• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA MEMUTUS RANTAI INFEKSI,PENCEGAHAN BAHAYA FISIK,RADIASI,KIMIA ERGONOMIK DAN PSIKOSOSIAL

N/A
N/A
erwin anwar

Academic year: 2023

Membagikan "UPAYA MEMUTUS RANTAI INFEKSI,PENCEGAHAN BAHAYA FISIK,RADIASI,KIMIA ERGONOMIK DAN PSIKOSOSIAL"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

“UPAYA MEMUTUS RANTAI INFEKSI,PENCEGAHAN BAHAYA FISIK,RADIASI,KIMIA ERGONOMIK DAN PSIKOSOSIAL “

OLEH:

KELOMPOK I

A.ULFA ARDITA (C2107007) ASNIATI (C2107008)

ERWIN ANWAR (C2107009) EWIT IRIANTI (C2107010)

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBA TAHUN AJARAN 2021/2022

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Tuhan yang maha Esa, karena dengan Rahmat dan RidhoNya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah keselamatan pada pasien dan keselamatan kerja dalam keperawatan.

Kami semua menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, dan mungkin banyak kata-kata yang kurang tepat. Untuk itu, saran, dan kritik, dari para pembaca sekalian senantiasa kami nantikan demi kesuksesan tugas kami di masa yang akan datang. Semoga tugas yang kami buat ini bermanfaat khususnya bagi para pembaca sekalian.Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Wassalamualaikum wr.wb

Bulukumba, 29 Juni 2022

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

SAMPIL………!

KATA PENGANTAR...!!

DAFTAR ISI...!!!

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...2

1.3 Tujuan...2

BAB II PEMBAHAAN...3

2.1 Rantai Infeksi...3

2.2 Pencegahan Bahaya Fisik...5

2.3 Pencegahan Bahaya Radiasi...9

2.4 Pencegahan Bahaya Kimia...15

2.5 Pencegahan Bahaya Ergonomic...16

2.6 Pencegahan Bahaya Psikososial...19

BAB III PENUTUP...24

3.1 Kesimpulan...24

3.2 Saran...24

DAFTAR PUSTAKA...25

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi adalah invasi tubuh oleh mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh.

(Kozier, et a1, 1995).

Faktor fisik adalah di dalam tempat kerja yang bersifat fisika antara lain kebisingan, penerangan, getaran iklim kerja, gelombang mikro dan sinar ultra ungu.

Manajemen Bahan KimiaPengaturan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja dilakukan agar dosis radiasi (eksternal dan internal) yang diterima para pekerja radiasi, tamu, pengunjung, dan bukan pekerja radiasi serendah mungkin Manajement kimia merupakan komponen penting program laboratorium.

Keselamatan dan keamanan harus menjadi bagian dari seluruh siklus hidup bahan kimia, termasuk pembelian, penyimpanan, inventaris, penanganan, pengiriman, dan pembuangan. Proses manajemen bahan kimia meliputi mengelola bahan kimia, bekerja dengan bahan kimia, dan mengelola limbah kimia (Moran dan Masciangioli, 2010).

Ergonomi Perawat di negara berkembang memiliki sedikit pengetahuan prinsip ergonomi di tempat kerja dan tidak dilatih untuk mencegah dan mengendalikan bahaya kerja. Penelitian awal yang dilakukan di rumah sakit dr.

H. Koesnadi Bondowoso melibatkan 8 perawat menunjukkan bahwa 7 perawat belum pernah mendapatkan pelatihan ergonomi di tempat kerja dan 5 perawat pernah mengalami low back pain setelah bekerja. Pengetahuan ergonomi membantu perawat menghindari faktor risiko tertentu yang berkontribusi pada gangguan muskuloskeletal dan meningkatkan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.

(5)

1.2 RUMUSAN MASALAH 1.1.1 rantai infeksi..?

1.1.2 bagaimana pencegahan bahaya fisik..?

1.1.3 bagaimana pencegahan bahaya radiasi..?

1.1.4 bagaimana pencegahan bahaya kimia..?

1.1.5 bagaimana pencegahan bahaya ergonomic..?

1.1.6 bagaimana pencegahan bahaya psikososial..?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui tentang rantai infeksi

1.3.2 Mengetahui bagaimana pencegahan bahaya fisik 1.3.3 Mengetahui bagaimana pencegahan bahaya radiasi 1.3.4 Mengetahui bagaimana pencegahan bahaya kimia 1.3.5 Mengetahui bagaimana pencegahan bahaya ergonomic 1.3.6 Mengetahui bagaimana pencegahan bahaya psikososial

(6)

BAB II PEMBAHAAN

2.1 RANTAI INFEKSI

Keamanan dan keselamatan sering kita sebut kewaspadaan umum merupakan suatu pedoman yang ditetapkan oleh CDC untuk mencegah dari berbagai penyakit. Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi adalah invasi tubuh oleh mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh. (Kozier, et a1, 1995).

Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar berbagai faktor yang mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara penularan, portal of entry dan host/ pejamu yang rentan.

1. Agen Infeksi

Mikroorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, Virus, jamur dan protozoa. Mikroorganisme di kulit bisa merupakan flora transient maupun resident.

Organisme transient normalnya ada dan jumlahnya stabil, organisme ini bisa hidup dan berbiak di kulit. Organisme transien melekat pada kulit saat seseorang kontak dengan obyek atau orang lain dalam aktivitas normal. Organisme ini siap ditularkan, kecuali dihilangkan dengan cuci tangan. Organisme residen tidak dengan mudah bisa dihilangkan melalui cuci tangan dengan sabun dan deterjen biasa kecuali bila gosokan dilakukan dengan seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung pada: jumlah microorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit),

(7)

host/penjamu.

