MAKALAH KELOMPOK 4
PENGANTAR VIROLOGI TUMBUHAN
“TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT DAN IDENTIFIKASI MOLEKULER BANANA BUNCHY TOP VIRUS, MENGINFEKSI PISANG
LOKAL DI PULAU BALI”
DISUSUN OLEH :
1.SYAMSURIZAL 2310251043 2. NURHABIBA 2310251008 3. NIKO RAMADONI 2310251015 4. RIANTI SOVIA MITERI 2310251034 5. FAHRUL RAHMA HIDAYAT 2310252002 6. ARINA SUCI ANDINI 2310252026 7. IHWAN MANDIKA 2310253007 DOSEN PENGAMPU : Dr. JUMSU TRISNO, S.P., M.Si
PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 2025
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya dengan sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mata kuliah pengantar virologi tumbuhan.
Penulis merasa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik secara teknis maupun materi mengingat minimnya kemampuan yang dimiliki.
Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dibutuhkan demi penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih banyak kepada banyak pihak dan penulis juga berharap semoga Allah SWT memberikan ketidak seimbangan setimpal kepada mereka yang memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan itu sebagai ibadah. Amin Ya Rabbal Alamin.
Padang, 20 Mei 2025
(S.N.N.R.F A. I)
ii DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……… i
DAFTAR ISI………... ii
BAB I PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Tujuan………. 2
BAB II METODOLOGI………... 3
A. Survei Lapangan dan Pengumpulan Sampel……… 3
B. Deteksi dan Identifikasi BBTV……… 3
C. Analisis urutan………. 4
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN………. 5
BAB IV PENUTUP………. 9
A. Kesimpulan………. 9
DAFTAR PUSTAKA……….. 10
LAMPIRAN... 11
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pisang menjadi salah satu komoditas pertanian penting di dunia dan banyak dibudidayakan khususnya di negara tropis. Hampir 10,3 juta ha lahan di daerah tropis dipergunakan untuk produksi pisang dan diproduksi di lebih dari 130 negara di dunia (Kumar et.al., 2015). Di Indonesia, pisang menjadi komoditi buah-buahan dengan produksi tertinggi dibandingkan dengan buah lainnya (Dwivanny, 2021). Namun demikian, secara umum produktivitas pisang yang dikembangkan oleh masyarakat masih sangat rendah. Adanya kesenjangan produksi tersebut terutama disebabkan oleh teknik budidaya yang tidak tepat dan tingginya gangguan hama penyakit, terutama serangan penyakit kerdil pisang.
Penyakit kerdil pisang merupakan penyakit virus yang paling berbahaya pada tanaman pisang (Mulyanti, 2008).
Virus menjadi perhatian penting dan menjadi ancaman serius pada tanaman pisang, bukan hanya terhadap produksi tetapi juga dalam hal konservasi kultivar pisang sebagai sumber daya genetik (Furuya et al., 2004). Penyakit kerdil pisang menjadi salah satu penyakit paling merusak dan tak jarang menyebabkan kehilangan hasil mencapai 100% (Qazi, 2016). Penyakit kerdil pisang disebabkan oleh Banana Bunchy Top Virus (BBTV). Virus tersebut ditularkan ke tanaman pisang oleh P. nigronevosa secara persisten (Halbert and Baker, 2015). Vektor dapat memperoleh virus dari tanaman yang terinfeksi melalui proses makan. Virus akan terinternalisasi ke usus dan terakumulasi kemudian virus di translokasikan ke hemocoel serangga vektor. Selanjutnya virus akan sampai ke ke kelenjar ludah dan dikeluarkan ke jaringan tanaman bersamaan dengan air liur dalam proses makan (Watanabe and Bressan, 2013).
Virus dapat diperoleh dalam periode akuisisi selama minimal 4 jam dan ditransmisikan ke tanaman minimal 15 menit dalam proses makan (Hu et al., 1996) Periode inkubasi penyakit kerdil pisang berkisar antara 25 sampai 85 hari setelah inokulasi (Hooks et al., 2009) Namun, keberadaan virus mungkin dapat dideteksi dini sebelum muncul gejala visual melalui pengujian PCR (Hooks et al., 2008). Gejala lanjut akan menyebabkan daun muda menjadi pendek dan sempit
2 dengan tepi daun mengalami klorosis dan rapuh (Elayabalan et al., 2015).
