32- 33 Menurut Rahman, tauhid dan keadilan sosial dalam Islam sebenarnya berkembang dari semangat moral Al-Qur'an. Sebagai nasehat dan nasihat moral dari Tuhan, Al-Qur'an menempati posisi istimewa dibandingkan kitab suci lainnya, kata Said Ramadhan. Pada dasarnya, perhatian utama Al-Qur’an adalah pada manusia dan perkembangannya, di samping alam dan sejarah.
Lihat Mu'jam Mufradat Alfaz al-Qur'an, (Kaherah: Dar al-Kitab al-Araby, tt), hlm. 12 Hossein Nasr mengakui bahawa sering terdapat perkara yang tidak jelas dalam Al-Quran. 13 Untuk kajian tentang keunikan al-Quran dalam aspek ini, lihat Muhammad Rashid Ridla, Al-Wahy al-Muhammadiy, (Kaherah: Maktabah al-Qahirah, 1960), hlm.
Al-Qur'an telah menetapkan cara-cara untuk memastikan bahwa kekayaan dan kekayaan tidak menumpuk di satu tangan atau kelompok. Jika Al-Qur'an berbicara tentang keadilan, tentu ia meneruskan tren ini dengan membawa pesan-pesan kesempurnaan. Di sinilah konsep keadilan dalam Al-Quran menjadi penting dan bagaimana mewujudkannya dalam kehidupan.
Untuk menjelaskan makna keadilan yang terkandung dalam Al-Qur'an, baik politik, teologis, etika dan sosial. Belum banyak penelitian yang menulis mengenai konsep keadilan sebagai konsep utuh yang diambil dari wahyu ayat-ayat Al-Qur’an. Pertama, lebih mungkin ditemukan pemahaman yang utuh dan autentik mengenai pandangan al-Qur’an terhadap suatu konsep.
Dalam hal ini, Al-Quran diharapkan terintegrasi dengan realitas kehidupan dan warisan intelektual serta pengalaman manusia. Dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah untuk memperoleh konsep keadilan dari sudut pandang Al-Qur'an. Melalui langkah ini diasumsikan bahwa ruh fundamental Al-Qur'an adalah ruh moral yang bergantung pada tiga hal, yaitu tauhid, keadilan, dan hari kiamat.
Kaitan kronologis antara ketiga hal tersebut terlihat jelas dalam keyakinan yang bersumber pada Al-Qur'an. Adanya dikotomi moral dalam Al-Qur'an akan membantu memahami makna konsep-konsep yang berlawanan. Masing-masing pihak mengklaim bahwa prinsip legitimasinya adalah satu-satunya yang sah, sesuai dengan standar keadilan politik yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Al-Qur'an dan Sunnah, Ibn Hanbal menegaskan, hendaklah dilayan tanpa ragu-ragu mengikut maksud yang tersurat atau tersurat (jika kaifah).
Keadilan Sebagai Pernyataan Usaha Manusia
Terakhir, kaum Mu'tazlah mengaku menggunakan akal sebagai metode penyelidikan dan berusaha memaksakan ajarannya bukan melalui persuasi melainkan bahkan melalui paksaan negara, yang tampaknya bertentangan dengan semangat ajaran mereka. Ketika bin Hanbal meninggal delapan tahun kemudian, sudah tidak diperdebatkan lagi bahwa ahl Sunnah telah menjadi keyakinan yang diakui tidak hanya oleh para pengikut Ibnu Hanbal tetapi juga oleh negara. Tidak ada pemikir Muslim yang menulis tentang keadilan etis yang begitu erat kaitannya dengan akal sebagai satu-satunya metode memperoleh pengetahuan seperti ar-Razi.19 Memang benar bahwa para filsuf Muslim (al-falasifah) juga sangat bergantung pada akal, namun sebagian besar mencoba untuk menyelaraskannya dengan akal. dan menyeimbangkan akal dan wahyu serta memperlakukan keadilan pada dua tingkat, yaitu Ilahi dan Manusia.
