Perilaku hiper dan hipo dalam konteks gangguan integrasi sensori (Sensory Integration Dysfunction) adalah respons yang tidak terduga atau tidak sesuai terhadap rangsangan sensori. Gangguan ini sering terjadi pada anak-anak, terutama mereka yang memiliki kondisi seperti gangguan spektrum autisme (ASD), ADHD, atau gangguan perkembangan lainnya.
1. Perilaku Hiper (Hyperresponsivity):
Perilaku hiper terjadi ketika seseorang sangat sensitif terhadap rangsangan sensori. Otak mereka mungkin mengalami kelebihan stimulasi dari input sensorik yang biasa, sehingga mereka bereaksi secara berlebihan.
Ciri-ciri perilaku hiper:
Pendengaran: Terganggu oleh suara keras atau tiba-tiba, seperti blender atau suara sirine.
Penglihatan: Menghindari cahaya terang atau pola visual yang terlalu ramai.
Sentuhan: Tidak suka disentuh atau memakai pakaian tertentu karena merasa tidak nyaman.
Penciuman: Bereaksi kuat terhadap bau yang tidak disukai (misalnya, makanan atau parfum).
Rasa (taste): Memilih makanan secara ekstrem karena sensitivitas terhadap tekstur atau rasa.
Proprioseptif/vestibular: Takut pada gerakan tertentu, seperti naik ayunan atau tangga.
2. Perilaku Hipo (Hyporesponsivity):
Perilaku hipo terjadi ketika seseorang kurang responsif terhadap rangsangan sensori. Otak mereka membutuhkan lebih banyak stimulasi untuk merespons secara memadai.
Ciri-ciri perilaku hipo:
Pendengaran: Tidak merespons suara keras atau panggilan nama.
Penglihatan: Tidak memperhatikan objek visual yang mencolok.
Sentuhan: Tidak merasakan sakit atau tidak bereaksi terhadap suhu ekstrem.
Penciuman: Kurang peka terhadap bau, termasuk bau yang menyengat.
Rasa (taste): Makan hampir semua makanan tanpa memperhatikan tekstur atau rasa.
Proprioseptif/vestibular: Mencari sensasi gerak secara terus-menerus, seperti melompat atau memutar badan.
Mengapa Terjadi?
Gangguan ini terjadi karena otak tidak memproses informasi sensorik secara efisien.
Beberapa faktor penyebabnya meliputi:
Neurologis: Gangguan pada sistem saraf pusat.
Genetik: Riwayat keluarga dengan kondisi perkembangan tertentu.
Lingkungan: Kurangnya stimulasi sensorik pada tahap awal kehidupan.
Dampak pada Kehidupan Sehari-hari:
Kesulitan belajar dan berkonsentrasi.
Gangguan interaksi sosial karena perilaku yang tidak sesuai.
Tantangan dalam menjalani aktivitas sehari-hari, seperti makan, berpakaian, atau tidur.
Penanganan:
Terapi Okupasi: Fokus pada integrasi sensori untuk membantu otak memproses rangsangan dengan lebih baik.
Strategi Sensori: Menyediakan alat bantu seperti ear muff (penutup telinga), bola terapi, atau ayunan sensorik.
Modifikasi Lingkungan: Mengurangi rangsangan berlebih atau menyediakan stimulasi tambahan sesuai kebutuhan anak.
Konsultasi Profesional: Dengan psikolog, terapis okupasi, atau dokter untuk evaluasi lebih lanjut.
Asesmen Sensori Integrasi adalah proses evaluasi untuk mengidentifikasi gangguan pemrosesan sensori yang mungkin memengaruhi kemampuan seseorang dalam berfungsi secara efektif di lingkungan sehari-hari. Asesmen ini biasanya dilakukan oleh terapis okupasi yang terlatih dalam pendekatan sensori integrasi, seperti pendekatan Ayres Sensory Integration (ASI).
Tujuan Asesmen Sensori Integrasi:
1. Mengidentifikasi Gangguan Sensori: Menentukan apakah seseorang mengalami masalah hiperresponsif atau hiporesponsif terhadap rangsangan sensori.
2. Memahami Dampak pada Aktivitas: Mengukur bagaimana gangguan sensori memengaruhi fungsi sehari-hari, seperti belajar, bermain, dan interaksi sosial.
3. Merancang Intervensi: Membantu terapis dan orang tua dalam merancang strategi atau terapi untuk mendukung kebutuhan sensori individu.
Langkah-Langkah Asesmen Sensori Integrasi 1. Pengumpulan Informasi Awal
Riwayat Perkembangan:
o Wawancara dengan orang tua, guru, atau pengasuh mengenai perkembangan anak sejak dini.
o Identifikasi masalah sensori sebelumnya atau riwayat keluarga.
Observasi Perilaku:
o Mengamati bagaimana individu merespons rangsangan seperti suara, sentuhan, atau gerakan dalam aktivitas sehari-hari.
2. Penggunaan Alat atau Instrumen Khusus
Terapis okupasi menggunakan alat asesmen yang distandardisasi untuk mengevaluasi fungsi sensori. Beberapa alat populer meliputi:
Sensory Integration and Praxis Test (SIPT):
o Tes mendalam yang mengevaluasi kemampuan integrasi sensori dan keterampilan praksis (perencanaan motorik).
o Biasanya untuk anak usia 4–8 tahun.
Sensory Processing Measure (SPM):
o Alat penilaian berbasis kuesioner untuk orang tua dan guru.
o Mengukur respons sensori dalam berbagai konteks, seperti rumah dan sekolah.
Sensory Profile (SP):
o Penilaian berbasis kuesioner untuk memahami pola respons sensori individu (hiper, hipo, atau mencari sensasi).
3. Observasi Langsung
Terapis mungkin mengamati perilaku anak selama aktivitas terstruktur, seperti bermain, menggambar, atau berlari.
Evaluasi respons terhadap rangsangan sensori tertentu, seperti sentuhan pada kulit, suara keras, atau cahaya terang.
4. Evaluasi Fungsi Motorik dan Keseimbangan
Tes keseimbangan dan koordinasi motorik:
o Mengukur kemampuan proprioseptif dan vestibular.
Contoh: berjalan di garis lurus, melompat, atau meluncur di ayunan.
5. Analisis Data
Setelah semua data dikumpulkan, terapis menganalisis pola respons sensori individu.
Hasilnya digunakan untuk menentukan apakah ada gangguan integrasi sensori dan seberapa besar dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
Area yang Dinilai dalam Asesmen Sensori
1. Sistem Taktil: Respons terhadap sentuhan (hipersensitif atau kurang sensitif).
2. Sistem Vestibular: Respons terhadap gerakan dan keseimbangan.
3. Sistem Proprioseptif: Kesadaran terhadap posisi tubuh.
4. Sistem Pendengaran: Respons terhadap suara dan ritme.
5. Sistem Visual: Respons terhadap pola visual dan cahaya.
6. Sistem Olfaktori dan Gustatori: Respons terhadap bau dan rasa.
Hasil dan Intervensi
Setelah asesmen, terapis akan:
1. Memberikan laporan hasil:
o Hasil penilaian disampaikan kepada orang tua, guru, atau pihak terkait.
2. Menyusun rencana terapi:
o Membuat strategi berbasis kebutuhan sensori individu, seperti terapi sensori, modifikasi lingkungan, atau alat bantu.
3. Monitoring dan Evaluasi:
o Melakukan asesmen ulang untuk mengevaluasi efektivitas intervensi.