Tanaman yang terinfeksi pada umur muda biasanya tidak akan berbuah, tetapi jika buah dihasilkanpun akan berukuran kecil (Nelson, 2004).
Penyakit Banana bunchy top dianggap sebagai penyakit terpenting pada pisang di Bali, Indonesia. Karena efeknya terhadap kehilangan hasil. Dale (1987) melaporkan kehilangan hasil hingga 100% karena penyakit bunchy top. Penyakit ini kini menyebar sangat cepat di seluruh wilayah di Indonesia terutama di daerah produksi pisang seperti di Bogor, Bali, dan Yogyakarta (Leiwakabessy et al., 2017). Gejala penyakit bunchy top pada pisang pertama kali diamati di Bali pada tahun 2011. Insiden dan tingkat keparahan penyakit di Bali belum dipelajari.
Penyakit ini menyebar dengan cepat di Bali karena pisang ditanam terus menerus di beberapa daerah, seperti di Karangasem, Bangli, Tabanan, Gianyar, Buleleng, Badung, Klungkung dan Jembrana (Statistik Provinsi Bali, 2016).
Seiring dengan meningkatnya area penyakit bunchy top, produksi pisang di daerah tersebut menurun secara signifikan, dari 190.235 ton pada tahun 2015 menjadi 183.210 ton pada tahun 2016 (Statistik Provinsi Bali, 2016). Virus bunchy top pisang (BBTV) termasuk dalam keluarga Nanoviridae dan genus Babuvirus, keluarga kecil virus SSDNA melingkar yang menginfeksi tanaman (Vetten et al., 2005).
Hooks et al., (2008) melaporkan, studi inkubasi BBTV menunjukkan bahwa masa inkubasi berkisar antara 25 dan 85 hari setelah inokulasi (DAI). Agen penyebab penyakit bunchy top pada pisang di Bali telah diidentifikasi untuk memperkuat komponen DNA-R lengkap sebagai virus bunchy top pisang, anggota Babuvirus. Studi tentang deteksi BBTV di Bali hanya memperkuat komponen DNA-R lengkap untuk identifikasi, menggunakan primer pasangan D11 maju (5'- GGAAGAAGCCTCTCATCTGCTTCAGACARC -3') dan D12 reverse (5'- TTCCCAGGCGCAC ACCTTGAGA-AACGAAAG-3') (Pinili et al., 2011), B. Tujuan
Tujuan penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dan membandingkan kejadian dan tingkat keparahan penyakit banana bunchy toр di Bali dan deteksi BBTV dari sampel lapangan, serta untuk menganalisis homologi ur utan dan filogenia.
3
BAB II METODOLOGI
A. Survei Lapangan dan Pengumpulan Sampel
Survei dilakukan pada bulan Februari 2019 di beberapa daerah penanaman pisang di Pulau Bali. Gejala penyakit, kejadian dan tingkat keparahan penyakit diamati selama survei serta pengumpulan sampel daun untuk isolasi DNA. Insiden penyakit (DI) diukur sebagai proporsi tanaman yang sakit dalam suatu populasi, terlepas dari berat atau tingkat keparahannya, terhadap total sampel tanaman.
Tingkat keparahan penyakit (DS) diperkirakan berdasarkan skor penyakit, di mana DS(%)=[jumlah (frekuensi kelas x skor kelas peringkat)]/[jumlah total tanaman) x (indeks penyakit maksimal)]x100. Penilaian skor penyakit didasarkan pada variasi gejala visual (Leiwakabessy et al., 2017). Daun yang menunjukkan gejala dari masing-masing lokasi survei dikumpulkan dan diawetkan dalam kantong plastik berisi silika gel untuk konfirmasi virus di laboratorium.
B. Deteksi dan Identifikasi BBTV
Sampel lapangan dideteksi BBTV dengan metode deteksi berbasis reaksi berantai polimerase menggunakan primer spesifik CP1/F (5'-CCCGGGAGA ATACTTCACTGGGCTATGATT-3') dan juga menggunakan metode CP1/R (5'- CCCGGGCTTCACCTTGCACACCAACAG CAT-3') (Mansoor et al., 2005).
