• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH MINI RISET PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA PADA ANAK AUTISME

N/A
N/A
Revi Asrilia Samsudin

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH MINI RISET PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA PADA ANAK AUTISME "

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH MINI RISET

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA PADA ANAK AUTISME

Diajukan untuk memenuhi tugas akhir semester pada mata kuliah Psikolinguistik Dosen Pengampu Dra. Any Budiarti, M.Hum. dan Meity Suratiningsih, M.Pd.

Disusun Oleh:

Revi Asrilia Samsudin 205030038

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG

2022

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mini riset yang berjudul “Perkembangan Kemampuan Berbahasa Pada Anak Autisme” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan penulisan dari makalah mini riset ini adalah untuk memenuhi tugas akhir pada mata kuliah Psikolinguistik. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang anak autisme bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Any Budiarti, M.Hum. dan Ibu Meity Suratiningsih, M.Pd. yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah mini riset ini.

Saya menyadari, makalah mini riset yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah mini riset ini dapat bermafaat bagi kita semua.

Bandung, 22 Desember 2021

Penulis

(3)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II ... 3

PEMBAHASAN ... 3

2.1 Pengertian Autisme ... 3

2.2 Penyebab dan Gejala Autisme ... 4

2.3 Metode Penelitian ... 5

2.4 Data Penelitian ... 6

2.5 Deskripsi Hasil Penelitian ... 8

BAB III ... …12

PENUTUP ... ..12

3.1 Kesimpulan ... ..12

3.2 Saran ... …12

DAFTAR PUSTAKA ... 13

LAMPIRAN – LAMPIRAN ... 14

A. Isian Template Laporan Observasi Kajian Psikolinguistik ... ..14

B. Foto Dokumentasi Penelitian ... …17

(4)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan salah satu pembeda antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Tetapi bukan berarti bahasa tersebut merupakan bagian dari komunikasi manusia saja. Nyatanya, makhluk hidup lainnya seperti binatang pun memiliki ocehan-ocehan untuk berkomunikasi secara langsung dengan binatang lainnya. Tetapi meskipun begitu, bukan berarti hal tersebut tidak serta merta disebut bahasa walaupun memang menyerupai bahasa. Karena bahasa termasuk salah satu unsur yang lebih kompleks dan hanya diucapkan oleh manusia. Menurut Chomsky pada dasarnya manusia sejak lahir akan mempelajari bahasa dengan sendirinya, meski serumit apapun anak memperoleh bahasa tersebut. Proses dalam pemerolehan bahasa tersebut berlangsung secara alami, dan bukan dengan cara menghapalkan kosakata, aturanaturan gramatika, dan aplikasi secara sosial.

Sebab kamus bahasa dalam otak anak tersusun secara otomatis tanpa teori, sedangkan kemampuan gramatika anak terasah dari pemerolehan yang disimaknya (Nur, 2008: 3).

Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi di dalam masyarakat. Fungsi tersebut digunakan dalam berbagai lingkungan, tingkatan, dan kepentingan yang beraneka ragam (Saddhono, 2012). Sebab bahasa sangat berperan penting dalam hal komunikasi antarmanusia.

Yang salah satunya yaitu sebagai bahan penyampai ide, gagasan, atau pokok pikiran yang disampaikan oleh penuturnya. Oleh sebab itulah perkembangan bahasa pada anak merupakan hal yang dianggap penting. Setiap orang tua pasti mengharapkan anak mereka terlahir dengan kondisi kelahiran yang sempurna, namun dalam kenyataannya terkadang kelahiran buah hati tidak selalu sesuai dengan harapan orangtua, dikarenakan berbagai macam kondisi. Salah satunya adalah kondisi autisme.

Anak yang menyandang autisme memiliki kondisi khusus seperti yang dinyatakan oleh (Sicilliya, 2013) yang memiliki kelainan perilaku yang dimana penderita atau penyandang autisme ini hanya tertarik dengan sesuatu yang ia sukai dan memiliki tingkatan emosional yang tidak stabil daripada dengan anak normal. Begitu pula terhadap kemampuan dalam memperoleh dan mempelajari bahasa. Perlu dipahami bahwa otak merupakan pusat dari segala aktivitas manusia, termasuk di dalamnya kemampuan berbahasa seseorang. Tetapi bagi anak yang mengalami autisme memiliki kesulitan dalam mencerna suatu bahasa. Baik itu berupa aktivitas memperoleh maupun mempelajari bahasa. Kekurangan pada anak autisme inilah yang akhirnya juga dapat mengakibatkan gangguan dalam kemampuan berbahasa dan bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu dalam mini riset ini, penulis tertarik untuk membuat sebuah penelitian yang berjudul “Perkembangan Kemampuan Berbahasa Pada Anak Autisme”.

(5)

2 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan suatu pokok masalah yang kemudian disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan gangguan berbahasa autisme?

2. Apa gejala dan penyebab autisme pada anak ?

3. Bagaimana tingkat perkembangan kemampuan berbahasa pada anak autisme ? 4. Bagiamana penanganan untuk membantu perkembangan bahasa anak autisme ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan gangguan berbahasa autisme.

