MAKALAH
WARISAN UNTUK AL-MAFQUD, KHUNTSA MUSYKIL, GANTI KELAMIN, TAWANAN, NON-ISLAM, DAN
MURTAD
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqih Nikah dan Waris
Kelas PAI 3A
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Lutfiyah, M. S. I
Disusun Oleh Kelompok 3:
Shihatud Diniyah An Nabilah : 2203016020
Rohmalia : 2203016037
Bahrul ulum : 2203016038
Najwa Nisrina Hanum : 2203016039
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, yang atas rahmat-Nya dan karunia- Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari makalah ini adalah “Warisan untuk Al-Mafqud, Khuntsa Musykil, Ganti Kelamin, Tawanan, Non- Islam, dan Murtad”. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai bahan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqh Nikah dan Waris.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada dosen mata kuliah Ilmu Fiqh Nikah dan Waris yang telah memberikan tugas terhadap kami.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan, akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Semarang , 11 September 2023 Tertanda,
Penulis
A. PENDAHULUAN
Warisan keluarga adalah salah satu aspek penting dalam hukum Islam yang mengatur pembagian harta benda setelah seseorang meninggal dunia. Konsep warisan dalam Islam memiliki prinsip-prinsip yang tidak hanya berfokus pada keadilan dan keseimbangan, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan dan peran masing-masing anggota keluarga.
Islam memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana warisan harus dibagi, dengan tujuan utama untuk menjaga keharmonisan keluarga dan menghindari adanya konflik atau perselisihan antara ahli waris. Hukum warisan Islam juga menghormati hak individu dan menyediakan perlindungan bagi wanita dalam hal warisan. Dalam makalah ini, kami akan membahas warisan keluarga menurut perspektif Islam. Kami akan menjelaskan warisan untuk al-mafqud, khuntsa musykil, ganti kelamin, tawanan, non- Islam, dan Murtad serta pembagian harta benda diantara ahli waris yang berhak menerima warisan.
Dalam kesimpulan kami, kami akan menyoroti pentingnya memahami dan menerapkan prinsip-prinsip warisan dalam Islam dengan tepat. Kami akan menekankan pentingnya menghormati hak-hak individu dan menjaga harmoni keluarga, serta memastikan keadilan dalam penerimaan warisan untuk masing-masing individu.
B. PENGERTIAN
1. Warisan Orang Hilang (Al-Mafqud)
Mafqud menurut bahasa berarti yang hilang. Sedangkan menurut istilah fiqh, yang dimaksud dengan mafqud ialah orang yang pergi, tidak ada kabar beritanya, tidak diketahui tempat tinggalnya, dan tidak diketahui apakah orang itu masih hidup atau sudah meninggal dunia.1
Menurut pendapat jumhur ulama ahli waris yang mafqud dinyatakan sebagai orang yang hidup berdasarkan asas istishab al-shifah, artinya sifat hidup seseorang tetap dipertahankan sampai diketahui secara meyakinkan bahwa dia mati, maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa Al-Mafqud berhak menjadi ahli waris.2
1 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid Dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 193.
2 Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqh”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hlm.
173.
2. Orang Banci (Khuntsa Musykil)
Istilah Khuntsa berasal dari bahasa Arab Khanatsa yang berarti lunak atau melunak.3 Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “banci”, “wadam” (wanita- adam), atau “waria” (wanita-pria).
Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, Khuntsa adalah seseorang yang diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan karena memiliki alat kelamin secara bersamaan ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin laki- laki atau perempuan.4
3. Ganti Kelamin
Secara etimologis transgender berasal dari dua kata; yaitu “trans” yang berarti berpindah atau bergeser, dan “gender” yang berarti tingkah laku. Transgender adalah orang yang mengidentifikasikan diri dengan karakter atau sifatnya yang berlawanan dengan jenis kelamin yang dimilikinya sejak ia lahir. Istilah lain yang digunakan dalam operasi pergantian kelamin adalah “transseksual” yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris. Disebut juga dengan transseksual karena tujuan utama dari operasi ini adalah untuk mengubah jenis kelamin seorang yang menginginkan dirinya menjadi perempuan atau laki-laki, baik dengan mengubah jenis kelamin dari kelamin laki-laki atau mengubah dengan kelamin perempuan maupun sebaliknya.5
4. Orang Tawanan
Orang tawanan artinya seseorang yang ditawan karena ditangkap atau dikalahkan dalam perang. Seorang tahanan jika dia dikenal alamat atau tempat tinggal yang jelas keadaannya di penangkaran dan keadaan hidup atau matinya tahu ini pasti, jadi tidak akan melakukannya.menimbulkan permasalahan warisan.