2. Reservoir (sumber mikroorganisme)

Adalah tempat dimana mikroorganisme patogen dapat hidup baik berkembang biak atau tidak. Yang bisa berperan sebagai reservoir adalah manusia, binatang, makanan, air, serangga dan benda lain. Kebanyakan reservoir adalah tubuh manusia, misalnya di kulit, mukosa, cairan maupun drainase. Adanya microorganisme patogen dalam tubuh tidak selalu menyebabkan penyakit pada hostnya. Sehingga reservoir yang di dalamnya terdapat mikroorganisme patogen bisa menyebabkan orang lain menjadi sakit (carier). Kuman akan hidup dan berkembang biak dalam reservoar jika karakteristik reservoarnya cocok dengan kuman. Karakteristik tersebut yaitu oksigen, air, suhu, pH, dan pencahayaan.

3. Portal Of Exit (jalan keluar)

Mikroorganisme yang hidup di dalam reservoir harus menemukan jalan keluar (portal of exit untuk masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum menimbulkan infeksi, mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari reservoarnya.

Iika reservoarnya manusia, kuman dapat keluar melalui saluran pernapasan, pencernaan, perkemihan, genitalia, kulit dan membrane mukosa yang rusak serta darah 4. Cara Penularan

Kuman dapat menular atau berpindah ke orang lain dengan berbagai cara seperti kontak langsung dengan penderita melalui oral, fekal, kulit atau darahnya;kontak tidak langsung melalui jarum atau balutan bekas luka penderita;

peralatan yang terkontaminasi; makanan yang diolah tidak tepat; melalui vektor nyamuk atau lalat.

5. Portal Masuk

Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam tubuh. Kulit merupakan barier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman infeksius. Rusaknya kulit atau ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba dapat masuk ke dalam tubuh melalui rute atau jalan yang sama dengan portal keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan tubuh memperbesar kesempatan patogen masuk ke dalam tubuh.

6. Daya Tahan Hospes (Manusia)

Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius.

(8)

Kerentanan bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu terhadap patogen.

Meskipun seseorang secara konstan kontak dengan mikroorganisme dalam jumlah yang besar, infeksi tidak akan terjadi sampai individu rentan terhadap kekuatan dan jumlah mikroorganisme tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap kuman yaitu usia, keturunan, stress (flsik dan emosional), status nutrisi, terapi medis, pemberian obat dan penyakit penyerta.

2.2 PENCEGAHAN BAHAYA FISIK

Faktor fisik adalah di dalam tempat kerja yang bersifat fisika antara lain kebisingan, penerangan, getaran iklim kerja, gelombang mikro dan sinar ultra ungu. Faktor-faktor ini mungkin bagian tertentu yang dihasilkan dari proses produkasi atau produk samping yang tidak diinginkan

1. Kebisingan

Kebisingan adalah semua suara yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

Suara keras, berlebihan atau berkepenjangan dapat merusak jaringan saraf sensitive di telinga, menyebabkan kehilangan pendengaran semntara atau permanen. Hal ini sering diabaikan sebagai measalah kesehtan, tapi itu adalah salah satu bahya fisik utama.

Batasan pajanan terhadap kebisingan ditetapkan nilai ambang batas sebesar 85 dB selama 8 jam sehari.

Cara Pencegahan

a. Identifkasi sumber umum penyebab kebisingan, seperti mesin, system ventilasi, dan alat-alat listrik. Tanyakan kepada pekerja apakah mereka memiliki masalah yang terkait dengan kebisingan.

b. Melakukan inspeksi tempat kerja untuk pajanan kebisingan. Inspekasi mungkin harus dilakukan pada waktu yang berbeda untuk memastikan bahwa semua sumber- sumber kebisingan teridentifikasi.

c. Tentukan sumber kebisingan berdasarkan tata letak dan identifikasi para pekerja yang mungkin terekpos kebisingan.

(9)

d. Identifikasi control kebisingan yang ada dan evaluasi efektivitas pengendakiannya.

e. Setelah tingkat kebisinganditentukan, alat pelindung diri seperti penutup telinga (earplug dan earmuff) harus disediakan dan dipakai oleh pekerja di lokasi yang mempunyai tingkat kebisingan tidak dapat dikurangi.

2. Penerangan

Penerangan di setiap tempat kerja harus memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan . penerangan yang sesuai sangat penting untuk peningkatan kualitas dan produktivitas. Sebagi contoh, peketjaan prakitan benda kecil membutuhkan tingkat peneranga yang lebih tinggi, misalnya mengemas kotak.

Studi memnunjukkan bahawa perbaikan penerangan, hasilnya terlihat langsung dalam peningkatan produktivitas dan pengurangan kesalahan. Bila penerangan kurang sesuai, para pekerja terpaksa membungkuk dan mencoba untuk memfokuskan penglohatan mereka, sehingga tidak nyaman dan dapat menyebabkan masalah pada punggung dan mata pada jagnka panjang dan dapat memperlambat pekerjaan mereka.

Pencegahan

a. Pastikan setiap pekerja mendapatkan tingkat penerangan yang sesuai pada pekerjannya sehingga mereka tidak bekerja dengan posisi membungkuk atau memicingkan mata.

b. Untuk meningkatkan vasilitas, mungkin perlu untuk mengubah posisi dan arah lampu.

3. Getaran

Getaran adalah gerakan bola-balik cepat (reciprocating), memantul ke atas dan kebawah atau ke belakang dank e depan. Gerakan tersebut terjadi secara teratur dari benda atau media dengan arah bolak balik dari kedudukannya. Hal tersebut dapat berpengaruh negative terhadap semua atau sebagaian dari tubuh.

Misalnya memegang peralatan yang bergetar sering mempengaruhi tangan dan lengan pengguna, menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah dan sirkulasi di tangan.

Sebaliknya mengemudi traktor di jalan bergelombang dengan kursi yang

(10)

dirancang kurang sesuai sehingga menimbulkan getaran keseluruh tubuh, dapat mengakibatkan nyeri punggung bagian bawah.