2. Mengetahui gejala dan penyebab autisme pada anak.

3. Mengetahui tingkat kemampuan berbahasa pada anak autisme.

4. Mengetahui penanganan untuk membantu perkembangan bahasa anak autisme.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam pembahasan makalah ini terdapat beberapa manfaat dan kegunaan diantaranya yaitu menambahan pengetahuan dan wawasan tentang perkembangan kemampuan berbahasa pada anak autisme baik bagi penulis maupun pembaca dan sebagai bahan rujukan untuk penelitian berikutnya terkait dengan kemampuan berbahasa pada anak autisme.

(6)

3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Autisme

Istilah autism berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti suatu aliran.

Autism diartikan sebagai suatu aliran dimana seseorang hanya tertarik pada dunianya sendiri (Subyantoro, 2013). Autisme juga dapat diartikan sebagai cacat pada perkembangan syaraf dan psikis manusia yang terjadi sejak janin dan seterusnya sehingga menyebabkan kelemahan atau perbedaan dalam berinteraksi sosial, kemampuan berkomunikasi, pola minat, dan tingkah laku (Subyantoro, 2013).Salah satu gangguan berbahasa adalah gangguan berbahasa pada autisme.

Autisme atau yang disebut pula Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu gangguan perkembangan syaraf yang terus terhadap kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya (American Psychiatric Association 1994). Anak- anak yang mengalami autisme mempunyai imajinasi dan sering melakukan tingkah laku atau pergerakan badan yang berulang-ulang (Wing & Gould 1979). Hal ini terlihat ketika seorang pengidap autisme yang diberi rangsangan berupa suara, ia akan mendengar. Namun, ia tidak memberikan respon atas rangsangan tersebut. Autis diartikan sebagai keadaan yang dikuasai oleh kecenderungan pikiran atau perilaku yang berpusat pada diri sendiri (Ezmar&Ramli, 2014) Selain itu, gejala lain juga muncul dalam proses ketika seorang anak diberi pengajaran mengenai hal-hal dalam keseharian. Shadock dan Shadock (2009) dalam (Ali, 2017) mengatakan bahwa gangguan autistic spectrum disorder dikenal dengan early infantile autism, childhood autism atau Kanner’s autism yang ditandai dengan gangguan dalam interaksi sosial timbal balik, keterlambatan keterampilan komunikasi dan pengulangan terbatas pada aktivitas dan minat.

Pengidap autisme tidak memberikan respon terhadap hal-hal yang diberikan kepadanya.

Pengidap autisme bukan berarti bodoh atau memiliki IQ yang rendah. Sebaliknya, terdapat pula pengidap autisme yang memiliki IQ normal bahkan di atas rata-rata. Memurut (Winarno, 2013, hal.13), tanda-tanda atau gejala utama autisme tampak paling menonjol dan jelas yaitu ketika anak berusia di bawah 3 tahun (batita). Tanda-tanda tersebut adalah sebagai berikut: 1) Tidak pernah menunjuk dengan pada usia 1 tahun; 2) Tidak mengoceh pada usia sekitar 1,5 tahun; 3) Tidak pernah mengucapkan dua kata pada usia 2 tahun; 4) kemampuan berbahasa dapat hilang setiap saat; 5) Tidak pernah berpura-pura bermain dan tidak bereaksi ketika dipanggil namanya; 6) Tidak acuh dengan hal-hal lain; 7) Mengulang-ulang gerakan badan atau anggota tubuh; 8) Perhatian hanya terfokus pada objek tertentu saja; 9) Biasanya menolak keras perubahan terhadap hal yang bersifat rutin; 10) Sangat peka terhadap tekstur dan bau tertentu.

(7)

4 2.2 Penyebab dan Gejala Autisme

A. Penyebab Autisme

Penderita autisme mempunyai beberapa ciri-ciri atau gejala yang terlihat dari adanya gangguan komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris. Autisme dilihat sebagai kelainan perkembangan sosial dan mental karena gangguan perkembangan otak yang diakibatkan oleh kerusakan selama pertumbuhan fetus, saat kelahiran, atau pada tahun pertama kehidupannya (Winarno, 2013). Meskipun dari segi fisik anak autisme terlihat seperti anak normal, namun dari segi perilaku, mental, dan pola pikir, mereka memiliki kelemahan. Anak autis memiliki kesulitan dalam mengendalikan emosi serta banyak melakukan gerakan-gerakan yang kurang wajar tanpa mereka bisa kendalikan. Selain itu,anak autisme juga memiliki kesulitan dalam berbicara, sehingga berpengaruh dalam kemampuan berbahasanya. Dengan adanya gangguan-gangguan tersebut, dapat berpengaruh terhambatnya kegiatan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Hingga saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari autisme Penyebab yang melibatkan banyak faktor (multifaktor) secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu genetik dan lingkungan. Dari faktor genetik telah ditemukan gen autis yang diturunkan orangtua kepada beberapa anak autis. Sedangkan faktor lingkungan adalah terkontaminasinya lingkungan oleh zat- zat beracun, pangan, gizi, dan juga diakibatkan karena raksenasi. Kenyataan yang terlihat saat ini adalah bahwa anak autis selalu mengalami keresahan dan gangguan kognitif atau fungsi persepsi sehingga mereka memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan.

