstruk gender sebagaimana mestinya, mereka tetap memiliki nilai yang sama sebagaimana manusia.

Disamping mengikuti program kegiatan IWAMA, para anggotanya tentu memiliki kehidupan tersendiri yang memerlukan mereka untuk bekerja. Mbak SC menyatakan bahwa cukup sulit bagi waria untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di Kota Malang. Ia memaparkan bahwa kebanyakan waria memiliki latar belakang keluarga, pendidikan, dan lingkungan yang cukup buruk sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang mengharuskan seseorang menempuh pendidikan formal. Mentok-mentok, waria sekadar bekerja menjadi penghibur yang dipanggil ke acara-acara, misalnya MC atau penari di acara

(12)

pernikahan, serta banyak pula waria yang bekerja di salon rumahan. Selain itu apabila mencari waria di bidang profesi formal seperti pekerja kantoran ialah sangat sulit, sebab menurut Mbak SC dengan latar belakang pendidikan waria yang tidak mumpuni tersebut tidak memungkinkan untuk menjadi pekerja kantoran.

Lebih buruk lagi, waria sangat identik dengan prostitusi. Mbak SC setuju banyak masyarakat yang berpikiran seperti itu. Ia memaparkan bahwa tak sedikit waria di luar komunitas IWAMA yang terjun ke dunia prostitusi di Kota Malang.

Kegiatan melacurkan diri menghasilkan uang dengan cepat dan mudah daripada harus menjadi pengamen. Waria yang sudah bekerja seperti itu pun kebanyakan malah merasa nyaman atas kemudahannya mendapatkan pendapatan, terlebih karena waria yang merupakan pekerja prostitusi berasal dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Pernyataan Mbak SC tersebut berdasarkan beberapa anggota IWAMA yang merupakan mantan pekerja prostitusi di Kota Malang. Maka dari itu Mbak SC sangat berharap IWAMA mampu merangkul para waria lain agar memiliki wadah aktualisasi diri yang lebih baik.

Fenomena seperti ini mencerminkan ketidakadilan bagi waria di dunia pekerjaan karena keterbatasannya sangat menyulitkan para waria. Faktor-faktor internal dan eksternal memengaruhi keterbatasan tersebut, baik dari waria itu sendiri maupun dari masyarakat yang hidup berdampingan dengannya. Oleh sebab itu, untuk menelaah fenomena ini lebih lanjut diperlukan kajian yang cocok. Indonesia adalah negara hukum dengan masyarakat yang merupakan zoon politicon atau makhluk sosial. Untuk itu perspektif dari aspek sosiologi hukum mampu menganalisis fenomena ini dengan baik karena melaksanakan dua metode berkaitan, baik melalui pendekatan hukum maupun pendekatan sosiologis.

Kajian sosiologi hukum bukan identik dengan sociological jurisprudence, apalagi sosio-legal atau antropologi hukum. Apabila sociological jurisprudence lebih mengarah kepada filsafat, sosio-legal kepada doktriner hukum, dan antropologi hukum kepada kebudayaan atau kemasyrakatan, sosiologi hukum lebih terbatas kepada ilmu sosiologis saja bukan ilmu sosial secara luas. Maka dari itu aspek sosiologi hukum diperlukan untuk memandang fenomena waria yang berkomunikasi langsung dengan masyarakat pro dan kontra. Salah satunya pengkajian melalui teori materialisme historis milik Karl Marx mampu menganalisis eksistensi waria dalam koridor karier mulai dari alasan hambatannya hingga perlindungan yuridisnya.

Berbeda dengan Weber yang melihat pada otoritas dan kewenangan, Karl Marx melihat masyarakat dengan ajaran materialisme karena manusia berorientasi kepada uang atau keuntungan sebab mampu dijadikan alat represi bagi orang lain. Masyarakat materialisme tercipta karena konflik dari masyarakat

(13)

organik dengan perbedaan status sosial dan ekonomi. Kekuasaan dikendalikan oleh para kapitalis, bahkan dalam dunia kerja sekali pun yang membutuhkan relasi kuat. Maka, tidak salah bahwa para proletar atau kaum dengan ekonomi rendah cenderung mengambil jalan pintas demi mendapatkan uang. Teori materialisme historis ini mendefinisikan ‘kebutuhan material di atas kesadaran’

yang terbukti pada pengalaman Mbak SC yang melihat seorang waria yang nyaman berada di koridor prostitusi. Ia menilai prostitusi lebih mudah menghasilkan uang walaupun sangat beresiko, terlebih pada kesehatan diri karena rentan terkena penyakit seks menular. Itu adalah salah satu hambatan waria untuk berada di koridor karier yang lebih layak