Getaran dapat dirasakan melalui lantai dan dinding oleh orang-orang disekitarnya.

Misalnya, mesin besar di tempat kerja dapat menimbulkan getaran yang mempengaruhi pekerja yang tidak memiliki kontak langsung dengan mesin tersebut dan menyebabkan nyeri dan kram otot.

Pencegahan

a. Mengendlikan getaran pada sumbernya dengan mendesain ulang peralatan untuk memasang penyerap getaran atau peredam kejut.

b. Bila getaran disesbabkan oleh masin besar pasang penutup lantai yang bersifat menyerap getaran di workstation dan gunakan alas kaki dan sarung tangan yang.

menyerap kejutan, meskipun itu kurang efektif dibangding di atas.

c. Ganti peralatan yang lebih tua dengan model bebas getaran baru

d. Batasi tingkat getaran yang dirasakan oleh pengguna dengan memasang peredam getaran pada pegangan dan kursi kendaraan atau sistem remote control.

e. Menyediakan alat pelindung diri yang sesuai pada pekerja yang mengoperasikan mesin bergetar, misalnya sarung tangan yang bersifat menyerap getaran (dan pelindung telinga untuk kebisingan yang menyertainya).

4. Iklim kerja

Ketika suhu berbeda di atas atau dibawah batas normal, keadaan ini memperlambat pekerjaan. Ini adalah respon alami dan fisiologis dan merupakan salah satu alas an mengapa sangat penting untuk mempertahankan tingkat kenyamanan suhu dan kelembaban ditempat kerja. Faktor-fator ini secara signifikan dapat berpengaruh pada efisiensi dan produktivitas individu pada pekerja. Sirkulasi udara bersih di ruangan tempat kerja membantu untuk memastikan lingkungan kerja yang sehat dan mengurangi pajanan bahan kimia. Sebaiknya, ventilasi yang kurang sesuai dapat mengakibatkan :

a. Mengakibatkan pekerja kekeringan atau kelembaban yang berlenihan.

b. Menciptakan ketidaknyaman bagi para pekerja.

(11)

c. Mengurangi konsentrasi pekerja, akurasi dan perhatian mereka untuk praktik kerja yang aman.

Pencegahan

a. Pastikan bahwa posisi dinding dan pembagi ruangan tidak membatasi aliran udara.

b. Sediakan ventilasi yang mengalirkan udara di tempat kerja, tanpa meniup langsung pada mereka yang bekerja dekat itu.

c. Mengurangi beban kerja fisik mereka dalam kondisi panas dan memastikan mereka memiliki air dan istirahat yang cukup.

5. Radiasi Tidak Mengoin

Radiasi gelombang elektromegnetik yang berasal dari radiasi tidak mengion antara lain gelombang mikro dan sinar ultra ungu (ultra violet).

Gelombang mikro digunakan antara lain untuk gelombang radio, tv, radar dan telpon.

Gelombang mikro mempunyai frekuensi 30 kilo hertz-300 giga hertz dan panjang gelombang 1 mm-300 cm. Radiasi gelombang mikro yang pendek <1 cm yang diserap oleh permukaan kulit yang menyebabkan kulit seperti terbakar. Sedangkan gelombang mikro yang lebih panjang (>1 cm) dapat menembus jaringan yang lebih dalam.Radiasi sinar ultra ungu berasal dari sinar matahari, las listrik, laboratorium yang menggunakan lampu penghasil sinar ultra violet. Panjang felombang sianr ultra violet berkisar 1-40 nm. Radiasi ini dapat berdampak pada kulit dan mata.

Pencegahan

a. Sumber radiasi tertutup.

b. Berupaya menghindari atau berada pada jarak yang sejauh mungkin dari sumber-sumber radiasi tersebut.

c. Berupaya agar tidak terus menerus kontak dengan benda yang dapat menghasilkan radiasi sinar tersebut.

d. Memakai alat pelindung diri.

e. Secara rutin dilakukan pemantauan

(12)

2.3 PENCEGAHAN BAHAYA RADIASI

1. Pengaturan dan pengawasan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja

Pengaturan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja dilakukan agar dosis radiasi (eksternal dan internal) yang diterima para pekerja radiasi, tamu, pengunjung, dan bukan pekerja radiasi serendah mungkin. Personel yang terlibat di dalam penyelenggaraan keselamatan radiasi harus memahami konsep proteksi radiasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir baik terhadap manusia maupun lingkungan, yang mencakup kuantifikasi efek radiasi terhadap kesehatan melalui besaranbesaran dosis dan pembobotan termasuk aplikasinya, serta memahami prinsip proteksi dalam membatasi penerimaan dosis, justifikasi dan optimisasi.

a. Pengaturan Nilai Batas Dosis

1. untuk membatasi peluang terjadinya efek stokastik pada pekerja radiasi, ditetapkan nilai dosis efektif rata-rata sebesar 20 mSv per tahun dalam periode 5 tahun, sehingga dosis yang terakumulasi selama 5 tahun tidak boleh melebihi 100 mSv, dengan ketentuan dosis efektif tidak boleh melampaui 50 mSv dalam satu tahun tertentu

2. untuk mencegah terjadinya efek deterministik pada pada pekerja radiasi, ditetapkan nilai dosis ekivalen untuk lensa mata sebesar 20 mSv per tahun dalam periode 5 tahun dan 50 mSv dalam satu tahun tertentu, dan dosis ekivalen untuk kulit serta untuk tangan dan kaki sebesar 500 mSv per tahun

3. NBD untuk anggota masyarakat mengikuti pola penerapan untuk pekerja radiasi dengan nilai lebih rendah, yaitu sebesar 1 mSv dalam 1 tahun