Beberapa pakar menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena pusat di otak (brain center) yang mengatur input rangsangan (sensoring and processing) mengalami gangguan terutama dalam kemampuan berbahasa (Winarno, 2013). Menurut (Subyantoro, 2013) terdapat beberapa hal lain yang diduga dapat menyebabkan autisme, yaitu: 1) Adanya vaksin yang mengandung Thimerosal, yaitu zat pengawet yang digunakan di berbagai vaksin; 2) Televisi, yang mengakibatkan seseorang jarang bersosialisasi dengan lingkungan. 3) Radiasi pada janin bayi. 4) Folic acid, yaitu zat yang diberikan pada wanita hamil untuk mencegah cacat fisik pada janin.

B. Gejala Autisme

Autisme pada umumnya mengalami gangguan yang disebabkan oleh kelainan dalam sistem pencernaan yang akhirnya bersinggungan dengan kelainan saraf di otak. Sebab anak autis tidak dapat mencerna makanan yang sulit dicerna seperti bahan makanan yang terbuat dari terigu, susu, dan juga makanan yang memiliki ikatan yang rumit bagi proses pencernaan. Sehingga apabila belum selesainya makanan-makanan tersebut berproses di percernaan kemudian terbawalah ke dalam darah dan terbawa ke saraf. Sehingga makanan yang tidak sempurna dalam pencernaan tersebutlah yang mengganggu saraf hingga memberikan efek seperti morfin. Yang pada akhirnya

(8)

5

penderita autisme inipun menjadi semakin hiperaktif seperti lari-larian, lompat-lompat, pukul kepala, tertawa-tertawa hingga tidak merespon panggilan orang lain. Hal ini termasuk merusak dan memberikan gangguan pada kelainan saraf dalam hal kemampuan berbahasa. Menurut Rakhmanita (2020) “Selain itu penderita autisme memiliki beberapa ciri-ciri yang dapat terlihat melaui gangguan komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris”. Gejala dalam penentuan autisme juga dapat sudah mulai terlihat dan ditemukan pada anak usia 3 sampai 6 bulan.

Meskipun secara fisik tidak memiliki perbedaan dengan anak normal tetapi dalam segi perilaku, mental, dan pola pikir mereka memiliki kelemahan.

Menurut Koswara (2013) dalam (Rahmawati, 2018)” terdapat tiga masalah autis dalam belajar, yaitu 1) komunikasi, 2) interaksi sosial, 3) perilaku”. Hal pertama yaitu respon dalam hal berkomunikasi, bagaimana sang anak mulai mampu tersenyum pada orang lain dan memberikan respon apabila dijahili. Tetapi bagi penderita autisme, sang anak tidak memberikan respon. Yang kedua tidak adanya kontak mata sehingga tidak adanya interaksi sosial di lingkungan sekitarnya.

Dan yang terakhir yaitu perilaku yang diberikan oleh penderita autisme berupa tatapan mudah kosong bahkan tidak mudah untuk tersenyum terhadap orang lain. Tiga gejala khas inilah yang dapat dijadikan sebagai tanda bagi penderita gejala autisme.

Tetapi secara umum penyebab anak menderita autisme ada dua hal, yaitu secara genetik dan lingkungan. Apabila dari segi genetik, ditemukannya gen autis yang diturunkan oleh orang tua kepada beberapa anak autis. Sedangkan faktor yang disebabkan oleh lingkungan yaitu terkontaminasinya lingkungan oleh zat-zat beracun, pangan, gizi, dan juga diakibatkan oleh raksenasi (Rakhmanita, 2020). Sehingga menimbulkan keterbatasan dalam hal berkomunikasi dan bersosialisasi dalam lingkungan. Beberapa pakar menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena pusat di otak yang mengatur input rangsangan (sensoring dan procesing) mengalami gangguan terutama dalam kemampuan berbahasa (Winarno, 2013). Penyebab lainnya yang menimbulkan anak menjadi penderita autisme yaitu terkontaminasi oleh merkuri yang mengakibatkan anak menjadi hiperaktif.

2.3 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif.

Metode penelitian ini adalah metode yang menggunakan penelitian secara kualitatif dalam wujud sajian deskriptif dengan penyampaian kata-kata tertulis berdasarkan hasil data pengamatan dan berbagai referensi ilmiah lainnya. Proses pengumpulan data bersifat fleksibel sesuai keadaan di lapangan, selain itu terdapatnya interaksi dengan bahasa yang digunakan narasumber sehari-hari, karena itu maka akan semakin mendalam proses pengumpulan data.

(9)

6

Penelitian ini dilakukan di rumah ibu Sri Mulyani yang merupakan ibu dari saudari Pipi Novianti yang menjadi objek penelitian dalam penelitian ini. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara langsung dengan subjek penelitian yaitu ibu Sri Mulyani sendiri mengenai perkembangan kemampuan bahasa anaknya. Dengan sumber data yaitu tulisan dan rekaman suara. Adapun instrumen pengumpulan data berupa voice recorder atau perekam suara dari handphone, catatan kecil serta pulpen untuk mencatat setiap poin-poin penting yang diucapkan subjek. Wawancaran sendiri dilakukan dengan suasana biasa dalam kehidupan sehari- hari sehingga tidak terlalu kaku.

2.4 Data Penelitian

Data yang diperoleh peneliti adalah data hasil wawancara mengenai kemampuan berbahasa pada seorang anak yang mengidap autisme dengan identitas sebagai berikut :

Nama : Pipie Novianti TTL : 24 September 2004 Umur : 17 Tahun

Orang Tua : Alm. Bpk. Yayat Supriatna, S.Pd. dan ibu Sri Mulyani

Alamat : Kp. Kaliwadas RT 06 RW 02, Des. Pagon, Kec. Purwadadi, Kab. Subang, Prov.