Fakta tersebut tak semerta-merta terjadi karena merujuk pada materialisme historis dimana ketimpangan antara kapitalis dan proletar cukup jelas. Marx menganggap perkembangan intelektual manusia searah dengan kondisi materialnya. Subjek yang tidak berkecukupan secara ekonomi cenderung terhambat atas pendidikannya, baik pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan informal seperti edukasi dari keluarga dan lingkungan sekitar.

Kurangnya penyerapan edukasi menjadi salah satu kendala waria untuk memperoleh pekerjaan layak. Bekerja dengan layak pun tetap terbatas pada profesi tertentu, seperti tukang salon rumahan, dan itu pun juga tidak lepas dari pengucilan masyarakat. Oleh sebab itu, waria condong mengarah ke jalan mudah, yaitu prostitusi walaupun berisiko tinggi, terutama pada kesehatan.

Dengan ini membuktikan teori materialisme historis atas keintelektualan manusia yang ditentukan oleh situasi materialnya, dimana kebutuhan material ada di atas kesadaran. Kondisi ekonomi berpengaruh dengan tingkat edukasi waria tersebut, sehingga kurangnya edukasi berimbas pada pencarian karier yang sekadar untuk meraup uang, tidak peduli layak atau tidaknya.

III.II Peluang Waria dalam Koridor Karier di Kota Malang Menurut Pasal 70 UU No. 39 Tahun 1999

A. Eksistensi Waria di Kota Malang

Eksistensi waria di Kota Malang ialah subjek utama dari penelitian ini sebab banyak atau sedikitnya beserta sebaran pekerjaannya mengindikasikan layak atau tidak layaknya suatu peluang bagi waria untuk bekerja. Berdasarkan kuesioner yang peneliti bagikan untuk para responden wilayah Malang Raya, sebaran waria di wilayah Kota Malang dan sekitarnya merujuk pada penilaian masyarakat berdomisili sama digambarkan dengan grafik sebagai berikut:

(14)

Gambar 4.2

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa di wilayah Kota Malang dan sekitarnya baik Kabupaten Malang maupun Kota Batu, eksistensi waria tidak sering ditemukan karena dari 52 responden 59.6% menyatakan kadang-kadang, 36.5%

menyatakan sering, dan 3.9% tidak ada. Maka, dapat disimpulkan bahwa merujuk kepada penilaian masyarakat keberadaan waria di Kota Malang dan sekitarnya terbilang tidak banyak. Waria yang dimaksud adalah tidak terkhusus waria dengan profesi tertentu, melainkan waria secara umum baik tidak bekerja maupun bekerja.

B. Pasal 70 UU No. 39 Tahun 1999 terhadap Hak Waria dalam Pekerjaan

Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia atau biasa disebut dengan UU HAM menyebutkan bahwa "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Maksudnya, seseorang tidak dilarang untuk menjadi waria karena merupakan kebebasannya, tetapi ia diharuskan untuk patuh kepada peraturan di Indonesia dengan menghormati hak orang lain dan adil sesuai dengan pertimbangan masyarakat. Walaupun tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara jelas melindungi hak dari waria, inti dari pasal ini dapat diimplementasikan sebagai pengayom waria. Namun, tidak semua masyarakat memahami atau sekadar mengetahui nilai dari pasal ini.

(15)

Berdasarkan kuesioner yang peneliti bagikan untuk para responden wilayah Malang Raya, respons pengetahuan masyarakat terhadap adanya pasal ini digambarkan dengan grafik sebagai berikut:

Gambar 4.1

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa di wilayah Malang Raya meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu dari total 52 responden masyarakatnya memenuhi angka 44.2% untuk jawaban tidak, 32.7% untuk jawaban ya, dan 23.1% untuk jawaban sedikit.