Namun, jika kita tidak mengetahuinya alamat atau tempat tinggal tempat penahanan dan status hidup atau matinya masih belum diketahui,akan menyebabkan masalah dengan warisan, juga dikenal sebagai ketidakjelasanstatus (tempat tinggal, tempat tinggal dan kematian) akan menimbulkan masalah.6
5. Orang non-Muslim (beda agama) atau Murtad (pindah agama)
3 Ahmad Warson Munawwir, Ali Ma’shum, and Zainal Abidin Munawwir, “Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia”, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwie, 1984), hlm. 382.
4 Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Cet”
VII, 2006), hlm. 482.
5 Gibtiah, Fiqh Kotemporer, (Palembang: Rafah Press, 2014), hlm. 269-270.
6 Wanda Nani, “Hak Mewarisi Harta Warisan Ahli Waris Yang Statusnya Diragukan Menurut Hukum Islam”, Lex Privatum 6, no. 4, (Bandung: 2018), hlm. 145.
7Pengertian non-muslim mempunyai makna bahwa seluruh pemeluk agama selain agamaIslam. Oleh karena Islam yang di bawa Nabi Muhammad salallahu
‘alahi wasalam sebagai penyempurna agama yang di bawa nabi dan rasul sebelumnya, maka agama Islam yang di bawa Nabi Muhammad salallahu ‘alahi wasalam merupakan agama Islam terakhir. Dengan demikian, pengertian non muslim adalah pemeluk selain agama Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad salallahu
‘alahi wasalam.
Sedangkan Murtad, ulama’ fikih mendefinisikan murtad adalah kembali ke jalan asal dari mana dia datang, tetapi lebih dikhususkan kepada soal kekafiran.
Namun apa yang dimaksudkan dengan murtad disini adalah seorang yang beragama Islam dan bertukar kepada agama yang lain mengikut kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain, sama dengan lelaki maupun perempuan.
C. PEMBAHASAN
1. Warisan Orang Hilang (Al-Mafqud)
Para ulama fiqh telah menetapkan hukum-hukum tentang mafqud, yaitu: istri dari seorang yang mafqud tidak boleh dinikahi oleh orang lain, hartanya tidak boleh diwarisi dan segala haknya tidak boleh digunakan sampai orang tersebut diketahui keadaannya dan jelas persoalannya, apakah ia sudah meninggal atau masih hidup.
Penetapan masih hidupnya mafqud berpegang pada kaidah usul "Istishab al-hal"
(mem- pertahankan keadaan semula), yaitu tetap berpegang pada keadaan semula dia hidup sampai ada keterangan yang menetapkan kematiannya.8
Jika Al-mafqud dalam keadaan hidup sebelum dia menghilang hingga nyata keadaannya dengan dia kembali dalam keadaan hidup atau benar-benar telah meninggal, atau dipandang telah meninggal oleh hakim. Maka harta-hartanya tidak diwariskan kepada waris- warisnya karena hartanya masih tetap merupakan miliknya selama belum lagi diketahui dengan pasti keadaannya.9
Bila ia dikabarkan hilang dan dalam keadaan meninggal, kemudian kembali dalam keadaan hidup, maka hak yang telah disisihkan itu diserahkan kepadanya.
7 Kamus Besar Bahasa Indonesia and Tim Penyusun, “Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Edisi 2 Cetakan 3,” (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 692.
8 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu …, hlm. 193.
9 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 243.
Namun, Seandainya al-mafqud telah dinyatakan meninggal, harta yang disisihkan itu diserahkan kepada ahli warisnya. Dan seandainya pewaris telah meninggal, maka al- mafqud tidak berhak mendapat warisan, sehingga harta yang disisihkan itu dijadikan harta warisan yang dibagikan kepada yang berhak.10
Terdapat 4 pendapat madzab mengenai terjadinya mafqud, yaitu;
a) Mazhab Syafii berpendapat bahwa penetapan seseorang yang mafqud telah meninggal dunia ditentukan atas keputusan hakim yang telah berijtihad.
b) Mazhab Hanafi berpendapat bahwa meninggalnya mafqud diperkirakan dengan telah meninggalnya teman-teman segenerasi yang berada di tempat asalnya.