Jawa Barat.

Berikut adalah pertanyaan dan jawaban sebagai hasil wawancara peneliti dan subjek penelitian, sebagai berikut :

Revi : Menurut ibu bagaimana kemampuan komunikasi anak ibu pada saat dirumah ?

Ibu Sri : Agak kurangnya cuman bisa si sedikit pakai kalimat yang pendek-pendek kalo ngomong.

Pas ngomong kadang bisa dua atau tiga kata gitu, tapi kadang-kadang apa yang dia omongin tuh suka ngga jelas kayak ngoceh sendiri. Kalau diajak bicara juga kadang ngejawab kadang nggak.

Revi : Kalau diberi perintah atau dimintai tolong, gimana respon anak ibu?

Ibu Sri : Ya kadang paham sih, kadang mesti saya ulang perintahnya apa. Tapi untunya kalo disuruh ngambil apa gitu dia bisa dan mau.

Revi : Bagaimana kejelasan suara anak ibu saat berbicara?

(10)

7

Ibu Sri : Kurang jelas sih kalau kejelasan suaranya mah, kadang saya harus tanyain lagi maksudnya apa.

Revi : Bagaimanakah ibu memberikan perhatian ibu kepada anak ibu yang mengidap autis dalam kehidupan sehari-hari, apakah ada perbedaan saat ibu memberikan perhatian kepada anak ibu yang lain?

Ibu Sri : Oh jelas ada itu kan anak ibu autis beda dengan adiknya mah normal, ini mah kan autis mah hmm..apa sih harus dimanja euu.. nggak boleh dimarahin soalnya kalo dimarahin nanti dia malah bakal marah. Jadi, ada perhatian khususlah dan harus disayang banget.

Revi : Bagaimanakah sosok anak ibu dimata ibu?

Ibu Sri : Alhamdulilah eu..apasih dia nggak terlalu membebankanlah ke ibu, dia bisa mandiri sendiri, pake baju sendiri ngga terlalu ngerepotin.

Revi : Apakah anak ibu adalah anak yang cenderung pendiam atau malah merupakan anak yang aktif ?

Ibu Sri : Kalau anak ibu mah anak autis yang tipenya pendiam, biasanya juga kalau ada tamu atau siapa yang datang ke rumah dia selalu sembunyi. Tapi anak ibu paling suka tiba-tiba marah, nangis gitu palingan kalau keinginan dia nggak diturutin.

Revi : Kendala apa yang ibu hadapi selama mendidik anak ibu?

Ibu Sri : Dia beda sama yang normal yah..apa gampang sakit kalau dibawa jalan-jalan keluar rumah tuh pulangnya suka sakit kayak sakit panas kayak gitu.

Revi : Bagaiamanakah bentuk pengawasan ibu kepada anak ibu yang autis itu?

Ibu Sri : Oh ya harus betul-betul diawasi terus takutnya celaka atau gemana, soalnya dia kan ngga bisa bedaian mana yang bahaya mana yang nggak jadi pengawasan itu harus banget.

Revi : Kapan dan umur berapa anak ibu mulai bisa berbicara?

Ibu Sri : Yang jelasnya mah umur tiga tahun.

Revi : Kata apa yang pertama kali bisa diucapkan oleh anak ibu?

Ibu Sri : Oh iya kata yang pertama kali diucapkannya tuh “mamamam papapap”.

Revi : Apakah dalam komunikasi sehari-hari ibu dan putri ibu ada kendala saat berkomunikasi ? Ibu Sri : Oh iya ada jadi gini euu.. kalo dia menanyakan sesuatu itu dia selalu balik menanyakan hal yang sama lagi, terus kalo dia ingin sesuatu dia suka marah-marah sampai nangis tanpa ngasih tau pengen apa atau kenapa. Terus kendala lain lagi dia itu ngga mau dimarahin pokoknya mah

(11)

8

kalo dia dimarahin tuh suka malah tambah marah terus nangisnya tambah kenceng apalagi kalo misalkan dia itu diejek dia suka marah. Jadi paling solusinya, harus ditenangin sambil disayang- sayang sambil bilang “pipie mah anak mamah yang cantik, baik ..dll”

Revi : Bagaimana gejala atau ciri yang pertama kali ibu ketahui kalau anak ibu itu berbeda dengan anak normal yang lain ?

Ibu Sri : Ketahuannya waktu umur 6 bulan, dimana kalau bayi biasa saat usia segitu tuh lagi aktif aktifnya ngoceh sana sini tapi Pipie mah enggak dan kalau dipanggil tuh bayi normal mah suka nengok tapi kalau anak ibu mah pas dipanggil “pipie pipie lihat sini..” dia nengoknya malah kemana aja. Terus dia juga saat kecil suka kejang-kejang, sakit terus bisa sebulan sekali sakit.

Revi : Kalau untuk pendidikan apakah anak ibu masuk SLB atau bagaimana ?

Ibu Sri : Kalau untuk pendidikan mah masuk TK kayak anak yg lain dan pas main juga main biasa sama anak yang lain, tapi kalau pas mau belajar dia mah nggak nagkep sama sekali dan kata ibu gurunya juga ini mah harus ke SLB gitu katanya. Dan dia masuk SLBnya juga cuman sampai 3 tahun pokonya keluar SLB tuh pas dia umur dua belas tahun. Udah keluar dari SLB ngga diterusin lagi pendidikannya.