Fenomena ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara das sollen dan das sein. Disebutkan das sollen atau kondisi yang diharapkan sebagaimana dalam Pasal 70 UU HAM tersebut, sedangkandas sein atau fakta hukum yang telah terjadi yaitu kesulitan waria dalam koridor kariernya. Perbedaan penampilan waria dengan masyarakat lainnya membuat sulit diterima eksistensinya di tengah masyarakat. Penolakan tersebut juga mampu disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat terhadap sikap menghormati kebebasan orang lain sejauh masih sesuai dengan moral. Ketidaktahuan ini bisa dijadikan faktor utama waria untuk sulit mendapatkan pekerjaan sebab masyarakat kurang memahami adanya perlindungan hukum terhadap waria, tetapi tetap dengan pertimbangan norma.

Pada Pasal 70 UU HAM terdapat dua unsur yang wajib digarisbawahi untuk penelitian ini, yaitu unsur kebebasan dan unsur pertimbangan moral. Hak yang dimiliki seorang waria merupakan suatu bentuk kebebasan dalam ekspresi gender, tetapi harus tetap sejalan dengan peraturan di Indonesia yang pada pasal ini tidak hanya menyebutkan peraturan perundang-undangan saja, melainkan perlu digarisbawahi pertimbangan moral atau norma-norma kemasyarakatan. Dalam koridor karier waria mengalami penyempitan akses lapangan pekerjaan, untuk itu perlu ditelaah sebab dan akibat dari kesenjangan

(16)

antara das sollen dan das sein tersebut untuk menentukan sesuai atau tidak sesuainya Pasal 70 UU HAM dengan peluang waria dalam koridor kariernya.

Pertimbangan moral merupakan alasan seseorang secara kognitif dalam melakukan suatu perbuatan. Moral adalah standar perilaku manusia yang berkenaan dengan baik dan buruk dan memiliki timbal baik berupa sanksi, terutama sanksi sosial. Hurlock menyatakan bahwa moral ialah perilaku yang sesuai dengan kode moral suatu kelompok sosial. Moral memiliki kaitan yang erat dengan hukum. Menurut H.L.A Hart hukum merupakan suatu peraturan tertulis atau tidak tertulis yang fungsinya adalah untuk dipatuhi serta memiliki akibat hukum yaitu sanksi hukum. Hart menyatakan bahwa penyusunan hukum tersebut didasarkan oleh moralitas yang merupakan kehendak subjek hukum untuk bertindak sesuai hati nurani. Maksudnya, hukum di suatu wilayah harus sejalan dengan moralitas yang dikembangkan di wilayah tersebut. Kota Malang merupakan Kota Pendidikan yang menjunjung tinggi nilai sosial yang dibangun oleh masyarakatnya. Sedangkan nilai sosial yang distigmakan oleh sebagian besar masyarakat Kota Malang terhadap waria ialah sikap penolakan. Sikap penolakan secara tersirat tersebut banyak ditemukan pada kesulitan waria dalam koridor kariernya. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut perspektif masyarakat terhadap waria di Kota Malang beserta peluang waria dalam bekerja di Kota Malang untuk menentukan kesesuaiannya dengan Pasal 70 UU HAM ini.

C. Perspektif Masyarakat Kota Malang terhadap Eksistensi Waria

Firman (2015) menyatakan bahwa perspektif atau pandangan dari masyarakat dianggap suatu kepercayaan yang telah ditentukan sejak dahulu, entah pandangan tersebut menentukan baik atau buru dan pantas atau tidak pantasnya suatu perilaku. Secara general masyarakat memiliki pandangan bahwa waria memiliki perilaku yang tidak sesuai akibat sikap dan penampilannya yang seperti perempuan dengan jenis kelamin asli laki-laki. Dengan kata lain, waria dianggap menyalahi kodrat. Laki-laki yang diharapkan memiliki sosok yang maskulin dan gagah malah bertindak feminin dan lemah lembut.

Perspektif dari sebagian besar masyarakat secara umum tersebut didukung oleh beberapa responden kuesioner yang berdomisili di Malang Raya dengan beberapa jawaban yang sama dari responden berbeda, dari total 52 responden terhitung 5 memiliki jawaban yang sama antara lain:

1. hanum cans: Waria tidak sesuai konstruksi sosial.