4. evaluasi dosis perorangan pekerja radiasi pada umumnya dilakukan setiap triwulan berdasarkan atas penjumlahan penerimaan dosis radiasi eksternal dan internal serta membandingkan penerimaan tersebut terhadap NBD triwulan

5. pemeriksaan kesehatan rutin terhadap pekerja radiasi dilakukan minimal sekali dalam setahun untuk kondisi normal. Pemeriksaan kesehatan tambahan dapat dilakukan terhadap pekerja radiasi pada kondisi khusus

b. Pengendalian paparan radiasi eksternal dan internal

Pengendalian paparan radiasi eksternal dan internal dilakukan dengan cara :

(13)

dilakukan secara eksternal dan internal. Pemantauan eksternal dilakukan dengan menggunakan dosimeter perorangan. Pemantauan internal dilakukan secara in- vivo dan/atau in-vitro. Pemantauan dosis radiasi perorangan ini secara rinci diuraikan pada butir 6.

2. Pengendalian daerah kerja Pengendalian daerah kerja dilakukan dengan pembagian daerah kerja, pemantauan paparan radiasi dan/atau kontaminasi radioaktif menggunakan alat ukur radiasi. Penjelasan lebih lengkap tentang pengendalian daerah kerja diuraikan pada butir 7.

c. Pengawasan pengunjung, tamu dan pekerja non radiasi 1. Pengunjung, tamu atau pekerja non radiasi meliputi

a) Pekerja administrasi yang bekerja pada daerah non radiasi di Kawasan Nuklir BATAN.

b) Pengunjung yang berada di Kawasan Nuklir BATAN dalam waktu relatif singkat (8 jam).

c) Kontraktor, pemasok bahan/barang ataupun para pegawainya.

d) Tamu (peneliti, mahasiswa atau siswa magang) yang bekerja di daerah radiasi dan tinggal/bekerja kurang dari satu bulan.

e) Para pengunjung lain seperti sopir/buruh angkutan barang, petugas kebersihan dan petugas perbaikan telepon, air, listrik ataupun pemasang peralatan.

2. Pengunjung/tamu yang masuk ke daerah kerja radiasi diberi dosimeter saku/pena, dan diserahkan kepada petugas keselamatan jika pengunjung/tamu keluar dari daerah radiasi untuk dibaca/dievaluasi.

a) NBD untuk pengunjung/tamu atau pekerja non radiasi disamakan dengan NBD untuk masyarakat.

b) NBD untuk siswa magang berumur antara 16 sampai 18 tahun yang sedang melaksanakan pelatihan atau kerja praktik, atau yang karena keperluan pendidikannya

c) harus menggunakan sumber radiasi atau berada di daerah radiasi adalah 3/10 NBD pekerja radiasi.

d) Untuk tamu (peneliti/ tenaga ahli, mahasiswa, siswa, atau buruh kontraktor) yang bekerja di daerah instalasi nuklir dan/atau instalasi radiasi lebih

(14)

dari 1 bulan, ketentuan dan perlakuan pengawasan dosis kepada mereka sama seperti pekerja radiasi.

3. Penyinaran dalam kedaruratan atau kecelakaan

a) Untuk membatasi dosis terhadap pekerja dan anggota masyarakat akibat lepasan tak terkendali bahan radioaktif (release) diperlukan perencanaan (kesiapsiagaan) yang rinci dalam menghadapi kedaruratan dan latihan kedaruratan secara berkala. PI diwajibkan membuat Program Kesiapsiagaan Nuklir untuk fasilitasnya.

b) Untuk konsekuensi kecelakaan dalam dan lepas kawasan, disusun Program Kesiapsiagaan Nuklir yang dikoordinasikan oleh Koordinator Kawasan.

c) Program kesiapsiagaan tersebut mengatur infra struktur dan kesiapan fungsi penanggulangan. Juga diatur latihan atau gladi kedaruratan nuklir baik parsial maupun terpadu.

d) Dalam keadaan darurat, seorang relawan dapat menerima dosis berlebih untuk maksud penyelamatan jiwa atau mencegah luka/sakit yang lebih parah, atau untuk mencegah peningkatan bahaya yang sangat besar.

e) Dalam keadaan kedaruratan nuklir mungkin terjadi beberapa pekerja radiasi menerima dosis berlebih. Penyelamatan jiwa manusia di medan radiasi tinggi dilakukan oleh petugas yang berkompeten. Tiap situasi yang terjadi pada kondisi darurat harus diperhitungkan dengan cermat oleh Pengkaji Radiologi sebagai dasar mengambil keputusan.

f) Dalam kecelakaan, dosis radiasi yang diterima korban kecelakaan ataupun petugas penanggulangan kecelakaan harus dievaluasi dan dilaporkan secara terpisah. Apabila dosis yang diterima melampaui 2 kali NBD tahunan harus dilakukan pemeriksaan kesehatan khusus.

g) Dosis maksimum seluruh tubuh yang dapat ditoleransi untuk penyelamatan jiwa adalah 500 mSv khususnya dalam kondisi kedaruratan nuklir.

4. Pemantauan kesehatan

(15)

radiasi dan non radiasi di unit kerja masing-masing berupa pemeriksaan kesehatan meliputi pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan fisik untuk menjamin ada atau tidak pengaruh kegiatan atau pekerjaannya terhadap kesehatan.

b) Calon pekerja radiasi sebelum bekerja menggunakan sumber radiasi atau bertugas di daerah radiasi harus telah menjalani pemeriksaan fisik dan laboratorium.

c) Selama masa bekerja, pekerja mendapat pemeriksaan kesehatan fisik dan laboratorium dengan pengaturan sebagai berikut:

1) Pekerja radiasi dan pekerja administrasi diperiksa minimal 1 tahun sekali.