Revi : Apa anak ibu bisa baca tulis dan kalau boleh tahu umur berapa ?

Ibu Sri : Kalau dia karena memang sulit nangkep pelajaran juga jadi buat kemampuan membacanya juga di amah nggak bisa sampai sekarang juga masih nggak bisa tapi kalo bacaan doa, nyanyi dia bisa.

2.5 Deskripsi Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh pada seorang anak perempuan penyandang autisme bernama Pipie Noviati berusia tiga belas tahun, didapatkan beberapa hasil penelitian mengenai perkembangan kemamapuan berbahasa baik pada saat dia masih kecil sampai sekarang. Dari hasil wawancara tersebut diketahui bahwa pipie dapat berbicara pertama kali pada saat berusia tiga tahun dengan kata pertama yang dapat diucapkannya yaitu “mamamam” dan “papapap”. Hasil tersebut pun berkaitan dengan keterlambatan bicara yang menjadi indikasi anak penyandang autisme, dimana pada umur satu tahun pun anak belum bisa mengucapkan satu kata pun karena kesulitan dalam kemampuan berbahasa yang dialaminya. Itulah kenapa pada saat bayi anak autis biasanya jarang mengoceh, padahal umumnya bayi sebelum mulai berbicara akan mulai mengoceh untuk bereksperimen dengan suaranya sekitar usia enam bulan. Namun, pada bayi autisme, biasanya tak muncul ocehan di sekitar usia enam hingga sembilan bulan. Selain itu, dalam wawancara yang dilakukan diketahui juga bahwa ibunya mulai menyadari anaknya autis itu pada saat Pipie berusia enam bulan. Dimana hal itu diketahuinya dari respon Pipie saat dipanggil sebab biasanya pada bayi normal ketika dipanggil akan menoleh atau memberikan respon. Namun Pipie

(12)

9

tidak memberikan respon apa-apa dimana matanya malah melihat ke arah yang lain. Tidak merepon saat dipanggil atau diajak berinteraksi merupakan salah satu gejala autsime, dimana anak yang memiliki indikasi autisme kurang melakukan kontak mata dengan siapapun yang mengasuhnya. Bayi biasanya merespons apa yang dilihat dan didengarnya dari suara orang lain, terutama suara ibu dan ayah. Namun itu tidak terjadi pada anak yang mengalami autisme. Sesuai dengan teori mengenai penentuan autisme, gejala atau ciri-ciri pada anak autis sudah mulai terlihat dan ditemukan pada anak usia tiga sampai enam bulan. Meskipun secara fisik tidak memiliki perbedaan dengan anak normal tetapi dalam segi perilaku, mental, dan pola pikir mereka memiliki kelemahan.

Kemudian pertanyaan lainnya yang diajukan yaitu bagaimana kemampuan komunikasi anak ibu pada saat dirumah dan ibu Sri menjawab untuk komunikasi sendiri agak kurangnya dimana Pipie hanya menggunakan kalimat yang pendek-pendek saat berkomunikasi antara dua atau tiga kata.

Untuk kejelasan kalimatnya ibu Sri menjawab kalau untuk kejelasan masih kurang, dimana terkadang ibu Sri suka menanyakan kembali apa yang ingin dikatakan oleh anaknya itu. Saat diajak bicara pun kadang merespon kadang tidak. Autisme sendiri memang merupakan gangguan susunan saraf pusat sehingga anak penyandang autisme mengalami kesulitan dalam berbahasa yang baik yang bersifat komprehensif dalam aspek semantis, fonologis, dan juga sintaksisnya.

Anak pengidap autisme belajar mengenal kata melalui proses pengalaman yang didapatinya sehari- hari. Walaupun terlihat diam dan tidak mengerti akan percakapan di sekitarnya, sebenarnya anak autistik merekam apa yang dibicarakan sekelilingnya. Seperti pada Pipie, menurut ibunya bila ada orang yang sedang membicarakan dirinya di dekatnya, suka tiba-tiba Pipie spontan menengok seolah tahu sedang dibicarakan. Pipie juga dapat merekam kata-kata yang distimulasi padanya setiap hari, tetapi memang pada Pipie munculnya setelah tiga tahun kemudian.

Anak autis mengalami gangguan pemrosesan sensorik, tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan menafsirkannya dari berbagai sudut pandang. Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan kesalahan dalam menafsirkan informasi emosional yang diperoleh dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat (Greenspan dan Weider, 2006). Kelemahan anak autis adalah mengenali kandungan emosi dari stimulus yang dihadapi sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengenali emosi orang lain, kemudian menjadi tidak mampu mengekspresikan emosinya apalagi melakukan kontak emosi. Hal tersebut juga terjadi pada Pipie dimana menurut ibunya terkadang Pipie suka tiba-tiba marah- marah dan menangis aplagi ketika dia menginginkan sesuatu namun hal tersebut tidak dimengerti oleh ibunya sehingga ibunya bingung apa maksud dari anaknya tersebut. Pipie juga akan marah dan menangis apabila keinginannya tidak dituruti, dilarang melakukan sesuatu atau ada seseorang yang mengejaknya dia akan sangat marah dan menangis sejadi-jadinya. Jadi dari hal tersebut kita dapat melihat kalau emosi anak autis itu tidak stabil dan karena kesulitan berkomunikasinya tersebut membuat anak penyandang autisme tidak dapat mengungkapkan maksud dan keinginanya, hal itu juga yang menyebabkan anak memiliki gangguan berbahasa baik secara reseptif maupun ekspresif.