2. Arianne Justia: Waria tidak sesuai konstruksi sosial.

3. Faisol: Kurang nyaman karena waria tidak sesuai konstruksi sosial.

4. Aulia: Waria tidak sesuai konstruksi sosial di Indonesia.

5. Faizal: Tidak sesuai konstruksi sosial.

Secara singkat konstruksi sosial adalah bagaimana cara masyarakat saling berhubungan. Apabila dianalisis dengan jawaban para responden tersbeut bahwa

(17)

waria tidak sesuai dengan konstruksi sosial atau konstruksi sosial di Indonesia, sehingga menyebabkan ketidaknyamanan yang timbul dalam masyarakat bisa disebabkan oleh waria yang pada dasarnya kurang bisa diterima oleh masyarakat karena bentrok gendernya. Perspektif masyarakat semacam ini menganggap eksistensi waria sebagai bentuk penyelewengan norma dan menyebabkan tingginya tingkat penolakan terhadap waria di Kota Malang. Respons masyarakat tersebut juga dipengaruhi interaksi sosial dengan waria. Apabila waria memiliki pola bicara baik maka akan dianggap positif, sebaliknya apabila intreraksinya menghasilkan negatif maka stigma buruk akan terwujud.

Argumentasi para responden tersebut juga didukung oleh beberapa pernyataan serupa dari sejumlah responden berbeda, dari total 52 responden terhitung 4 antara lain:

1. Ravi Bagus Aradea: Waria melanggar kodrat.

2. Kasih: Waria menyalahi kodrat sebagai manusia, apalagi jika alasan pemenuhan kebutuhan ekonomi menjadi faktor utamanya.

3. Zulfa Qurrotu Ain: Hak dan kewajibannya tetap sama dengan yang lain.

Namun, sebisa mungkin membantu mereka keluar dari prinsip mereka karena waria bukan kodratnya.

4. Muhammad Ilham Fauzi: Sama-sama manusia yang termasuk dalam subjek hukum meskipun dalam opini saya mereka juga termasuk penyimpangan.

Namun, selain perspektif masyarakat yang terkesan kontra dengan eksistensi waria beberapa masyarakat merasa tidak ada gangguan oleh adanya waria merujuk kepada jawaban para responden sebagai berikut:

1. Safinadin Indira: Waria sama dengan subjek hukum lainnya.

2. Faiz Elfajri: Waria sama dengan subjek hukum lainnya, hanya saja memang keberadaan waria menjadi salah satu bentuk penyimpangan sosial dalam masyarakat khususnya dalam orientasi seksualitas dan hal tersebut masih menjadi minoritas di kalangan masyarakat.

3. Nurika Febrianti: Aman selagi mereka masih bisa untuk memposisikan diri terhadap masyarakat setempat dan juga untuk warga setempat tidak mencemooh karena itu pilihan mereka kita sama sama sebagai manusia harus saling menghormati dan menghargai.

4. Aprilia Ambarsari: Selama dia tidak bertindak melawan hukum atau menyakiti orang lain saya rasa tidak ada masalah bagi saya.

5. Nadhira: Menurut saya waria sama dengan subjek hukum lainnya, dimana waria juga manusia yang notabenenya memiliki HAM seperti manusia lainnya.

6. Yuzmirda Barlianti Zaharani Laili: Waria sama dengan subjek hukum lainnya, masih ada beberapa masyarakat yang menolak untuk menerima kehadiran waria di sekitar mereka karena dianggap berbeda, kendati demikian, pada dasarnya, waria tetaplah manusia seperti kita semua.

(18)

Selama tidak merugikan masyarakat lingkungan sekitar, saya tidak keberatan apabila hidup berdampingan dengan waria.

7. Salsadila Rahma Yuniarti: Merasa iba, karena kelainan faktor biologis, yaitu karena lebih dominannya hormon seksual perempuan. Hormon seksual perempuan mempengaruhi pola perilaku seseorang menjadi feminin dan berperilaku perempuan.

Pernyataan bahwa waria sama dengan subjek hukum lainnya didukung dengan materi muatan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) terutama pada Pasal 2 bahwa Indonesia menjunjung HAM dan kebebasan manusia sebagai hak yang secara kodrat melekat. Pasal tersebut menggunakan kata “manusia” sebagai objek dan tidak terkhusus pada gender tertentu. Namun, pada Pasal 70 UU HAM memberikan batasan kebebasan manusia tersebut dilarang melampaui pembatasan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk mengakui hak orang lain serta memenuhi keadilan dengan pertimbangan moral. Dengan kata lain, walaupun tidak ada larangan tertentu untuk waria berperilaku karena ia sama saja dengan subjek hukum lainnya, tetapi waria harus tetap bertindak dengan pertimbangan moral.