2) Siswa magang, kontraktor, peneliti/ahli yang berkunjung dan bekerja di medan radiasi lebih dari enam bulan wajib menjalani pemeriksaan kesehatan fisik dan laboratorium sebelum bekerja lebih lanjut.

d) Pada keadaan kecelakaan radiasi dilakukan pemantauan kesehatan khusus bagi yang menerima dosis melebihi 2 kali NBD tahunan atau yang diduga menerima dosis berlebih.

e) Hasil pemeriksaan kesehatan pekerja diarsipkan dalam data kesehatan pekerja yang ditangani oleh klinik di lingkungan kawasan atau klinik yang ditunjuk oleh PI. Hasil pemeriksaan kesehatan dilaporkan kepada PI yang bersangkutan untuk penatalaksanaan kesehatan.

f) Jika pekerja radiasi mendapat dosis berlebih akibat tugasnya sehari- hari atau mengalami kecelakaan radiasi, maka petugas kesehatan menanggulangi keadaan korban tersebut bersama dengan Bidang Keselamatan atau Tim Keselamatan terkait.

g) Bila keadaan korban tidak dapat ditanggulangi dengan fasilitas yang ada di kawasan nuklir BATAN masing-masing, maka petugas kesehatan klinik harus mengirim korban ke rumah sakit.

h) Pekerja radiasi yang akan pensiun atau tidak akan bertugas sebagai pekerja radiasi secara permanen harus menjalani pemeriksaan fisik dan laboratorium. Dalam hal ini hanya pekerja radiasi yang pemeriksaan

(16)

kesehatan terakhirnya lebih dari 6 bulan.

i) PI memfasilitasi konseling kesehatan kepada pekerja radiasi yang menerima dosis berlebih.

5. Pemantauan dosis radiasi perorangan a) Umum

Pada bagian ini diuraikan mengenai jenis pemantauan, kriteria pekerja yang dipantau, metode pemantauan, periode pemantauan, pencatatan dan penyimpanan dosis radiasi, pelaporan dosis radiasi, serta penanganan dosis berlebih. Pemantauan dosis radiasi perorangan dilakukan untuk mengetahui besarnya dosis yang diterima pekerja radiasi dalam rangka mematuhi ketentuan batasan dosis.

b) Jenis pemantauan dosis radiasi perorangan

Pemantauan dosis radiasi perorangan dapat dilakukan dengan 2 macam pemantauan yaitu:

1) Pemantauan dosis radiasi eksternal, dilakukan dengan menggunakan dosimeter perorangan.

2) Pemantauan dosis radiasi internal dilakukan dengan 2 cara:

a) Pemantauan pekerja radiasi secara langsung (in-vivo) b) Pemantauan pekerja radiasi secara tidak langsung (in-vitro) c) Kriteria personel yang dipantau

1. Pekerja radiasi yang mendapat pemantauan dosis adalah pekerja radiasi yang diperkirakan menerima dosis efektif pertahun > 1 mSv.

2. Pekerja radiasi yang bekerja di medan radiasi tinggi harus menggunakan dosimeter tambahan misalnya dosimeter saku yang dapat dibaca langsung.

3. Kelompok tamu atau pengunjung yang akan memasuki daerah kerja pengendalian menggunakan sekurang-kurangnya satu dosimeter perorangan.

4. Pemantauan dosis radiasi internal diutamakan diberikan kepada pekerja radiasi yang menangani sumber radiasi terbuka dengan potensi kontaminasi internal dan diperkirakan akan menerima

(17)

dosis terikat efektif pertahun > 3/10 NBD rata-rata tahunan pekerja radiasi.

5. Pemantauan dosis radiasi internal terhadap pekerja radiasi lainnya tidak diperlukan, kecuali untuk konfirmasi atau jika terjadi kecelakaan yang diduga terjadi kontaminasi radiasi internal.

d) Metode pemantauan

Pemantauan dosis radiasi mengikuti ketentuan sebagai berikut:

1. Pemantauan dosis radiasi eksternal dilakukan dengan menggunakan dosimeter perorangan yaitu dosimeter termoluminesens (TLD) sesuai dengan medan radiasi yang ada.

2. Setiap pekerja radiasi diberi 2 (dua) badge TLD misalnya seri A dan seri B. TLD dipakai bergantian setiap periodenya untuk memantau dosis radiasi eksternal. Dosis radiasi eksternal yang direkam dalam TLD adalah dosis ekivalen kulit (surface dose) atau Hp(0,07) dan dosis ekivalen seluruh tubuh (deep dose) atau Hp(10).

3. Pekerja radiasi yang bekerja dengan sumber radiasi berdaya tembus kuat (seperti radiasi /neutron), dosis radiasi eksternal yang diukur adalah Hp(10).

4. Pekerja radiasi yang bekerja dengan sumber radiasi berdaya tembus lemah (seperti radiasi β dan /foton berenergi < 15 keV), dosis radiasi eksternal yang diukur adalah Hp(0,07).

5. Pemantauan dosis radiasi internal dengan metode pencacahan langsung (in-vivo) dilakukan dengan mencacah jenis dan aktivitas radionuklida dalam tubuh pekerja (full scan, total body, tiroid, paru- paru) menggunakan alat cacah Whole Body Counter (WBC). Metode in-vivo ini bertujuan untuk mengetahui dosis radiasi internal yang diterima pekerja akibat masuknya radionuklida (radionuklida pemancar) ke dalam tubuh dengan mengukur pancaran radiasi dari radionuklida yang ada di dalam tubuh.

6. Pemantauan dosis radiasi internal dengan metode in-vitro dilakukan dengan mencacah hasil metabolisme tubuh dalam hal ini adalah contoh urin. Pemantauan ini bertujuan untuk

(18)

mengetahui dosis radiasi internal yang diterima pekerja akibat masuknya radionukida (pemancar α, β ) ke dalam tubuh pekerja.