(13)

10

Pada Perkembangan bahasa anak penyandang autisme memang mengalami keterlambatan tidak seperti perkembangan bahasa anak normal lainnya. Anak autis dengan gangguan bahasa mengalami kesulitan komunikasi baik komunikasi isyarat (non verbal) maupun komunikasi berbahasa (verbal) berupa kesulitan atau keterlambatan dalam perkembangan berbicara atau bahasanya. Mereka kurang memahami pembicaraan, sehingga kadang–kadang membingungkan, karena seolah–seolah seperti seorang anak dengan gangguan pendengaran. Hasil dari riset menyatakan bahwa sebagian dari anak–anak autis tetap sulit berbicara sampai usia dewasa.

Kemampuan bicara yang terbatas ini menjadi kendala pokok dalam berkomunikasi. Mereka hanya mampu membeo yaitu menirukan apa yang didengar (ekolalia). Kalimat – kalimat yang diucapakan monoton dan di ulang – ulang, seolah – olah terpaku pada kalimat yang itu – itu saja (handojo, 2002 : 17). Pada anak perempuan pengidap autisme cenderung memiliki perilaku yang lebih tenang dan pendiam dibanding anak laki-laki pengidap autisme yang cenderung lebih hiperaktif. Sama halnya juga dengan Pipie, menurut ibunya sendiri Pipie ini adalah tipe anak autis yang pendiam dan suka menyendiri. Hal itu terlihat ketika ada yang bertamu atau datang ke rumah, dimana pipie selalu menghindar dan memilih masuk ke kamarnya. Bagi ibunya walaupun Pipie berbeda dari yang lain tapi setidaknya ketika diperitah ibunya Pipie terkadang merespon dan menurutinya. Di usianya yang ke tujuh belas tahun ini pun dia sudah bisa mandi sendiri bahkan cuci piring bekas makannya sendiri. Tapi walaupun usianya sudah remaja sampai sekarang pipie suka bermain dengan anak-anak kecil.

Untuk pendidikannya pun pada saat Pipie masih di Taman Kanank-Kanak Pipie dimasukan ke TK biasa bukan sekolah khusus. Namun sayangnya karena gangguan autisme yang diidapnya, selama mengikuti pelajaran Pipie tidak sama sekali memperhatikan gururnya dan malah asyik melajutkan kegiatan bermainnya. Anak Autis dalam tahap perkembangannya sendiri akan menemui kesulitan belajar seperti membaca, menulis, maupun berhitung. Hal itu dipengaruhi oleh ketidakmampuan otak untuk menerima, mengolah, menganalisis, atau menyimpan informasi, sehingga memperlambat anak dalam perkembangan akademik. Adapun saat di Taman Kanak- Kanak sendiri guru TK Pipie sudah menyarankan ibu Sri untuk menyekolahkan anaknya itu ke sekolah khusus anak berkebutuhan khusus yang disebut Sekolah Luar Biasa atau SLB. Namun untuk Pipie sendiri sayangnya hanya bertahan 3 tahun, dimana setelah itu Pipie sudah tidak melanjutkan sekolahnya. Hal tersebut terjadi apalagi setelah ibunya hamil anak kedua yaitu adiknya Pipie yang berjenis kelamin laki-laki yang untungnya normal. Dimana dalam wawancara yang dilakukan juga diketahui bahwa walau usia Pipie sudah menginjak tujuh belas pun dia masih belum bisa membaca dengan lancar.

Seperti anak normal lainnya anak autis juga mempunyai hobi atau kebiasaan yang sangat disukainya, dimana sesuai dengan hasil wawancara yang didapatkan walaupun Pipie mengalami kesulitan saat belajar maupun berkomunikasi verbalnya tapi dia akan menunjukan respon yang berbeda ketika diajak untuk bernyanyi. Menurut ibunya dia akan mudah merespon ketika disuguhkan musik dan akan mulai berusaha mengeluarkan kata demi kata. Hal itu merupakan pertanda yang baik, dimana melalui kegiatan bernyanyi dapat dijadikan sebagai salah satu terapi

(14)

11

bicara yang dapat dilakukan untuk melatihnya sedikit demi sedikit mengucapkan kosa kata. Karena walau kita juga mengetahui Autisme akan bertahan sampai anak dewasa bahkan seumur hidup, bukan berarti tidak ada cara untuk menangani gejala-gelajanya. Itulah mengapa dalam penentuan kemampuan berbahasa pada anak penderita autisme harus dilihat terlebih dahulu dari segala sudut pandang. Dan dilihat seberapa besar respon yang diberikan oleh anak penderita autisme dalam merespon suatu hal. Yang nantinya akan dilatih dan diterapi wicara berdasarkan hasil respon serta gejala-gejala yang timbul. Hal ini disebabkan, karena setiap penderita autisme memiliki gejala yang tidak sama serta merespon suatu hal. Bagi anak penderita autisme pada dasarnya tidak dapat sembuh secara total seperti orang normal lainnya. Tetapi gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penderita autisme dapat dikurangi dan diminimalisasi. Sehingga mengurangi hal-hal yang tidak normal dan meningkatkan kemampuan serta perkembangannya seperti anak lainnya.