D. Peluang Waria dalam Mendapatkan Pekerjaan di Kota Malang

Pekerja, pegawai, maupun buruh waria di Indonesia masih belum lepas dari tindak diskriminasi dan segregasi. Terlebih penampilan berbeda dari waria yang sangat menonkjol baik dari perilaku, gaya berpakaian, hingga orientasi seksualnya membuat para waria mengalami sejumlah persoalan. Persoalan tersebut klasik, tetapi tidak sepatutnya dilakukan karena menyalahi nilai keadilan.

Waria mengalami pengucilan dari masyarakat, kesulitan menemukan pekerjaan, hingga penghentian dari profesinya sebab ekspresi gender yang mereka miliki.

Mbak SC, salah satu pengurus IWAMA menyatakan bahwa umumnya profesi waria yang paling bagus dan baik adalah pekerja salon, atau pekerja di dunia hiburan seperti MC atau penari. Hal tersebut mengungkapkan bahwa waria sangat mengalami keterbatasan dalam koridor kariernya. Tidak seperti laki-laki atau perempuan yang bebas menjadi dokter, polisi, guru, dan lain sebagainya.

Pernyataan Mbak SC tersebut didukung oleh jawaban Faiz Elfajri dari kuesioner yang dibagikan, bahwa waria sulit mendapatkan pekerjaan sebab mayoritas lapangan pekerjaan yang proper atau pantas tentu memiliki persyaratan gender tertentu, sedangkan masih banyak perusahaan atau lapangan pekerjaan yang tidak menerima karyawan dengan status waria.

Contohnya, Tentara Nasional Indonesia yang didominasi oleh laki-laki dan pramugari yang didominasi oleh perempuan. Sangat kecil probabilitas menemukan waria pada profesi tersebut. Responden dengan nama Aorul juga menyebutkan bahwa waria mungkin sulit mendapatkan pekerjaan karena

(19)

walaupun tidak mustahil, setiap perusahaan memiliki prinsip dan peraturannya masing-masing. Namun, kembali pada etos dari waria tersebut. Apabila memiliki kemampuan yang dibutuhkan, ada peluang untuk dipekerjakan

Merujuk pada respons kuesioner tersebut, di samping ekspresi gender yang sulit diterima masyarakat apabila suatu profesi pun tidak mensyaratkan gender tertentu atau menerima waria, faktor pendidikan juga sangat memengaruhi penilaian perusahaan yang akan menerima waria tersebut. Dalam wawancara dengan Mbak SC dipaparkan bahwa umumnya waria memiliki latar belakang lingkungan dan pendidikan yang cukup buruk. Pola konstruksi tersebut membuat waria sulit mengakses pekerjaan, terutama pada kawasan formal.

Mbak SC menyebutkan bahwa kesulitan waria tumbuh karena tidak memiliki lingkungan yang mampu mengajarkan benar dan salah, ditambah dengan perekonomian menengah ke bawah yang membuat akses pendidikan bagi waria tidak memadai. Maka dari itu, pada koridor karier waria mengalami diskriminasi karena dianggap minim pendidikan.

Namun, waria memiliki potensi untuk terjun ke dunia hiburan karena penampilannya yang unik, serta gaya bicara dan perilakunya yang lucu. Tidak sedikit artis atau selebgram waria yang sukses dalam dunia hiburannya, sebut saja Dorce dan Lucinta Luna. Hal ini didukung dengan respons Yunita Prameswari bahwa meskipun waria di Kota Malang kesulitan dalam peluang pekerjaannya, di dunia hiburan waria masih bisa mendapatkan pekerjaan. Hal itu disebabkan oleh adanya modernisasi walaupun seringkali tidak berlaku di bidang pekerjaan lainnya.

(20)

BAB IV PENUTUP IV.I Kesimpulan

Kedudukan dan keberadaan waria dalam karier menjadi terhambat karena adanya berbagai konstruksi sosial dan paradigma masyarakat yang memberikan dampak serta value negatif atas waria. Padahal, hukum memberikan jaminan terhadap eksistensi waria melalui pengaturan hak asasi manusia dan perundang-undangan serupa yang menjamin hak kebebasan dalam menentukan pilihan, terutama ketika ia sudah berhak mengambil keputusan sendiri. Untuk itu dapat disimpulkan:

1. Keberadaan waria di Kota Malang berdampingan langsung dengan masyarakat yang menyebabkan sejumlah bentrokan karena umumnya waria dinilai tidak biasa dalam struktur sosial masyarakat Indonesia.