7. Dosis radiasi internal yang diukur baik secara in-vivo (dengan WBC) maupun secara invitro (dengan mencacah contoh urin) adalah dosis terikat efektif E(50) yaitu jumlah dosis terikat rata-rata dalam organ atau jaringan dengan memperhitungkan faktor bobot (wT) masing- masing organ

2.4 PENCEGAHAN BAHAYA KIMIA 1. Manajemen Bahan Kimia

Merupakan komponen penting program laboratorium. Keselamatan dan keamanan harus menjadi bagian dari seluruh siklus hidup bahan kimia, termasuk pembelian, penyimpanan, inventaris, penanganan, pengiriman, dan pembuangan.

Proses manajemen bahan kimia meliputi mengelola bahan kimia, bekerja dengan bahan kimia, dan mengelola limbah kimia (Moran dan Masciangioli, 2010). Semua pegawai atau pekerja laboratorium harus bertanggung jawab mematuhi prosedur penggunaan bahan kimia. Manajer atau pimpinan harus mempertimbangkan cara untuk menghargai dan memberi penghargaan pada mereka yang mengikuti praktik terbaik dalam menangani dan bekerja dengan bahan kimia di laboratorium. Namun, manajer atau pimpinan mungkin perlu mempertimbangkan sarana penegakan aturan jika pekerja melanggar sistem (Moran dan Masciangioli, 2010

2. Bahaya faktor Kimia

Risiko kesehatan timbul dari pajanan berbagai bahan kimia. Banyak bahan kimia yang memiliki sifat beracun dapat memasuki aliran darah dan menyebabkan kerusakan pada sistem tubuh dan organ lainnya. Bahan kimia berbahaya dapat berbentuk padat, cairan, uap, gas, debu, asap atau kabut dan dapat masuk ke dalam tubuh melalui tiga cara utama antara lain:

a) Inhalasi (menghirup):

Dengan bernapas melalui mulut atau hidung, zat beracun dapat masuk ke dalam paru-paru. Seorang dewasa saat istirahat menghirup sekitar lima liter udara per

(19)

fiber/serat, dapat langsung melukai paruparu. Lainnya diserap ke dalam aliran darah dan mengalir ke bagian lain dari tubuh.

b) Pencernaan (menelan):

Bahan kimia dapat memasuki tubuh jika makan makanan yang terkontaminasi, makan dengan tangan yang terkontaminasi atau makan di lingkungan yang terkontaminasi. Zat di udara juga dapat tertelan saat dihirup, karena bercampur dengan lendir dari mulut, hidung atau tenggorokan. Zat beracun mengikuti rute yang sama sebagai makanan bergerak melalui usus menuju perut.

c) Penyerapan ke dalam kulit atau kontak invasif:

Beberapa di antaranya adalah zat melewati kulit dan masuk ke pembuluh darah, biasanya melalui tangan dan wajah. Kadang-kadang, zat-zat juga masuk melalui luka dan lecet atau suntikan (misalnya kecelakaan medis). Guna mengantisipasi dampak negatif yang mungkin terjadi di lingkungan kerja akibat bahaya faktor kimia maka perlu dilakukan pengendalian lingkungan kerja secara teknis sehingga kadar bahan-bahan kimia di udara lingkungan kerja tidak melampaui nilai ambang batas (NAB). Bahan kimia di tempat kerja.

3. Apa yang perlu diketahui untuk mencegah atau mengurangi bahaya?

a. kemampuan bahan kimia untuk menghasilkan dampak kesehatan negative (sifat beracun). Semua bahan kimia harus dianggap sebagai sumber potensi bahaya sampai dampak bahan kimia tersebut sepenuhnya diketahui

b. wujud bahan kimia selama proses kerja. Hal ini dapat membantu untuk menentukan bagaimana mereka bisa kontak atau masuk ke dalam tubuh dan bagaimana paparan dapat dikendalikan

c. bagaimana mengenali, menilai dan mengendalikan risiko kimia misalnya dengan memasang peralatan pembuangan (exhaust) pada sumber polutan, menggunakan rotasi pekerjaan untuk mempersingkat pajanan pekerja terhadap bahaya;

d. jenis alat pelindung diri (APD) yang diperlukan untuk melindungi pekerja, seperti respirator dan sarung tangan

2.5 PENCEGAHAN BAHAYA ERGONOMIC

Perawat di negara berkembang memiliki sedikit pengetahuan prinsip ergonomi di tempat kerja dan tidak dilatih untuk mencegah dan mengendalikan bahaya

(20)

kerja. Penelitian awal yang dilakukan di rumah sakit dr. H. Koesnadi Bondowoso melibatkan 8 perawat menunjukkan bahwa 7 perawat belum pernah mendapatkan pelatihan ergonomi di tempat kerja dan 5 perawat pernah mengalami low back pain setelah bekerja. Pengetahuan ergonomi membantu perawat menghindari faktor risiko tertentu yang berkontribusi pada gangguan muskuloskeletal dan meningkatkan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja. Pengetahuan ergonomi memengaruhi sikap kerja saat melakukan tindakan keperawatan. Salah satu tindakan keperawatan yang berisiko terhadap gangguan muskuloskeletal adalah perawatan luka. Perawatan luka membutuhkan fokus dan durasi waktu lama, bahkan sering dilakukan dengan sikap kerja tidak ergonomis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan ergonomi dan sikap kerja pada perawatan luka dengan keluhan gangguan muskuloskeletal pada perawat di rumah sakit dr. H. Koesnadi Bondowoso.

Faktor lain yang berpengaruh pada keluhan gangguan muskuloskeletal adalah masa kerja. Penelitian ini tidak menemukan hubungan jenis kelamin dengan keluhan gangguan musculo-skeletal. Laki-laki dan perempuan memiliki risiko sama untuk mengalami keluhan gangguan musculoskeletal hingga usia 60 tahun. Wanita lebih sering mengalami gangguan ini pada saat siklus menstruasi dan karena proses menopause yang menyebabkan kepadatan tulang berkurang.