Menurut Subyantoro (2011) terapi komunikasi tidak menekankan agar anak harus dapat berbicara, tetapi lebih kepada kemampuan berkomunikasinya dengan orang lain”. Hal pertama yang harus dilakukan oleh orang tua adalah memerhatikan dan menjaga makanan yang dimakan oleh anak penderita autisme. Dengan tidak memberikan makanan yang berbahan dasar terigu, susu, serta makanan yang sulit dicerna oleh penderita autisme. Sebab apabila orang tua lalai dalam memerhatikan serta menjaga pola makanan anak penderita autisme maka, anak akan semakin lambat dalam berkomunikasi serta berperilaku. Itulah mengapa hal dasar yang dilakukan oleh terapis anak penderita autisme harus menciptakan kerja sama yang baik agar anak penderita autisme lebih cepat mengalami perubahan. Setelah itu baru dilakukan beberapa terapi bicara sesuai dengan gejala-gejala yang dialami oleh anak tersebut dengan menstimulasi anak untuk terbiasa mengungkapkan sesuatu. pada kasus yang terjadi pada Pipie, dimana orang tuanya mulai menyadari bahwa anaknya mengidap autisme pada saat Pipie baru berusia enam bulan, sehingga pendeteksian gejala sejak dini sangat baik agar dapat melakukan langkah tepat ketika hal tersebut terjadi. Anak autis membutuhkan perhatian khusus dan ekstra dari orang tuanya dengan pola asuh yang sesuai dengan kebutuhannya. Karena kesulitan dalam berkomunikasi dan mengungkapkan emosinya, maka penting untuk mengetahui cara mendampingi anak dengan autsime agar dapat membantunya beraktivitas dengan lebih mandiri dan menunjang tumbuh kembangnya termasuk perkembangan kemampuan berbahasanya. Selain itu, peran lingkungan juga berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berbahasa pada anak autisme termasuk lingkungan keluarga.

Bentuk pengembangan kemampuan berbahasa tersebut contohnya memelihara hewan, bermain bersama saudara secara intens di rumah dan memiliki teman dengan berbagai karakter di sekolah.

(15)

12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa anak autisme mengalami keterlambatan perkembangan bahasanya, sehingga dapat mempengaruhi kemampuan berbahasanya baik secara verbal maupun non verbal. Akibat Keterlambatan tersebut membuat anak pengidap autisme akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dari ketidakmampuan tersebut menyebabkan anak autsime tidak dapat mengungkapan ekpresi dan emosinya sehingga orang lain akan salah mengartikannya. Adapun gejala awal anak mengidap autsime pada bayi yaitu pada saat usianya enam bulan, dimana bayi normal pada umunya akan sering mengoceh sekitar usia enam bulan. Namun pada anak autisme itu tidak terjadi bahkan hingga usianya sembilan bulan. Selain itu anak autisme cenderung tidak merespons saat diajak untuk berinteraksi dan tidak melakukan kontak mata. Kemudian berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa anak autsime cenderung tidak merespon panggilan ketika diajak berkomunikasi yang dimana hal itu terjadi karena autisme sendiri mempengaruhi syaraf dalam memberikan instruksi terhadap inderanya. Hal ini terlihat ketika seorang pengidap autisme yang diberi rangsangan berupa suara, ia akan mendengar. Namun, ia tidak memberikan respon atas rangsangan tersebut.

Hal yang perlu diperhatikan dari penjelasan di atas bahwa dalam mengasah dan melatih kemampuan berbahasa dan komunikasi bagi penderita autisme adalah dengan melakukan penanganan yang tepat dan pengenalan gejala autisme sejak dini sehingga penderita autisme dapat menemukan bakat dan kemampuannya. Selain itu, untuk mengembangkan kemampuan berbahasanya terutama dalam berinteraksi sosial, diperlukan jalinan komunikasi dan interaksi dengan penderita autis secara terus menerus dan berkelanjutan.

3.2 Saran

Dari hasil makalah yang telah dibuat melalui penelitian mini riset ini, penulis menyarankan agar kita lebih peduli kepada anak-anak berkebutuhan khusus terutama anak pengidap autisme.

Sebagai masyarakat secara umum kita harus menerima anak-anak tersebut. Jangan sampai kita malah mengejek dan menjauhinya.

(16)

13

DAFTAR PUSTAKA

Maha, R. N., & Harahap, R. (2012). Perkembangan Kemampuan Berbahasa Pada Anak Autisme.

Medan: http://jurnal.unimed.ac.id. Diakses 22 Desember 2021

Chandra, A. A., Astuti, R. W., Putti, O. A., & Sumarlam. (2018). Peranan Pola Pengasuhan Terhadap Pemerolehan Bahasa Pada Anak : Sebuah Kajian Psikolinguitik. Blitar:

https://Journal.Unpas.ac.id. Diakses 23 Desember 2021

Hasanah. (2018). Kemampuan Berbahasa Pada Anak Autistik Usia 6 Tahun.. Jakarta:

https://media.neliti.com/. Diakses 24 Desember 2021

(17)

14

LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. Isian Template Laporan Observasi Kajian Psikolinguistik

KERTAS KERJA KAJIAN PSIKOLINGUISTIK (UJIAN AKHIR SEMESTER)

Nama : Revi Asrilia Samsudin NIM : 205030038

Kelas : A-PBSI

Area Kajian

Psikolinguistik

Perkembangan Kemampuan Berbahasa

Lokasi Observasi Kp. Kaliwadas RT. 06 RW. 02, Des. Pagon, Kec. Purwadadi, Kab.