Apabila tidak ada lagi teman segenerasinya yang hidup, maka orang yang mafqud itu bisa diputuskan telah meninggal dunia. Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Abu Hanifah menetapkan batas usia mafqud itu ialah 90 tahun.
c) Mazhab Maliki berpendapat bahwa usia yang bisa dijadikan dasar penetapan meninggalnya orang yang mafqud ialah 70 tahun.
d) Mazhab Hanbali menyatakan bahwa apabila seseorang hilang karena sesuatu sebab, seperti peperangan, kapal karam, maka harus dilakukan penyelidikan selama 4 tahun. Setelah itu barulah hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Apabila hilangnya seseorang bukan karena suatu sebab, maka menurut imam Ahmad bin Hanbal ada dua alternatif, yaitu;
1) Menunggunya sampai melewati masa 90 tahun dari kalahirannya karena biasanya usia manusia maksimal 90 tahun.
2) Menyerahkan masalahnya kepada ijtihad hakim.11
Sehingga dapat disimpulkan pendapat yang rajah dikalangan 4 madzhab tersebut adalah pendapat dari Imam Hambali dan Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa penetapan meninggalnya mafqud diserahkan kepada ijtihad hakim atau pemerintah setempat.
2. Orang Banci (Khuntsa Musykil)
Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecendrungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi
10 Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar …, hlm. 174.
11 Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah dalam Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu…, hlm.
194.
lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.12
Para ulama’ menjelaskan pengertian khuntsa orang yang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu dhakar dan faraj, atau tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Dengan munculya Islam, metode penentuan Pembagian waris untukk Khuntsa dijelaskan oleh Rasulullah dengan metode penentuan kelamin melalui keluarnya air seni, bersumber Inu Abbas, bahwa Nabi pernaah ditanya tentang anak yang mempunyai penis dan zakar, dari segi mana ia mmenerima waris. Nabi menjawab,
“Dari segi cara ia kencing”. Khuntsa terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Khuntsa Ghairu Musykil, yaitu khunsta yang melalui alat yang ada dapat dipastikan jenis kelaminnya. Bila melalui tanda yang ada dipastikan ia laki-laki, maka alat kelamin yang satu lagi disebut alat kelamin tambaan, dan begitu sebaliknya13. Jadi, pada tahap penentuan jenis kelamin masih bisa dilakukan melaui air seni, maka kasus tersebut termasuk dalam khuntsa ghairu musykil, artinya banci yang tidak sulit menemukan jenis kelaminnya.
b. Khuntsa Musykil, yaitu khuntsa yang dengan segala macam cara pembuktian alat tidak dapat dipastikan jenis kelaminnya.14 Apabila air seninya keluar secara bersama-sama denngan takaran yang sama banyaknya, maka status jenis kelamin anak tersebut dapat disebut dengan khuntsa muusykil, artinya banci yang masih sulit menentukan jenis kelaminnya.
Bagian warisan Khuntsa Musykil
Ulama faraidh berbeda pendapat tentang bagian warisan Khuntsa Musykil, yaitu: 15
a. Pendapat pertama, yaitu pendapat Ibnu Abbas yang kemudian diikuti Amad, l-Sya’bi, dan beberapa ulama lainnya, bahwa Khuntsa Musykil ini menerima hak separuh hak laki-laki dan separuh ak perempuan.
b. Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya, bahwa Khuntsa Musykil itu menerima jumlah minimum dari kemungkinannya sebagai laki-laki atau ia sebagai perempuan.
12 Setiawan Budi Utomo and Abu Hanifah, “Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer”
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 175.
13 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 139.
14 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,…, hlm. 139.
15 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,…, hlm. 141.
c. Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Syafi’I dan diikuti oleh Abu Tsaur dan lainnya, bahwa Khuntsa Musykil dan orang yang bersamanya mendapat yang meyaakinkan sampai ada kepastian jenis kelaminnya atau sampai mereka bersama memustuskan secara damai.
Cara pembagian warisan musykil
Jika terdapat di antara ahli waris Khuntsa Musykil, maka pembagian warisannya dilakukan dengan salah satu cara dari dua cara berikut: 16
a. Tiada berubah bagian khuntsa dan bagian ahli waris lainnya, walaupun dia dihukumkan laki-laki atau perempuan. Di dalam hal ini, warisan itu langsung dibagi menurut ketentuan masing-masing ahli waris.
Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris, ibu, ayah, anak perempuan, dan cucu khuntsa. Harta warisannya sebesar Rp 12.000.000,- , maka penyelesaiannya sebagai berikut:
Jika cucu perempuan terebut dihukumkan sebagai seorang perempuan, dan mendapat seperenam (1/6) bagian. Jika dia dihukumkan sebagai laki-laki, dia mendapat seperenam (1/6) juga, tetapi selaku ‘ashabah, tidak selaku orang yang mendapat ketentuan (dzawil furudh). Jadi bagian ahli waris lainnya tidak berubah, walaupun khuntsa itu dihukumkan laki-laki atau perempuan.
b. Ada perubahan bagian khuntsa dan ahli waris yang lain, jika khuntsa dihukumkan laki-laki atau perempuan. Apabila khuntsa itu dihukumkan laki- laki, maka anak laki-laki mendapat seperdua (1/2) bagian. Anak khuntsa mendapat seperdua (1/2) bagian. Apabila anak khuntsa itu dihukumkan perempuan, maka anak laki-laki mendapat dua pertiga (2/3) bagian dan anak khuntsa mendapat sepertga (1/3) bagian. Jika terdapat hal semacam ini, maka warisan itu anya boleh diberikan kepada masing-masing ahli waris dengan jumlah bagian yang paling sedikit.
16 M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 125.
Sisa yang seperenam (1/6) atau Rp 2.000.000,- ditahan untuk sementara, sehingga dapat dihukumkan apabila kunsa itu laki-laki atau perempuan. Jika ternyata kemudian dia laki-laki, maka sisa itu diberikan kepadanya untuk mencukupkan bagiannya seperdua (1/2). Apabila ternyata kemudian perempuan, maka sebagian lagi diberikan kepada anak laki-laki untuk mencukupi bagiannya dua pertiga (2/3). Walaupun demikian, apabila harta itu hendak dibagi juga, boleh dilakukan dengan jalan perdamaian di antara sesame mereka.
Jumlah ahli waris Khuntsa Musykil
Para faradhiyun menetapkan bahwa para ahli waris khuntsa musykil hanya berjumlah tujuh orang yang tercaakup dalam empat kelompok sebagai beikut : 17 a. Jihat Bunuwwah (Jalur anak), yaitu: Para ahli waris khantsa musykil yang
tergabung dalam jihat bunuwwah ini ada dua orang, yaitu anak dan cucu.
b. Jihat Ukhuwwa (Jalur saudara), yaitu: Yang tergabung dalam jihat ukhuwah ada dua, yaitu saudara dan anak sauda (keponakan)
c. Jihat ‘Umumah (Jalur paman), yaitu: Para ahli waris khuntsa musykil dari garis paman ada dua, yaitu paman dan anak paman (saudara sepupu)
d. Jihat Wala’ (Perwalian budak), yaitu: Ahli waris khuntsa musykil dari golongan ini hanya seorang saja, yaitu maulal mu‘tiq (tuan yang memerdekakan budaknya).
3. Ganti Kelamin
Konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut; dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria, tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita), demikian juga sebaliknya. Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seseorang yang mengalami kelainan kelamin, misalnya berkelamin ganda dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan)
17 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 484.
dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas.18
Berdasarkan hasil Musyawarah Nasional (Munas) VIII MUI juga diputuskan tidak boleh menetapkan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin, sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait perubahan tersebut.
Karena tidak memiliki implikasi hukum syar’i, maka dalam hukum kewarisan di lihat dari jenis kelamin awal sebelum perubahan. Apabila jenis kelamin awalnya laki-laki, maka ia hanya mendapat warisan bagian laki-laki, begitu juga sebaliknya, jika jenis kelamin awalnya adalah perempuan, maka ia hanya mendapat warisan bagian perempuan.
Firman Allah dalam QS. Annisa (4) ayat: 11.
ِنْيَيَثْن ُ ْلا ّظَح ُلْثِم ِرَكّذلِل ْمُكِد َل ْوَا ْۤيِف ُ ااا ُمُكْيِصْوُي
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan...”