Penelitian lain menemukan usia tidak berkaitan dengan gangguan musculoskeletal pada punggung bawah, punggung atas, leher, bahu, dan ekstremitas atas. Keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur, sehingga kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko keluhan otot meningkat. Pengetahuan ergonomi, sikap kerja, dan masa kerja mampu memprediksi risiko keluhan gangguan muskuloskeletal pada perawat sebesar 41,07%. Jika pengetahuan ergonomi, sikap kerja, dan masa kerja dikontrol dengan baik, maka risiko keluhan gangguan muskuloskeletal dapat dikurangi.

Pengetahuan keyakinan, dan sikap berperan pada kecelakaan kerja. Perawat harus mendapatkan pelatihan teknik kerja yang baik dalam mengatasi stres dan tekanan psikologis untuk mengurangi masalah atau cedera terkait pekerjaan .

Pencengahan

(21)

dan tikar bantalan untuk berdiri.

b. Perbaikan kerja metode manual seperti mengangkat, mengangkut, menarik, mendorong, menjinjing beban, atau bekerja halus dengan mengunkan ibu jari atau telunjuk.

c. Desain workstation sehingga alat-alat mudah dijangkau dan bahu pada posisi netral, rileks dan lengan lurus ke depan ketika bekerja.

d. Jika memungkinkan, pertimbangkan rotasi pekerjaan dan memberikan istrirahat yang teratur dari pekerjaan intensif. Hal ini dapat mempengaruhi risiko kram berulang dan tingkat kecelakaan dan kesalahan.

Cara Memindahkan Pasien Dari Tempat Ke Kursi Roda a. Cuci tangan

b. Bantu pasien duduk di tepi tempat tidur

c. Siapkan kursi roda dalam keadaan posisi 45 derajat menghadap tempat tidur dan pasang pengunci yang ada di kursi roda

d. Pastikan bahwa pasien menggunakan sepatu/sandal yang tidak licin e. Rengangkan kedua kaki perawat

f. Fleksikan panggul pasien dan lutut perawat, sejajarkan lutut perawat dengan lutut pasien

g. Lalu kemudian rangkul axila pasien dan letakkan tangan pasien ke atas bahu perawat h. Angkat pasien sampai berdiri pada hitungan ke 3 sambil meluruskan panggul dan

tungkai perawat dengan mempertahankan lutut agak fleksi

i. Bantu pasien untuk duduk, minta pasien untuk membelakangi kursi roda, meletakkan kedua tangan di atas lengan kursi roda atau bahu perawat

j. Minta pasien untuk menggeser duduknya sampai posisi yang paling nyaman k. Turunkan tatakan kaki, dan letakkan kedua kaki pasien di atasnya

(22)

2.6 PENCEGAHAN BAHAYA PSIKOSOSIAL

Jika suatu perusahaan ingin memaksimalkan produktivitas, perlumenciptakantempat kerja di mana pekerja merasa aman dan dihormati. Isu ini melampauikeselamatan fisik dan termasuk melindungi kesejahteraan diri, martabat danmental pekerja. Intimidasi atau pelecehan sering mengancam rasa kesejahteraandan keamanan pekerja di tempat kerja.

1. pelecehan dan penganiayaan

Mengacu pada berbagai perilaku yang tidak diinginkan dan dianggapsebagai gangguan termasuk menganiaya, memaksa, mengganggu, mengintimidasidan menghina orang lain karena ras, usia, kecacatan, atau jenis kelamin.

Dalam segala bentuk, umumnya pelecehan terjadi karena perbedaan dalamkekuatan misalnya seseorang (atau sekelompok orang) dengan kekuasaan atauwewenangnya melecehkan seseorang yang mempunyai posisi kurang kuat.

Sering pelaku pelecehan melakukan tindak pelecehan dengan caranya dan tidakpeduli terhadap dampak yang terjadi pada korban. Mereka percaya bahwa korbandalam posisi yang lemah, harus siap dengan perilaku ini. Dalam kasus lain pelakupelecehan sepenuhnya menyadari dampak buruk tingkah lakunya dan ini dapatmenjadi bagian dari penyebab korban keluar dari pekerjaannya.

Dalam kedua kasus, korban pelecehan sering merasa tak berdaya, dipermalukan,terisolasi dan direndahkan.

Pelecehan biasanya serangkaian insiden, bukan satu peristiwa dan mungkin mencakup:

a) memukul atau mendorong;

b) berteriak, mengejek atau mengolok-olok orang;

c) mengancam untuk memberikan penilaian kinerja yang buruk;

d) menolak makan dengan seseorang;

e) kritik oleh seorang manajer secara publik ; f) memindahkan pekerja karena memiliki HIV;

g) pelecehan seksual (lihat sub bab berikutnya.

(23)

a) waspada dan sadar

Pelecehan bisa terjadi dimana saja dan kapansaja. Semua orang di tempat kerja perlumenyadari risiko dan tanda-tanda, dan siapuntuk melaporkannya. Pelecehan seksual adalahsalah satu bentuk yang paling umum daripelecehan tetapi paling sedikit dilaporkan.

b) Mengambil tindakan untuk mengurangi risiko pelecehan

Pelecehan biasanya, meskipun tidak selalu,berlangsung secara rahasia.