Isolasi DNA total dari sampel daun dilakukan dengan menggunakan CTAB (Doyle & Doyle, 1987). Jaringan daun yang diawetkan (0,1g) dibekukan dalam nitrogen cair dan jaringan digiling halus menggunakan mortar dan putik dan dipindahkan ke tabung mikro (2,1 ml). Lima ratus mikroliter larutan ekstraksi buffer (EDTA-20 mM, Vol.24 No.1 Tris-HCI, pH 8-100 mM, NaCl-1.4 М, СТАВ-2%, dan Mercaptoethanol-0.2%) ditambahkan ke tabung mikro diikuti dengan inkubasi pada suhu 65° C selama 60 menit dengan pencampuran sesekali dengan membalikkan tabung dengan lembut.
Setelah inkubasi, volume fenol: kloroform: isoamil alkohol (25:24:1) yang sama ditambahkan dan tabung dibalik beberapa kali diikuti dengan sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 15 menit. Fase atas dipindahkan ke tabung mikro baru diikuti dengan penambahan natrium asetat (volume 1/10x) dan isopropanol dingin (volume 2/3x), kemudian campuran diinkubasi semalaman pada suhu -20° C
4 untuk mengendapkan DNA. Setelah inkubasi, tabung disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 10 menit dan supernatan dikeluarkan. Pelet yang mengandung DNA total dicuci dengan etanol 70% dan disentrifugasi pada 8.000 rpm selama 5 menit.
DNA pelet dikeringkan dengan udara dan disuspensi kembali dalam larutan penyangga TE (1x) dan disimpan pada suhu -80°С untuk penggunaan lebih lanjut.
Reaksi amplifikasi disiapkan menggunakan manik-manik PCR siap pakai (Amersham Pharmacia Biotech. Inc.). Untuk setiap reaksi, 2 ul DNA, 1 µM dari setiap primer CP1/F/CP1/R, 0,5 ul MgCl2, 12,5 ul 2x MyTaq TM HS Red Mix Bioline dan air suling ke volume reaksi akhir 25 ul ditambahkan ke manik-manik PCR. Amplifikasi DNA dilakukan pada thermal cycler (Gene Amp, PCR System 9700 PE Applied Bio-system) dimulai dengan siklus pra-pemanasan selama 5 menit pada 94°, diikuti oleh 35 siklus denaturasi (30 detik pada 94°C), anil (45 detik pada 55°C), dan ekstensi (30 detik pada 72°C). Siklus terakhir berakhir pada 72° selama 7 menit dan mendingin hingga 4°C. Amplikon kemudian divisualisasikan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1% dalam buffer 0,5x TBE (Tris-Boric acid-EDTA). Elektroforesis dilakukan pada 50 V selama 50 menit, kemudian gel direndam hingga 0,1% EtBr selama 10 menit, dicuci dengan H20 selama 20-30 menit, dan divisualisasikan di bawah transiluminator UV.
D. Analisis Urutan
Produk PCR mengalami pengurutan langsung dan data urutan dianalisis menggunakan program perangkat lunak BioEdit V.7.0.5, CLC Sequence Viewer 8, dan MEGA 6.06.
5
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada tabel ini dijelaskan bahawa Insiden Bunchy top disease di semua lokasi mencapai 8% hingga 44% dengan tingkat keparahan penyakit berkisar antara 2,6% hingga 30%.
Dari gambar ini dapat dilihat bahwa Tanaman yang terinfeksi mudah dikenali di lapangan karena gejala uniknya, munculnya garis-garis hijau tua, sedikit tepi klorosis di sepanjang daun yang baru berkembang, dan kerdil. Jenis gejala ini juga telah dilaporkan sebagai tipikal penyakit Bunchy top pisang di Sumatera, Indonesia (Chiaki et al., 2015).
6 Survei yang dilakukan di 10 lokasi di Pulau Bali menunjukkan bahwa munculnya garis-garis daun hijau tua merupakan gejala awal pisang yang menginfeksi virus, diikuti dengan sedikit margin klorosis di sepanjang daun yang baru berkembang, tanaman akan menjadi kerdil ketika terinfeksi virus sebagai periode vegetatif. Jenis gejala yang terkait dengan penyakit di Pulau Bali sama dengan yang dilaporkan oleh (Thomas & Iskra-Caruana, 2000).
Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa deteksi lebih lanjut menggunakan primer spesifik mengkonfirmasi infeksi BBTV. Fragmen DNA spesifik 1.083 bp berhasil diperkuat dari semua sampel lapangan. Dua dari 10 sampel lapangan (Sesetan 2 dan Tegallalang 1) mewa kili sepuluh lokasi survei yang berbeda di Bali kemudian menjalani pengurutan langsung.
7 Dan pada tabel tiga ini dapat dilihat bahwa ada dua urutan diperoleh dan analisis lebih lanjut menunjukkan homologi tertinggi mereka (98,9%) dengan beberapa isolat virus bunchy top pisang (BBTV) di Indonesia (KM607538) dan isolat lainnya di Asia.Menariknya, homologi urutan mereka rendah (43,2% hingga 43,4%) untuk kelompok luar, virus Abaca bunchy top (ABTVr) dari Malaysia (EF546813)
Selanjutnya pada gambar 3 kita dapat melihat analisis filogenetik menunjukkan bahwa isolat dari Bali dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, sedangkan isolat BBTV dari Pakistan, Kongo dan Australia membentuk kelompok terpisah. Sebagian besar isolat Bali 2 (LC481517), Bali 5 (LC481518), Jawa (AB186928), Sumatera (AB848108), Taiwan (KM607541), Indonesia (KM607541), Filipina (KM607521, KM607523), India (KM607450), Cina (KX779467), Thailand (MF039880) dan Vietnam (AB113661) dikelompokkan dalam kelompok pertama, namun isolat dari Bali dipisahkan dari isolat Indonesia lainnya, ini menunjukkan bahwa isolat dari Bali memiliki strain yang berbeda dari isolat Indonesia lainnya. Isolat Pakistan (AM418565) dan Kongo (KM607492) berada di kelompok kedua bersama dengan Australia (KM607442); dan satu isolat Abaca bunchy top virus (ABTVr) Malaysia (EF546813) dikelompokkan dalam kelompok keluar.
8 (Rahimet al., 2015) melaporkan bahwa gejala infeksi virus yang ditemukan di lapangan menunjukkan kesamaan atau variasi gejala yang disebabkan oleh virus, tumbuhan varietas dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi ekspresi gejala. (Niyongere et al., 2012) melaporkan, kejadian penyakit Banana bunchy top disease (BBTD) secara signifikan bervariasi sesuai dengan kultivar pisang percobaan, bahan tanam, dan lokasi. Namun, disarankan bahwa insiden yang lebih tinggi. BBTD dapat dikaitkan dengan keberadaan sejumlah besar kutu daun bersayap (P. nigronervosa). (Pinili et al., 2011) melaporkan, bahwa penelitian tentang deteksi BBTV di Bali hanya memperkuat komponen DNA-R lengkap untuk identifikasi, namun identitas BBTV di Bali pada
Dasar urutan nukleotida DNA-S belum dipelajari. Ukuran genom DNA-R BBTV adalah 1,111nt dengan bagian gen mRep berukuran 860 nt yang berada dalam jumlah nukleotida 102 hingga 962. Target amplifikasi pasangan primer mRepF/mRepR adalah bagian dari gen mRep yang berada dalam nukleotida nomor 435 hingga 674 (Mansoor et al, 2005). Genom DNA-S BBTV lebih kecil dari DNA-R, yaitu 1.075 nt. Target amplifikasi pasangan primer CP1F/CPIR adalah seluruh genom DNA-5, termasuk gen amplop protein (protein mantel/CP) yang berada di nomor 213 hingga 740 nukleotida (Amin et al., 2008).
9
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BBTV pada tanaman pisang tersebar merata di Bali infeksi BBTV pada pisang lokal di Bali menunjukkan potensi BBTV menyebar secara geografis. Oleh karena itu, upaya pengendalian dan pencegahan penyebaran BBTV yang lebih marak di Indonesia perlu segera dilakukan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya, I Putu Sudiarta",& Dewa Gede Wiryangga Selangga1 (2020). Tingkat Keparahan Penyakit dan Identifikasi Molekuler Banana bunchy top virus, Menginfeksi Pisang Lokal di Pulau Bali Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol.24, No.1,:11-16
11