Subang, Prov. Jawa Barat.

Kutipan Teori Istilah autism berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti suatu aliran. Autism diartikan sebagai suatu aliran dimana seseorang hanya tertarik pada dunianya sendiri (Subyantoro, 2013).

Autisme juga dapat diartikan sebagai cacat pada perkembangan syaraf dan psikis manusia yang terjadi sejak janin dan seterusnya sehingga menyebabkan kelemahan atau perbedaan dalam berinteraksi sosial, kemampuan berkomunikasi, pola minat, dan tingkah laku (Subyantoro, 2013).

Salah satu gangguan berbahasa adalah gangguan berbahasa pada autisme. Autisme atau yang disebut pula Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu gangguan perkembangan syaraf yang terus terhadap kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya (American Psychiatric Association 1994).

Anak-anak yang mengalami autisme mempunyai imajinasi dan sering melakukan tingkah laku atau pergerakan badan yang berulang-ulang (Wing & Gould 1979).

(18)

15

Autis diartikan sebagai keadaan yang dikuasai oleh kecenderungan pikiran atau perilaku yang berpusat pada diri sendiri (Ezmar&Ramli, 2014)

Shadock dan Shadock (2009) dalam (Ali, 2017) mengatakan bahwa gangguan autistic spectrum disorder dikenal dengan early infantile autism, childhood autism atau Kanner’s autism yang ditandai dengan gangguan dalam interaksi sosial timbal balik, keterlambatan keterampilan komunikasi dan pengulangan terbatas pada aktivitas dan minat.

Pertanyaan Penelitian 1. Apa yang dimaksud dengan gangguan berbahasa autisme?

2. Apa gejala dan penyebab autisme pada anak ?

3. Bagaimana tingkat perkembangan kemampuan berbahasa pada anak autisme ?

4. Bagiamana penanganan untuk membantu perkembangan bahasa anak autisme ?

Data Sumber Data:

Anak usia 18 tahun sebanyak 1 orang dengan inisial PN.

Deskripsi Data:

Tingkat kemampuan berbahasa

Hasil Observasi 1. Anak autisme mengalami masalah dalam mengeluarkan bunyi kata dari alat ucap sehingga mengalami kesulitan dalam berbahasa yang baik yang bersifat komprehensif dalam aspek semantis, fonologis, dan juga sintaksisnya.

2. Mendeteksi gejala-gejala autisme sejak dini sangat baik agar anak autisme bisa mendapatkan penanganan dan langkah yang tepat ketika hal tersebut terjadi.

3. Pengidap autisme memiliki beberapa ciri-ciri yang dapat terlihat melaui gangguan komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris, dimana gejala dalam penentuan autisme juga dapat sudah mulai terlihat dan ditemukan pada anak usia 3 sampai 6 bulan. Meskipun secara fisik tidak memiliki perbedaan dengan anak normal tetapi dalam segi perilaku, mental, dan pola pikir mereka memiliki kelemahan.

(19)

16

4. Perkembangan bahasa pada anak autisme lambat bahkan seorang anak pengidap autisme pada umur satu tahun pun belum bisa mengeluarkan satu kata pun.

5. Kejelasan suara dan kosa kata yang diucapkan anak autisme kurang jelas sehingga terkadang orang yang mendengarnya harus bertanya kembali mengenai maksud dan artinya.

6. Pada anak autisme belajar mengenal kata melalui proses pengalaman yang didapatinya sehari-hari. Walaupun terlihat diam dan tidak mengerti akan percakapan di sekitarnya, sebenarnya anak autistik merekam apa yang dibicarakan sekelilingnya. Oleh karena faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan bahasanya terutama pada lingkungan keluarga.

7. Karena kendala dalam kemampuan berbahasanya untuk membantu mengembangkan kemampuan berbahasa tersebut terutama dalam berinteraksi sosial, diperlukan jalinan komunikasi dan interaksi dengan penderita autis secara terus menerus dan berkelanjutan.

Simpulan Berdasarkan kajian penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa anak pengidap autisme mayoritas mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya sehingga dapat mempengaruhi kemampuan berbahasanya baik secara verbal maupun non verbal.

Akibat Keterlambatan tersebut membuat anak pengidap autisme akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Referensi Maha, R. N., & Harahap, R. (2012). Perkembangan Kemampuan Berbahasa Pada Anak Autisme. Medan: http://jurnal.unimed.ac.id.

Diakses 22 Desember 2021

Chandra, A. A., Astuti, R. W., Putti, O. A., & Sumarlam. (2018).

Peranan Pola Pengasuhan Terhadap Pemerolehan Bahasa Pada Anak : Sebuah Kajian Psikolinguitik. Blitar:

https://Journal.Unpas.ac.id. Diakses 23 Desember 2021

Hasanah. (2018). Kemampuan Berbahasa Pada Anak Autistik Usia 6 Tahun.. Jakarta: https://media.neliti.com/. Diakses 24 Desember 2021

(20)

17 B. Foto Dokumentasi Penelian

Referensi

Dokumen terkait