Tindakanmengurangi isolasi dapat membantu, sepertimeningkatkanpencahayaan di daerah yangtemaram dan tidak memposisikan kemungkinankorban pelecehan (seksual) di daerah terpencil diperusahaan. Namun, yang paling efektif, tindakan perlu berdampakpada peleceh potensial, yang berarti meningkatkan kesadaran danmenunjukkan toleransi nol.

c) Menyediakan konseling dan dukungan Konseling yang tepat dapat membantu para korban, sehingga perusahaan dapat membantu pekerja dengan memberikan rincian kontak dari organisasiorganisasi yang menyediakan konseling. Mengembangkan kebijakanmenggabungkan aturan kerja dan keluhan yang transparan dan prosedurinvestigasi yang:

1) Mendefinisikan pelecehan dengan jelas, termasuk pelecehan seksual, dan membuat jelas bahwa pelecehan tidak akan ditoleransi;

2) Menetapkan bahwa setiap pekerja berhak untuk diperlakukan denganhormat di tempat kerja;

3) Menyediakan bagi individu untuk mengambil peran 'focal point'untukkasus- kasus pelecehan seksual, untuk memastikan bahwa parakorban mendengarkan dengan sensitivitas;

4) Jadilah subyek konsultasi dengan pekerja dan manajer dan berbagidengan semua staf dan semua rekrutan baru;

5) Memberi perhatian manajer dan supervisor dan membuat jelas mereka memiliki tugas untuk melaksanakan kebijakan dan akan diajarkan bagaimana.

19

(24)

3. HIV / AIDS di tempat kerja

Kasus HIV/AIDS terdapat kecenderungan jumlahnya meningkat dari waktu kewaktu. Jumlah kasus HIV/AIDS sebagian besar terdapat pada kelompok usia kerjaproduktif yang akan berdampak negatif terhadap produktivitas perusahaan.Makauntuk mengantisipasi dampak negatif dari kasus HIV/AIDS di tempat kerjadiperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan yang optimal.

Untuk melaksanakan upaya pencegahan dan penangglangan HIV/AIDS di tempatkerja, pengusaha wajib:

a. Mengembangkan kebijakan tentang upaya pencegahan

danpenanggulanganHIV/AIDS;

b. Mengkomunikasikan kebijakan dengan cara menyebarluaskan informasi dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan

c. Memberikan perlindungan kepada Pekerja/Buruh dengan HIV/AIDS dari tindakdan perlakuan diskriminasi

d. Menerapkan prosedur K3 khusus untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sesuai denganperaturan perundang-undangan dan standar yang berlaku.

Untuk petugas P3K di tempat kerja dalam memberikan pertolongan pertama harusmemperhatikan Universal Precaution, dimana bertujuan untuk mengurangirisiko infeksi terutama yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh tanpamembedakan status infeksi yang dapat dicapai dengan:

a) Hindari kontak langsung dengan darah/cairan tubuh korban dengan menggunakan APD secara memadai;

b) Cuci tangan sebelum dan segera sesudah melakukan tindakan dengan air mengalir dan sabun atau anti septik lainnya;

c) Bersihkan segera ceceran darah/cairan tubuh korban secepat mungkin dengan disiram antiseptik, dan buang ke tempat pembuangan khusus dan dianggapsebagai limbah berbahaya karena bersifat infeksius;

d) Pakaian dan peralatan yang kontak dengan darah/cairan tubuh korban 20

(25)

4. Narkoba di tempat kerja

Untuk mencegah dan menanggulangi pengaruh buruk terhadap kesehatan, ketertiban, keamanan dan produktivitas kerja akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerjadiperlukan upaya pencegahan dan penangggulangan yang optimal, serta peranaktif pihak pengusaha dan pekerja.

Upaya aktif dari pihak pengusaha dalam pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnyadi tempat kerja adalah dengan penetapan kebijakan serta penyusunan danpelaksanaan program. Narkoba dapat mempengaruhi kondisi kesehatan dan mengakibatkan kecelakaanserta penurunan produktivitas. Dengan upaya pencegahan dan penanggulanganpenyalahgunaan Narkoba di tempat kerja maka pekerja dapat terhindar dari bahayanarkoba sehingga selalu sehat dan tetapproduktif.

22

(26)

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi adalah invasi tubuh oleh mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh. (Kozier, et a1, 1995). Faktor fisik adalah di dalam tempat kerja yang bersifat fisika antara lain kebisingan, penerangan, getaran iklim kerja, gelombang mikro dan sinar ultra ungu. Personel yang terlibat di dalam penyelenggaraan keselamatan radiasi harus memahami konsep proteksi radiasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir baik terhadap manusia maupun lingkungan, yang mencakup kuantifikasi efek radiasi terhadap kesehatan melalui besaranbesaran dosis dan pembobotan termasuk aplikasiny

Manajement kimia Merupakan komponen penting program laboratorium. Keselamatan dan keamanan harus menjadi bagian dari seluruh siklus hidup bahan kimia, termasuk pembelian, penyimpanan, inventaris, penanganan, pengiriman, dan pembuangan. Proses manajemen bahan kimia meliputi mengelola bahan kimia, bekerja dengan bahan kimia, dan mengelola limbah kimia (Moran dan Masciangioli, 2010). Pengetahuan ergonomi memengaruhi sikap kerja saat melakukan tindakan keperawatan. Salah satu tindakan keperawatan yang berisiko terhadap gangguan muskuloskeletal adalah perawatan luka.

Perawatan luka membutuhkan fokus dan durasi waktu lama, psikologi membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya(Dakir,1993)

3.2 SARAN

Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mehami dan menambah wawasan tentang rantai infeksi,pencegahan bahaya fisik, kimia, ergonomic, dan psikososial

23

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Heru, B. I. (2017). Pengetahuan Ergonomi Dan Postur Kerja Perawat Pada Perawatan Luka Dengan Gangguan Muskuloskeletal Di Dr.H.Koesnadi Bondwoso. Berita Kedokteran Masyarakat , 445-448.

Kartika, S. D. (2014). Ilmu Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Scroe. (2013).

Keselamatan Dan Kesehatan Kerja . Jakarta: Ilo.

Sujono, R., & Harmoko. (2012). Standar Operating Procedure Dalam Praktik Klinik Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(28)
(29)
(30)

Referensi

Dokumen terkait