4. Orang Tawanan
Maksud AI-Asir disini adalah seseorang yang dalam keadaan sebagai tawanan musuh baik keadaan dia bisa diketahui apakah masih hidup apa tidah ataupun tidak ketahuan sama sekali dengan syarat dia tidak keluar dari agama Islam karena syarat mewariskan adalah Islam. Jika orang tersebut dapat diketahui keadaanya dan dalam keadaan hidup maka dia berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh si mayit dan jika tidak diketahui keadaannuya apakah masih hidup atau suda wafat maka penghitungan warisannya bisa disamakan dengan cara penghitungan orang yang hilang.19
Seorang tawanan apabila diketahui dengan jelas alamat atau tempat penawanannya dan status hidup atau matinya diketahui dengan pasti maka tidak akan menimbulkan persoalan terhadap masalah pewarisan. Namun, apabila tidak diketahui alamat atau tempat penawanannya dan status hidup atau matinya tidak diketahui, akan menimbulkan persoalan terhadap pewarisan, dengan kata lain ketidakjelasan status tersebut (baik domisili, hidup dan matinya) akan menimbulkan persoalan.
18 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2002), hlm. 04.
19 Ali Muchtar, Panduan Praktis Pembagian Waris. Jakarta : Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah. 2013. hlm 60
Kebanyakan ahli hukum Islam menganalogikan orang tawanan yang statusnya (tempat serta hidup dan matinya) tidak diketahui dengan pasti baik dalam kedudukannya sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris. Dengan demikian, dalam persoalan penyelesaian warisan orang yang dalam tawanan ini peran hakim sangat menentukan, hal ini tentunya setelah terlebih dahulu ditempuh upaya untuk mendapatkan informasi perihal orang yang tertawan tersebut.20
5. Orang non-Muslim (beda agama) atau Murtad (pindah agama) a) Warisan orang Non- Muslim menurut konsep hukum Islam
Perbedaan agama merupakan penghalang kewarisan yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Dengan kata lain, penghalang-penghalang untuk mewarisi merupakan tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab untuk mewarisi.21 Sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW yang artinya: "Tidaklah berhak seorang muslimmewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadist Rasulullah Saw di atas menjelaskan tentang permasalahan beda agama yang menjadi penghalang mewarisi, yaitu apabila antar ahli waris dan al- muwwaris salah satunya muslim dan lainnya non muslim. Dalam hal ini harus ada batasan tentang persoal an mereka yang berlainan agama yaitu berbedanya agama yang dianut oleh ahli waris dan pewaris artinya seorang muslim tidak akan mewarisi dari seorang non muslim begitu juga sebaliknya seorang non muslim tidak mewarisi dari seorang muslim.
Hadist nabi SAW menunjukkan dengan tegas tentang kasus kematian paman beliau yang meninggal sebelum masuk Islam, harta warisannya diberikan kepada Uqail dan Talib yang masuk kafir (non muslim), sementara anak beliau yang telah masuk Islam tidak diberikan harta warisan.22 Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) sepakat bahwa orang non Islam (kafir) tidak dapat mewarisi harta orang Islam lantaran status orang non Islam (kafir) lebih rendah." Hal ini dijelaskan dalam Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisaa' ayat 141 yang artinya: "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman."
20 Wanda Nani, Hak Mewarisi Ahli Waris Yang Statusnya Diragukan Menurut Hukum Islam. 2018. Hlm. 145.
21 Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris,…, hlm. 39.
22 Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris,…, hlm. 40.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan berbeda agama adalah kafir dan Islam. Adapun orang kafir boleh saja saling mewarisi diantara mereka sebagaimana realitas yang berlaku. Dalam hal ini tidak ada yang berpendapat dengan hadist selain al- Auza'l yang berpendapat: "orang yahudi tidak dapat mewarisi orang nasrani dan sebaliknya". Demikian juga untuk seluruh penganut agama, namun indikasi rekstual hadist ini berpihak kepada pendapaat al- Auza'i.23 Semua orang diluar Islam dianggap satu, tidak dibedakan antar ahli kitab dengan non ahli kitab. Oleh karena itu ahli waris yang beragama Kristen, Yahudi, Hindu, dan Budha tidak mewarisi dari orang Islam, begitu juga sebaliknya24
Tentang non muslim tidak mewarisi harta seorang muslim para ahli hukum telah sepakat dengan ketentuan tersebut. Hal itu didasarkan hadits dan ketentuan Qs. Al-Maidah ayat 5, yang artinya: "Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum- hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi". Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa diantara hal yang menguatkan pendapat orang muslim mewarisi ahli zimmi dan tidak sebaliknya, adalah bahwa yang dipertimbangkan dalam warisan itu adalah berdasarkan pertolongan, sedang penghalangnya adalah permusuhan. Oleh karena itu sebagian besar fuqaha mengatakan bahwa seorang kafir zimmi tidak mewarisi kafir harbi.