Dalam tradisi filsafat Yunani, ia menekankan bahwa tujuan hidup bukanlah kenikmatan kepuasan fisik, melainkan perolehan ilmu pengetahuan dan perwujudan keadilan. Dengan cara yang sama, akal budi dapat menuntun manusia pada pemahaman tentang kebajikan tertinggi, sebuah pencapaian yang dapat membawa pada realisasi kebenaran. Sebaliknya, orang-orang yang mengikuti jalan kezaliman dan penindasan adalah mereka yang berusaha menggulingkan rezim dan melakukan segala macam perbuatan terlarang (haram), kekacauan (al-harj), kejahatan (al-.'yath) dan korupsi (al-fasad).24 Ada orang, kata ar-Razi, yang bisa menjalani kehidupan yang melanggar norma karena mereka mengikuti doktrin yang pada dasarnya buruk dan jahat, seperti pengikut praktik sesat tertentu yang memungkinkan mereka untuk tidak jujur dan mereka mengkhianati lawannya - mereka melawannya.25 Bukan hanya tindakan mereka yang dianggap berbahaya bagi masyarakat, tetapi juga bagi diri mereka sendiri.
Keberanian (asy-syaja'ah), sifat marah dan jengkel al-quwah al-ghadhabiyah) yang boleh disifatkan sebagai bentuk keberanian akhlak, bukan gegabah dan gegabah (tahawwur) dan bukan pengecut (jubn), tetapi keadaan. antara dua ekstrem. Keadilan (al-'adl), yang bukan sekadar kebajikan, tetapi himpunan kebajikan, yang bertunjangkan keseimbangan (keadaan seimbang) dan kesederhanaan dalam kelakuan peribadi dan urusan awam. Tetapi kebahagiaan yang hakiki, kata al-Ghazali, bukanlah kebahagiaan duniawi (kebahagiaan di dunia hanya disebut sebagai kebahagiaan metafora), kerana kebahagiaan yang hakiki dan kekal hanya dapat diwujudkan di syurga, di mana manusia akan mendapati dirinya di hadapan Tuhan, dilihat semasa dia duduk. atas tanah. Takhta-Nya. 32.
Para penulis yang skeptis tampaknya telah membahas, antara lain, pandangan tentang keadilan dan nilai-nilai lainnya, namun tulisan mereka belum sampai kepada kita. Kita telah melihat bagaimana kaum Mu'tazilah sebelumnya dikritik, meskipun tidak dengan cara yang skeptis, atas dasar penggunaan akal sebagai metode yang oleh para teolog ortodoks dipandang sebagai ancaman terhadap wahyu. Beberapa kalangan Mu'tazilah, selain mereka yang mencari kompromi antara akal dan wahyu, menganjurkan ketergantungan pada akal sebagai metode terakhir di bawah pengaruh naturalisme klasik.
Yang terakhir ini tidak selalu adil, apalagi jika bertentangan dengan agama dan hukum, namun meski bukan keadilan profetik, ia yakin akan lebih baik dibandingkan tirani penguasa Muslim yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Namun, menurut catatannya, tirani para penguasa Muslim tidak selalu merupakan hasil dari perubahan hati yang tidak masuk akal dan jahat, namun sering kali merupakan kegagalan para penasihat dalam memperingatkan para penguasa yang jahat dan konsekuensi dari pemerintahan tirani mereka. Namun suatu masyarakat, lanjutnya, harus dilandasi tanggung jawab atas tindakan penguasa yang zalim, seperti Ath-Thurthusyi yang sudah sering mendengar banyak orang menyebut Nabi Muhammad SAW melihatnya.
Dari wahyu Al-Qur'an ini dan juga dari pengalamannya sendiri, Eth-Thusyi yakin dan yakin bahwa jika keadilan profetik tidak didukung oleh rasa tanggung jawab publik, yang mendorong penguasa untuk menegakkan keadilan di dunia praktis, maka ketidakadilan akan tampak lebih adil. daripada Keadilan. 41 Dengan kata lain, ath-Thusyi mengemukakan kemungkinan adanya bentuk keadilan baru dalam suatu masyarakat yang dipadukan dengan keadilan profetik, sehingga melahirkan bentuk keadilan sosial yang pada hakikatnya positif, namun ia tidak mengeksplorasi sumber-sumber awan. bentuk keadilan, dan dia tidak menjelaskan bagaimana masyarakat memunculkan klaim yang dapat memaksa penguasa untuk mewujudkannya dalam dunia praktis. Keadilan Ilahi bukanlah pahala (pahala) di akhirat, melainkan kepemilikan cahaya, keindahan, dan cinta kepada Allah.