Berdasarkan wawancara dengan Mbak SC, salah satu pengurus IWAMA, cukup sulit bagi waria untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di Kota Malang. Lebih buruk lagi, waria sangat identik dengan prostitusi.

Fenomena seperti ini mencerminkan ketidakadilan bagi waria di dunia pekerjaan karena keterbatasannya sangat menyulitkan para waria. Maka, kajian sosiologi hukum diperlukan untuk memandang fenomena waria yang berkomunikasi langsung dengan masyarakat pro dan kontra, misalnya dengan teori materialisme historis oleh Karl Marx. Teori ini melihat masyarakat dengan ajaran materialisme karena manusia berorientasi kepada uang atau keuntungan sebab mampu dijadikan alat represi bagi orang lain. Teori ini mampu memandang salah satu alasan mengapa waria sulit bekerja dengan layak, yaitu karena telah mendapatkan pekerjaan lain yang lebih mudah.

2. Pasal 70 UU HAM melindungi hak kebebasan waria sejauh dilaksanakan dengan pertimbangan moral. Namun, berdasarkan kuesioner lebih banyak orang yang tidak mengetahui pasal ini daripada yang mengetahui. Oleh sebab itu terjadi kesenjangan antara das sollen dan das sein atau terjadi legal gap antara Pasal 70 UU HAM dengan peluang waria dalam koridor karier yang terbilang cukup sulit. Hal ini disebabkan oleh perpektif mayoritas masyarakat yang masih memandang bahwa waria ialah hal buruk.

IV.II Saran

Adapun saran untuk penelitian ini, terutama bagi masyarakat umum untuk mengakui keberadaan waria sebagaimana subjek hukum yang setara tingkatannya dengan kita sebagai manusia. Bahwa waria tidak sepantasnya mendapatkan perlakuan tidak adil sehingga ia sulit dalam berkehidupannya, terutama untuk mencari sumber pekerjaan utama. Untuk waria itu sendiri, sebaiknya tidak mudah terlena oleh kemudahan seperti kasus-kasus waria yang jatuh ke profesi prostitusi. Waria perlu menonjolkan bahwa mereka memiliki value yang mungkin orang lain tidak miliki. Dengan menunjukkanvaluetersebut, waria sangat potensial untuk mendapatkan kemudahan dalam koridor kariernya.

(21)

Sementara untuk peneliti selanjutnya yang meneliti terkait hal ini sebaiknya saat melakukan pengambilan data dengan wawancara, peneliti perlu melakukan pendekatan secara batin dengan menempatkan peneliti di posisi narasumber demi tidak bersikap ofensif dan menyinggung saat proses wawancara. Dengan begitu, tercipta suasana nyaman antara waria dengan masyarakat yang berdampingan dengannya.

(22)

DAFTAR PUSTAKA BUKU:

Etty Padmiati & Sri Salmah. 2011. Waria Antara Ada dan Tiada.

Yogyakarta: B2P3KS Press.

George R. 2012. Teori Sosiologi : Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Munir Fuady. 2015. Teori-Teori dalam Sosiologi Hukum. Jakarta: Kencana.

Soelaman Munandar. 2008. Ilmu Sosial Dasar:Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Refika Aditama.

JURNAL / SKRIPSI / ARTIKEL:

Andy Meiriza & Welly Wirman. Konsep Diri dan Perilaku Komunikasi Waria

di Pekanbaru.

https://media.neliti.com/media/publications/31147-ID-konsep-diri-dan-perilaku-k omu

nikasi-waria-di-pekanbaru, diakses pada 30 Maret 2022.

CNN Indonesia. Waria Paling Sulit Mendapatkan Pekerjaan.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150430180922-21-50407/waria-paling -sulit-mendapatkan-pekerjaan, diakses pada 30 Maret 2022.

Haryanto, Suhardjana, dkk. 2013. Pengaturan tentang Hak Asasi Manusia Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum dan Setelah Amandemen. Jurnal Dinamika Hukum: Vol. 8 No. 2.

Suanto. 2017. Perilaku Waria (Studi Kasus di Desa Binturu Kecamatan Larompong Kabupaten Luwu). Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.

Sulistyowati Irianto. Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya. bphn.go.id.

PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Referensi

Dokumen terkait