Adapun orang-orang murtad, warisannya dapat diwarisi orang-orang muslim.
Jika ketika la murtad ada keluarganya yang muslim meninggal, ia tidak mendapatkan warisan. Sedangkan ia kalau masuk Islam lagi sebelum pembagian warisan, hal ini dapat mengakibatkan pertentangan di kalangan orang-orang muslim sendiri ( al-qaradhawi ), karena ketika seorang yang murtad masuk Islam lagi ketika pembagian warisan, dikawatirkan bahwa yang telah murtad tersebut hanya menginginkan harta warisan yang meninggal, kemungkinan lagi setelah ia mendapatkan warisan, ia akan murtad kembali, pendapat Imam Ahmad menyatakan bahwa dia benar-benar masih kafir dan tidak berhak mendapat warisan.
b) Hak Ahli Waris Non Muslim Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam konteks hukum waris Islam, pembaruan hukum keluarga Islam pertama kali ditandai dengan pengundangan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
23 Abu Umar Basyir, Wasiran: Belajar Mudah Hukum Waris Sesuai Syari'at Islam, (Solo: RumahmDzikir, 2006), hlm. 68.
24 Supriatna, Diktat Figh Mawaris, (Yogyakarta: Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 11.
Perkawinan. Beberapa tahun kemudian, disusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang secara material aturannya kemudian digunakan oleh Peradilan Agama untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum perkawinan, pewarisan dan perwakafan.
Terkait dengan hak waris non muslim, kompilasi hukum Islam lebih merujuk pada pendapat para ulama klasik yang menegaskan bahwa perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris menjadi penghalang terjadinya proses kewarisan.
Hal ini bisa dibaca dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 171 (b) menyatakan bahwa: "pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan."
Dalam KHI dengan Pasal yang sama 171 (c) menyatakan bahwa: "ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris". Ketentuan beragama seseorang dapat ditentukan lewat identitasnya, hal ini jelas dalam KHI pada Pasal 172 yang berbunyi: "ahli waris yang dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas aau pengakuan atau amalah atau kesaksian, sedangkan bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya".
Ketentuan dalam KHI memang tidak dinyatakan secara tegas bahwa perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat mewarisi, namun Pasal 171 huruf (c) KHI tersebut menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus dalam keadaan beragama Islam maka di antara keduanya, apabila salah satunya tidak beragama Islam maka di antara keduanya tidak dapat saling mewarisi, maka dalam ketentuan hak kewarisan otomatis terputus ketika berkaitan dengan perbedaan agama. Aturan dalam KHI mendasarkan seutuhnya pada pendapat ulama klasik khususnya imam Syafi'i. Bahkan dalam Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/1/735 hukum materil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum KHI adalah bersumber pada 13 (tiga belas) buah kitab yang kesemuanya merupaka mazhab Syafi'i.25
25 Soesilo dan Pramuji (penerjemah), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelich Wetboek), (Rhedbook Publisher, 2007), hlm. 552.
D. PENUTUP Kesimpulan
1. Menurut pendapat jumhur ulama ahli waris yang mafqud dinyatakan sebagai orang yang hidup berdasarkan asas istishab al-shifah, artinya sifat hidup seseorang tetap dipertahankan sampai diketahui secara meyakinkan bahwa dia mati, maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa Al-Mafqud berhak menjadi ahli waris
2. Khuntsa Musykil, yaitu khuntsa yang dengan segala macam cara pembuktian alat tidak dapat dipastikan jenis kelaminnya.26 Apabila air seninya keluar secara bersama- sama denngan takaran yang sama banyaknya, maka status jenis kelamin anak tersebut dapat disebut dengan khuntsa muusykil, artinya banci yang masih sulit menentukan jenis kelaminnya.
3. penggantian kelamin adalah Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut; dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria, tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita), demikian juga sebaliknya
4. AI-Asir adalah seseorang yang dalam keadaan sebagai tawanan musuh baik keadaan dia bisa diketahui apakah masih hidup apa tidah ataupun tidak ketahuan sama sekali dengan syarat dia tidak keluar dari agama Islam
5. Non muslim tidak mewarisi harta seorang muslim para ahli hukum telah sepakat dengan ketentuan tersebut. Hal itu didasarkan hadits dan ketentuan Qs. Al-Maidah ayat 5. Perbedaan agama merupakan penghalang kewarisan yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan
26 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,…, hlm. 139.